• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN HUKUM PEMBUKTIAN DI INDONESIA A. Penerapan Alat Bukti, Barang Bukti dan Kekuatan Pembutian pada KUHAP - Kajian Perbandingan Hukum Atas Pembuktian Menurut Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia Dengan Sistem Peradilan Pidana Di Amerika Seri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II PENGATURAN HUKUM PEMBUKTIAN DI INDONESIA A. Penerapan Alat Bukti, Barang Bukti dan Kekuatan Pembutian pada KUHAP - Kajian Perbandingan Hukum Atas Pembuktian Menurut Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia Dengan Sistem Peradilan Pidana Di Amerika Seri"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGATURAN HUKUM PEMBUKTIAN DI INDONESIA

A. Penerapan Alat Bukti, Barang Bukti dan Kekuatan Pembutian pada

KUHAP

Pengungkapan suatu perkara pidana, terdapat 3 hal yang tidak dapat

dipisahkan karena menyangkut keabsahan atau kevalidan suatu putusan

pengadilan, antara lain sistem pembuktian yang dianut oleh acara, alat bukti dan

kekuatan pembuktian, serta barang bukti yang akan memperkuat alat bukti yang

dihadirkan dalam persidangan.

1. Alat bukti dan kekuatan pembuktian

Dalam hal ini kita akan melihat perihal keterkaitan alat bukti sebagai dasar

bagi hakim untuk memutuskan suatu perkara dengan barang bukti yang ditemukan

dalam suatu kasus pidana, sehingga hakim akan mampu mengungkap suatu

kebenaran materil, sesuai dengan salah satu asas dalam hukum acara pidana yaitu

asas kebenaran materil, dimana bahwa dalam pemeriksaan pidana lebih

mementingkan pada penemuan kebenaran materil (material warhead), aspek materil yakni suatu kebenaran yang sungguh-sungguh sesuai dengan

kenyataannya. Berbeda dengan pemeriksaan perkara perdata yang menekankan

pada penemuan kebenaran formil (formale warheid) atau pada aspek formal.40 Menurut Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana alat bukti

antar lain:

40

(2)

1. Keterangan Saksi;

2. Keterangan Ahli;

3. Surat

4. Petunjuk

5. Keterangan Terdakwa

Pasal 184 juga mengatur tentang hal-hal yang secara umum sudah

diketahui tidak perlu dibuktikan (ayat 2). Hal-hal yang secara umum sudah

diketahui biasanya disebut notoire feiten. Secara garis besar fakta notoir dibagai menjadi dua golongan :41

a. Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum bahwa suatu atau peristiwa

tersebtu memang sudah demikian halnya yang benarnya atau semestinya

demikian.

Yang dimaksud dengan sesuatu, misalnya Harga emas lebih mahal dari harga

perak, Tanah di kota lebih mahal harganya daripada tanah di desa.

Yang dimaksud dengan peristiwa, misalnya Pada tanggal 17 Agustus diadakan

peringatan hari kemerdekaan Indonesia

b. Sesuatu kenyataan atau pengalaman yang selamanya dan selalu mengakibatkan

demikian atau selalu merupakan kesimpulan demikan.

Misalnya: Kendaraan yang larinya 100km/jam, maka kendaraan tersebut akan

tidak stabil dan sulit dihentikan seketika, Arak adalah termasuk minuman keras

yang dalam takaran teretentu bisa menyebabkan seseorang mabuk.

41

(3)

Dibawah ini akan dijelaskan satu persatu, terutama mengenai pengertian,

syarat-syarat, dan hal lainnya yang berhubungan dengan keabsahan alat bukti

tersebut.

a. Keterangan saksi

Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling berperan

dalam pemeriksaan perkara pidana. Hampir semua pembuktian perkara pidana

selalu berdasarkan pemeriksaan saksi. Menurut pasal 1 butir 27 KUHAP yang

dimaksud keterangan saksi adalah salah satu bukti dalam perkara pidana yang

berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar,

lihat dan alami sendiri dengan menyebut alasa dari pengetahuannya tersebut.

mengenai siapa yang disebut sebagai saksi, dalam pasal 1 butir 26 KUHAP

disebutkan, yaitu orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan

penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia

dengar, lihat dan alami sendiri.42

1) Formil

Ditinjau dari nilai dan kekuatan pembuktian alat bukti keterangan saksi,

sehingga dapat diterima didepan sidang pengadilan maka harus dipenuhi syarat :

Keterangan saksi hanya akan dianggap sah apabila diberikan di bahwa

sumpah. Menurut pasal 16 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

sebelum saksi memberikan kesaksianya wajib mengucapkan sumpah atau janji,

adapun sumpah atau janji:

a. Dilakukan menurut cara agamanya masing-masing;

42Ibid.

(4)

b. Lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan memberikan keterangan

yang sebenar-benarnya dan tiada lain daripada yang sebenar-benarnya.

Dalam pengucapan sumpah atau janji pada prinsipnya wajib diucapkan

sebelum saksi memberikan keterangan, namun dalam hal yang dianggap perlu

oleh pengadilan, sumpah atau janji tersebut dapat diucapkan sesudah saksi

memberikan keterangan. Mengenai saksi yang tidak atau menolak mengucapkan

sumpah atau janji tanpa alasan yang sah maka kepadanya dapat dikenakan

sandera, penyanderaan dilakukan berdasarkan pada “penetapan” hakim ketua

sidang.43

2. Materil

Mengenai sumpah atau janji, di dalam hukum acara pidana dikenal

dengan sumpah promisoris, yaitu sumpah yang dilakukan sejak dulu, kemudian baru yang bersangkutan memberikan keterangan. Kemudian dikenal juga dengan

sumpah assertoris, yaitu sumpah yang dilakukan setelah saksi memberikan keterangan, sumpah ini sifatnya menguatkan atau menetapkan pembicaraan yang

telah lalu.

Keterangan yang diberikan oleh saksi, secara substansial harus dapat

memberikan informasi sebanyak mungkin tentang tindak pidana yang dimaksud

oleh suatu peristiwa pidana. Agar keterangan saksi memilik keabsahan maka ada

beberapa syarat antara lain:

a) Seorang saksi adalah seorang yang melihat, mendengar, atau mengalami

sendiri suatu tindak pidana (pasal 1 butir 26 Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana)

43

(5)

b) Seorang saksi harus dapat menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu

(pasal 1 butir 27 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana)

c) Bahwa keterangan seorang saksi saja tidak dapat dianggap sah sebagai

alat pembuktian (unus testis nulus testis)

Pada dasarnya setiap orang dapat menjadi saksi, tetapi tidak semua orang

cakap menjadi saksi, sehingga perlu adanya pengecualian, antar lain:

1) Dikecualikan secara absolut

Pengecualian ini bersifat absolut atau mutlak untuk memberikan suatu

keterangan sebagai seorang saksi. Perihal ini tertera pada pasal 171 Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dimana didalamnya menerangkan bahwa

anak dibawah umur (15 tahun) dan orang yang sakit (ingatan jiwa) dalam suatu

kejiwaan, mereka tidak dapat dipertanggung jawabkan secara sempurna. Dalam

hal ini mereka tidak dapat diambil sumpahnya ketika sedang memberikan

keterangan yang menyebabkan keterangan mereka hanya sebagai petunjuk saja.

2) Dikecualikan secara relatif

Sesuai dengan pasal 168 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

yaitu:

a) Keluarga sedarah atau semenda dalam gari lurus keatas atau kebawah sampai

pada derajat ketiga dari terdakwa atau bersama-sama sebagai terdakwa;

b) Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu

atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkwinan

(6)

c) Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau bersama-sama sebagai

terdakwa.

Dalam hal ketiga golongan yang dimaksud oleh pasal ini disebut sebagai

golongan yang relatif tidak berwenang untuk memberikan kesaksian, namun

ketentuan tersebut dapat dikecualikan apabila jaksa terdakwa serta orang-orang

yang termasuk kedalam golongan itu menyetujui maka masih dapat didengar

keterangannya (pasal 169) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Selain

itu dalam hal ketiga golongan tersebut menolak untuk memberikan keterangan,

hakim dapat memerintahkan mereka untuk memberikan keterangannya namun

bukan sebagai alat bukti keterangan saksi melainkan hanya keterangan saja,

karena dalam hal ini mereka tidak di sumpah.44

1. Mereka yang hanya pekerjaan, harkat martabat atau jabatan yang wajib untuk

menyimpan rahasia, dapat meminta dibebaskan dari kewajiban untuk

memberikan keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hak yang dapat

dipercayakan terhadap mereka.

selain pasal 168 Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana, ketentuan mengenai larangan yang bersifat relatif

ini diatur pada pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yaitu:

2. Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut.

pekerjaan atau jabatan yang menentukan kewajiban seseorang untuk

menyimpan rahasia ditentukan oleh undang-undang. Hakim menentukan sah

atau tidaknya permintaan tersebut. mereka tidak dengan sendirinya secara

absolut dikecualikan, mereka dapat dipanggil menghadap ketika pengadilan

44

(7)

membutuhkan kehadiran mereka didepan sidang pengadilan. Bila mereka tidak

hadir dipersidangan sementara tidak ada alasan yang logis untuk menolak

memeberikan kesaksian, maka terhadapnya dapat dikenakan ketentuan yang

terdapat didalam pasal 159 ayat (2) Kitab Undang-Undang Acara Pidana.

Kemudian terdapat hal lain yang dikecualikan, yaitu karena martabatnya dapat

diminta pengunduran diri, antar lain Pastor Katolik. Hal ini dilakukan agar

rahasia di pengakuan dosa dapat terlindungi. Hal itu berlaku terhadap sesuatu

yang dipercayakan oleh seseorang yang menganut agama katolik kepada

pastornya disaat pengakuan dosa. Dan juga oleh beberapa profesi yang

mempunyai kode etik dimana kerahasian dianggap suatu yang wajib dijaga,

sehingga jika para subjek hukum yang mempunyai profesi tersebut dan karena

profesinya menjadi saksi dan berhadapan dengan hukum maka dapat

dikecualikan sebagai saksi.

Terdapat beberapa jenis saksi, yaitu:

1. Saksi a charge

Saksi ini adalah saksi dalam perkara pidana yang dipilih atau diajukan oleh

penuntut umum. Namun pada prakteknya justru merupakan saksi yang

memberatkan terdakwa (pasal 160 ayat 1 KUHAP)

2. Saksi a de charge

Saksi yang meringankan atau a de charge merupakan saksi yang di ajukan oleh terdakwa dalam rangka melakukan pembelaan atas dakwaan yang ditujukan

pada dirinya. (dilandasi oleh ketentuan pasal 65 KUHAP)

(8)

Saksi ini adalah saksi yang menjadi korban dalam tindak pidana atau

mengalami sendiri tindak pidana tersebut.

4. Saksi pelapor

Saksi ini adalah seorang yang melaporkan tentang terjadinya tindak pidana

(pasal 108 KUHAP). Seorang saksi korban dapat menjadi saksi pelapor jika

yang bersangkutan setelah mengalami tindak pidana melaporkan peristiwa

yang menimpanya kepada pihak yang berwajib.

5. Saksi mahkota

Saksi mahkota adalah istilah untuk tersangka/terdakwa yang dijadikan saksi

untuk tersangka/terdakwa lain yang bersama-sama melakukan suatu perbuatan

pidana. Saksi mahkota bukanlah istilah yang dikenal dalam KUHAP. Namun

istilah ini dapat ditemui dalam alasan yang tertuang pada memori kasasi yang

diajukan oleh kejaksaan dalam putusan Mahkamah Agung No. 2437

k/pid.sus/2011 yang menyebutkan bahwa:

“Walaupun tidak diberikan suatu defenisi otentik dalam KUHAP mengenai saksi mahkota (kroongetuide), namun berdasarkan perspektif empirik maka saksi mahkota didefenisikan sebagai saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana, dan dalam hal mana kepada saksi tersebut diberikan mahkota. Adapun mahkota yang diberikan kepada saksi yang berstatus terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikannya suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan kepengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dikalukan. Menurut Prof.DR. Loebby Loqman, S.H.,M.H., dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan saksi mahkota adalah kesaksian sesama terdakwa, yang biasanya terjadi dalam peristiwa penyertaan.”45

45

(9)

6. Saksi Berantai

Saksi berantai adalah beberapa saksi yang dengan keterangan masing-masing

dapat mebuktikan unsur-unsur tindak pidana, dimana keterangan yang satu

menunjang keterangan lain, atau keterangan yang satu memiliki keterkaitan

dengan yang lainnya dan tidak dikenai asas unus testis nullus testis. (pasal 185 ayat 4 KUHAP)

Kesulitan bagi penuntut umum dan hakim untuk memutuskan suatu

perkara pidana, jika dilihat dari suatu sisi saja dari sekian banyak saksi dalam

memberikan keterangan beberapa saksi harus terdapat kesinambungan antara

keterangan-keterangan tersebut. setidaknya pasal 185 ayat (5) dapat dijadikan

patokan bagi hakim untuk menilai keterangan saksi. Keterangan saksi tersebut

harus:

1. Persesuaian antara keterangan saksi;

2. Persesuaian keterangan saksi dengan alat bukti lain;

3. Alasan saksi memberikan keterangan tertentu;

4. Cara hidup dan kesusilaan saksi.

Terkait dengan keterangan yang diberikan oleh saksi atas suatu tindakan

diperoleh secara tidak langsung, dalam hukum acara pidana di Indonesia dikenal

dengan testimonium de auditu atau hearsay evidence, dimana keterangan saksi tersebut diperoleh atau didapat dari orang lain. Sesuai dengan penjelasan kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kesaksian yang demikian tidak

diperkenankan sebagai alat bukti, dan selaras dengan tujuan hukum acara pidana

(10)

hak asasi manusia. Dimana keterangan seorang saksi tersebut merupakan hasil

pembicaraan atau hanya mendengar orang lain namun kesaksian yang demikian

itu tidak begitu saja dibuang dan dikatakan tidak berguna, meskipun tidak

memiliki kekuatan pembuktian sebagai alat bukti yang sah, dapat dijadikan bahan

pertimbangan bagi hakim untuk memperkuat keyakinannya sebelum menjatuhkan

putusan. Kerugian tidak diterimanya kesaksian de auditu adalah hakim akan kehilangan alat bukti yang mungkin dari situ hakim akan memperoleh penjelasan

atas suatu fenomena.

Mengenai saksi yang tidak mau hadir di persidangan dapat dilihat

pengaturannya pada pasal 159 ayat 2 KUHAP. Menjadi saksi adalah salah satu

kewajiban setiap orang. Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu

sidang pengadilan untuk memberikan keterangan, tetapi dengan menolak

kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan KUHP pasal 224

yang memberikan ancaman kepada saksi, saksi ahli atau juru bahasa yang sengaja

tidak memenuhi kewajiban hukum yang diletakkan kepadanya dengan di kenakan

pidana:

1. Didalam perkara pidana maksimum 9 (Sembilan) bulan penjara

2. Didalam perkara perdata maksimum 6(enam) bulan penjara.

Mengenai nilai kekuatan pembuktian telah diuraikan diatas mengenai

syarat hingga sebuah kesaksian dapat dikatakan sah sebagai alat bukti keterangan

saksi, yaitu kesaksian yang diberikan oleh saksi harus memenuhi syarat formal

(11)

kekuatan pembuktian keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah, maupun nilai

kekuatan pembuktian keterangan saksi adalah sebagai berikut:46 a. Mempunyai kekuatan pembuktian bebas

Kalau begitu pada alat bukti kesaksian “tidak melekat sifat pembuktian

yang sempurna”(volledig bewijskracht) dan juga tidak melekat di dalamnya sifat kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan

(beslissende bewijskracht). Tegasnya alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas. Oleh karena

itu alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah, tidak mempunyai

kekuatan pembuktian yang menentukan. Atau dengan singkat dapat

dikatakan alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah adalah bersifat

bebas dan tidak sempurna dan tidak menentukan atau tidak mengikat

b. Nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian hakim

Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang bebas yang tidak

mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan tidak

menetukan, sama sekali tidak mengikat hakim. Hakim bebas untuk menilai

kesempurnaan dan kebenarannya. Tergantung pada penilaian hakim untuk

menganggap sempurna atau tidak. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk

menerima kebenaran setiap keterangan saksi. Hakim bebas menilai

kekuatan atau kebenaran yang melekat pada keterangan itu, dan dapat

menerima atau menyingkirkannya.

46

(12)

b. keterangan ahli

jika kita melihat pada perumusan pasal 186 KUHAP tidak memuat

pengertian sesungguhnya dari keterangan ahli. Yang dimaksud dengan keterangan

ahli dalam pasal ini adalah:

keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidangan pengadilan.

Dari pasal tersebut beserta penjelasannya sama sekali tidak memberikan

penjelasan apa yang disebut sebagai keterangan ahli didalam hukum acara kita.

Namun agar jelas maka kita harus mengkaitkan pengertian ahli dengan beberapa

pasal lain, yaitu pasal 1 butir 28, 120,133,179 dan pasal 180 Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana.47

Merujuk bunyi pasal 1 butir 28 KUHAP, diperoleh pengertian bahwa

keterangan ahli yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan.

Maksud dari keterangan khusus disini adalah agar perkara yagn sedang

berlangsung menjadi terang. Dari situ dapat dilihat bahwa pengertian keterangan

ahli sebagai alat bukti yang memiliki tujuan untuk membuktikan suatu tindak

pidana. Kemudian kita lihat pasal 120 KUHAP, keterangan ahli ialah orang yang

memiliki keahlian khusus. Keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki

keahlian khusus dibidangnya ialah berupa keterangan menurut pengetahuannya.

Jika dihubungkan dengan pasal 1 butir 28 KUHAP maka diperoleh pengertian

tentang apa yang dimaksud dengan keterangan ahli yang memiliki kekuatan

pembuktian, dengan demikian agar keterangan seorang ahli dapat dinilai sebagai

47Ibid.

(13)

alat bukti, disamping kualitas daripada orangnya, juga keterangan yang diberikan

juga berada didalam lingkup pengetahuannya.

Kemudian pasal 133 dan 179 KUHAP, masih tentang keterangan ahli

ditinjau dari segi pembukitan maka akan diperoleh gambaran lebih lanjut siapa

yang dikatakan sebagai seorang ahli sehingga yang diberikan memiliki kekuatan

didalam pembuktian. Ada dua kelompok ahli yang diterima di pengadilan, yaitu:48 1. Ahli secara umum seperti yang diatur pada pasal 1 angka 28 dan pasal

120, yakni orang-orang yang memiliki keahlian khusus dalam bidang

tertentu, seperti ahli jiwa, akuntan, ahli kimia, ahli mesin, ahli

pertambangan, dan sebagainya

2. Ahli kedokteran kehakiman seperti yang disebut dalam pasal 133, ahli

yang khusus dalam bidang kedokteran kehakiman yang berhubungan

dengan bedah mayat dan forensik.

Dari kedua kategori tersebut, semakin jelas apa yang dimaksud dnegan

keterangan ahli, dikaitkan dengan kualitas dari ahli dan pendapat atau

keterangannya memiliki kekuatan sebagai alat bukti yang diterima sebagai

undang-undang. Kemudian ada pendapat lebih lanjut tentang pengertian dari

seorang ahli yang tentu memiliki kaitan dengan kualitas seorang ahli, bahwa

seorang ahli adalah orang yang memiliki sertifikat yang dikeluarkan atau

diberikan oleh suatu instansi berwenang, dengan sertifikat tersebut barulah

keterangan yang diberikan oleh seorang ahli dikatakan valid atau mempunyai

kekuatan pembuktian.

48Ibid.,

(14)

Akan tetapi menurut ketentuan yang diatur oleh pasal- pasal tersebut

diatas, tidak disebutkan secara jelas syarat-syarat tentang seorang ahli, kecuali

untuk dokter ahli kehakiman atau dokter. Sehingga dibuka kemungkinan seorang

ahli dari kalangan tidak terdidik secara formal. Menurut A. Karim Nasution,

janganlah hendaknya kita berpendapat bahwa orang yang disebut ahli tersebut

haruslah seorang yang memperoleh pendidikan khusus atau orang yang telah

memiliki ijazah tertentu. Setiap orang menurut hukum acara pidana dapat

diangkat sebagai ahli, asal saja dianggap mempunyai pengetahuan dan

pengalaman yang khusus mengenai suatu hal, atau memiliki lebih banyak

pengetahuan dan pengalaman soal itu.49

Nederburgh mengemukakan, bukan berarti bahwa dalam memerlukan

bantuan ahli kita harus selalu minta bantuan sarjana-sarjana atau ahli-ahli ilmu

pengetahuan, tetapi juga pada orang-orang yang berpengalaman dan kurang

berpendidikan (formal) namun dalam bidangnya toh sangat cendikia

(scherpzinng). Umpamanya: tukang kayu, tukang sepatu, pembuat senjata,

pemburu dan sebagainya yang untuk soal-soal tertentu dapat memberikan

pertolongan yang sangat diperlukan.50

Dalam hal saksi ahli tidak mau hadir di persidangan, menjadi ahli pada

dasarnya sama dengan menjadi saksi adalah merupakan suatu kewajiban hukum.

Menolak kewajiban tersebut dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan

undang-undang (pasal 159 ayat 2 KUHAP) dengan ancaman menolak kewajiban

ahli terdapat dalam pasal 224 KUHP. Terhadap ahli yang tidak mau bersumpah

49

Hari Sasangka dan Lily Rosita, hukum pembuktian dalam perkara pidana: untuk mahasiswa dan praktisi, (Bandung: Mandar Maju, 2003) hal 55-56

50Ibid

(15)

atau berjanji tanpa alasan, pemeriksaan tetap dilakukan. Terhadap ahli tersebut

bisa dilakukan penyanderaan didalam rutan paling lama 14 (empat belas) hari

berdasarkan penetapan hakim ketua sidang. Apabila waktu 14(empat belas) hari

tersebut telah lampau, maka keterangan yang diberikan merupakan keterangan

saja, yang menguatkan keyakinan hakim (pasal 161 KUHAP dengan

penjelasannya).

Keterangan ahli adalah merupakan kesimpulan-kesimpulan dari suatu

keadaan yang diketahui sesuai dengan keahliannya. Atau dengan kata lain

merupakan penilaian atau penghargaan terhadap suatu keadaan. Hal ini berbeda

dengan keterangan seorang saksi, yang justru dilarang untuk memberikan

kesimpulan-kesimpulan. Keterangan saksi hanyalah merupakan pengungkapan

kembali fakta-fakta yang oleh saksi dilihat, didengar dan dialami sendiri.

Kekuatan alat bukti keterangan ahli bersifat bebas, karena tidak mengikat seorang

hakim untuk memakainya apabila bertentangan dengan keyakinannya. Guna

keterangan ahli di persidangan merupakan alat bantu bagi hakim untuk

menemukan kebenaran, dan hakim bebas mempergunakannya sebagai

pendapatnya sendiri atau tidak.

c. Alat Bukti Surat

Agar lebih meahami alat bukti surat, berikut akan di uraikan pengertian

surat menurut para ahli. Surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda

bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan

(16)

Mertokusumo)51 . Surat- surat adalah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran.

(Asser-Anema)52

Seperti alat bukti keterangan saksi dan keterangan ahli, alat bukti surat

hanya diatur didalam pasal 187 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Surat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang ialah:

Tujuan dari pembuktian dalam hukum acara pidana adalah mencari

kebenaran sejati. Seperti yang diuraikan diatas, pembuktian dalam hukum acara

pidana telah dimulai sejak diketahuinya suatu peristiwa pidana. Kehadiran surat

dalam hukum acara pidana adalah guna memberikan informasi yang didukung

guna mencari bukti-bukti yang akan menerangkan suatu tindak pidana. Peran

surat akan dapat menentukan salah atau tidaknya seseorang didalam pengadilan.

53

1. Surat yang dibuat atas sumpah jabatan;

2. Surat yang dikuatkan dengan sumpah.

Kemudian pasal itu sendiri telah merinci secara luas bentuk-bentuk surat

yang dapat dianggap mempunyai nilai sebagai alat bukti:54

a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat

umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat

keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang

dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang

keterangannya itu;

(17)

b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-udangan atau

surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata

laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi

pembuktian suatu hal atau sesuatu keadaan;

c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan

keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta

secara resmi daripadanya;

d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari

alat bukti yang lain.

Surat-surat yang dimaksud dalam pasal 187 huruf (a) dan (b) Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana ialah akta-akta resmi atau official akten

berupa akta-akta jabatan, misalnya akta notaris atau berita acara pemeriksaan

surat.55

55

Lamintang, KUHAP Dengan Pembahasan secara Yurisidis Menurut Yurisprudensi dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, (Bandung: Sinar Baru,1984), hal 434

Kemudian pasal 187 huruf (c), dimana dalam tersebut berisikan suatu

keterangan dari seorang ahli yang dituangkan dalam bentuk tertulis berdasarkan

keahlian mengenai suatu keadaan tertentu. Keterangan surat ini dikatakan sah atau

mempunyai nilai pembuktian, apabila pendapat atau keterangan yang diberikan

telah dimintakan seara resmi. Kemudian pasal 187 huruf (d), mengenai bentuk

surat lain yang memiliki keterhubungan dengan tindak pidana yang sedang

dibuktikan. Disini terbuka kesempatan untuk menghadirkan alat bukti surat dalam

bentuk tidak resmi sebagai bahan pembuktian. Mengenai alat pembuktian lain itu

sendiri telah menjadi masalah dalam di dalam doktrin, dapatkah surat lain yang

(18)

lain dapat saja berupa surat dibawah tangan. Kemudian hal senada juga

diungkapkan oleh VAN BEMMELEN menyatakan kemungkinan itu ada asalkan

surat-surat tersebut memiliki keterhubungan (timbal balik) memberikan jamin

tentang kebenaran dari penandatanganan dan penulisan tanggal, namun dalam hal

ini hakim harus mendapatkan penjelasan dari para saksi atau mungkin para ahli,

jika dikaitkan dengan perkembangan teknologi, suatu kesepakatan atau perjanjian

yang dituangkan dalam bentuk surat, para pihak yang bertransaksi tidak harus

bertemu langsung. Bukti terjadinya transaksi hanya ditanda-tangani secara

elektronik atau disandikan, sehingga otomatis bentuk surat mengalami perubahan,

tidak lagi tertuang diatas kertas tetapi secara online.

Nilai kekuatan pembuktian surat didalam hukum perdata, surat autentik

atau surat resmi seperti bentuk-bentuk surat resmi yang disebut dalam pasal 187

huruf (a) dan (b) KUHAP, dinilai sebagai alat bukti yang sempurna, dan

mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat bagi hakim sepanjang hal

itu tidak dilumpuhkan dengan bukti lawan. Oleh karena alat bukti surat resmi atau

autentik merupakan alat bukti yang sempurna dan mengikat (coledig en beslissende beriskracht), hakim tidak bebas lagi untuk menilainya dan terikat kepada pembuktian surat tersebut dalam mengambil putusan perkara perdata yang

bersangkutan. Dalam hal ini hukum acara pidana mengatur secara tidak khusus

mengenai niali kekuatan pembuktian surat ditinjau dari segi teori serta

menghubungkannya dengan beberapa prinsip pembuktian yang diatur dalam

KUHAP yaitu:56

56

(19)

1. Ditinjau dari segi formal

Ditinjau dair segi formal, alat bukti surat yang disebut pada pasal 187 huruf

(a), (b) dan (c) adalah alat bukti yang sempurna. Hal ini dikarenakan

surat-surat tersebut didalamnya dibuat secara resmi menurut formalitas yang

ditentukan peraturan perundang-undangan. Dengan dipenuhinya ketentuan

formal dalam pembuatannya serta dibuat dan berisi keterangan yang

terkandung dalam surat dibuat atas sumpah jabatan maka ditinjau segi

formal alat bukti seperti yang disebut pasal 187 huruf (a), (b) dan (c) adalah

alat bukti yang bernilai sempurna. Oleh karena itu alat bukti surat resmi

mempunyai nilai pembuktian formal yang sempurna dengan sendirinya

bentuk dan isi surat tersebut:

a.Sudah benar, kecuali dapat dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain;

b.Semua pihak tak dapat lagi menilai kesempurnaan bentuk dan

pembuatannya;

c.Juga tidak dapat lagi menilai kebenaran keterangan yang dituangkan

pejabat berwenang di dalamnya sepanjang isi keterangan tersebut tidak

dapat lagi dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain;

d.Dengan demikian ditinjau dari segi formal, isi keterangan yang tertuang

didalamnya, hanya dapat dilumpuhkan dengan alat bukti lain, baik

berupa alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli, atau keterangan

terdakwa.

Peninjauan dari segi formal ini dititikberatkan dari sudut teoritis. Peninjauan

(20)

kenyataannya apa yang dibenarkan dari sudut tertentu dikesampingkan oleh

beberapa asas dan ketentuan yang terdapat dalam KUHAP.

2. Ditinjau dari segi materil

Nilai pembuktian surat ini sama saja dengan alat bukti lainnya, yaitu bersifat

bebas. Hakim dapat menilai kebenaran suatu alat bukti surat yang

dihadirkan dengan berlandaskan pada beberapa asas antara lain:

a. Asas proses pemeriksaan

Dimana dalam hal ini yang lebih diutamakan adalah kebenaran sejati

dan bukan kesempurnaan formil. Hakim dapat mengesampingkan

kebenaran formil, jika memiliki keyakinan atau pendapat yang

menurutnya mendekati kebenaran materil.

b. Asas keyakinan hakim

Dimana dalam hal ini hakim dalam menjatuhkan hukuman kepada

terdakwa, tentunya harus kembali kepada keyakinan sendiri. Keyakinan

yang dimaksud dapat diperoleh dengan kembali merajuk kepada sistem

atau teori pembuktian yang kita anut, yaitu sistem pembuktian secara

negative, yang tertuang dalam pasal 183 KUHAP

c. Asas batas minimum pembukitan

Ditinjau dari segi formal alat bukti surat resmi berbentuk surat yang

dikeluarkan berdasarkan pada kententuan undang-undang adalah alat

bukti yang sah dan bernilai sempurna, namun nilai kesempurnaan yang

melekat pada alat bukti surat yang bersangkutan tidak mendukungnya

(21)

dimana sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti yang sah. Bertitik

tolak pada hal tersebut maka kesempurnaan suatu alat bukti surat tidak

dapat berdiri sendiri.

d. Petunjuk

Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan karena persesuaiannya

baik antara yang satu dengan yang lain mapun dengan tindak pidana itu sendiri,

menandakan bahwa telah terjadi tindak pidana dan siapa pelakunya (pasal 188

ayat 1 KUHAP). Rumusan pasal tersebut agak sulit ditangkap dengan mantap,

barangkali rumusan tersebut dapat dituangkan dengan cara menambah beberapa

kata didalamnya. Dengan penambahan kata-kata itu dapat disusun dalam kalimat

berikut: petunjuk ialah suatu isyarat yang dapat ditarik dari suatu perbuatan,

kejadian atau keadaan dimana isyarat itu mempunyai persesuaian antara yang satu

dengan yang lain maupun isyarat itu mempunyai persesuaian dengan tindak

pidana itu sendiri, dan dari isyarat yang bersesuaian tersebut melahirkan atau

mewujudkan suatu petunjuk yang membentuk kenyataan terjadinya suatu tindak

pidana dan terdakwalah pelakunya.57

Dari rumusan yang tertuang di dalam pasal tersebut dapat ditarik

kesimpulan bahwa petunjuk merupakan alat bukti tidak langsung, karena hakim

dalam mengambil kesimpulan terhadap suatu kasus harus mempertimbangkan

atau menghubungkan suatu alat bukti dengan alat bukti lainnya. Syarat dimana

petunjuk dapat dijadikan sebagai alat bukti:

58

1) Mempunyai persesuaian satu sama lain atas perbuatan yang terjadi

57Ibid

, hal 313

58

Djoko Prakoso, Alat Bukti dan Kekuatan Pembukitan Di Dalam Proses Pidana,

(22)

2) Keadaan-keadaan perbuatan itu berhubungan satu sama lain dengan

kejahatan yang lain

3) Berdasarkan pengamatan para hakim baik dari keterangan terdakwa

maupun saksi di persidangan

Namun dalam prakteknya hal ini sangan sulit unutk diterapkan.

Kemungkinan dominasi penilaian hakim dalam mempergunakan petunjuk

dilapangan sangat tinggi, jika pasal tersebut berdiri sendiri. Apabila pasal 188 ayat

(3) KUHAP tidak dapat benar-benar dipertimbangkan sebagai dasar hakim untuk

mempergunakan alat bukti petunjuk, hakim akan sangat besar melakukan itervensi

subjektifitasnya di dalam memutuskan suatu perkara.

Pembuktian dengan petunjuk tidak dapat dikesampingkan begitu saja,

karena kemungkinan di dalam prakteknya alat bukti yang sah menurut

undang-undang tidak ada atau hanya satu alat bukti saja, sedangankan dampak kejahatan

tersebut sangat mengkhawatirkan keadaan masyarakat. Kekuatan pembuktian bisa

kuat bisa lemah, tergantung keterkaitan antara perbuatan yang dianggap sebagai

suatu petunjuk dengan perbuatan yang dituduhkan.

Alat bukti petunjuk ini akan sangat berperan untuk memberikan gambaran

pada hakim untuk memutuskan suatu perkara, disaat alat bukti yang ada tidak

mampu membuat suatu perbuatan menjadi terang. Cara memperoleh petunjuk

dalam pasal 188 ayat (2) KUHAP hanya dibatasi pada 3 hal, yaitu:

1. Keterangan saksi;

2. Surat

(23)

Alat bukti petunjuk tidak memiliki bentuk wadah sendiri. Bentuknya

sebagai alat bukti adalah assessor (tergantung) pada alat bukti keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa sebagai sumber yang dapat melahirkannya. Kalau

alat bukti yang menjadi sumbernya tidak ada diperiksa dlaam persidangan

pengadilan, dengan sendirinya tidak akan pernah ada alat bukti petunjuk.

Sebaliknya alat bukti yang lain bisa saja ada tanpa kehadiran alat bukti petunjuk

di sidang pengadilan.

Kekuatan pembuktian pada alat bukti petunjuk sama dengan kekuatan alat

bukti lainnya, dimana mempunyai sifat pembuktian yang bebas, bahwa hakim

tidak harus terikat atas kebenaran persesuaian yang ditimbulkan dari petunjuk.

Hakim bebas untuk menilai dan mempergunakan sebagai upaya pembuktian.

Petunjuk sebagai alat bukti tidak dapat berdiri sendiri (bersifat pelengkap) dalam

membuktikan kesalahan terdakwa. Tetap terikat pada prinsip minimum

pembuktian.

Secara singkat perolehan petunjuk dari hakim, meskipun dalam ketentuan

undang-undang (pasal 188 ayat (1) KUHAP) tidak menyebutkan secara eksplisit

adanya usaha lain guna mencari petunjuk yang menerangkan suatu tindak pidana.

Sudah menjadi kewajiban seorang hakim untuk melakukan pencarian hukum

(rechtvinding) jika suatu perbuatan atau tindakan tidak terdapat dasar hukumnya. Sehingga kembali kepada asas legalitas bukanlah suatu pembatasan bagi hakim

dalam menjatuhkan pidana yang tentunya dilakukan dengan penuh tanggung

jawab dan pertimbangan hakim yang logis dan keadaan di dalam masyarakat.

(24)

Alat bukti keterangan terdakwa merupakan urutan terakhir dalam pasal

184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Penempatannya pada

urutan terakhir inilah sebagai salah satu alasan yang dipergunakan untuk

menetapkan proses pemeriksaan keterangan terdakwa dilakukan belakangan

sesudah pemeriksaan keterangan saksi.

Ditinjau dari segi yuridis istilah keterangan terdakwa lebih bersifat

manusiawi, dan bertendensi memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada

terdakwa mengutarakan segala sesuatu tentang apa saja yang dilakukan atau

diketahui maupun yang dialami dalam peristiwa pidana yang sedang diperiksa.

Hal ini sesuai dengan sistem peradilan pidana yang dianut di Indonesia yaitu due process model. Metode pemeriksaan terdakwa yang dianut secara akkusatur

sejalan dengan pengakuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana terhadap

hak asasi terdakwa sebagai seorang yang harus diperlakukan sebagai manusia.

Dengan demikian, cara pendekatan pemeriksaan terhadap terdakwa pada setiap

tingkat, harus bersikap dan menempatkan terdakwa dalam kedudukan praduga tak

bersalah. Merujuk kepada pasal 189 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,

maka keterangan terdakwa sebagai alat bukti yakni:

1. Apa yang terdakwa nyatakan atau jelaskan di pengadilan;

2. Apa yang dinyatakan atau dijelaskan itu ialah tentang perbuatan yang

terdakwa lakukan atau mengenai yang ia ketahui atau yang berhubungan

dengna apa yang terdakwa alami sendiri dalam peristiwa pidana yang

(25)

Dalam hal ini tidak semua keterangan yang dikeluarkan oleh terdakwa

dinilai sebagai alat bukti yang sah, dan harus memenuhi beberapa asas yaitu:59 1. Agar keterangan terdakwa dinilai sebagai alat bukti yang sah, maka

keterangan yang diberikan oleh terdakwa harus dinyatakan di sidang

pengadilan. Dimana dalam hal ini pernyataan yang dikemukakan

terdakwa dapat berupa penjelasan yang diutarakan sendiri maupun

pernyataan yang berupa penjelasan atau jawaban terdakwa atas

pernyataan yang diajukan kepadanya oleh ketua sidang, hakim

anggota, penuntut umum, ataupun penasihat hukum. Dan dalam hal ini

hakim dalam menjatuhkan putusan harus menilai tidak hanya

keterangan yang berisi pengakuan belaka, tetapi juga termasuk hal-hal

yang merupakan pengingkarannya.

2. Terdapat batasan yang telah ditentukan undang-undang antara yang

diketahui terdakwa dengan peristiwa pidana dengan pengetahuan yang

bersifat pendapat sendiri

3. Pernyataan terdakwa tentang apa yang dialami baru dianggap

mempunyai nilai sebagai alat bukti jika pengalaman tersebut hanya

pengalamannya sendiri dan hal yang secara langsung berhubungan

dengan peristiwa pidana yang bersangkutan.

4. Dalma hal ini keterangan terdakwa di dalam persidangan, hanya dapat

digunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri.

59

(26)

Pasal 189 ayat (4) KUHAP mengatur perihal bahwa keterangan terdakwa

saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahannya, hal ini secara tidak langsung

merupakan penegasan kembali mengenai batas minimum pembuktian yang diatur

pasal 183 KUHAP. Secara tidak langsung ketentuan ini menyatakan bahwa

pengakuan terdakwa memiliki sifat mengikat dan menentukan. Hal ini untuk

menghindari penyelundupan orang yang benar-benar bersalah, dimana hal ini

ditakutkan apabila keterangan terdakwa bersifat mengikat dan menentukan akan

banyak terjadi penyelewengan hukum dalam bentuk menjatuhkan pidana kepada

orang yang bukan pelaku tindak pidana.

Dalam hal terdakwa memberikan keterangan diluar persidangan maka

harus merujuk pada pasal 189 ayat (2) KUHAP yang diuraikan sebagai berikut:

1. Keterangan terdakwa yang diberikan diluar sidang dapat dipergunakan

untuk membantu menemukan bukti di sidang pengadilan;

2. Namun terdapat syarat bahwa keterangan di ruang sidang tersebut

wajib:

a. Didukung oleh suatu alat bukti yang sah

b. Dan keterangan yang dinyatakan di luar sidang sepanjang

mengenai hal yang didakwa kepadanya.

Sehingga jelas pengaturan yang ada di hukum acara pidana di Indonesia

bahwa keterangan terdakwa yang diutarakan di luar sidang bukan merupakan alat

bukti yang sah di persidangan, tetapi dapat dipergunakan membentu menemukan

bukti di sidang pengadialn dan harus didukung oleh suatu alat bukti yang ada

(27)

dapat dikualifikasikan sebagai keterangan terdakwa yang diberikan diluar sidang

adalah merupakan keterangan yang diberikan didalam pemeriksaan penyidikan

yang dicatat didalam berita acara penyidikan dan ditandatangani oleh pejabat

penyidi dan terdakwa.

Didalam prakteknya banyak sekali keterangan terdakwa dicabut kembali,

mengenai hal itu ditinjau secara yuridis terdakwa berhak dan dibenarkan

mencabut kembali keterangan yang demikian, asalkan pencabutan itu mempunyai

landasan alasan yang berdasarkan logis sehingga diharapkan mampu mendukung

tindakan pencabutan. Apabila pencabutan tersebut mempunyai alasan yang dapat

diterima oleh hakim, maka:

1. Keterangan yang terdapat di dalam berita acara penyidikan dianggap

tidak benar;

2. Keterangan terdakwa yang telah di cabut tidak dapat dipergunakan

sebagai landasan untuk membantu menemukan bukti di pengadilan.

Mengenai sejauh mana kekuatan pembuktian keterangan terdakwa, kiranya

pasal 189 ayat (3) dan (4) KUHAP dapatlah dijadikan dasar. Dimana menurut

pengaturan ayat (3) tersebut keterangan terdakwa tidak dapat dipergunakan untuk

membuktikan kesalahan orang lain, kecuali disertai alat-alat bukti lain. Hal ini

mengingat terdakwa dalam memberikan keterangan tidak atau tanpa

mengucapkan sumpah atau janji, mengingat ayat (4), disamping keterangan

terdakwa itu bukan sebagai pengakuan terdakwa serta berdasar pasal 183 KUHAP

maka keterangan terdakwa tidak dapat untuk membuktikan terdakwa bersalah,

(28)

2. Barang Bukti

Peran barang bukti di dalam pengadilan akan sangat membantu hakim

dalam memutuskan perkara, terutama untuk menambah keyakinan hakim dalam

menentukan kesalahan terdakwa. Seperti yang telah diuraikan diatas bahwa

pembuktian merupakan suatu aspek yang sangat penting didalam sebuah kasus.

Suatu perkara pidana yang ada barang buktinya, biasanya akan dapat

mempercepat proses penyelesaian perkaranya daripada perkara lain yang tidak

mempunyai barang buktinya. Demi kepentingan pembuktian tersebut maka

kehadiran benda- benda yang tersangkut dalam suatu tindak pidana, sangat

diperlukan.

Barang bukti adalah hasil serangkaian tindakan penyidik dalam penyitaan,

dan atau penggeledahan dan atau pemeriksaan surat untuk mengambil alih dan

atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak berwujud

untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.60 Pengertian lain dari barang bukti atau corpus delicti adalah barang mengenai hal delik dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan yaitu alat

yang dipakai untuk melakukan delik, termasuk juga barang bukti adalah hasil dari

suatu delik, barang yang memiliki hubungan langsung dengan tindak pidana.61

60

Hari Sasangka dan Lily Rosita, op.cit , hal 99

61

Andi Hamzah, kamus hukum, (Jakarta:Gahlian,1986) hal 100

Dalam ha ini barang bukti dan alat bukti mempunyai hubungan erat dan

merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat di pisahkan. Dalam persidangan

(29)

barang bukti. Selain itu juga akan sangat berperan dalam memberikan keyakinan

pada hakim dalam memutus suatu perkara.

Barang bukti dalam proses pembuktian dapat diperoleh ditentukan dengan

cara-cara yang ditentukan dalam KUHAP yaitu:62

a. Penggeledahan (diatur dalam pasal 32 sampai 37 KUHAP dan pasal

125 sampai pasal 127 KUHAP)

b. Penyitaan (diatur dalam pasal 38 samapi 46 KUHAP dan pasal 128

sampai pasal 130 KUHAP)

c. Pemeriksaan surat (diatur dalam pasal 47-49 KUHAP dan pasal 131

KUHAP)

1. Termasuk pengertian penggeledahan adalah penggeledahan rumah,

badan dan penggeledahan pakaian (pasal 32)

2. Penggeledahan badan di dalamnya termasuk pula pemeriksaan

rongga badan (penjelasan pasal 37)

3. Termasuk pengertian pemeriksaan surat adalah penyitaan surat,

pemeriksaan buku atau kitab, daftar dan sebagainya (pasal 131)

Kalau dilihat dari ketentuan yang diatur dalam pasal 181 KUHAP tentang

pemeriksaan barang bukti, seakan-akan hanya bersifat formil saja. Padahal secara

material barang bukti seringkali sangat berguna bagi hakim untuk menyandarkan

keyakinannya. Meskipun telah ada alat-alat bukti yang ditentukan oleh

undang-undang serta telah melibihi batas minimum pembuktian, tetapi hakim tidak harus

yakin bahwa terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana yang telah

62

(30)

didakwakan. Singkatanya hakim tidak bisa dipaksa yakin berdasarkan alat bukti

yang ada, meskipun alat bukti yang ada sudah memenuhi syarat pembuktian.

B.Perluasan Pembuktian Pada Tindak Pidana Khusus

Berdasarkan KUHAP, maka yang dinilai sebagai alat bukti dan yang

dibenarkan mempunyai kekuatan pembuktian hanya terbatas kepada alat bukti

sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHAP. Dengan kata

lain, sifat dari alat bukti menurut KUHAP adalah “limitative” atau terbatas pada yang ditentukan saja. Di luar alat bukti yang telah ditentukan tersebut, tidak

dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Akan tetapi,

KUHAP bukanlah satu-satunya peraturan perundang-undangan pidana formil

yang mengatur mengenai pembuktian. Hukum pembuktian yang bersifat khusus ,

dasarnya bukan semata-mata kepada ketentuan hukum acara pidana sebagaimana

pasal 183 KUHAP. Tegasnya, ketentuan hukum pembuktian yang bersifat khusus

terdapat dalam UU tindak pidana khusus diluar tindak pidana umum sebagaimana

diatur dalam pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP)63. Didalam UU tindak pidana khusus tersebut diatur mengenai ketentuan hukum pidana

formal dan hukum pidana materil secara sekaligus.64

63

Ketentuan pasal 103 KUHP berbunyi, “ketentuan-ketentuan yang tersebut di dalam delapan bab pertama dari buku ini, juga berlaku terhadap perbuatan-perbuatan yang menurut lain-lain peraturan perundang-undangan diancam dengan hukuman, kecuali jika ditentukan lain oleh undang-undang, oleh peraturan umum dari pemerintah atau oleh suatu ordonansi.”

64

Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung : Alumni, 2007) hal: 91

Beberapa undang-undang

pidana yang mempunyai aspek formil juga mengatur mengenai alat bukti

(31)

Berikut ini, beberapa contoh undang-undang pidana formil di luar KUHAP

yang mengatur mengenai alat bukti antara lain:

1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001

tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Dalam ketentuan pasal 26A undang-undang ini, alat bukti petunjuk

diperluas, jangkauan pembuktian tidak hanya digali dari keterangan saksi,

surat dan keterangan terdakwa sebagaimana ketentuan pasal 188 ayat (2)

KUHAP melainkan dapat digali dari alat bukti lain yang berupa:

a. Informasi yang diucapkan, diterima, dikirim atau disimpan secara

elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu; dan

b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat

dilihat,dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau

tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik

apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang

berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda,

angka, atau perforasi yang memiliki makna.

2) Undang-Undang nomor 11 Tahun 2011 Tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik

Dalam ketentuan pasal 76 dan pasal 77 undang-undang tersebut yang

berbunyi:

Pasal 76:

(1) Infromasi elektronik, dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya dalam

(32)

(2) Informasi elektronik, dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat

bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku.

Pasal 77:

Tanda tangan elektronik dalam kegiatan transfer dana memiliki kekuatan

hukum yang sah

3) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup.

Dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,

perihal pembuktian diatur secara khusus. Kekhususan perihal pembuktian

sebagaimana disebutkan dalam bagian kedua tentang pembuktian pasal 96

menyebutkan “alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak pidana lingkungan

hidup terdiri atas:

a. Keterangan saksi;

b. Keterangan ahli;

c. Surat;

d. Petunjuk;

e. Keterangan terdakwa; dan/atau

f.Alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan

perundang-undangan.

Pada penjelasan Pasal 96 huruf f (merupakan penjelasan otentik

Undang-undang), disebutkan bahwa yang dimaksud dengan alat bukti lain, meliputi,

(33)

elektronik, magnetik, optik, dan/atau yang serupa dengan itu; dan/atau alat

bukti data, rekaman, atau informasi yang dapat dibaca, dilihat, dan didengar

yang dapat dikeluarkan dengan dan/atau tanpa bantuan suatu sarana, baik

yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang

terekam secara elektronik, tidak terbatas pada tulisan, suara atau gambar,

peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, simbol, atau

perporasi yang memiliki makna atau yang dapat dipahami atau dibaca.

Pada ketiga contoh undang-undang diatas yang mengatur adanya perluasan

sistem pembuktian mengatur tentang bukti elektronik. Dalam praktek penerapan

bukti elektronik, hasil cetak dari dokumen atau informasi tidak langsung dapat

diterima sebagai alat bukti yang beridiri sendiri. Menurut Ridwan, suatu bukti

elektronik dapat memiliki kekuatan hukum apabila informasinya dapat dijamin

keutuhannya, dapat dipertanggungjawabkan, dapat diakses dan dapat ditampilkan

sehingga menerangkan suatu keadaan. Orang atau pihak-pihak yang mengajukan

bukti elektronik di persidangan harus dapat menunjukan bahwa informasi yang

dimilikinya berasal dari sistem elektronik yang dapat dipercaya yang

pembuatannya dilakukan oleh penyelenggara sertifikat elektronik dan sistem

elektronik.65

Bukti elektronik baru dapat dinyatakan sah apabila menggunakan sistem

elektronik yang sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia. Suatu bukti

elektronik dapat memiliki kekuatan hukum apabila informasinya dapat dijamin

65

(34)

keutuhannya, dapat dipertanggungjawabkan, dapat di akses, dan dapat

ditampilkan, sehingga menerangkan suatu keadaan.

Berkaitan dengan hal tersebut, ahvi syahrin menyatakan suatu alat bukti

yang dipergunakan di pengadilan perlu memenuhi beberapa syarat, diantaranya:66 a. Diperkenankan oleh undang-undang untuk dipakai sebagai alat bukti.

b. Reability, yaitu alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya. c. Necessity, yaitu alat bukti yang diajukan memang diperlukan untuk

membuktikan suatu fakta

d. Relevance, yaitu alat bukti yang diajukan mempunyai relevansi dengan fakta yang akan dibuktikan.

C. Pengaturan Beban Pembuktian di Indonesia

Dikaji dari perspektif ilmu pengetahuan hukum pidana dikenal ada 3 (tiga)

teori tentang beban pembuktian. Secara universal ketiga teori tentang beban

pembuktian tersebut hakikatnya terdapat di Negara Indonesia, yaitu:

a. Beban Pembuktian Pada Penuntut Umum

Didalam hukum acara pidana, tersangka atau terdakwa tidak dibebani

kewajiban pembuktian (pasal 66 KUHAP). Namun kewajiban pembuktian

66

(35)

tersebut dibebankan kepada penuntut umum karena sistem hukum Indonesia

menganut asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) dan asa tidak mempersalahkan diri sendiri (non self incrimination). Konsekuensi logis teori beban pembuktian ini, bahwa penuntut umum harus mempersiapkan alat-alat

bukti dan barang bukti secara akurat, sebab jika tidak demikian akan susah

meyakinkan hakim tentang kesalah terdakwa.67

b. Beban Pembuktian Pada Terdakwa

Beban pembuktian seperti ini dapat dikategorikan beban pembuktian

“biasa” atau “konvensional”. Pada sistem beban pembuktian biasa berlaku cara

menggunakan alat-alat bukti yang mengacu pada syarat minimal pembuktian pada

pasal 183 KUHAP. Pada dasarnya alat bukti yang boleh dipergunakan dalam

sistem pembebanan pembuktian biasa adalah sebagaimana tercantum dalam pasal

184 KUHAP.

Dalam konteks ini, terdakwa berperan aktif menyatakan bahwa dirinya

bukan sebagai pelaku tindak pidana. Oleh karena itu, terdakwalah di depan sidang

pengadilan akan menyiapkan segala beban pembuktian dan bila sudah tidak dapat

membuktikan, terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana. Pada

asasnya teori beban pembuktian jenis ini dinamakan “pembalikan beban pembuktian” (“omkering van het bewijslast atau shifting of burden of proof/onus of proof).dikaji dari perspektif teoritis dan praktik teori beban pembuktian ini dapat di klasifikasikan lagi menjadi pembalikan beban pembuktian yang bersifat

murni maupun bersifat terbatas (limited burden of proof). Pada hakikatnya

67

(36)

pembaikan beban pembuktian tersebut merupakan suatu penyimpangan hukum

pembuktian dan juga merupakan suatu tindakan luar biasa terhadap tindak pidana

korupsi.68

Secara kronologis, asas pembalikan beban pembuktian bermula dari sistem

pembuktian yang dikenal pada Negara-negara yang menganut rumpun

Anglo-saxon atau Negara-negara penganut “case law” terbatas pada “certain cases” atau

kasus-kasus tertentu khususnya terhadap tindak pidana gratifikasi atau pemberian

yang berkorelasi dengan suap.

Pada hakikatnya, asas pembalikan beban pembuktian dalam sistem hukum

pidana Indonesia dikenal dalam Tindak Pidana korupsi (UU Nomor 31 Tahun

1999 jo UU No. 20 Tahun 2001), Tindak Pidana Pencucian Uang (UU No 15

Tahun 2002 jo UU No. 25 Tahun 2003), perlindungan konsumen (UU No. 8

Tahun 1999) dan kegiatan transfer dana (UU No. 3 Tahun 2011).

69

“Asas pembalikan beban pembuktian merupakan suatu sistem pembuktian yang berada diluar kelaziman teoritis pembuktian dalam hukum acara pidana universal. Dalam hukum pidana formal, baik sistem Kontinental maupun Anglo-Saxon, mengenal pembuktian dengan tetap membebankan kewajibannya pada jaksa penuntut umum. Hanya saja, dalam “certain cases” diperkenankan penerapan dengan mekanisme yang diferensial, yaitu sistem pembalikan beban pembuktian atau dikenal sebagai “reversal of burden proof” (omkering van bewjislast). Itupun tidak dilakukan secara

overall , tetapi memiliki batas-batas yang seminimal mungkin tidak melakukan suatu destruksi terhadap perlindungan dan penghargaan hak asasi manusia, khususnya hak tersangka/terdakwa.”

Indriyanto seno adji terhadap dimensi ini lebih detail menyatakan

pendapatnya, bahwa:

(37)

Dengan dianutnya pembalikan beban pembuktian secara murni

menyebabkan beralihnya asas praduga tak bersalah menjadi asas praduga

bersalah. Konsekuensi logis dimensi demikian, praduga bersala realitif cendrung

dianggap sebagai pengingkaran asas yang bersifat universal khususnya terhadap

asas praduga tidak bersalah. Pada asasnya, praduga tak bersalah merupakan asas

fundamental dalam Negara hukum. Konsekuensinya, setiap orang yang

didakwakan melakukan tindak pidana mendapatkan hak untuk tidak dianggap

bersalah hingga terbukti kesalahannya dengan tetap berlandaskan kepada beban

pembuktian pada penuntut umum, norma pembuktian yang cukup dan metode

pembuktian yang cukup dan metode pembuktian harus mengikuti cara-cara yang

adil.

Selain itu apabila dikaji lebih detail, teori pembalikan beban pembuktian

akan bersinggungan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) khususnya implementasi

terhadap ketentuan hukum acara pidana. Pada ketentuan hukum acara pidana

sebagaimana ketentuan pasal 66 KUHAP, pasal-pasal 66 ayat 1,2 dan pasal 67

ayat 1 huruf I statuta Roma Mhakamah Pidana Internasional, pasal 11 ayat 1

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia(HAM), pasal 40 ayat 2b butir I Konvensi

tentang hak-hak anak, prinsip 36 ayat 1 kumpulan prinsip-prinsip untuk

perlindungan semua orang dalam bentuk penahanan apapun atau pemenjaraan,

resolusi majelis umum PBB 43/1739 Desember 1988, terdakwa tidak dibebani

kewajiban pembukitan.71

71

(38)

Maka dalam melakukan penindakan terhadap pelaku tindak pidana korupsi

haruslah dicarikan justifikasi yuridis terhadap teori yang dapat mempermudah

pembuktian dengan tetap berpegang teguh kepada asas-asas universal baik dalam

ketentuan hukum acara pidana maupun hukum pidana materiil serta instrument

internasional. Tegasnya, disatu sisi untuk membuktikan kesalahan pelaku tindak

pidana korupsi tetap berpegang pada ketentuan teori hukum pembuktian yang

mengedepankan asas pembuktian negative sedangkan disisi lainnya untuk

mengembalikan asset (asset recovery) hasil dari tindak pidana korupsi serta membuktikan terhadap harta kepemilikan kekayaan pelaku, tetap dipergunakan

teori pembalikan beban pembuktian karena teori pembuktian yang demikian

relative tetap menjunjung tinggi ketentuan hukum acara pidana, hukum pidana

materil dan instrumen internasional72

Atas dasar parameter sebagaimana disebut diatas guna mengantisipasi

akses negative teori pembalikan beban pembuktian, pembuktian terhadap pelaku

tindak pidana korupsi dipergunakan teori pembalikan beban pembuktian

keseimbangan kemungkinan yang mengedepankan keseimbangan secara

proposional antara perlindungan kemerdekaan individu disatu sisi, dan

perampasan hak individu yang bersangkutan atas harta kekayaan milik pelaku

yang diduga kuat berasal dari korupsi disisi lainnya. Konklusinya, teori

pembalikan beban pembuktian keseimbangan kemungkinan menempatkan pelaku

tindak pidana korupsi terhadap perbuatan atau kesalahan orang yang diduga

melakukan tindak pidana korupsi tidak boleh dipergunakan asas pembalikan

72Ibid,

(39)

beban pembuktian melainkan tetap berdasarkan asas negative karena perlindungan

terhadap hak individu ditempatkan paling tinggi terhadap perampasan

kemerdekaan seseorang.73

c. Beban Pembuktian Berimbang

Konkretisasi asas ini baik penuntut umum maupun terdakwa dan/atau

penasihat hukumnya saling membuktikan di depan persidangan. Lazimnya

penuntut umum akan membuktikan kesalahan terdakwa sedangkan sebaliknya

terdakwa beserta penasihat hukum akan membuktikan sebaliknya bahwa terdakwa

tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang

didakwakan. Dalam kepustakaan ilmu hukum asas beban pembuktian ini

dinamakan juga asas pembalikan beban pembuktian “berimbang”.

Apabila ketiga polarisasi teori beban pembuktian tersebut dikaji dari tolak

ukur penuntut umum dan terdakwa, sebenarnya teori beban pembuktian dapat

dibagi menjadi 2 (dua) kategori, yaitu :

Pertama, sistem beban pembuktian biasa atau konvensional, penuntut

umum membuktikan kesalahan terdakwa dengan mempersiapkan alat-alat bukti

sebagaimana ditentukan undang-undang. Kemudian terdakwa dapat menyangkal

alat-alat bukti dan beban pembuktian dari penuntut umum sesuai dengan pasal 66

KUHAP.

Kedua, teori pembalikan beban pembuktian yang dalam aspek ini dapat

dibagi menjadi teori pembalikan beban pembuktian yang bersifat “absolut” atau

“murni” bahwa terdakwa dan/atau penasihat hukumnya membuktikan

73Ibid

(40)

ketidakbersalahan terdakwa. Kemudian teori pembalikan beban pembuktian yang

bersifat “terbatas dan berimbang” dalam artian terdakwa dan penutut umum saling

membuktikan kesalahan atau ketidakbersalahan dari terdakwa. 74

74Ibid,

Referensi

Dokumen terkait

Referring to the Trade Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Socialist Republic of Vietnam, signed in Hanoi 23rd March,

[r]

Terkait dengan upaya peningkatan nilai tambah bahan mineral sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,

bertanya tentang hal-hal yang belum paham, 3) keaktifan dalam mengerjakan soal-soal latihan pada proses pembelajaran yang masih kurang, 4) kurangnya keberanian siswa untuk

An important question for policy-makers is the degree to which current arable production practices can be rendered less environmentally risky by marginal crop practice change

Menurut SUCI & HERMANA (2012), komposisi bahan pakan yang digunakan dalam formulasi pakan ternak jenis ayam ras petelur terdiri dari bahan pakan sumber energi,

Dengan adanya aplikasi penyewaan futsal berbasis web , maka pihak penyewa dapat melihat data – data customer yang memesan lapangan secara otomatis dan juga melihat

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh profitabilitas, leverage, kepemilikan institusional, dan investment opportunity set (IOS) terhadap nilai