• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERKAWINAN DAN PERMASALAHAN DI DALAMNYA

C. Batas usia minimal perkawinan

Undang-undang negara kita telah mengatur batas usia perkawinan. Dalam Undang-undang Perkawinan bab II pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas tahun) tahun.28

Kebijakan pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia pernikahan ini tentunya melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak benar-benar siap dan matang dari sisi fisik, psikis dan mental. Dari sudut pandang kedokteran, pernikahan dini mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan.29

Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan dini dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan ketidakmatangan emosi,30 gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat pernikahan dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan diatas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam pasal 15 ayat (1), untuk kemaslahatan keluarga

28

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Bandung: Citra Umbara, 2007. Pasal 7.

29

Shappiro. F, Mencegah Perkawinan yang Tidak Bahagia. Jakarta: Restu Agung,2000, h.19.

30 Ibid.

dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974. Pasal 60 KHI menyebutkan pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan. Yang dapat mencegah perkawinan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai, suami atau isteri yang masih terikat dalam perkawinan dengan salah seorang calon isteri atau calon suami, serta pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan (vide pasal 62, 63, dan 64 KHI).31

31

BAB III

BATASAN USIA MINIMAL PERKAWINAN

A. Pandangan Imam Mazhab.

Perkawinan ialah Perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang pria dengan seorang seorang wanita,1 Perkawinan mempunyai arti dan kedudukan yang sangat penting dalam tata kehidupan manusia. Sebab dengan perkawinan, dapat dibentuk ikatan hubungan pergaulan antara dua insan yang berlainan jenis secara resmi dalam suatu ikatan suami-isteri menjadi satu keluarga. Selanjutnya keluarga dapat terus berkembang menjadi kelompok masyarakat. Tujuan yang ingin dicapai dari perkawinan ialah mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Fiqh klasik sebenarnya tidak melarang pernikahan di bawah umur. Pendapat ini didukung oleh mayoritas ulama dari 4 mazhab. Malah Ibn al-Mundzir menganggap bolehnya pernikahan di bawah umur sebagai ijmak kalau memang kuf` (sekufu). Dalil yang dipakai mayoritas ulama ini ada banyak, salah satunya adalah nikahnya Nabi Muhammad SAW dengan Aisyah sewaktu masih berumur 6 tahun.2 ﻰهو ﻪﻴﻠ ﻠ دأ وﻦﻴ ﻰهو ﺎﻬﺟوﺰ م ص ﻰﺒ ا نأ ﺎﻬ ﷲاﻰ ر ﺔﺸﺋﺎ ﻦ ﺎﻌﺴ ﺪ ﺜﻜ وﻊﺴ ) . ىرﺎ ﺒ ا اور ( 1

Sayuti Talib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta, UI Press, 1986, hal.73. 2

“Dari Aisyah R.A, Bahwa Nabi SAW telah menikahi ‘A`isyah RA sedang ‘A`isyah berumur 6 tahun, dan berumah tangga dengannya pada saat ‘Aisyah berumur 9 tahun, dan ‘Aisyah tinggal bersama Nabi SAW selama 9 tahun.”

(HR Bukhari)

Hukum Islam secara umum meliputi lima prinsip yaitu perlindungan terhadap agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal. Dari kelima nilai universal Islam ini, satu diantaranya adalah agama menjaga jalur keturunan (hifdzu al nasl).

Oleh sebab itu, Syekh Ibrahim dalam bukunya al Bajuri menuturkan bahwa agar jalur nasab tetap terjaga, hubungan seks yang mendapatkan legalitas agama harus melalui pernikahan. Seandainya agama tidak mensyari’atkan pernikahan, maka jalur keturunan akan kabur.3

Batas umur minimal tidak terdapat dalam berbagai mazhab secara kongkret yang dinyatakan dalam bilangan angka, yang terdapat pernyataan istilah baligh sebagai batas minimalnya. Para ulama mazhab sepakat bahwa haidh dan hamil merupakan bukti ke baligh-an seorang wanita. Hamil terjadi karena pembuahan ovum oleh sperma, sedangkan haidh kedudukannya sama dengan mengeluarkan sperma bagi laki-laki. Syafi'i dan Hambali menyatakan bahwa usia baligh untuk anak laki-laki dan perempuan adalah 15 tahun, sedangkan maliki menetapkannya 17 tahun. Sementara itu Hanafi menetapkan usia baligh untuk anak laki-laki adalah 18 tahun, sedangkan anak perempuan 17 tahun, pendapat

3

Hanafi dalam hal usia baligh ini adalah batas maksimal, sedangkan usia minimalnya adalah 12 tahun untuk anak laki-laki dan 9 tahun untuk anak perempuan, sebab pada usia tersebut seorang anak laki-laki mimpi mengeluarkan sperma, menghamili dan mengeluarkan mani (di luar mimpi),sedangkan pada anak perempuan dapat hamil dan haidh.4

Balig tidak dapat dipakai sebagai ukuran pasti bagi semua orang, karena masa balig tidak sama. Demikian pula tidak terdapat batas perbedaan umur antara kedua calon mempelai, karena itu terjadilah perkawinan anak kecil dan perkawinan antara dua orang suami isteri yang selisih umurnya sangat mencolok.

Sejatinya perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga bahagia, sejahtera dan dirhidoi Allah SWT, namun mengapa banyak perkawinan yang mengalami kegoncangan? Kalo kesiapan mental dalam menghadapi aspek kesulitan ekonomi, penghayatan keagamaan tentang hakekat perkawinan mengalami distorsi akibat pasangan itu belum dewasa sungguh-sungguh dalam artian fisik dan psikis.5

Agama Islam dalam prinsipnya tidak melarang secara terang-terangan tentang pernikahan muda usia, namun Islam juga tak pernah mendorong atau mendukung pernikahan usia muda (di bawah umur) tersebut, apa lagi dilaksanakan dengan tidak sama sekali mengindahkan dimensi-dimensi mental,

4

Muh. Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta : Lentera, 2003, h. 317. 5

Andi Syamsu Alam, Usia Ideal Memasuki Dunia Perkawinan : Sebuah Ikhtiar Mewujudkan Keluarga Sakinah, Jakarta : Kencanamas Publishing House, 2005, Cet .ke-1, h. 80.

hak-hak anak, psikis dan pisik terutama pihak wanitanya, dan juga kebiasaan dalam masyarakat, dengan dalih bahwa toh agama Islam sendiri tidak melarang. Agama sebaiknya tidak dipandang dengan kasatmata, namun lebih jauh lagi agama menekankan maksud dan inti dari setiap ajarannya dan tuntunannya. Dalam masalah pernikahan ini, Islam mendorong hal-hal agar lebih menjamin kepada suksesnya sebuah pernikahan. Yang diminta adalah kematangan kedua belah dalam menempuh kehidupan berkeluarga sehingga adanya saling take and give, berbagi rasa, saling curhat dan menasehati antara kedua belah pihak suami istri dalam mangarungi bahtera rumah tangga dan meningkatkan ketakwaan.6

Menikah dini yaitu menikah dalam usia remaja atau muda, bukan usia tua, hukumnya menurut syara' adalah sunnah (mandub),7 Sabda Nabi Muhammad SAW :

ﻦﺼﺣأوﺮﺼﺒﻠ ﺾﻏأﻪﱠﺈ جﱠوﺰﺘﻴﻠ ةءﺎﺒ اﻢﻜ عﺎﻄﺘ اﻦ بﺎﺒﱠﺸ اﺮﺸﻌ ﺎ ءﺎﺟوﻪ ﻪﱠﺈ مﻮﱠﺼ ﺎ ﻪﻴﻠﻌ ﻊﻄﺘﺴ ﻢ ﻦ وجﺮ ﻠ

“Wahai para pemuda, barangsiapa yang telah mampu, hendaknya kawin, sebab kawin itu akan lebih menundukkan pandangan dan akan lebih menjaga kemaluan. Kalau belum mampu, hendaknya berpuasa, sebab puasa akan menjadi perisai bagimu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits tersebut mengandung seruan untuk menikah bagi “para pemuda” (asy syabab), bukan orang dewasa (ar rijal) atau orang tua (asy syuyukh). Hanya

6

http://websiteayu.com/nikah-di-bawah-umur-menurut-fiqih-islam 7

saja seruan itu tidak disertai indikasi (qarinah) ke arah hukum wajib, maka seruan itu adalah seruan yang tidak bersifat harus (thalab ghairu jazim), alias mandub (sunnah). Pengertian pemuda (syab, jamaknya syabab) menurut Ibrahim Anis dalam kamus Al Mu’jam Al Wasith adalah orang yang telah mencapai usia baligh tapi belum mencapai usia dewasa (sinn al rujuulah). Sedang yang dimaksud kedewasaan (ar rujulah) adalah “kamal ash shifat al mumayyizah li ar rajul” yaitu sempurnanya sifat-sifat yang khusus/spesifik bagi seorang laki-laki.8

Istilah pernikahan dini adalah istilah kontemporer. Dini dikaitkan dengan waktu,yakni sangat di awal waktu tertentu. Lawannya adalah pernikahan kadaluwarsa. Bagi orang-orang yang hidup pada awal-awal abad ke-20 atau sebelumnya, pernikahan seorang wanita pada usia 13-14 tahun, atau lelaki pada usia 17-18 tahun adalah hal biasa, tidak istimewa. Tetapi bagi masyarakat kini, hal itu merupakan sebuah keanehan. Wanita yang menikah sebelum usia 20 tahun atau lelaki sebelum 25 tahun pun dianggap tidak wajar, "terlalu dini" istilahnya.9

Disamping itu, sejarah telah mencatat bahwa Aisyah dinikahi Baginda Nabi dalam usia sangat muda. Begitu pula pernikahan dini merupakan hal yang lumrah di kalangan sahabat. Sedangkan menurut Ibnu Hazm diperbolehkan menikahkan anak putri yang masih kecil dengan berpijak pada hadits Nabi

8

kamus Al Mu’jam Al Wasith, 1972, hal. 470. 9

Muhammad SAW. Sedangkan untuk anak (laki-laki) tidak diperbolehkan menikahkannya sewaktu dia masih belum baligh sampai dia baligh.10

Bahkan sebagian ulama menyatakan pembolehan nikah dibawah umur sudah menjadi konsensus pakar hukum Islam. Ibnu Syubromah menyatakan bahwa agama melarang pernikahan dini (pernikahan sebelum usia baligh). Menurutnya, nilai esensial pernikahan adalah memenuhi kebutuhan biologis, dan melanggengkan keturunan. Sementara dua hal ini tidak terdapat pada anak yang belum baligh. Ia lebih menekankan pada tujuan pokok pernikahan. Ibnu Syubromah mencoba melepaskan diri dari kungkungan teks. Memahami masalah ini dari aspek historis, sosiologis, dan kultural yang ada. Sehingga dalam menyikapi pernikahan Nabi Saw dengan Aisyah (yang saat itu berusia usia 6 tahun), Ibnu Syubromah menganggap sebagai ketentuan khusus bagi Nabi Saw yang tidak bisa ditiru umatnya.11 Wacana yang diluncurkan Ibnu Syubromah dinilai lemah dari sisi kualitas dan kuantitas, sehingga gagasan ini tidak dianggap. Konstruksi hukum yang di bangun Ibnu Syubromah sangat rapuh dan mudah terpatahkan.

Pendapat Imam Abu Hanifah yang masyhur adalah bahwa anak dianggap baligh jika sudah berumur 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan. Sedangkan menurut Imam Asy Syafi’i dan pengikutpengikutnya, anak laki-laki

10

Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, Beirut, Dar al-Fik bi dimisqor, 1984, vol 9 halaman 6682.

11

ataupun perempuan sama-sama telah baligh sewaktu berumur 13 tahun.12 Akan tetapi dari beberapa pendapat tersebut ada suatu muatan terpenting yang ingin penulis sampaikan berkaitan dengan batas usia dalam pernikahan, yaitu adanya kesiapan secara fisik, ekonomi maupun mental baik bagi laki-laki maupun perempuan memasuki jenjang kehidupan baru tersebut. Hal ini tidak lain karena dengan ikatan pernikahan akan terbentuk sebuah komunitas baru yang memiliki aturan-aturan yang masing mempunyai hak dan kewajiban, masing-masing pihak harus sadar akan tugas dan kewajibannya, harus toleran dengan penanganan hidupnya, guna mewujudkan keluarga yang bahagia dan kekal dunia akhirat (mawaddha warrahmah).

Pada hakekatnya, penikahan dini juga mempunyai sisi positif. Kita tahu, saat ini pacaran yang dilakukan oleh pasangan muda-mudi acapkali tidak mengindahkan norma-norma agama. Kebebasan yang sudah melampui batas, dimana akibat kebebasan itu kerap kita jumpai tindakan-tindakan asusila di masyarakat. Fakta ini menunjukkan betapa moral bangsa ini sudah sampai pada taraf yang memprihatinkan. Hemat penulis, pernikahan dini merupakan upaya untuk meminimalisir tindakan-tindakan negatif tersebut. Daripada terjerumus dalam pergaulan yang kian mengkhawatirkan, jika sudah ada yang siap untuk bertanggungjawab dan hal itu legal dalam pandangan syara’.13

12

Muhammad Ali As Sayis, Tafsir Ayat Al Ahkam, Muhammad Ali Sabik, 1983, h. 185.

13

http://www.pesantrenvirtual.com/index.php/islam-kontemporer/1240-pernikahan-dini-dalam-perspektif-agama-dan-negara.

Dokumen terkait