BAB II
PENGATURAN HUKUM PEMBUKTIAN DI INDONESIA
A. Penerapan Alat Bukti, Barang Bukti dan Kekuatan Pembutian pada
KUHAP
Pengungkapan suatu perkara pidana, terdapat 3 hal yang tidak dapat
dipisahkan karena menyangkut keabsahan atau kevalidan suatu putusan
pengadilan, antara lain sistem pembuktian yang dianut oleh acara, alat bukti dan
kekuatan pembuktian, serta barang bukti yang akan memperkuat alat bukti yang
dihadirkan dalam persidangan.
1. Alat bukti dan kekuatan pembuktian
Dalam hal ini kita akan melihat perihal keterkaitan alat bukti sebagai dasar
bagi hakim untuk memutuskan suatu perkara dengan barang bukti yang ditemukan
dalam suatu kasus pidana, sehingga hakim akan mampu mengungkap suatu
kebenaran materil, sesuai dengan salah satu asas dalam hukum acara pidana yaitu
asas kebenaran materil, dimana bahwa dalam pemeriksaan pidana lebih
mementingkan pada penemuan kebenaran materil (material warhead), aspek materil yakni suatu kebenaran yang sungguh-sungguh sesuai dengan
kenyataannya. Berbeda dengan pemeriksaan perkara perdata yang menekankan
pada penemuan kebenaran formil (formale warheid) atau pada aspek formal.40 Menurut Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana alat bukti
antar lain:
40
1. Keterangan Saksi;
2. Keterangan Ahli;
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan Terdakwa
Pasal 184 juga mengatur tentang hal-hal yang secara umum sudah
diketahui tidak perlu dibuktikan (ayat 2). Hal-hal yang secara umum sudah
diketahui biasanya disebut notoire feiten. Secara garis besar fakta notoir dibagai menjadi dua golongan :41
a. Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum bahwa suatu atau peristiwa
tersebtu memang sudah demikian halnya yang benarnya atau semestinya
demikian.
Yang dimaksud dengan sesuatu, misalnya Harga emas lebih mahal dari harga
perak, Tanah di kota lebih mahal harganya daripada tanah di desa.
Yang dimaksud dengan peristiwa, misalnya Pada tanggal 17 Agustus diadakan
peringatan hari kemerdekaan Indonesia
b. Sesuatu kenyataan atau pengalaman yang selamanya dan selalu mengakibatkan
demikian atau selalu merupakan kesimpulan demikan.
Misalnya: Kendaraan yang larinya 100km/jam, maka kendaraan tersebut akan
tidak stabil dan sulit dihentikan seketika, Arak adalah termasuk minuman keras
yang dalam takaran teretentu bisa menyebabkan seseorang mabuk.
41
Dibawah ini akan dijelaskan satu persatu, terutama mengenai pengertian,
syarat-syarat, dan hal lainnya yang berhubungan dengan keabsahan alat bukti
tersebut.
a. Keterangan saksi
Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling berperan
dalam pemeriksaan perkara pidana. Hampir semua pembuktian perkara pidana
selalu berdasarkan pemeriksaan saksi. Menurut pasal 1 butir 27 KUHAP yang
dimaksud keterangan saksi adalah salah satu bukti dalam perkara pidana yang
berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar,
lihat dan alami sendiri dengan menyebut alasa dari pengetahuannya tersebut.
mengenai siapa yang disebut sebagai saksi, dalam pasal 1 butir 26 KUHAP
disebutkan, yaitu orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia
dengar, lihat dan alami sendiri.42
1) Formil
Ditinjau dari nilai dan kekuatan pembuktian alat bukti keterangan saksi,
sehingga dapat diterima didepan sidang pengadilan maka harus dipenuhi syarat :
Keterangan saksi hanya akan dianggap sah apabila diberikan di bahwa
sumpah. Menurut pasal 16 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
sebelum saksi memberikan kesaksianya wajib mengucapkan sumpah atau janji,
adapun sumpah atau janji:
a. Dilakukan menurut cara agamanya masing-masing;
42Ibid.
b. Lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan memberikan keterangan
yang sebenar-benarnya dan tiada lain daripada yang sebenar-benarnya.
Dalam pengucapan sumpah atau janji pada prinsipnya wajib diucapkan
sebelum saksi memberikan keterangan, namun dalam hal yang dianggap perlu
oleh pengadilan, sumpah atau janji tersebut dapat diucapkan sesudah saksi
memberikan keterangan. Mengenai saksi yang tidak atau menolak mengucapkan
sumpah atau janji tanpa alasan yang sah maka kepadanya dapat dikenakan
sandera, penyanderaan dilakukan berdasarkan pada “penetapan” hakim ketua
sidang.43
2. Materil
Mengenai sumpah atau janji, di dalam hukum acara pidana dikenal
dengan sumpah promisoris, yaitu sumpah yang dilakukan sejak dulu, kemudian baru yang bersangkutan memberikan keterangan. Kemudian dikenal juga dengan
sumpah assertoris, yaitu sumpah yang dilakukan setelah saksi memberikan keterangan, sumpah ini sifatnya menguatkan atau menetapkan pembicaraan yang
telah lalu.
Keterangan yang diberikan oleh saksi, secara substansial harus dapat
memberikan informasi sebanyak mungkin tentang tindak pidana yang dimaksud
oleh suatu peristiwa pidana. Agar keterangan saksi memilik keabsahan maka ada
beberapa syarat antara lain:
a) Seorang saksi adalah seorang yang melihat, mendengar, atau mengalami
sendiri suatu tindak pidana (pasal 1 butir 26 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana)
43
b) Seorang saksi harus dapat menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu
(pasal 1 butir 27 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana)
c) Bahwa keterangan seorang saksi saja tidak dapat dianggap sah sebagai
alat pembuktian (unus testis nulus testis)
Pada dasarnya setiap orang dapat menjadi saksi, tetapi tidak semua orang
cakap menjadi saksi, sehingga perlu adanya pengecualian, antar lain:
1) Dikecualikan secara absolut
Pengecualian ini bersifat absolut atau mutlak untuk memberikan suatu
keterangan sebagai seorang saksi. Perihal ini tertera pada pasal 171 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dimana didalamnya menerangkan bahwa
anak dibawah umur (15 tahun) dan orang yang sakit (ingatan jiwa) dalam suatu
kejiwaan, mereka tidak dapat dipertanggung jawabkan secara sempurna. Dalam
hal ini mereka tidak dapat diambil sumpahnya ketika sedang memberikan
keterangan yang menyebabkan keterangan mereka hanya sebagai petunjuk saja.
2) Dikecualikan secara relatif
Sesuai dengan pasal 168 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
yaitu:
a) Keluarga sedarah atau semenda dalam gari lurus keatas atau kebawah sampai
pada derajat ketiga dari terdakwa atau bersama-sama sebagai terdakwa;
b) Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu
atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkwinan
c) Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau bersama-sama sebagai
terdakwa.
Dalam hal ketiga golongan yang dimaksud oleh pasal ini disebut sebagai
golongan yang relatif tidak berwenang untuk memberikan kesaksian, namun
ketentuan tersebut dapat dikecualikan apabila jaksa terdakwa serta orang-orang
yang termasuk kedalam golongan itu menyetujui maka masih dapat didengar
keterangannya (pasal 169) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Selain
itu dalam hal ketiga golongan tersebut menolak untuk memberikan keterangan,
hakim dapat memerintahkan mereka untuk memberikan keterangannya namun
bukan sebagai alat bukti keterangan saksi melainkan hanya keterangan saja,
karena dalam hal ini mereka tidak di sumpah.44
1. Mereka yang hanya pekerjaan, harkat martabat atau jabatan yang wajib untuk
menyimpan rahasia, dapat meminta dibebaskan dari kewajiban untuk
memberikan keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hak yang dapat
dipercayakan terhadap mereka.
selain pasal 168 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, ketentuan mengenai larangan yang bersifat relatif
ini diatur pada pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yaitu:
2. Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut.
pekerjaan atau jabatan yang menentukan kewajiban seseorang untuk
menyimpan rahasia ditentukan oleh undang-undang. Hakim menentukan sah
atau tidaknya permintaan tersebut. mereka tidak dengan sendirinya secara
absolut dikecualikan, mereka dapat dipanggil menghadap ketika pengadilan
44
membutuhkan kehadiran mereka didepan sidang pengadilan. Bila mereka tidak
hadir dipersidangan sementara tidak ada alasan yang logis untuk menolak
memeberikan kesaksian, maka terhadapnya dapat dikenakan ketentuan yang
terdapat didalam pasal 159 ayat (2) Kitab Undang-Undang Acara Pidana.
Kemudian terdapat hal lain yang dikecualikan, yaitu karena martabatnya dapat
diminta pengunduran diri, antar lain Pastor Katolik. Hal ini dilakukan agar
rahasia di pengakuan dosa dapat terlindungi. Hal itu berlaku terhadap sesuatu
yang dipercayakan oleh seseorang yang menganut agama katolik kepada
pastornya disaat pengakuan dosa. Dan juga oleh beberapa profesi yang
mempunyai kode etik dimana kerahasian dianggap suatu yang wajib dijaga,
sehingga jika para subjek hukum yang mempunyai profesi tersebut dan karena
profesinya menjadi saksi dan berhadapan dengan hukum maka dapat
dikecualikan sebagai saksi.
Terdapat beberapa jenis saksi, yaitu:
1. Saksi a charge
Saksi ini adalah saksi dalam perkara pidana yang dipilih atau diajukan oleh
penuntut umum. Namun pada prakteknya justru merupakan saksi yang
memberatkan terdakwa (pasal 160 ayat 1 KUHAP)
2. Saksi a de charge
Saksi yang meringankan atau a de charge merupakan saksi yang di ajukan oleh terdakwa dalam rangka melakukan pembelaan atas dakwaan yang ditujukan
pada dirinya. (dilandasi oleh ketentuan pasal 65 KUHAP)
Saksi ini adalah saksi yang menjadi korban dalam tindak pidana atau
mengalami sendiri tindak pidana tersebut.
4. Saksi pelapor
Saksi ini adalah seorang yang melaporkan tentang terjadinya tindak pidana
(pasal 108 KUHAP). Seorang saksi korban dapat menjadi saksi pelapor jika
yang bersangkutan setelah mengalami tindak pidana melaporkan peristiwa
yang menimpanya kepada pihak yang berwajib.
5. Saksi mahkota
Saksi mahkota adalah istilah untuk tersangka/terdakwa yang dijadikan saksi
untuk tersangka/terdakwa lain yang bersama-sama melakukan suatu perbuatan
pidana. Saksi mahkota bukanlah istilah yang dikenal dalam KUHAP. Namun
istilah ini dapat ditemui dalam alasan yang tertuang pada memori kasasi yang
diajukan oleh kejaksaan dalam putusan Mahkamah Agung No. 2437
k/pid.sus/2011 yang menyebutkan bahwa:
“Walaupun tidak diberikan suatu defenisi otentik dalam KUHAP mengenai saksi mahkota (kroongetuide), namun berdasarkan perspektif empirik maka saksi mahkota didefenisikan sebagai saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana, dan dalam hal mana kepada saksi tersebut diberikan mahkota. Adapun mahkota yang diberikan kepada saksi yang berstatus terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikannya suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan kepengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dikalukan. Menurut Prof.DR. Loebby Loqman, S.H.,M.H., dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan saksi mahkota adalah kesaksian sesama terdakwa, yang biasanya terjadi dalam peristiwa penyertaan.”45
45
6. Saksi Berantai
Saksi berantai adalah beberapa saksi yang dengan keterangan masing-masing
dapat mebuktikan unsur-unsur tindak pidana, dimana keterangan yang satu
menunjang keterangan lain, atau keterangan yang satu memiliki keterkaitan
dengan yang lainnya dan tidak dikenai asas unus testis nullus testis. (pasal 185 ayat 4 KUHAP)
Kesulitan bagi penuntut umum dan hakim untuk memutuskan suatu
perkara pidana, jika dilihat dari suatu sisi saja dari sekian banyak saksi dalam
memberikan keterangan beberapa saksi harus terdapat kesinambungan antara
keterangan-keterangan tersebut. setidaknya pasal 185 ayat (5) dapat dijadikan
patokan bagi hakim untuk menilai keterangan saksi. Keterangan saksi tersebut
harus:
1. Persesuaian antara keterangan saksi;
2. Persesuaian keterangan saksi dengan alat bukti lain;
3. Alasan saksi memberikan keterangan tertentu;
4. Cara hidup dan kesusilaan saksi.
Terkait dengan keterangan yang diberikan oleh saksi atas suatu tindakan
diperoleh secara tidak langsung, dalam hukum acara pidana di Indonesia dikenal
dengan testimonium de auditu atau hearsay evidence, dimana keterangan saksi tersebut diperoleh atau didapat dari orang lain. Sesuai dengan penjelasan kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kesaksian yang demikian tidak
diperkenankan sebagai alat bukti, dan selaras dengan tujuan hukum acara pidana
hak asasi manusia. Dimana keterangan seorang saksi tersebut merupakan hasil
pembicaraan atau hanya mendengar orang lain namun kesaksian yang demikian
itu tidak begitu saja dibuang dan dikatakan tidak berguna, meskipun tidak
memiliki kekuatan pembuktian sebagai alat bukti yang sah, dapat dijadikan bahan
pertimbangan bagi hakim untuk memperkuat keyakinannya sebelum menjatuhkan
putusan. Kerugian tidak diterimanya kesaksian de auditu adalah hakim akan kehilangan alat bukti yang mungkin dari situ hakim akan memperoleh penjelasan
atas suatu fenomena.
Mengenai saksi yang tidak mau hadir di persidangan dapat dilihat
pengaturannya pada pasal 159 ayat 2 KUHAP. Menjadi saksi adalah salah satu
kewajiban setiap orang. Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu
sidang pengadilan untuk memberikan keterangan, tetapi dengan menolak
kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan KUHP pasal 224
yang memberikan ancaman kepada saksi, saksi ahli atau juru bahasa yang sengaja
tidak memenuhi kewajiban hukum yang diletakkan kepadanya dengan di kenakan
pidana:
1. Didalam perkara pidana maksimum 9 (Sembilan) bulan penjara
2. Didalam perkara perdata maksimum 6(enam) bulan penjara.
Mengenai nilai kekuatan pembuktian telah diuraikan diatas mengenai
syarat hingga sebuah kesaksian dapat dikatakan sah sebagai alat bukti keterangan
saksi, yaitu kesaksian yang diberikan oleh saksi harus memenuhi syarat formal
kekuatan pembuktian keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah, maupun nilai
kekuatan pembuktian keterangan saksi adalah sebagai berikut:46 a. Mempunyai kekuatan pembuktian bebas
Kalau begitu pada alat bukti kesaksian “tidak melekat sifat pembuktian
yang sempurna”(volledig bewijskracht) dan juga tidak melekat di dalamnya sifat kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan
(beslissende bewijskracht). Tegasnya alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas. Oleh karena
itu alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah, tidak mempunyai
kekuatan pembuktian yang menentukan. Atau dengan singkat dapat
dikatakan alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah adalah bersifat
bebas dan tidak sempurna dan tidak menentukan atau tidak mengikat
b. Nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian hakim
Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang bebas yang tidak
mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan tidak
menetukan, sama sekali tidak mengikat hakim. Hakim bebas untuk menilai
kesempurnaan dan kebenarannya. Tergantung pada penilaian hakim untuk
menganggap sempurna atau tidak. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk
menerima kebenaran setiap keterangan saksi. Hakim bebas menilai
kekuatan atau kebenaran yang melekat pada keterangan itu, dan dapat
menerima atau menyingkirkannya.
46
b. keterangan ahli
jika kita melihat pada perumusan pasal 186 KUHAP tidak memuat
pengertian sesungguhnya dari keterangan ahli. Yang dimaksud dengan keterangan
ahli dalam pasal ini adalah:
keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidangan pengadilan.
Dari pasal tersebut beserta penjelasannya sama sekali tidak memberikan
penjelasan apa yang disebut sebagai keterangan ahli didalam hukum acara kita.
Namun agar jelas maka kita harus mengkaitkan pengertian ahli dengan beberapa
pasal lain, yaitu pasal 1 butir 28, 120,133,179 dan pasal 180 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.47
Merujuk bunyi pasal 1 butir 28 KUHAP, diperoleh pengertian bahwa
keterangan ahli yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan.
Maksud dari keterangan khusus disini adalah agar perkara yagn sedang
berlangsung menjadi terang. Dari situ dapat dilihat bahwa pengertian keterangan
ahli sebagai alat bukti yang memiliki tujuan untuk membuktikan suatu tindak
pidana. Kemudian kita lihat pasal 120 KUHAP, keterangan ahli ialah orang yang
memiliki keahlian khusus. Keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki
keahlian khusus dibidangnya ialah berupa keterangan menurut pengetahuannya.
Jika dihubungkan dengan pasal 1 butir 28 KUHAP maka diperoleh pengertian
tentang apa yang dimaksud dengan keterangan ahli yang memiliki kekuatan
pembuktian, dengan demikian agar keterangan seorang ahli dapat dinilai sebagai
47Ibid.
alat bukti, disamping kualitas daripada orangnya, juga keterangan yang diberikan
juga berada didalam lingkup pengetahuannya.
Kemudian pasal 133 dan 179 KUHAP, masih tentang keterangan ahli
ditinjau dari segi pembukitan maka akan diperoleh gambaran lebih lanjut siapa
yang dikatakan sebagai seorang ahli sehingga yang diberikan memiliki kekuatan
didalam pembuktian. Ada dua kelompok ahli yang diterima di pengadilan, yaitu:48 1. Ahli secara umum seperti yang diatur pada pasal 1 angka 28 dan pasal
120, yakni orang-orang yang memiliki keahlian khusus dalam bidang
tertentu, seperti ahli jiwa, akuntan, ahli kimia, ahli mesin, ahli
pertambangan, dan sebagainya
2. Ahli kedokteran kehakiman seperti yang disebut dalam pasal 133, ahli
yang khusus dalam bidang kedokteran kehakiman yang berhubungan
dengan bedah mayat dan forensik.
Dari kedua kategori tersebut, semakin jelas apa yang dimaksud dnegan
keterangan ahli, dikaitkan dengan kualitas dari ahli dan pendapat atau
keterangannya memiliki kekuatan sebagai alat bukti yang diterima sebagai
undang-undang. Kemudian ada pendapat lebih lanjut tentang pengertian dari
seorang ahli yang tentu memiliki kaitan dengan kualitas seorang ahli, bahwa
seorang ahli adalah orang yang memiliki sertifikat yang dikeluarkan atau
diberikan oleh suatu instansi berwenang, dengan sertifikat tersebut barulah
keterangan yang diberikan oleh seorang ahli dikatakan valid atau mempunyai
kekuatan pembuktian.
48Ibid.,
Akan tetapi menurut ketentuan yang diatur oleh pasal- pasal tersebut
diatas, tidak disebutkan secara jelas syarat-syarat tentang seorang ahli, kecuali
untuk dokter ahli kehakiman atau dokter. Sehingga dibuka kemungkinan seorang
ahli dari kalangan tidak terdidik secara formal. Menurut A. Karim Nasution,
janganlah hendaknya kita berpendapat bahwa orang yang disebut ahli tersebut
haruslah seorang yang memperoleh pendidikan khusus atau orang yang telah
memiliki ijazah tertentu. Setiap orang menurut hukum acara pidana dapat
diangkat sebagai ahli, asal saja dianggap mempunyai pengetahuan dan
pengalaman yang khusus mengenai suatu hal, atau memiliki lebih banyak
pengetahuan dan pengalaman soal itu.49
Nederburgh mengemukakan, bukan berarti bahwa dalam memerlukan
bantuan ahli kita harus selalu minta bantuan sarjana-sarjana atau ahli-ahli ilmu
pengetahuan, tetapi juga pada orang-orang yang berpengalaman dan kurang
berpendidikan (formal) namun dalam bidangnya toh sangat cendikia
(scherpzinng). Umpamanya: tukang kayu, tukang sepatu, pembuat senjata,
pemburu dan sebagainya yang untuk soal-soal tertentu dapat memberikan
pertolongan yang sangat diperlukan.50
Dalam hal saksi ahli tidak mau hadir di persidangan, menjadi ahli pada
dasarnya sama dengan menjadi saksi adalah merupakan suatu kewajiban hukum.
Menolak kewajiban tersebut dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan
undang-undang (pasal 159 ayat 2 KUHAP) dengan ancaman menolak kewajiban
ahli terdapat dalam pasal 224 KUHP. Terhadap ahli yang tidak mau bersumpah
49
Hari Sasangka dan Lily Rosita, hukum pembuktian dalam perkara pidana: untuk mahasiswa dan praktisi, (Bandung: Mandar Maju, 2003) hal 55-56
50Ibid
atau berjanji tanpa alasan, pemeriksaan tetap dilakukan. Terhadap ahli tersebut
bisa dilakukan penyanderaan didalam rutan paling lama 14 (empat belas) hari
berdasarkan penetapan hakim ketua sidang. Apabila waktu 14(empat belas) hari
tersebut telah lampau, maka keterangan yang diberikan merupakan keterangan
saja, yang menguatkan keyakinan hakim (pasal 161 KUHAP dengan
penjelasannya).
Keterangan ahli adalah merupakan kesimpulan-kesimpulan dari suatu
keadaan yang diketahui sesuai dengan keahliannya. Atau dengan kata lain
merupakan penilaian atau penghargaan terhadap suatu keadaan. Hal ini berbeda
dengan keterangan seorang saksi, yang justru dilarang untuk memberikan
kesimpulan-kesimpulan. Keterangan saksi hanyalah merupakan pengungkapan
kembali fakta-fakta yang oleh saksi dilihat, didengar dan dialami sendiri.
Kekuatan alat bukti keterangan ahli bersifat bebas, karena tidak mengikat seorang
hakim untuk memakainya apabila bertentangan dengan keyakinannya. Guna
keterangan ahli di persidangan merupakan alat bantu bagi hakim untuk
menemukan kebenaran, dan hakim bebas mempergunakannya sebagai
pendapatnya sendiri atau tidak.
c. Alat Bukti Surat
Agar lebih meahami alat bukti surat, berikut akan di uraikan pengertian
surat menurut para ahli. Surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda
bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan
Mertokusumo)51 . Surat- surat adalah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran.
(Asser-Anema)52
Seperti alat bukti keterangan saksi dan keterangan ahli, alat bukti surat
hanya diatur didalam pasal 187 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Surat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang ialah:
Tujuan dari pembuktian dalam hukum acara pidana adalah mencari
kebenaran sejati. Seperti yang diuraikan diatas, pembuktian dalam hukum acara
pidana telah dimulai sejak diketahuinya suatu peristiwa pidana. Kehadiran surat
dalam hukum acara pidana adalah guna memberikan informasi yang didukung
guna mencari bukti-bukti yang akan menerangkan suatu tindak pidana. Peran
surat akan dapat menentukan salah atau tidaknya seseorang didalam pengadilan.
53
1. Surat yang dibuat atas sumpah jabatan;
2. Surat yang dikuatkan dengan sumpah.
Kemudian pasal itu sendiri telah merinci secara luas bentuk-bentuk surat
yang dapat dianggap mempunyai nilai sebagai alat bukti:54
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat
umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat
keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang
dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang
keterangannya itu;
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-udangan atau
surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata
laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi
pembuktian suatu hal atau sesuatu keadaan;
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta
secara resmi daripadanya;
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari
alat bukti yang lain.
Surat-surat yang dimaksud dalam pasal 187 huruf (a) dan (b) Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana ialah akta-akta resmi atau official akten
berupa akta-akta jabatan, misalnya akta notaris atau berita acara pemeriksaan
surat.55
55
Lamintang, KUHAP Dengan Pembahasan secara Yurisidis Menurut Yurisprudensi dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, (Bandung: Sinar Baru,1984), hal 434
Kemudian pasal 187 huruf (c), dimana dalam tersebut berisikan suatu
keterangan dari seorang ahli yang dituangkan dalam bentuk tertulis berdasarkan
keahlian mengenai suatu keadaan tertentu. Keterangan surat ini dikatakan sah atau
mempunyai nilai pembuktian, apabila pendapat atau keterangan yang diberikan
telah dimintakan seara resmi. Kemudian pasal 187 huruf (d), mengenai bentuk
surat lain yang memiliki keterhubungan dengan tindak pidana yang sedang
dibuktikan. Disini terbuka kesempatan untuk menghadirkan alat bukti surat dalam
bentuk tidak resmi sebagai bahan pembuktian. Mengenai alat pembuktian lain itu
sendiri telah menjadi masalah dalam di dalam doktrin, dapatkah surat lain yang
lain dapat saja berupa surat dibawah tangan. Kemudian hal senada juga
diungkapkan oleh VAN BEMMELEN menyatakan kemungkinan itu ada asalkan
surat-surat tersebut memiliki keterhubungan (timbal balik) memberikan jamin
tentang kebenaran dari penandatanganan dan penulisan tanggal, namun dalam hal
ini hakim harus mendapatkan penjelasan dari para saksi atau mungkin para ahli,
jika dikaitkan dengan perkembangan teknologi, suatu kesepakatan atau perjanjian
yang dituangkan dalam bentuk surat, para pihak yang bertransaksi tidak harus
bertemu langsung. Bukti terjadinya transaksi hanya ditanda-tangani secara
elektronik atau disandikan, sehingga otomatis bentuk surat mengalami perubahan,
tidak lagi tertuang diatas kertas tetapi secara online.
Nilai kekuatan pembuktian surat didalam hukum perdata, surat autentik
atau surat resmi seperti bentuk-bentuk surat resmi yang disebut dalam pasal 187
huruf (a) dan (b) KUHAP, dinilai sebagai alat bukti yang sempurna, dan
mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat bagi hakim sepanjang hal
itu tidak dilumpuhkan dengan bukti lawan. Oleh karena alat bukti surat resmi atau
autentik merupakan alat bukti yang sempurna dan mengikat (coledig en beslissende beriskracht), hakim tidak bebas lagi untuk menilainya dan terikat kepada pembuktian surat tersebut dalam mengambil putusan perkara perdata yang
bersangkutan. Dalam hal ini hukum acara pidana mengatur secara tidak khusus
mengenai niali kekuatan pembuktian surat ditinjau dari segi teori serta
menghubungkannya dengan beberapa prinsip pembuktian yang diatur dalam
KUHAP yaitu:56
56
1. Ditinjau dari segi formal
Ditinjau dair segi formal, alat bukti surat yang disebut pada pasal 187 huruf
(a), (b) dan (c) adalah alat bukti yang sempurna. Hal ini dikarenakan
surat-surat tersebut didalamnya dibuat secara resmi menurut formalitas yang
ditentukan peraturan perundang-undangan. Dengan dipenuhinya ketentuan
formal dalam pembuatannya serta dibuat dan berisi keterangan yang
terkandung dalam surat dibuat atas sumpah jabatan maka ditinjau segi
formal alat bukti seperti yang disebut pasal 187 huruf (a), (b) dan (c) adalah
alat bukti yang bernilai sempurna. Oleh karena itu alat bukti surat resmi
mempunyai nilai pembuktian formal yang sempurna dengan sendirinya
bentuk dan isi surat tersebut:
a.Sudah benar, kecuali dapat dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain;
b.Semua pihak tak dapat lagi menilai kesempurnaan bentuk dan
pembuatannya;
c.Juga tidak dapat lagi menilai kebenaran keterangan yang dituangkan
pejabat berwenang di dalamnya sepanjang isi keterangan tersebut tidak
dapat lagi dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain;
d.Dengan demikian ditinjau dari segi formal, isi keterangan yang tertuang
didalamnya, hanya dapat dilumpuhkan dengan alat bukti lain, baik
berupa alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli, atau keterangan
terdakwa.
Peninjauan dari segi formal ini dititikberatkan dari sudut teoritis. Peninjauan
kenyataannya apa yang dibenarkan dari sudut tertentu dikesampingkan oleh
beberapa asas dan ketentuan yang terdapat dalam KUHAP.
2. Ditinjau dari segi materil
Nilai pembuktian surat ini sama saja dengan alat bukti lainnya, yaitu bersifat
bebas. Hakim dapat menilai kebenaran suatu alat bukti surat yang
dihadirkan dengan berlandaskan pada beberapa asas antara lain:
a. Asas proses pemeriksaan
Dimana dalam hal ini yang lebih diutamakan adalah kebenaran sejati
dan bukan kesempurnaan formil. Hakim dapat mengesampingkan
kebenaran formil, jika memiliki keyakinan atau pendapat yang
menurutnya mendekati kebenaran materil.
b. Asas keyakinan hakim
Dimana dalam hal ini hakim dalam menjatuhkan hukuman kepada
terdakwa, tentunya harus kembali kepada keyakinan sendiri. Keyakinan
yang dimaksud dapat diperoleh dengan kembali merajuk kepada sistem
atau teori pembuktian yang kita anut, yaitu sistem pembuktian secara
negative, yang tertuang dalam pasal 183 KUHAP
c. Asas batas minimum pembukitan
Ditinjau dari segi formal alat bukti surat resmi berbentuk surat yang
dikeluarkan berdasarkan pada kententuan undang-undang adalah alat
bukti yang sah dan bernilai sempurna, namun nilai kesempurnaan yang
melekat pada alat bukti surat yang bersangkutan tidak mendukungnya
dimana sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti yang sah. Bertitik
tolak pada hal tersebut maka kesempurnaan suatu alat bukti surat tidak
dapat berdiri sendiri.
d. Petunjuk
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan karena persesuaiannya
baik antara yang satu dengan yang lain mapun dengan tindak pidana itu sendiri,
menandakan bahwa telah terjadi tindak pidana dan siapa pelakunya (pasal 188
ayat 1 KUHAP). Rumusan pasal tersebut agak sulit ditangkap dengan mantap,
barangkali rumusan tersebut dapat dituangkan dengan cara menambah beberapa
kata didalamnya. Dengan penambahan kata-kata itu dapat disusun dalam kalimat
berikut: petunjuk ialah suatu isyarat yang dapat ditarik dari suatu perbuatan,
kejadian atau keadaan dimana isyarat itu mempunyai persesuaian antara yang satu
dengan yang lain maupun isyarat itu mempunyai persesuaian dengan tindak
pidana itu sendiri, dan dari isyarat yang bersesuaian tersebut melahirkan atau
mewujudkan suatu petunjuk yang membentuk kenyataan terjadinya suatu tindak
pidana dan terdakwalah pelakunya.57
Dari rumusan yang tertuang di dalam pasal tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa petunjuk merupakan alat bukti tidak langsung, karena hakim
dalam mengambil kesimpulan terhadap suatu kasus harus mempertimbangkan
atau menghubungkan suatu alat bukti dengan alat bukti lainnya. Syarat dimana
petunjuk dapat dijadikan sebagai alat bukti:
58
1) Mempunyai persesuaian satu sama lain atas perbuatan yang terjadi
57Ibid
, hal 313
58
Djoko Prakoso, Alat Bukti dan Kekuatan Pembukitan Di Dalam Proses Pidana,
2) Keadaan-keadaan perbuatan itu berhubungan satu sama lain dengan
kejahatan yang lain
3) Berdasarkan pengamatan para hakim baik dari keterangan terdakwa
maupun saksi di persidangan
Namun dalam prakteknya hal ini sangan sulit unutk diterapkan.
Kemungkinan dominasi penilaian hakim dalam mempergunakan petunjuk
dilapangan sangat tinggi, jika pasal tersebut berdiri sendiri. Apabila pasal 188 ayat
(3) KUHAP tidak dapat benar-benar dipertimbangkan sebagai dasar hakim untuk
mempergunakan alat bukti petunjuk, hakim akan sangat besar melakukan itervensi
subjektifitasnya di dalam memutuskan suatu perkara.
Pembuktian dengan petunjuk tidak dapat dikesampingkan begitu saja,
karena kemungkinan di dalam prakteknya alat bukti yang sah menurut
undang-undang tidak ada atau hanya satu alat bukti saja, sedangankan dampak kejahatan
tersebut sangat mengkhawatirkan keadaan masyarakat. Kekuatan pembuktian bisa
kuat bisa lemah, tergantung keterkaitan antara perbuatan yang dianggap sebagai
suatu petunjuk dengan perbuatan yang dituduhkan.
Alat bukti petunjuk ini akan sangat berperan untuk memberikan gambaran
pada hakim untuk memutuskan suatu perkara, disaat alat bukti yang ada tidak
mampu membuat suatu perbuatan menjadi terang. Cara memperoleh petunjuk
dalam pasal 188 ayat (2) KUHAP hanya dibatasi pada 3 hal, yaitu:
1. Keterangan saksi;
2. Surat
Alat bukti petunjuk tidak memiliki bentuk wadah sendiri. Bentuknya
sebagai alat bukti adalah assessor (tergantung) pada alat bukti keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa sebagai sumber yang dapat melahirkannya. Kalau
alat bukti yang menjadi sumbernya tidak ada diperiksa dlaam persidangan
pengadilan, dengan sendirinya tidak akan pernah ada alat bukti petunjuk.
Sebaliknya alat bukti yang lain bisa saja ada tanpa kehadiran alat bukti petunjuk
di sidang pengadilan.
Kekuatan pembuktian pada alat bukti petunjuk sama dengan kekuatan alat
bukti lainnya, dimana mempunyai sifat pembuktian yang bebas, bahwa hakim
tidak harus terikat atas kebenaran persesuaian yang ditimbulkan dari petunjuk.
Hakim bebas untuk menilai dan mempergunakan sebagai upaya pembuktian.
Petunjuk sebagai alat bukti tidak dapat berdiri sendiri (bersifat pelengkap) dalam
membuktikan kesalahan terdakwa. Tetap terikat pada prinsip minimum
pembuktian.
Secara singkat perolehan petunjuk dari hakim, meskipun dalam ketentuan
undang-undang (pasal 188 ayat (1) KUHAP) tidak menyebutkan secara eksplisit
adanya usaha lain guna mencari petunjuk yang menerangkan suatu tindak pidana.
Sudah menjadi kewajiban seorang hakim untuk melakukan pencarian hukum
(rechtvinding) jika suatu perbuatan atau tindakan tidak terdapat dasar hukumnya. Sehingga kembali kepada asas legalitas bukanlah suatu pembatasan bagi hakim
dalam menjatuhkan pidana yang tentunya dilakukan dengan penuh tanggung
jawab dan pertimbangan hakim yang logis dan keadaan di dalam masyarakat.
Alat bukti keterangan terdakwa merupakan urutan terakhir dalam pasal
184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Penempatannya pada
urutan terakhir inilah sebagai salah satu alasan yang dipergunakan untuk
menetapkan proses pemeriksaan keterangan terdakwa dilakukan belakangan
sesudah pemeriksaan keterangan saksi.
Ditinjau dari segi yuridis istilah keterangan terdakwa lebih bersifat
manusiawi, dan bertendensi memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada
terdakwa mengutarakan segala sesuatu tentang apa saja yang dilakukan atau
diketahui maupun yang dialami dalam peristiwa pidana yang sedang diperiksa.
Hal ini sesuai dengan sistem peradilan pidana yang dianut di Indonesia yaitu due process model. Metode pemeriksaan terdakwa yang dianut secara akkusatur
sejalan dengan pengakuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana terhadap
hak asasi terdakwa sebagai seorang yang harus diperlakukan sebagai manusia.
Dengan demikian, cara pendekatan pemeriksaan terhadap terdakwa pada setiap
tingkat, harus bersikap dan menempatkan terdakwa dalam kedudukan praduga tak
bersalah. Merujuk kepada pasal 189 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
maka keterangan terdakwa sebagai alat bukti yakni:
1. Apa yang terdakwa nyatakan atau jelaskan di pengadilan;
2. Apa yang dinyatakan atau dijelaskan itu ialah tentang perbuatan yang
terdakwa lakukan atau mengenai yang ia ketahui atau yang berhubungan
dengna apa yang terdakwa alami sendiri dalam peristiwa pidana yang
Dalam hal ini tidak semua keterangan yang dikeluarkan oleh terdakwa
dinilai sebagai alat bukti yang sah, dan harus memenuhi beberapa asas yaitu:59 1. Agar keterangan terdakwa dinilai sebagai alat bukti yang sah, maka
keterangan yang diberikan oleh terdakwa harus dinyatakan di sidang
pengadilan. Dimana dalam hal ini pernyataan yang dikemukakan
terdakwa dapat berupa penjelasan yang diutarakan sendiri maupun
pernyataan yang berupa penjelasan atau jawaban terdakwa atas
pernyataan yang diajukan kepadanya oleh ketua sidang, hakim
anggota, penuntut umum, ataupun penasihat hukum. Dan dalam hal ini
hakim dalam menjatuhkan putusan harus menilai tidak hanya
keterangan yang berisi pengakuan belaka, tetapi juga termasuk hal-hal
yang merupakan pengingkarannya.
2. Terdapat batasan yang telah ditentukan undang-undang antara yang
diketahui terdakwa dengan peristiwa pidana dengan pengetahuan yang
bersifat pendapat sendiri
3. Pernyataan terdakwa tentang apa yang dialami baru dianggap
mempunyai nilai sebagai alat bukti jika pengalaman tersebut hanya
pengalamannya sendiri dan hal yang secara langsung berhubungan
dengan peristiwa pidana yang bersangkutan.
4. Dalma hal ini keterangan terdakwa di dalam persidangan, hanya dapat
digunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri.
59
Pasal 189 ayat (4) KUHAP mengatur perihal bahwa keterangan terdakwa
saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahannya, hal ini secara tidak langsung
merupakan penegasan kembali mengenai batas minimum pembuktian yang diatur
pasal 183 KUHAP. Secara tidak langsung ketentuan ini menyatakan bahwa
pengakuan terdakwa memiliki sifat mengikat dan menentukan. Hal ini untuk
menghindari penyelundupan orang yang benar-benar bersalah, dimana hal ini
ditakutkan apabila keterangan terdakwa bersifat mengikat dan menentukan akan
banyak terjadi penyelewengan hukum dalam bentuk menjatuhkan pidana kepada
orang yang bukan pelaku tindak pidana.
Dalam hal terdakwa memberikan keterangan diluar persidangan maka
harus merujuk pada pasal 189 ayat (2) KUHAP yang diuraikan sebagai berikut:
1. Keterangan terdakwa yang diberikan diluar sidang dapat dipergunakan
untuk membantu menemukan bukti di sidang pengadilan;
2. Namun terdapat syarat bahwa keterangan di ruang sidang tersebut
wajib:
a. Didukung oleh suatu alat bukti yang sah
b. Dan keterangan yang dinyatakan di luar sidang sepanjang
mengenai hal yang didakwa kepadanya.
Sehingga jelas pengaturan yang ada di hukum acara pidana di Indonesia
bahwa keterangan terdakwa yang diutarakan di luar sidang bukan merupakan alat
bukti yang sah di persidangan, tetapi dapat dipergunakan membentu menemukan
bukti di sidang pengadialn dan harus didukung oleh suatu alat bukti yang ada
dapat dikualifikasikan sebagai keterangan terdakwa yang diberikan diluar sidang
adalah merupakan keterangan yang diberikan didalam pemeriksaan penyidikan
yang dicatat didalam berita acara penyidikan dan ditandatangani oleh pejabat
penyidi dan terdakwa.
Didalam prakteknya banyak sekali keterangan terdakwa dicabut kembali,
mengenai hal itu ditinjau secara yuridis terdakwa berhak dan dibenarkan
mencabut kembali keterangan yang demikian, asalkan pencabutan itu mempunyai
landasan alasan yang berdasarkan logis sehingga diharapkan mampu mendukung
tindakan pencabutan. Apabila pencabutan tersebut mempunyai alasan yang dapat
diterima oleh hakim, maka:
1. Keterangan yang terdapat di dalam berita acara penyidikan dianggap
tidak benar;
2. Keterangan terdakwa yang telah di cabut tidak dapat dipergunakan
sebagai landasan untuk membantu menemukan bukti di pengadilan.
Mengenai sejauh mana kekuatan pembuktian keterangan terdakwa, kiranya
pasal 189 ayat (3) dan (4) KUHAP dapatlah dijadikan dasar. Dimana menurut
pengaturan ayat (3) tersebut keterangan terdakwa tidak dapat dipergunakan untuk
membuktikan kesalahan orang lain, kecuali disertai alat-alat bukti lain. Hal ini
mengingat terdakwa dalam memberikan keterangan tidak atau tanpa
mengucapkan sumpah atau janji, mengingat ayat (4), disamping keterangan
terdakwa itu bukan sebagai pengakuan terdakwa serta berdasar pasal 183 KUHAP
maka keterangan terdakwa tidak dapat untuk membuktikan terdakwa bersalah,
2. Barang Bukti
Peran barang bukti di dalam pengadilan akan sangat membantu hakim
dalam memutuskan perkara, terutama untuk menambah keyakinan hakim dalam
menentukan kesalahan terdakwa. Seperti yang telah diuraikan diatas bahwa
pembuktian merupakan suatu aspek yang sangat penting didalam sebuah kasus.
Suatu perkara pidana yang ada barang buktinya, biasanya akan dapat
mempercepat proses penyelesaian perkaranya daripada perkara lain yang tidak
mempunyai barang buktinya. Demi kepentingan pembuktian tersebut maka
kehadiran benda- benda yang tersangkut dalam suatu tindak pidana, sangat
diperlukan.
Barang bukti adalah hasil serangkaian tindakan penyidik dalam penyitaan,
dan atau penggeledahan dan atau pemeriksaan surat untuk mengambil alih dan
atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak berwujud
untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.60 Pengertian lain dari barang bukti atau corpus delicti adalah barang mengenai hal delik dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan yaitu alat
yang dipakai untuk melakukan delik, termasuk juga barang bukti adalah hasil dari
suatu delik, barang yang memiliki hubungan langsung dengan tindak pidana.61
60
Hari Sasangka dan Lily Rosita, op.cit , hal 99
61
Andi Hamzah, kamus hukum, (Jakarta:Gahlian,1986) hal 100
Dalam ha ini barang bukti dan alat bukti mempunyai hubungan erat dan
merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat di pisahkan. Dalam persidangan
barang bukti. Selain itu juga akan sangat berperan dalam memberikan keyakinan
pada hakim dalam memutus suatu perkara.
Barang bukti dalam proses pembuktian dapat diperoleh ditentukan dengan
cara-cara yang ditentukan dalam KUHAP yaitu:62
a. Penggeledahan (diatur dalam pasal 32 sampai 37 KUHAP dan pasal
125 sampai pasal 127 KUHAP)
b. Penyitaan (diatur dalam pasal 38 samapi 46 KUHAP dan pasal 128
sampai pasal 130 KUHAP)
c. Pemeriksaan surat (diatur dalam pasal 47-49 KUHAP dan pasal 131
KUHAP)
1. Termasuk pengertian penggeledahan adalah penggeledahan rumah,
badan dan penggeledahan pakaian (pasal 32)
2. Penggeledahan badan di dalamnya termasuk pula pemeriksaan
rongga badan (penjelasan pasal 37)
3. Termasuk pengertian pemeriksaan surat adalah penyitaan surat,
pemeriksaan buku atau kitab, daftar dan sebagainya (pasal 131)
Kalau dilihat dari ketentuan yang diatur dalam pasal 181 KUHAP tentang
pemeriksaan barang bukti, seakan-akan hanya bersifat formil saja. Padahal secara
material barang bukti seringkali sangat berguna bagi hakim untuk menyandarkan
keyakinannya. Meskipun telah ada alat-alat bukti yang ditentukan oleh
undang-undang serta telah melibihi batas minimum pembuktian, tetapi hakim tidak harus
yakin bahwa terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana yang telah
62
didakwakan. Singkatanya hakim tidak bisa dipaksa yakin berdasarkan alat bukti
yang ada, meskipun alat bukti yang ada sudah memenuhi syarat pembuktian.
B.Perluasan Pembuktian Pada Tindak Pidana Khusus
Berdasarkan KUHAP, maka yang dinilai sebagai alat bukti dan yang
dibenarkan mempunyai kekuatan pembuktian hanya terbatas kepada alat bukti
sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHAP. Dengan kata
lain, sifat dari alat bukti menurut KUHAP adalah “limitative” atau terbatas pada yang ditentukan saja. Di luar alat bukti yang telah ditentukan tersebut, tidak
dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Akan tetapi,
KUHAP bukanlah satu-satunya peraturan perundang-undangan pidana formil
yang mengatur mengenai pembuktian. Hukum pembuktian yang bersifat khusus ,
dasarnya bukan semata-mata kepada ketentuan hukum acara pidana sebagaimana
pasal 183 KUHAP. Tegasnya, ketentuan hukum pembuktian yang bersifat khusus
terdapat dalam UU tindak pidana khusus diluar tindak pidana umum sebagaimana
diatur dalam pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP)63. Didalam UU tindak pidana khusus tersebut diatur mengenai ketentuan hukum pidana
formal dan hukum pidana materil secara sekaligus.64
63
Ketentuan pasal 103 KUHP berbunyi, “ketentuan-ketentuan yang tersebut di dalam delapan bab pertama dari buku ini, juga berlaku terhadap perbuatan-perbuatan yang menurut lain-lain peraturan perundang-undangan diancam dengan hukuman, kecuali jika ditentukan lain oleh undang-undang, oleh peraturan umum dari pemerintah atau oleh suatu ordonansi.”
64
Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung : Alumni, 2007) hal: 91
Beberapa undang-undang
pidana yang mempunyai aspek formil juga mengatur mengenai alat bukti
Berikut ini, beberapa contoh undang-undang pidana formil di luar KUHAP
yang mengatur mengenai alat bukti antara lain:
1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Dalam ketentuan pasal 26A undang-undang ini, alat bukti petunjuk
diperluas, jangkauan pembuktian tidak hanya digali dari keterangan saksi,
surat dan keterangan terdakwa sebagaimana ketentuan pasal 188 ayat (2)
KUHAP melainkan dapat digali dari alat bukti lain yang berupa:
a. Informasi yang diucapkan, diterima, dikirim atau disimpan secara
elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu; dan
b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat
dilihat,dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau
tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik
apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang
berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda,
angka, atau perforasi yang memiliki makna.
2) Undang-Undang nomor 11 Tahun 2011 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik
Dalam ketentuan pasal 76 dan pasal 77 undang-undang tersebut yang
berbunyi:
Pasal 76:
(1) Infromasi elektronik, dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya dalam
(2) Informasi elektronik, dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat
bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku.
Pasal 77:
Tanda tangan elektronik dalam kegiatan transfer dana memiliki kekuatan
hukum yang sah
3) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
perihal pembuktian diatur secara khusus. Kekhususan perihal pembuktian
sebagaimana disebutkan dalam bagian kedua tentang pembuktian pasal 96
menyebutkan “alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak pidana lingkungan
hidup terdiri atas:
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa; dan/atau
f.Alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Pada penjelasan Pasal 96 huruf f (merupakan penjelasan otentik
Undang-undang), disebutkan bahwa yang dimaksud dengan alat bukti lain, meliputi,
elektronik, magnetik, optik, dan/atau yang serupa dengan itu; dan/atau alat
bukti data, rekaman, atau informasi yang dapat dibaca, dilihat, dan didengar
yang dapat dikeluarkan dengan dan/atau tanpa bantuan suatu sarana, baik
yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang
terekam secara elektronik, tidak terbatas pada tulisan, suara atau gambar,
peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, simbol, atau
perporasi yang memiliki makna atau yang dapat dipahami atau dibaca.
Pada ketiga contoh undang-undang diatas yang mengatur adanya perluasan
sistem pembuktian mengatur tentang bukti elektronik. Dalam praktek penerapan
bukti elektronik, hasil cetak dari dokumen atau informasi tidak langsung dapat
diterima sebagai alat bukti yang beridiri sendiri. Menurut Ridwan, suatu bukti
elektronik dapat memiliki kekuatan hukum apabila informasinya dapat dijamin
keutuhannya, dapat dipertanggungjawabkan, dapat diakses dan dapat ditampilkan
sehingga menerangkan suatu keadaan. Orang atau pihak-pihak yang mengajukan
bukti elektronik di persidangan harus dapat menunjukan bahwa informasi yang
dimilikinya berasal dari sistem elektronik yang dapat dipercaya yang
pembuatannya dilakukan oleh penyelenggara sertifikat elektronik dan sistem
elektronik.65
Bukti elektronik baru dapat dinyatakan sah apabila menggunakan sistem
elektronik yang sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia. Suatu bukti
elektronik dapat memiliki kekuatan hukum apabila informasinya dapat dijamin
65
keutuhannya, dapat dipertanggungjawabkan, dapat di akses, dan dapat
ditampilkan, sehingga menerangkan suatu keadaan.
Berkaitan dengan hal tersebut, ahvi syahrin menyatakan suatu alat bukti
yang dipergunakan di pengadilan perlu memenuhi beberapa syarat, diantaranya:66 a. Diperkenankan oleh undang-undang untuk dipakai sebagai alat bukti.
b. Reability, yaitu alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya. c. Necessity, yaitu alat bukti yang diajukan memang diperlukan untuk
membuktikan suatu fakta
d. Relevance, yaitu alat bukti yang diajukan mempunyai relevansi dengan fakta yang akan dibuktikan.
C. Pengaturan Beban Pembuktian di Indonesia
Dikaji dari perspektif ilmu pengetahuan hukum pidana dikenal ada 3 (tiga)
teori tentang beban pembuktian. Secara universal ketiga teori tentang beban
pembuktian tersebut hakikatnya terdapat di Negara Indonesia, yaitu:
a. Beban Pembuktian Pada Penuntut Umum
Didalam hukum acara pidana, tersangka atau terdakwa tidak dibebani
kewajiban pembuktian (pasal 66 KUHAP). Namun kewajiban pembuktian
66
tersebut dibebankan kepada penuntut umum karena sistem hukum Indonesia
menganut asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) dan asa tidak mempersalahkan diri sendiri (non self incrimination). Konsekuensi logis teori beban pembuktian ini, bahwa penuntut umum harus mempersiapkan alat-alat
bukti dan barang bukti secara akurat, sebab jika tidak demikian akan susah
meyakinkan hakim tentang kesalah terdakwa.67
b. Beban Pembuktian Pada Terdakwa
Beban pembuktian seperti ini dapat dikategorikan beban pembuktian
“biasa” atau “konvensional”. Pada sistem beban pembuktian biasa berlaku cara
menggunakan alat-alat bukti yang mengacu pada syarat minimal pembuktian pada
pasal 183 KUHAP. Pada dasarnya alat bukti yang boleh dipergunakan dalam
sistem pembebanan pembuktian biasa adalah sebagaimana tercantum dalam pasal
184 KUHAP.
Dalam konteks ini, terdakwa berperan aktif menyatakan bahwa dirinya
bukan sebagai pelaku tindak pidana. Oleh karena itu, terdakwalah di depan sidang
pengadilan akan menyiapkan segala beban pembuktian dan bila sudah tidak dapat
membuktikan, terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana. Pada
asasnya teori beban pembuktian jenis ini dinamakan “pembalikan beban pembuktian” (“omkering van het bewijslast atau shifting of burden of proof/onus of proof).dikaji dari perspektif teoritis dan praktik teori beban pembuktian ini dapat di klasifikasikan lagi menjadi pembalikan beban pembuktian yang bersifat
murni maupun bersifat terbatas (limited burden of proof). Pada hakikatnya
67
pembaikan beban pembuktian tersebut merupakan suatu penyimpangan hukum
pembuktian dan juga merupakan suatu tindakan luar biasa terhadap tindak pidana
korupsi.68
Secara kronologis, asas pembalikan beban pembuktian bermula dari sistem
pembuktian yang dikenal pada Negara-negara yang menganut rumpun
Anglo-saxon atau Negara-negara penganut “case law” terbatas pada “certain cases” atau
kasus-kasus tertentu khususnya terhadap tindak pidana gratifikasi atau pemberian
yang berkorelasi dengan suap.
Pada hakikatnya, asas pembalikan beban pembuktian dalam sistem hukum
pidana Indonesia dikenal dalam Tindak Pidana korupsi (UU Nomor 31 Tahun
1999 jo UU No. 20 Tahun 2001), Tindak Pidana Pencucian Uang (UU No 15
Tahun 2002 jo UU No. 25 Tahun 2003), perlindungan konsumen (UU No. 8
Tahun 1999) dan kegiatan transfer dana (UU No. 3 Tahun 2011).
69
“Asas pembalikan beban pembuktian merupakan suatu sistem pembuktian yang berada diluar kelaziman teoritis pembuktian dalam hukum acara pidana universal. Dalam hukum pidana formal, baik sistem Kontinental maupun Anglo-Saxon, mengenal pembuktian dengan tetap membebankan kewajibannya pada jaksa penuntut umum. Hanya saja, dalam “certain cases” diperkenankan penerapan dengan mekanisme yang diferensial, yaitu sistem pembalikan beban pembuktian atau dikenal sebagai “reversal of burden proof” (omkering van bewjislast). Itupun tidak dilakukan secara
overall , tetapi memiliki batas-batas yang seminimal mungkin tidak melakukan suatu destruksi terhadap perlindungan dan penghargaan hak asasi manusia, khususnya hak tersangka/terdakwa.”
Indriyanto seno adji terhadap dimensi ini lebih detail menyatakan
pendapatnya, bahwa:
Dengan dianutnya pembalikan beban pembuktian secara murni
menyebabkan beralihnya asas praduga tak bersalah menjadi asas praduga
bersalah. Konsekuensi logis dimensi demikian, praduga bersala realitif cendrung
dianggap sebagai pengingkaran asas yang bersifat universal khususnya terhadap
asas praduga tidak bersalah. Pada asasnya, praduga tak bersalah merupakan asas
fundamental dalam Negara hukum. Konsekuensinya, setiap orang yang
didakwakan melakukan tindak pidana mendapatkan hak untuk tidak dianggap
bersalah hingga terbukti kesalahannya dengan tetap berlandaskan kepada beban
pembuktian pada penuntut umum, norma pembuktian yang cukup dan metode
pembuktian yang cukup dan metode pembuktian harus mengikuti cara-cara yang
adil.
Selain itu apabila dikaji lebih detail, teori pembalikan beban pembuktian
akan bersinggungan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) khususnya implementasi
terhadap ketentuan hukum acara pidana. Pada ketentuan hukum acara pidana
sebagaimana ketentuan pasal 66 KUHAP, pasal-pasal 66 ayat 1,2 dan pasal 67
ayat 1 huruf I statuta Roma Mhakamah Pidana Internasional, pasal 11 ayat 1
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia(HAM), pasal 40 ayat 2b butir I Konvensi
tentang hak-hak anak, prinsip 36 ayat 1 kumpulan prinsip-prinsip untuk
perlindungan semua orang dalam bentuk penahanan apapun atau pemenjaraan,
resolusi majelis umum PBB 43/1739 Desember 1988, terdakwa tidak dibebani
kewajiban pembukitan.71
71
Maka dalam melakukan penindakan terhadap pelaku tindak pidana korupsi
haruslah dicarikan justifikasi yuridis terhadap teori yang dapat mempermudah
pembuktian dengan tetap berpegang teguh kepada asas-asas universal baik dalam
ketentuan hukum acara pidana maupun hukum pidana materiil serta instrument
internasional. Tegasnya, disatu sisi untuk membuktikan kesalahan pelaku tindak
pidana korupsi tetap berpegang pada ketentuan teori hukum pembuktian yang
mengedepankan asas pembuktian negative sedangkan disisi lainnya untuk
mengembalikan asset (asset recovery) hasil dari tindak pidana korupsi serta membuktikan terhadap harta kepemilikan kekayaan pelaku, tetap dipergunakan
teori pembalikan beban pembuktian karena teori pembuktian yang demikian
relative tetap menjunjung tinggi ketentuan hukum acara pidana, hukum pidana
materil dan instrumen internasional72
Atas dasar parameter sebagaimana disebut diatas guna mengantisipasi
akses negative teori pembalikan beban pembuktian, pembuktian terhadap pelaku
tindak pidana korupsi dipergunakan teori pembalikan beban pembuktian
keseimbangan kemungkinan yang mengedepankan keseimbangan secara
proposional antara perlindungan kemerdekaan individu disatu sisi, dan
perampasan hak individu yang bersangkutan atas harta kekayaan milik pelaku
yang diduga kuat berasal dari korupsi disisi lainnya. Konklusinya, teori
pembalikan beban pembuktian keseimbangan kemungkinan menempatkan pelaku
tindak pidana korupsi terhadap perbuatan atau kesalahan orang yang diduga
melakukan tindak pidana korupsi tidak boleh dipergunakan asas pembalikan
72Ibid,
beban pembuktian melainkan tetap berdasarkan asas negative karena perlindungan
terhadap hak individu ditempatkan paling tinggi terhadap perampasan
kemerdekaan seseorang.73
c. Beban Pembuktian Berimbang
Konkretisasi asas ini baik penuntut umum maupun terdakwa dan/atau
penasihat hukumnya saling membuktikan di depan persidangan. Lazimnya
penuntut umum akan membuktikan kesalahan terdakwa sedangkan sebaliknya
terdakwa beserta penasihat hukum akan membuktikan sebaliknya bahwa terdakwa
tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang
didakwakan. Dalam kepustakaan ilmu hukum asas beban pembuktian ini
dinamakan juga asas pembalikan beban pembuktian “berimbang”.
Apabila ketiga polarisasi teori beban pembuktian tersebut dikaji dari tolak
ukur penuntut umum dan terdakwa, sebenarnya teori beban pembuktian dapat
dibagi menjadi 2 (dua) kategori, yaitu :
Pertama, sistem beban pembuktian biasa atau konvensional, penuntut
umum membuktikan kesalahan terdakwa dengan mempersiapkan alat-alat bukti
sebagaimana ditentukan undang-undang. Kemudian terdakwa dapat menyangkal
alat-alat bukti dan beban pembuktian dari penuntut umum sesuai dengan pasal 66
KUHAP.
Kedua, teori pembalikan beban pembuktian yang dalam aspek ini dapat
dibagi menjadi teori pembalikan beban pembuktian yang bersifat “absolut” atau
“murni” bahwa terdakwa dan/atau penasihat hukumnya membuktikan
73Ibid
ketidakbersalahan terdakwa. Kemudian teori pembalikan beban pembuktian yang
bersifat “terbatas dan berimbang” dalam artian terdakwa dan penutut umum saling
membuktikan kesalahan atau ketidakbersalahan dari terdakwa. 74
74Ibid,