Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
Haris Santoso NIM : 105044101368
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syar’iah (S.Sy)
Disusun Oleh :
M.HARIS BARKAH NIM : 105044101372
Dibawah Bimbingan, Pembimbing
Drs.H.A.Basiq Djalil,SH, MA NIP : 19500306 197603 1001
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
PERSPEKTIF IMAM MAZHAB,” Telah di ujikan dalam sidang munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 17 JUNI 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata satu (SI) pada Program Studi Ahwal Al-syakhshiyyah (Peradilan Agama).
Jakarta, 21 Juni 2010. Disahkan Oleh
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr . H . M. Amin Suma, SH., MA., MM NIP. 19550505 198203 1012
Paniti Ujian Munaqasyah.
Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA (...) NIP.19500306 197603 1001
Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag, MH (...) NIP. 1927 0224 199803 1003
Pembimbing : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA (...) NIP 19500306 197603 1001
Penguji I : Dr. Hj. Mesraini, M.Ag (...) NIP. 150 326 895
Prof. Dr . H . M. Amin Suma, SH., MA., MM NIP. 19550505 198203 1012
Prof. Dr . H . M. Amin Suma, SH., MA., MM NIP. 19550505 198203 1012
Prof. Dr . H . M. Amin Suma, SH., MA., MM NIP. 19550505 198203 1012
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 8 juni 2010
puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang maha kuasa atas
segala sesuatu,yang telah memberikan rahmat, kasih saying-Nya , karena atas
ridha-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga
selalu tercurah kepada junjungan Rasulullah Sayyidina Nabiyyina Muhammad
SAW, serta keluarga,sahabat dan seluruh umatnya. Karena atas ketauladannya dan
keberkahannya penulis dapat melewati masa-masa tersulit dalam penulisan skripsi
ini.
Selama masa perkuliahan hingga tahap akhir penyusunan skripsi ini,
banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan motivasi bagi penulis. Oleh
karena itu, dalam tulisan ini, penulis ingin mengungkapkan rasa terima kasih,
penghargaan yang sedalam-dalamnya dan penghormatan yang setinggi-tingginya
kepada Bapak :
1. Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas
Syari’ah dan Hukum.
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., selaku Ketua Program Studi Ahwal Al
syakhshiyyah serta bapak Kamarusdiana, S.Ag, M.Hum., selaku Sekretaris
Program Studi Ahwal Al syakhshiyyah.
3. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., selaku Dosen Pembimbing yang telah
bisa mengamalkannya dengan penuh kesadaran dan keikhlasan
5. Pimpinan perpustakaan dan staf-stafnya yang telah memberikan fasilitas bagi
penulis untuk mengadakan studi perpustakaan.
6. Ayahanda Hidayat (Alm) dan Ibunda tercinta Hayati yang telah memberikan
kasih sayang, do’a, semangat dan pengorbanan sepanjang masa hingga sampai
sekarang ananda dapat menuntut ilmu hingga jenjang ini. Seluruh adik-adikku
dan keluarga besar yang telah mengorbankan seluruh jiwa raganya untuk
penulis.
7. Kakek tercinta H. Sarbih dan Nenek yang amat ku cintai Hj.Hamdah yang
telah merawatku dan menjagaku dengan segenap jiwa dan raganya, serta
memberikan kasih sayang, do’a, semangat dan pengorbanan hingga sampai
sekarang aku dapat menuntut ilmu hingga jenjang ini. Semua bibiku yang
sudah ku anggap sebagai kakak-kakak ku khususnya Badriyah, Ferawati dan
keluarga besar yang telah mengorbankan seluruh jiwa raganya untuk penulis.
8. Sahabat-sahabat satu angkatan Konsentrasi Peradilan Agama kelas A dan B
yang telah banyak membantu serta bertukar pikiran baik selama belajar hingga
detik-detik pelaksanaan wisuda.
9. Semua sahabat-sahabatku di dalam bermusik kususnya , Al-farhan, Q-net dan
la-libanon yang telah memberikan masukan dan motivasi.
10.Sahabat-sahabat anak bintara dan pondok kelapa dari A sampai Z yang selalu
segala kebaikan yang telah diberikan mendapatkan ganjaran yang setimpal serta
selalu mendapat ridha-Nya Allah SWT. Amin.
Jakarta, 4 Juni 2010 M
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6
D. Study Review ... 7
E. Metode Penelitian ... 8
F. Kerangka Konseptual ... 9
G. Sistematika Penulisan ... 11
BAB II PERKAWINAN DAN PERMASALAHAN DI DALAMNYA A. Pengertian dan Tujuan Perkawinan ... 13
B. Syarat dan Rukun Perkawinan ... 23
B. Menurut Kompilasi Hukum Islam ... 35
C. Dewasa Menurut Biologis dan Psikologis ... 37
D. Faktor Pendorong Perkawinan Usia Muda ... 41
E. Dampak Positip dan Negatif Perkawinan Usia Muda ... 43
BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN BATAS USIA MINIMAL MELAKUKAN PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIP DENGAN PENDAPAT FUQAHA A. Persamaan Hukum Islam dengan Hukum Positip. ... . 46
B. Perbedaan Hukum Islam dengan Hukum Positip ... 49
C. Latar Belakang Perbedaan antara Hukum Positip dengan Pendapat Fuqoha ... 55
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 57
B. Saran. ... 58
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang masalah.
Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dan tak pernah terlupakan dalam perjalanan hidup seseorang dalam membentuk dan membina keluarga bahagia. Untuk itu diperlukan perencanaan yang matang dalam mempersiapkan segala sesuatunya meliputi aspek fisik, mental, dan sosial ekonomi. Perkawinan akan membentuk suatu keluarga yang merupakan unit terkecil yang menjadi sendi dasar utama bagi kelangsungan dan perkembangan suatu masyarakat bangsa dan negara. Perkawinan yang baik adalah perkawinan yang sah dan tidak di bawah tangan. Karena perkawinan adalah sakral dan tidak dapat dimanipulasikan dengan apa pun.
permasalahan yang timbul dalam rumah tangga kelak di kemudian hari. Banyak pasangan perkawinan usia muda yang tidak memperhatikan tentang kesehatan kedua belah pihak karena mereka berfikir perkawinan dalam usia muda sangatlah mudah padahal dalam kenyataannya tidak demikian.
Agama Islam tidak membatasi usia tertentu dalam menikah. Namun, secara implisit syariat menghendaki orang yang hendak menikah adalah orang yang benar-benar sudah siap mental,fisik dan psikis,dewasa dan faham arti sebuah pernikahan yang merupakan bagian dari ibadah.
Tidak ditetapkannya usia tetentu dalam masalah usia sebenarnya memberikan kebebasan bagi umat untuk menyelesaikan masalah tersebut tergantung situasi, kondisi, kepentingan pribadi keluarga atau kebiasaan masyarakat setempat yang jelas kematangan jasmani dan rohani kedua belah pihak menjadi prioritas utama dalam agama, usia perkawinan dalam undang-undang.1
Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1 merumuskan pengertian perkawinan sebagai berikut : “Perkawinan ialah ikatan lahir antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.2
Perkawinan adalah: melaksanakan Aqad (perikatan yang dijalin dengan pengakuan kedua belah pihak (antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
1
http//google search//perkawinan dibawah umur.
2
atas dasar keridhoan dan kesukaan kedua belah pihak, oleh seorang wali dari pihak perempuan menurut sifat yang telah ditetapkan syarat untuk menghalalkan hidup serumah dan menjadikan yang seorang condong kepada yang seorang lagi dan menjadikan masing-masing dari padanya sekutu (teman hidup).3
Suatu perkawinan pada dasarnya yaitu untuk menyatukan dua insan yang berbeda baik secara fisik maupun psikologis. Oleh karena itu dalam kehidupannya suami/istri harus mempunyai konsekuensi serta komitmen agar perkawinan tersebut dapat dipertahankan. Dengan demikian dapat di tarik suatu kesimpulan bahwa dilakukannya suatu perkawinan akan memberikan motivasi/dorongan kepada seseorang untuk bertanggung jawab, baik pada dirinya sendiri maupun pada orang lain (istrinya).
Perkawinan usia muda adalah perkawinan yang dilakukan oleh seseorang yang pada hakekatnya kurang mempunyai persiapan atau kematangan baik secara biologis, psikologis maupun sosial ekonomi. Perkawinan usia muda mempunyai dampak yang nyata terhadap tingkat kesejahteraan keluarga. Hal ini dapat ditinjau dari sisi keharmonisan dan ketentraman keluarga, keserasian dan keselarasan pasangan usia muda serta pemenuhan kebutuhan materil dan spirituilnya masih kurang baik. Meskipun cenderung memberikan dampak negatif, perkawinan usia muda juga memberi dampak positif terhadap pasangan usia muda diantaranya adalah untuk menghindari perzinahan yang sering dilakukan para remaja dan memberikan suatu pelajaran kepada pasangan usia muda untuk bertanggung jawab.
3
Masa muda dimulai pada usia dua belas tahun dan diakhiri pada usia lima belas tahun,4 batasan muda usia secara global berlangsung antara umur 12 dan 21 tahun dengan pembagian 12-15 tahun masa muda awal, 15-18 tahun masa muda pertengahan, 18-21 tahun masa muda akhir.5 secara tradisional masa muda dianggap sebagai “badai dan tekanan” yaitu suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar.6
Batas umur minimal untuk melakukan perkawinan tidak terdapat dalam berbagai mazhab secara kongkret yang dinyatakan dalam bilangan angka, yang terdapat pernyataan istilah balig sebagai batas minimalnya. Balig tidak dapat dipakai sebagai ukuran pasti bagi semua orang, karena masa balig tidak sama. Demikian pula tidak terdapat batas perbedaan umur antara kedua calon mempelai, karena itu terjadilah perkawinan anak kecil dan perkawinan antara dua orang suami isteri yang selisih umurnya sangat mencolok.
Pasangan usia muda belum mampu dibebani suatu pekerjaan yang memerlukan ketrampilan fisik, untuk mendatangkan penghasilan baginya, dan mencukupi kebutuhan keluarganya. Faktor ekonomi adalah salah satu faktor yang berperan dalam mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan rumah tangga.
4
Konopka. Psikologi Perkembangan Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Gajah Mada. University Press, (Yogyakarta 1997), hal 241.
5
Monks. Psikologi Perkembangan. Gajah Mada. University Press. (Yogyakarta 1998), hal 262
6
Inilah yang menjadi latar belakang penulis mengambil skripsi dengan
judul BATAS MINIMAL USIA PERKAWINAN DI INDONESIA
PERSPEKTIF IMAM MAZHAB.
B. Batasan dan Rumusan Masalah. 1. Pembatasan Masalah.
Agar tidak menyimpang dari apa yang di inginkan penulis, maka penulis membatasinya dengan melihat apa saja yang menjadi perbedaan antar hukum positip, KHI, dengan hukum islam mengenai batas usia melakukan perkawinan.
2. Perumusan Masalah
Menurut Undang-undang no 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam tentang batas usia melakukan perkawinan adalah bagi laki-laki adalah 19 Tahun dan bagi perempuan adalah 16 Tahun. Akan tetapi di dalam fikih tidak di sebutkan dalam bentuk angka, karena dalam Agama Islam tidak membatasi usia tertentu dalam melakukan perkawinan. Rumusan masalah pada pembahasan skripsi ini penulis coba tuangkan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.
Sebagaimana rumusan diatas tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mengetahui lebih mendalam tentang batas usia pernikahan menurut hukum positip, hukum Islam, dan untuk lebih mengetahui apakah yang menjadi pertimbangan hukum Islam dan hukum positip sehingga timbul perbedaan-perbedaan dalam masalah tersebut.
Berdasarkan latar belakang diatas, hasil studi ini diharapkan bermanfaat bagi :
1. Memperluas pengetahuan hukum, khususnya hukum keperdataan islam dibidang perkawinan. Khususnya tentang batas usia melakukan perkawinan menurut hukum Islam.
2. Pengembangan wawasan hukum tentang pengetahuan hukum khususnya perkara-perkara yang menyangkut permasalahan batas usia dalam melaksanakan perkawinan agar menyikapinya secara lebih objektif dengan mengadakan sosialisasi terhadap masyarakat selaku pelaksana hukum. 3. Sosialisasi hukum terhadap masyarakat muslim di Indonesia khususnya
D. Study Review.
Achmad Saprudin, mahasiswa universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul Perkawinan di bawah Umur di Desa Pantai Bahagia Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berapa usia seseorang sebaiknya menikah, dan faktor apa yang menyebabkan masyarakat di Desa Pantai Bahagia Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi melakukan pernikahan di bawah umur.
Saepudin, mahasiswa universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul Tinjauan Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Penetapan Usia Perkawinan (studi kasus di kantor urusan Agama Kecamatan Sawangan Depok), penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh sebelum dan sesudah berlakunya Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 terhadap usia perkawinan di KUA Kecamatan Sawangan Depok.
dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Penetapan Usia Perkawinan (studi kasus di kantor urusan Agama Kecamatan Sawangan Depok) hanya terfokus pada pengaruh sebelum dan sesudah berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 terhadap usia perkawinan di Kecamatan Sawangan Depok. Sedangkan dalam skripsi ini penulis mencoba menjelaskan usia perkawinan dari dua sudut pandang yang berbeda yaitu menurut hukum positip dam hukum islam.
E. Metode Penelitian.
Untuk memperoleh gambaran dalam menganalisa masalah yang terdapat dalam skripsi ini, penulis melakukan penelitian hukum normatif atau kepustakaan yakni dengan cara mengumpulkan beberapa sumber pustaka untuk kemudian di pelajari dan di olah dalam proses pemngumpulan data.
Sedangkan jenis data yang penulis gunakan berupa bahan-bahan hukum yang terdiri dari :
1. Data hukum primer yaitu berupa kitab-kitab fiqh, kompilasi hukum Islam, dan undang-undang nomor 1 Tahun 1974, yang berkaitan dengan masalah batas usia minimal dalam melaksanakan perkawinan.
2. Data hukum sekunder yaitu berupa artikel-arikel, buku-buku yang berkaitan dengan batas usia melakukan perkawinan.
Setelah data-data tersebut terkumpul lalu penulis menyajikan dan menganalisanya dengan metode-metode sebagai berikut :
1. Metode induktif yaitu suatu cara dalam menganalisa data yang bertitik tolak dari data yang bersifat khusus, kemudian ditarik suatu kesimpulan yang yang bersifat umum.
2. Metode analisis komperatif yaitu metode yang penulis gunakan antara hukum Islam dan hukum positip yang membahas tentang masalah yang ada.
Sedangkan Metode penulisan ini bersumber dari buku pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.
F. Kerangka Konseptual.
Perkawinan adalah: melaksanakan Aqad (perikatan yang dijalin dengan pengakuan kedua belah pihak (antara seorang laki-laki dan seorang perempuan atas dasar keridhoan dan kesukaan kedua belah pihak, oleh seorang wali dari pihak perempuan menurut sifat yang telah ditetapkan syarat untuk menghalalkan hidup serumah dan menjadikan yang seorang condong kepada yang seorang lagi dan menjadikan masing-masing dari padanya sekutu (teman hidup).7
Suatu perkawinan pada dasarnya yaitu untuk menyatukan dua insan yang berbeda baik secara fisik maupun psikologis. Oleh karena itu dalam
7
kehidupannya suami/istri harus mempunyai konsekuensi serta komitmen agar perkawinan tersebut dapat dipertahankan. Dengan demikian dapat di tarik suatu kesimpulan bahwa dilakukannya suatu perkawinan akan memberikan motivasi/dorongan kepada seseorang untuk bertanggung jawab, baik pada dirinya sendiri maupun pada orang lain (istrinya).
Memasuki suatu perkawinan dituntut untuk melibatkan diri secara emosional atau batin, dalam hal ini bahwa individu yang telah memasuki lembaga perkawinan harus mampu mengendalikan dan mengembangkan kebutuhan emosional dengan pasangan hidupnya agar tercapai sebuah suasana rumah tangga yang bahagia, seperti yang menjadi tujuan dari dilaksanakan perkawinan. Karena perkawinan disyari’atkan oleh Islam mempunyai tujuan sangat agung dan mulia, yaitu untuk mewujudkan terbentuknya rumah tangga bahagia dan sejahtera yang diliputi oleh rasa cinta dan kasih sayang yang melahirkan generasi manusia yang sholeh dan sholehah. Sehingga perkawinan yang bahagia dan kekal, perlu dipersiapkan dengan sungguh-sungguh, agar perkawinan menjadi “Surga Kehidupan” dan bukan sebaliknya.
Masa muda dimulai pada usia dua belas tahun dan diakhiri pada usia lima belas tahun,8 batasan usia secara global berlangsung antara umur 12 dan 21 tahun dengan pembagian 12-15 tahun masa muda awal,15-18 tahun masa muda pertengahan, 18-21 tahun masa muda akhir.9
8
Konopka. Psikologi Perkembangan Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Gajah Mada. University Press, (Yogyakarta 1997), hal 241
9
Secara tradisional masa muda dianggap sebagai “badai dan tekanan” yaitu suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar.10
Dengan demikian maka kesiapan atau kematangan psikologis sangat menentukan tingkat keberhasilan dari sebuah rumah tangga yang ingin dibentuk. Dalam hal ini diharapkan seseorang telah memiliki kematangan psikologis sebelum memasuki jenjang perkawinan, karena dengan kematangan psikologis inilah seseorang telah dapat meredam dan memecahkan setiap permasalahan yang timbul dalam rumah tangga kelak di kemudian hari.
G. Sistematika Penulisan.
Sistematika penulisan ini dibagi dalam lima bab, sebagai berikut: Bab Pertama : Pendahuluan, berisikan latar belakang masalah, batasan dan
rumusan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan
Bab Kedua : Sekilas mengenai perkawinan, berisikan pengertian dan tujuan perkawinan, syarat perkawinan, batas usia perkawinan, sebab dan akibat putusnya perkawinan menurut ketentuan Undang-undang No 1 tahun 1974.
Bab Ketiga : Berisikan mengenai pendapat para imam mazhab dan Kompilasi Hukum Islam mengenai batas usia melakukan
10
perkawinan, dan tentang usia dewasa dalam pandangan biologis dan psikologis.
Bab Keempat : Pada bab ini akan membahas tentang analisis perbandingan dampak perkawinan di bawah umur.
BAB II
PERKAWINAN DAN PERMASAHAN DI DALAMNYA
A. Pengertian dan Tujuan perkawinan. 1. Pengertian Perkawinan.
Pernikahan berasal dari kata dasar nikah, kata nikah memiliki persamaan
dengan kata kawin. Menurut istilah nikah itu berarti melakukan suatu akad atau
perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan yang bertujuan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara
keduanya dengan dasar suka rela demi terwujudnya keluarga bahagia yang
diridhoi oleh Allh SWT. Sedangkan dalam Kamus Besar Indonesia nikah
mempunyai arti hubungan antara laki-laki dan perempuan untuk menjadi suami
istri secara resmi.1
Sebagian ulama dalam mengemukakan arti perkawinan hanya
menonjolkan aspek lahiriah yang bersifat normative, seperti definisi nikah
menurut empat mazhab yakni nikah sebagai aqad yang membawa kebolehan
bagi seorang laki-laki untuk berhubungan badan dengan seorang perempuan.2
Ada juga beberapa definisi nikah yang dikemukakan oleh fuqoha,
namun pada prinsipnya tidak terdapat perbedaan yang berarti karena semuanya
1
Departemen P dan K, Kamus Besar Indonesia, cet. 3, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, h. 614.
2
mengarah kepada makna akad kecuali pada penekanan redaksi yang digunakan.
Nikah pada hakekatnya adalah akad yang diatur oleh agama untuk memberikan
kepada pria hak memiliki dan menikmati faraj dan seluruh tubuh wanita untuk penikmatan sebagai tujuan primer.3
Bagi ulama Hanafiah akad nikah membawa konsekuensi bahwa suami
istri berhak memiliki kesenangan (mik al mut’ah) dari istrinya, dari ulama Malikiyah akad nikah membawa akibat pemilikan bagi suami untuk
mendapatkan kelezatan (talazuz) dari istrinya. Sedangkan bagi ulama Syafi’iyah akad membawa akibat suami memiliki kesempatan untuk melakukan jima’
(bersetubuh) dengan istrinya.4 Sebagian ulama Syafi’iyyah memandang bahwa
akad nikah bukanlah untuk memberikan hak milik pada kaum laki-laki saja
akan tetapi kedua belah pihak. Maka golongan itu berpendapat bahwa seorang
istri berhak menuntut persetubuhan dari suami dan suami berkewajiban
memenuhinya sebagaimana suami berhak menentukan persetubuhan dari
istrinya.5
Sedangkan Abu Zahra menyusun ta'rif perkawinan sebagai suatu aqad
yang menimbulkan halalnya hubungan raga antara seorang laki-laki dan
perempuan, tolong menolong antara keduanya dan menyatukan hak-hak dan
3
Bakri A. Rahman dan Ahmadi Sukadja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undang-undang Perkawinan dan Hukum Perdata/BW, Hidakarya Agung, Jakarta, 1981, h. 13.
4
Abdu Ar Rahman Al Jaziri, Kitab al Fiqih ‘Ala Al Ma’zahib Al Arba’ah, Dar Al Fikr, Beirut, 1969, h. 2-3
5
kewajiban keduanya.6 Dalam hal ini Abu Zahra lebih modern dalam
memberikan definisi nikah tersebut yaitu tidak hanya sebatas mengenai
hubungan badan saja akan tetapi menambahkannya dengan hak-hak dan
kewajiban bagi seorang istri dan suami.
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuat sebagai
penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita dalam membentuk
suatu keluarga atau rumah tangga.Dalam membentuk suatu keluarga tentunya
memerlukan suatu komitmen yang kuat diantara pasangan tersebut. Sehingga
dalam hal ini Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974 tentang perkawinan
pada pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa suatu perkawinan dapat dinyatakan sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan
pasangan yang melakukan pernikahan.7 Landasan hukum agama dalam
melaksanakan sebuah perkawinan merupakan hal yang sangat penting dalam
UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, sehingga penentuan boleh tidaknya
perkawinan tergantung pada ketentuan agama. Hal ini berarti juga bahwa
hukum agama menyatakan perkawinan tidak boleh, maka tidak boleh pula
menurut hukum negara. Jadi dalam perkawinan berbeda agama yang menjadi
boleh tidaknya tergantung pada ketentuan agama.
6
Chuzaimah T. Yanggo, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Pustaka Firdaus, Jakarta 2002, h. 104.
7
Menurut pasal 1 UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud
perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan di dalam
ketentuan pasal-pasal KUHPerdata, tidak memberikan pengertian perkawinan
itu. Oleh karena itu untuk memahami arti perkawinan dapat dilihat pada ilmu
pengetahuan atau pendapat para sarjana. Ali Afandi mengatakan bahwa
“perkawinan adalah suatu persetujuan kekeluargaan”.8
Dan menurut Scholten perkawinan adalah ”hubungan hukum antara
seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang
diakui oleh negara”.9 Jadi Kitab Undang-undang Hukum Perdata memandang
soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.
Perkawinan adalah: melaksanakan Aqad (perikatan yang dijalin dengan
pengakuan kedua belah pihak (antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
atas dasar keridhoan dan kesukaan kedua belah pihak, oleh seorang wali dari
pihak perempuan menurut sifat yang telah ditetapkan syarat untuk
menghalalkan hidup serumah dan menjadikan yang seorang condong kepada
8
Ali Afandi, hukum waris,hukum keluarga, hukum pembuktian, Jakarta, Rineka cipta,1997 h. 94.
9
yang seorang lagi dan menjadikan masing-masing dari padanya sekutu (teman
hidup).10
Suatu perkawinan pada dasarnya yaitu untuk menyatukan dua insan
yang berbeda baik secara fisik maupun psikologis. Oleh karena itu dalam
kehidupannya suami/istri harus mempunyai konsekuensi serta komitmen agar
perkawinan tersebut dapat dipertahankan. Dengan demikian dapat di tarik suatu
kesimpulan bahwa dilakukannya suatu perkawinan akan memberikan
motivasi/dorongan kepada seseorang untuk bertanggung jawab, baik pada
dirinya sendiri maupun pada orang lain (istrinya). Sesuai dengan apa yang di
firman kan Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 1.
⌧ ☯
⌧
“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan dari jiwa yang satu itu Dia menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Dia memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (An-Nisa`: 1)
Perkawinan suatu cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia
untuk beranak, berkembang baik dan kelestarian hidupnya, setelah
10
masingmasing pasangan siap melakukan perannya yang positif dalam
mewujudkan tujuan perkawinan.11
Salah satu bentuk perkawinan yang kita ketahui adalah monogami dan
poligami. Monogami adalah perkawinan dengan isteri tunggal, artinya seorang
laki-laki menikah dengan seorang perempuan. Sedangkan poligami adalah
perkawinan dengan dua orang perempuan atau lebih dalam waktu yang sama.12
2. Tujuan Perkawinan.
Ada tiga sumber alasan pokok kenapa pernikahan harus dilakukan.
Pertama, menurut Al-quran ; Kedua, Menurut hadits, Ketiga menurut akal.13
a. Menurut Al-quran.
Ada dua ayat yang menonjol tentang hal pernikahan ini, pertama dalam
surat al-a'araf : 189.
☺ ☺
⌧ ☺
☺ ☺
☺ ☯
“Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar Dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah Dia merasa ringan (Beberapa waktu). kemudian tatkala Dia merasa berat,
11 Sayyid Sabiq,
Fiqih Sunnah , Darul Fikry, Beirut, t.t., h. 19.
12
Ahmad Kuzairi , Nikah sebagai Perikatan, ( Jakarta : PT, Raja Grafindo Persada, 1995) cet. I. h.159.
13
keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi Kami anak yang saleh, tentulah Kami terraasuk orang-orang yang bersyukur".
Ayat tersebut diatas menyatakan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk
senang, dari ayat ini tampaknya kita tidak juga dilarang
bersenang-senang (tentunya tidak sampai meninggalkan hal-hal yang penting karenanya,
karena memang diakui bahwa rasa senang itu salah satu unsur untuk
mendukung sehat rohani dan jasmani.14 dan yang kedua dalam surat Al-ruum :
21.
☯
☺
⌧
“dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
Dalam ayat tersebut terkandung ada tiga yang di tuju satu perkawinan
yakni :
Litaskunu ilaiha, artinya suapaya tenang/diam. Akar kata taskunu dan yang sepertinya adalah sakana, sukun, sikin. Yang semua berarti diam. Itulah
14
sebab pisau dinamakan sikin, karena bila diarahkan keleher hewan ketika
menyembelih hewan itu diam ;15
Mawaddah, membina rasa cinta, akar kata mawaddah adalah wadda
yang berarti meluap tiba-tiba, terkadang tidak terkendali, karena itulah
pasangan-pasangan muda dimana rasa cintanya sangat tinggi, termuat
kandungan cemburu, sedang rahma atau sayangnyamasih rendah, banyak terjadi benturan karena tak mampu mengontrol kata cinta yang memang terkdang sulit
di kontrol karena intensitasnya tinggi dan sering meluap-luap.16
b. Menurut Hadits.
Ada hal yang dituju perkawinan menurut hadits. yaitu untuk
menundukan pandangan dan menjaga faraj (kemaluan). Itulah kenapa nabi
menganjurkan berpuasa bagi yang telah sampai umur bila kemampuan materiil
belum memungkinkan.17
ﻦﺼﺣأوﺮﺼﺒﻠ ﺾﻏأﻪﱠﺈ جﱠوﺰﺘﻴﻠ ةءﺎﺒ اﻢﻜ عﺎﻄﺘ اﻦ بﺎﺒﱠﺸ اﺮﺸﻌ ﺎ
ءﺎﺟوﻪ ﻪﱠﺈ مﻮﱠﺼ ﺎ ﻪﻴﻠﻌ ﻊﻄﺘﺴ ﻢ ﻦ وجﺮ ﻠ
“Wahai para pemuda, barangsiapa yang telah mampu, hendaknya kawin, sebab kawin itu akan lebih menundukkan pandangan dan akan lebih menjaga
15 Ibid.
16
Ibid.,h.88
17
kemaluan. Kalau belum mampu, hendaknya berpuasa, sebab puasa akan menjadi perisai bagimu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
c. Menurut Akal.
Menurut akal sehat yang sederhana, ada tiga yang dituju suatu
perkawinan :
Pertama, bumi ini cukup luas, kelilingnya ada 40.000 KM, sedangkan garis tengah atau diameternya ada 12.500 KM, wilayah yang demikian luas
tentunya harus diurus oleh orang banyak, karena bumi ini Allah nyatakan di
buat untuk kita (manusia). Bila orangnya sedikit tentu banyak wilayah yang
sia-sia. Untuk meningkatkan jumlah manusia tentunya harus dengan
perkawinan/prnikahan.18
Kedua, bila manusia banyak tentunya harus diwujudkan ketertiban/ keteraturan terutama yangberkaitan dengan nasab, sebab kalau nasab tidak tertib
tentu akan terjadi kekacauan kareba tidak diketahui si A anak siapa dan si B
anak siapa bila nasab tidak tertata rapi tentu semua akan tidak menentu, tentu
ini menjadi awal sebesar-besar bencana.19
Ketiga untuk ketertiban kewarisan setiap orang yang hidup tentu akan memiliki barang atau benda yang diperlukan manusia,meski hanya sekeping
papan atau sehelai kain. Ketika manusia itu wafat tentu harus ada ahli waris
18
Ibid.h.90.
yang menerima atau menampung harta tersebut. Nah untuk tertibnya pada ahli
waris, tentunya harus dilakukan prosedur yuang tertib pula, yakni dengan
pernikahan.20
Tujuan perkawinan yang diinginkan dalam Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang perkawinan bila kita rasakan adalah sangat ideal karena
tujuan perkawinan itu tidak hanya melihat dari segi lahiriah saja tetapi sekaligus
terdapat adanya suatu pertautan batin antara suami dan istri yang ditujukan
untuk membina suatu keluarga atau rumah tangga yang kekal dan bahagia bagi
keduanya dan yang sesuai dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa, Bahwa
dengan melangsungkan perkawinan akan diperoleh kebahagiaan, baik materiil
maupun spirituil. Kebahagiaan yang ingin dicapai bukanlah kebahagiaan yang
sifatnya sementara saja, tetapi kebahagiaan yang kekal, karenanya perkawinan
yang diharapkan juga adalah perkawinan yang kekal, yang dapat berakhir
dengan kematian.21
Tujuan perkawinan menurut hukum Islam adalah untuk memenuhi hajat
dan tabiat kemanusiaan berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam
rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta kasih
sayang untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan
mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam syariat. Dalam hukum
20 Ibid.
21
Islam perkawinan juga bertujuan menuruti perintah Allah untuk memperoleh
keturunan yang sah dalam masyarakat yang mendirikan suatu rumah tangga
yang damai dan teratur.22
Sedangkan tujuan perkawinan menurut Hukum Adat adalah untuk
melahirkan generasi muda, melanjutkan garis hidup orang tua, mempertahankan
derajat memasuki inti sosial dalam masyarakat dan untuk memenuhi kebutuhan
hidup secara individu. Menurut Bambang Suwondo mengatakan bahwa tujuan
perkawinan menurut Hukum Adat ialah secara sosiologi untuk memperoleh
pengakuan dari masyarakat setempat.23
B. Syarat dan Rukun Perkawinan.
Syarat Sahnya Perkawinan Menurut pasal 2 UU No. 1/1974 tentang
perkawinan disebutkan bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.24 Setiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini sejalan dengan
KHI dalam pasal 4 KHI bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut Hukum Islam. Dan dalam pasal 5 KHI bahwa setiap perkawinan harus
dicatat agar terjamin ketertiban perkawinan. Kemudian dalam pasal 6 KHI
22
Thoha, Nasruddin 1967, Pedoman Perkawinan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1967, hal 16.
23
Bzn B.Ter Haar,Asas-asas dan Susunan Hukum Adat,Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta, hal 158-159.
24
bahwa perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatatan
nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.25
Dalam hal ini hukum Islam mengenal perbedaan antara syarat dan rukun
pernikahan. Rukun merupakan sebagian dari hakekat pernikahan itu sendiri dan
jika tidak dipenuhi maka pernikahan tidak akan terjadi.26 Adapun rukun dan
syarat perkawinan secara lengkap adalah sebagai berikut:27
1. Mempelai Laki-Laki / Pria
- Agama Islam
- Tidak dalam paksaan
- Pria / laki-laki normal
- Tidak punya empat atau lebih istri
- Tidak dalam ibadah ihram haji atau umroh
- Bukan mahram calon istri
- Yakin bahwa calon istri halal untuk dinikahi
- Cakap hukum dan layak berumah tangga
- Tidak ada halangan perkawinan
2. Mempelai Perempuan / Wanita
- Beragama Islam
- Wanita / perempuan normal (bukan bencong/lesbian)
25
Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Citra Umbara, 2007.
26
Ahmad Ichsan, Hukum Perkawinan bagi yang Beragama Islam, Suatu Tinjauan dan Ulasan secara Sosiologi Hukum, Pradia Paramita, Jakarta, 1986, h. 31.
27
- Bukan mahram calon suami
- Mengizinkan wali untuk menikahkannya
- Tidak dalam masa iddah
- Tidak sedang bersuami
- Belum pernah li'an
- Tidak dalam ibadah ihram haji atau umrah
3. Syarat Wali Mempelai Perempuan
- Pria dewasa beragama islam
- Tidak ada halangan atas perwaliannya
- Punya hak atas perwaliannya
4. Syarat-Syarat Sah Bagi Saksi Pernikahan/Perkawinan
- Pria / Laki-Laki
- Berjumlah dua orang
- Sudah dewasa / baligh
- Mengerti maksud dari akad nikah
- Hadir langsung pada acara akad nikah
5. Syarat-Syarat Akad Nikah Yang Sah :
- Ada ijab (penyerahan wali)
- Ada qabul (penerimaan calon suami)
- Ijab memakai kata nikah atau sinonim yang setara.
C. Batas Usia Minimal Perkawinan.
Undang-undang negara kita telah mengatur batas usia perkawinan.
Dalam Undang-undang Perkawinan bab II pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa
perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 (sembilan
belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas
tahun) tahun.28
Kebijakan pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia
pernikahan ini tentunya melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini
dimaksudkan agar kedua belah pihak benar-benar siap dan matang dari sisi
fisik, psikis dan mental. Dari sudut pandang kedokteran, pernikahan dini
mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan.29
Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan dini dapat
mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan ketidakmatangan
emosi,30 gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat
pernikahan dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak
negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan diatas umur
19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita. Sedangkan dalam Kompilasi
Hukum Islam diatur dalam pasal 15 ayat (1), untuk kemaslahatan keluarga
28
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Bandung: Citra Umbara, 2007. Pasal 7.
29
Shappiro. F, Mencegah Perkawinan yang Tidak Bahagia. Jakarta: Restu Agung,2000, h.19.
dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang
telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974.
Pasal 60 KHI menyebutkan pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila
calon suami atau calon isteri tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan
perundang-undangan. Yang dapat mencegah perkawinan adalah para keluarga dalam
garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali
pengampu dari salah seorang calon mempelai, suami atau isteri yang masih
terikat dalam perkawinan dengan salah seorang calon isteri atau calon suami,
serta pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan (vide pasal 62, 63,
dan 64 KHI).31
31
BAB III
BATASAN USIA MINIMAL PERKAWINAN
A. Pandangan Imam Mazhab.
Perkawinan ialah Perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang pria
dengan seorang seorang wanita,1 Perkawinan mempunyai arti dan kedudukan
yang sangat penting dalam tata kehidupan manusia. Sebab dengan perkawinan,
dapat dibentuk ikatan hubungan pergaulan antara dua insan yang berlainan jenis
secara resmi dalam suatu ikatan suami-isteri menjadi satu keluarga. Selanjutnya
keluarga dapat terus berkembang menjadi kelompok masyarakat. Tujuan yang
ingin dicapai dari perkawinan ialah mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat.
Fiqh klasik sebenarnya tidak melarang pernikahan di bawah umur.
Pendapat ini didukung oleh mayoritas ulama dari 4 mazhab. Malah Ibn
al-Mundzir menganggap bolehnya pernikahan di bawah umur sebagai ijmak kalau
memang kuf` (sekufu). Dalil yang dipakai mayoritas ulama ini ada banyak, salah
satunya adalah nikahnya Nabi Muhammad SAW dengan Aisyah sewaktu masih
berumur 6 tahun.2
ﻰهو ﻪﻴﻠ ﻠ دأ وﻦﻴ ﻰهو ﺎﻬﺟوﺰ م ص ﻰﺒ ا نأ ﺎﻬ ﷲاﻰ ر ﺔﺸﺋﺎ ﻦ
ﺎﻌﺴ ﺪ ﺜﻜ وﻊﺴ
) .
ىرﺎ ﺒ ا اور
(
1
Sayuti Talib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta, UI Press, 1986, hal.73.
2
“Dari Aisyah R.A, Bahwa Nabi SAW telah menikahi ‘A`isyah RA sedang ‘A`isyah berumur 6 tahun, dan berumah tangga dengannya pada saat ‘Aisyah berumur 9 tahun, dan ‘Aisyah tinggal bersama Nabi SAW selama 9 tahun.”
(HR Bukhari)
Hukum Islam secara umum meliputi lima prinsip yaitu perlindungan
terhadap agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal. Dari kelima nilai universal
Islam ini, satu diantaranya adalah agama menjaga jalur keturunan (hifdzu al nasl).
Oleh sebab itu, Syekh Ibrahim dalam bukunya al Bajuri menuturkan bahwa agar
jalur nasab tetap terjaga, hubungan seks yang mendapatkan legalitas agama harus
melalui pernikahan. Seandainya agama tidak mensyari’atkan pernikahan, maka
jalur keturunan akan kabur.3
Batas umur minimal tidak terdapat dalam berbagai mazhab secara
kongkret yang dinyatakan dalam bilangan angka, yang terdapat pernyataan istilah
baligh sebagai batas minimalnya. Para ulama mazhab sepakat bahwa haidh dan
hamil merupakan bukti ke baligh-an seorang wanita. Hamil terjadi karena
pembuahan ovum oleh sperma, sedangkan haidh kedudukannya sama dengan
mengeluarkan sperma bagi laki-laki. Syafi'i dan Hambali menyatakan bahwa usia
baligh untuk anak laki-laki dan perempuan adalah 15 tahun, sedangkan maliki
menetapkannya 17 tahun. Sementara itu Hanafi menetapkan usia baligh untuk
anak laki-laki adalah 18 tahun, sedangkan anak perempuan 17 tahun, pendapat
3
Hanafi dalam hal usia baligh ini adalah batas maksimal, sedangkan usia
minimalnya adalah 12 tahun untuk anak laki-laki dan 9 tahun untuk anak
perempuan, sebab pada usia tersebut seorang anak laki-laki mimpi mengeluarkan
sperma, menghamili dan mengeluarkan mani (di luar mimpi),sedangkan pada
anak perempuan dapat hamil dan haidh.4
Balig tidak dapat dipakai sebagai ukuran pasti bagi semua orang, karena
masa balig tidak sama. Demikian pula tidak terdapat batas perbedaan umur antara
kedua calon mempelai, karena itu terjadilah perkawinan anak kecil dan
perkawinan antara dua orang suami isteri yang selisih umurnya sangat mencolok.
Sejatinya perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga bahagia,
sejahtera dan dirhidoi Allah SWT, namun mengapa banyak perkawinan yang
mengalami kegoncangan? Kalo kesiapan mental dalam menghadapi aspek
kesulitan ekonomi, penghayatan keagamaan tentang hakekat perkawinan
mengalami distorsi akibat pasangan itu belum dewasa sungguh-sungguh dalam
artian fisik dan psikis.5
Agama Islam dalam prinsipnya tidak melarang secara terang-terangan
tentang pernikahan muda usia, namun Islam juga tak pernah mendorong atau
mendukung pernikahan usia muda (di bawah umur) tersebut, apa lagi
dilaksanakan dengan tidak sama sekali mengindahkan dimensi-dimensi mental,
4
Muh. Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta : Lentera, 2003, h. 317.
5
hak-hak anak, psikis dan pisik terutama pihak wanitanya, dan juga kebiasaan
dalam masyarakat, dengan dalih bahwa toh agama Islam sendiri tidak melarang.
Agama sebaiknya tidak dipandang dengan kasatmata, namun lebih jauh lagi
agama menekankan maksud dan inti dari setiap ajarannya dan tuntunannya.
Dalam masalah pernikahan ini, Islam mendorong hal-hal agar lebih menjamin
kepada suksesnya sebuah pernikahan. Yang diminta adalah kematangan kedua
belah dalam menempuh kehidupan berkeluarga sehingga adanya saling take and
give, berbagi rasa, saling curhat dan menasehati antara kedua belah pihak suami
istri dalam mangarungi bahtera rumah tangga dan meningkatkan ketakwaan.6
Menikah dini yaitu menikah dalam usia remaja atau muda, bukan usia tua,
hukumnya menurut syara' adalah sunnah (mandub),7 Sabda Nabi Muhammad
SAW :
ﻦﺼﺣأوﺮﺼﺒﻠ ﺾﻏأﻪﱠﺈ جﱠوﺰﺘﻴﻠ ةءﺎﺒ اﻢﻜ عﺎﻄﺘ اﻦ بﺎﺒﱠﺸ اﺮﺸﻌ ﺎ
ءﺎﺟوﻪ ﻪﱠﺈ مﻮﱠﺼ ﺎ ﻪﻴﻠﻌ ﻊﻄﺘﺴ ﻢ ﻦ وجﺮ ﻠ
“Wahai para pemuda, barangsiapa yang telah mampu, hendaknya kawin, sebab kawin itu akan lebih menundukkan pandangan dan akan lebih menjaga kemaluan. Kalau belum mampu, hendaknya berpuasa, sebab puasa akan menjadi perisai bagimu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits tersebut mengandung seruan untuk menikah bagi “para pemuda”
(asy syabab), bukan orang dewasa (ar rijal) atau orang tua (asy syuyukh). Hanya
6
http://websiteayu.com/nikah-di-bawah-umur-menurut-fiqih-islam
7
saja seruan itu tidak disertai indikasi (qarinah) ke arah hukum wajib, maka seruan itu adalah seruan yang tidak bersifat harus (thalab ghairu jazim), alias mandub (sunnah). Pengertian pemuda (syab, jamaknya syabab) menurut Ibrahim Anis dalam kamus Al Mu’jam Al Wasith adalah orang yang telah mencapai usia baligh
tapi belum mencapai usia dewasa (sinn al rujuulah). Sedang yang dimaksud kedewasaan (ar rujulah) adalah “kamal ash shifat al mumayyizah li ar rajul” yaitu sempurnanya sifat-sifat yang khusus/spesifik bagi seorang laki-laki.8
Istilah pernikahan dini adalah istilah kontemporer. Dini dikaitkan dengan
waktu,yakni sangat di awal waktu tertentu. Lawannya adalah pernikahan
kadaluwarsa. Bagi orang-orang yang hidup pada awal-awal abad ke-20 atau
sebelumnya, pernikahan seorang wanita pada usia 13-14 tahun, atau lelaki pada
usia 17-18 tahun adalah hal biasa, tidak istimewa. Tetapi bagi masyarakat kini,
hal itu merupakan sebuah keanehan. Wanita yang menikah sebelum usia 20 tahun
atau lelaki sebelum 25 tahun pun dianggap tidak wajar, "terlalu dini" istilahnya.9
Disamping itu, sejarah telah mencatat bahwa Aisyah dinikahi Baginda
Nabi dalam usia sangat muda. Begitu pula pernikahan dini merupakan hal yang
lumrah di kalangan sahabat. Sedangkan menurut Ibnu Hazm diperbolehkan
menikahkan anak putri yang masih kecil dengan berpijak pada hadits Nabi
8
kamus Al Mu’jam Al Wasith, 1972, hal. 470.
9
Muhammad SAW. Sedangkan untuk anak (laki-laki) tidak diperbolehkan
menikahkannya sewaktu dia masih belum baligh sampai dia baligh.10
Bahkan sebagian ulama menyatakan pembolehan nikah dibawah umur
sudah menjadi konsensus pakar hukum Islam. Ibnu Syubromah menyatakan
bahwa agama melarang pernikahan dini (pernikahan sebelum usia baligh).
Menurutnya, nilai esensial pernikahan adalah memenuhi kebutuhan biologis, dan
melanggengkan keturunan. Sementara dua hal ini tidak terdapat pada anak yang
belum baligh. Ia lebih menekankan pada tujuan pokok pernikahan. Ibnu
Syubromah mencoba melepaskan diri dari kungkungan teks. Memahami masalah
ini dari aspek historis, sosiologis, dan kultural yang ada. Sehingga dalam
menyikapi pernikahan Nabi Saw dengan Aisyah (yang saat itu berusia usia 6
tahun), Ibnu Syubromah menganggap sebagai ketentuan khusus bagi Nabi Saw
yang tidak bisa ditiru umatnya.11 Wacana yang diluncurkan Ibnu Syubromah
dinilai lemah dari sisi kualitas dan kuantitas, sehingga gagasan ini tidak dianggap.
Konstruksi hukum yang di bangun Ibnu Syubromah sangat rapuh dan mudah
terpatahkan.
Pendapat Imam Abu Hanifah yang masyhur adalah bahwa anak dianggap
baligh jika sudah berumur 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan.
Sedangkan menurut Imam Asy Syafi’i dan pengikutpengikutnya, anak laki-laki
10
Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, Beirut, Dar al-Fik bi dimisqor, 1984, vol 9 halaman 6682.
11
ataupun perempuan sama-sama telah baligh sewaktu berumur 13 tahun.12 Akan
tetapi dari beberapa pendapat tersebut ada suatu muatan terpenting yang ingin
penulis sampaikan berkaitan dengan batas usia dalam pernikahan, yaitu adanya
kesiapan secara fisik, ekonomi maupun mental baik bagi laki-laki maupun
perempuan memasuki jenjang kehidupan baru tersebut. Hal ini tidak lain karena
dengan ikatan pernikahan akan terbentuk sebuah komunitas baru yang memiliki
aturan-aturan yang masing mempunyai hak dan kewajiban,
masing-masing pihak harus sadar akan tugas dan kewajibannya, harus toleran dengan
penanganan hidupnya, guna mewujudkan keluarga yang bahagia dan kekal dunia
akhirat (mawaddha warrahmah).
Pada hakekatnya, penikahan dini juga mempunyai sisi positif. Kita tahu,
saat ini pacaran yang dilakukan oleh pasangan muda-mudi acapkali tidak
mengindahkan norma-norma agama. Kebebasan yang sudah melampui batas,
dimana akibat kebebasan itu kerap kita jumpai tindakan-tindakan asusila di
masyarakat. Fakta ini menunjukkan betapa moral bangsa ini sudah sampai pada
taraf yang memprihatinkan. Hemat penulis, pernikahan dini merupakan upaya
untuk meminimalisir tindakan-tindakan negatif tersebut. Daripada terjerumus
dalam pergaulan yang kian mengkhawatirkan, jika sudah ada yang siap untuk
bertanggungjawab dan hal itu legal dalam pandangan syara’.13
12
Muhammad Ali As Sayis, Tafsir Ayat Al Ahkam, Muhammad Ali Sabik, 1983, h. 185.
13
B. Menurut Kompilasi Hukum Islam.
Hukum Islam, dalam hal ini Al Qur`an dan hadits tidak menyebutkan
secara spesifik tentang usia minimum untuk menikah. Persyaratan umum yang
lazim dikenal adalah sudah baligh, berakal sehat, mampu membedakan yang baik
dengan yang buruk sehingga dapat memberikan persetujuannya untuk menikah.
Kompilasi Hukum Islam dalam perumusan ada 4 metodologi yang di terapkan :
pertama, Al-Quran dan Hadist sebagai sumber utama : kedua, pendapat atau
doktrin mazhab hanya sebagai orientasi, ketiga, mengutamakan pemecahan
problema masa kini : keempat, metodedologi kompromistis.14 Dalam hal usia
perkawinan telah di sebutkan dalam Pasal 15 KHI yaitu : Untuk kemaslahatan
keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai
yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1
tahun 1974 tentang perkawinan yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur
19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.15
Menurut ketentuan di dalam Pasal 15 tersebut, secara jelas KHI telah
membatasi umur calon mempelai (calon suami dan istri), sesuai dengan
14
Djalil, basiq., pernikahan lintas agama dalam persfektif fiqh dan kompilasi hukum islam, ( Jakarta : qalbun salim,2005 ) h. 45.
15
Undang yang berada di atasnya yaitu UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
Pasal 7 angka (1).16
Undang-undang ini masih memberi ruang bagi orang yang sudah
benar-benar dianggap baligh walaupun belum mencapai umur baligh dengan ketentuan
orang yang bersangkutan haruslah melaporkan dan memohon kepada pengadilan.
Perkara ini ditegaskan Wahbah al-Zuhaylî tujuannya adalah demi menjaga
kemaslahatan pemuda-pemudi dalam hal keprawanan dan keperjakaan di dalam
pernikahan, dan menjaga mereka daripada terjadi penyimpangan.17
Walau bagaimanapun, pembatasan ini pada dasarnya tidak ditetapkan
secara mutlak. Akan tetapi, orang terkait dapat meminta izin seperti pernyataan
yang terdapat di dalam Enactment tersebut. Begitu juga dengan KHI seperti Pasal
15 angka (2) KHI yang menyebutkan bahwa : Bagi calon mempelai yang belum
mencapai umur 21 tahun harus mendapati izin sebagaimana yang diatur dalam
pasal 6 ayat (2),(3),(4) dan (5) UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan.18
Alasan mengapa ditetapkan umur 19 tahun bagi lelaki dan 16 tahun bagi
wanita adalah mengacu pada alasan bahwa umur ini dianggap lebih matang fisik
16
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Bandung: Citra Umbara, 2007.
17
al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, vol. 9, 6689.
18
dan kejiwaannya. Yang jelas pembatasan ini adalah berdasarkan keadaan yang
dijumpai di dalam masyarakat Indonesia.19
C. Dewasa Menurut Biologis dan Psikologis. 1. Pandangan secara Biologis.
Memasuki suatu perkawinan dituntut untuk melibatkan diri secara
emosional atau batin, dalam hal ini bahwa individu yang telah memasuki lembaga
perkawinan harus mampu mengendalikan dan mengembangkan kebutuhan
emosional dengan pasangan hidupnya agar tercapai sebuah suasana rumah tangga
yang bahagia, seperti yang menjadi tujuan dari dilaksanakan perkawinan.20
Karena perkawinan disyari’atkan oleh Islam mempunyai tujuan sangat agung dan
mulia, yaitu untuk mewujudkan terbentuknya rumah tangga bahagia dan sejahtera
yang diliputi oleh rasa cinta dan kasih sayang yang melahirkan generasi manusia
yang sholeh dan sholehah. Sehingga perkawinan yang bahagia dan kekal, perlu
dipersiapkan dengan sungguh-sungguh, agar perkawinan menjadi “Surga
Kehidupan” dan bukan sebaliknya.
Masa muda dimulai pada usia dua belas tahun dan diakhiri pada usia lima
belas tahun,21 batasan usia secara global berlangsung antara umur 12 dan 21
19
Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2004), h. 70.
20
http://fatqur21.blogspot.com/2009/05/makalah-perkawinan-di-usia-muda.html 21
tahun dengan pembagian 12-15 tahun masa muda awal,15-18 tahun masa muda
pertengahan, 18-21 tahun masa muda akhir.22
Secara tradisional masa muda dianggap sebagai “badai dan tekanan” yaitu
suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan
fisik dan kelenjar.23
Adapun ciri-ciri kedewasaan seseorang cara biologis menurut para ulama
adalah sebagai berikut : para ulama ahli fiqh sepakat dalam menentukan taklif
(dewasa dari segi fisik, yaitu seseorang sudah dikatakan mukallaf/baligh) ketika
sudah keluar mani (bagi laki-laki), sudah haid atau hamil (bagi perempuan).24
Apabila tanda-tanda itu dijumpai pada seorang anak laki-laki maupun perempuan
maka para fuqaha sepakat menjadikan umur sebagai suatu ukuran, akan tetapi
mereka berselisih faham mengenai batas seseorang yang telah dianggap sudah
dewasa. Akan tetapi berdasarkan ilmu pengetahuan kedewasaan seseorang
tersebut akan dipengaruhi oleh keadaan zaman dan daerah dimana ia berada,
sehingga ada perbedaan percepat lambatnya kedewasaan seseorang.
22
Monks. Psikologi Perkembangan. Gajah Mada. University Press. (Yogyakarta 1998), h. 262.
23
Elizabeth B. Hurlock. 1994. Psikologis Perkembangan Sepanjang Rentang Kehidupan. Erlangga.(Jakarta 1994), h. 212.
24
2. Pandangan secara psikologis.
Ciri-ciri secara psikologis yang paling pokok adalah mengenai pola-pola
sikap, pola perasaan, pola pikir dan pola prilaku nampak diantaranya :
a. Stabilitas mulai timbul dan meningkat, pada masa ini terjadi banyak
penyesuaian dalam aspek kehidupan.
b. Citra diri dan sikap pandangan lebih realistis, pada masa ini mulai dapat
menilai dirinya sebagaimana adanya, menghargai miliknya, keluarganya,
orang lain seperti keadaan sesungguhnya sehingga timbul perasaan puas dan
menjauhkannya dari rasa kecewa.
c. Menghadapi masalahnya secara lebih matang, usaha pemecahan
masalah-masalah secara lebih matang dan realistis merupakan produk dari kemampuan
berfikir yang lebih sempurna dan ditunjang oleh sikap pandangan yang
realistis sehignga diperoleh perasaan yang lebih tenang.
d. Perasaan menjadi lebih tenang, ketenangan perasaan dalam menghadapi
kekecewaan atau hal-hal lain yang mengakibatkan kemarahan mereka,
ditunjang oleh adanya kemampuan pikir dan dapat menguasai atau
mendominasi perasaan-perasaannya serta keadaan yang realistis dalam
menentukan sikap, minat dan cita-cita mengakibatkan mereka tidak terlalu
akan semakin kuat jika mereka mendapat proyek respek dari orang lain atau
usaha-usaha mereka.25
Dari segi psikologi, sosiologi maupun Hukum Islam Pernikahan dibawah
umur terbagi menjadi dua kategori. Pertama, pernikahan di bawah umur asli yaitu pernikahan di bawah umur yang benar murni dilaksanakan oleh kedua belah pihak
untuk menghindarkan diri dari dosa tanpa adanya maksud semata-mata hanya
untuk menutupi perbuatan zina yang telah dilakukan oleh kedua mempelai.
Kedua, pernikahan di bawah umur palsu yaitu pernikahan di bawah umur yang pada hakekatnya dilakukan sebagai kamuflase dari kebejatan prilaku dari kedua
mempelai, pernikahan ini hanya untuk menutupi perilaku zina yang pernah
dilakukan oleh kedua mempelai. Hal ini berarti antara anak dan kedua orang tua
bersama-sama untuk menipu masyarakat dengan cara melangsungkan pernikahan
yang mulia dengan maksud untuk menutupi aib yang telah dilakukan oleh
anaknya. Dan mereka berharap agar masyarakat untuk mencium “bau busuk”
yang telah dilakukan oleh anaknya bahkan sebaliknya memberikan ucapan
selamat dan ikut juga berbahagia.26
25
Andi Mapreare, Psikologi Remaja, Usaha Nasional, Surabaya, 1982, h. 36-40.
26
D. Faktor Pendorong Perkawinan Usia Muda.
Perkawinan usia muda pada umumnya disebabkan oleh hal-hal sebagai
berikut:
1. Keinginan orang tua yang ingin cepat-cepat mempunyai menantu.
2. Karena ada lamaran dari orang-orang yang di segani dan orang tua khawatir
tidak dapat lagi calon sebaik itu.
3. Karena unsur materi yang ingin anaknya berbahagia jika sudah menikah
(Berbesan dengan orang kaya dengan mengharapkan anaknya dapat
tertolong).
4. Dari yang bersangkutan ingin cepat kawin karena ingin lebih bebas dan
mengira hidup berumah tangga lebih nikmat.
5. Terdesak oleh adat istiadat misalnya malu dengan teman sebayanya yang
sudah menikah atau orang tua khawatir anaknya menjadi perawan tua atau
bujang lapuk.27
Selain pendapat di atas, ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya
perkawinan usia muda yang sering dijumpai di lingkungan masyarakat kita yaitu :
a. Ekonomi
Perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis
kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak wanitanya
dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu. Bahwa dengan adanya
27
perkawinan anak-anak tersebut, maka dalam keluarga gadis akan berkurang
satu anggota keluarganya yang menjadi tanggung jawab (makanan, pakaian,
pendidikan, dan sebagainya).28
b. Pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak dan
masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya
yang masih dibawah umur. Tidak adanya pengertian mengenai akibat buruk
perkawinan terlalu muda, baik bagi mempelai itu sendiri maupun
keturunannya.
c. Faktor orang tua
Orang tua khawatir kena aib karena anak perempuannya berpacaran dengan
laki-laki yang sangat lengket sehingga segera mengawinkan anaknya.
d. Media massa
Gencarnya ekspose seks di media massa menyebabkan remaja modern kian
Permisif terhadap seks.
28
E. Dampak Positip dan Negatif Perkawinan Usia Muda.
1. Dampak positif dari perkawinan usia muda sebagai berikut.
Pernikahan dini tidak hanya memberikan kerugian-kerugian tetapi juga
keuntungan. menyatakan bahwa ada beberapa keuntungan yang bisa ditarik
dan diambil manfaatnya dari pernikahan dini, yaitu:29
a. Menghindari perzinahan
Jika ditinjau dari segi agama perkawinan usia muda pada dasarnya tidak
dilarang, karena dengan dilakukannya perkawinan tersebut mempunyai
implikasi dan tujuan untuk menghindari adanya perzinahan mengurangi
pergaulan bebas yang free sex.30
b. Belajar bertanggung jawab
Suatu perkawinan pada dasarnya yaitu untuk menyatukan dua insan yang
berbeda baik secara fisik maupun psikologis. Oleh karena itu dalam
kehidupannya suami/istri harus mempunyai konsekuensi serta komitmen
agar perkawinan tersebut dapat dipertahankan. Dengan demikian dapat di
tarik suatu kesimpulan bahwa dilakukannya suatu perkawinan akan
memberikan motivasi/dorongan kepada seseorang untuk bertanggung
jawab, baik pada dirinya sendiri maupun pada orang lain (istrinya).
2. Dampak negatif
29
Umar Nur Zain, dan Djuhari Vincent, Perkawinan Remaja. Jakarta, Sinar Harapan, 1984, hal 92.
a. Segi Kesehatan
Dilihat dari segi kesehatan, pasangan usia muda dapat berpengaruh pada
tingginya angka kematian ibu yang melahirkan, kematian bayi serta
berpengaruh pada rendahnya derajat kesehatan ibu dan anak. Menurut
ilmu kesehatan, usia yang kecil resikonya dalam melahirkan adalah antara
usia 20-35 tahun, artinya melahirkan pada usia kurang dari 20 tahun dan
lebih dari 35 tahun mengandung resiko tinggi. Ibu hamil usia 20 tahun ke
bawah sering mengalami prematuritas (lahir sebelum waktunya) besar
kemungkinan dapat menyebabkan terjadinya cacat bawaan, fisik, maupun
mental, penyakit ayan, kebutaan, dan ketulian. Masa muda dimulai pada
usia dua belas tahun dan diakhiri pada usia lima belas tahun, batasan usia
secara global berlangsung antara umur 12 dan 21 tahun dengan pembagian
12-15 tahun masa muda awal, 15-18 tahun masa muda pertengahan, 18-21
tahun masa muda akhir.31 secara tradisional masa muda dianggap sebagai
“badai dan tekanan” yaitu suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi
sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar.32
31
Monks. Psikologi Perkembangan. Gajah Mada. University Press. (Yogyakarta 1998), h. 262.
32
b. Segi Mental/Jiwa
Pasangan usia muda belum siap bertanggung jawab secara moral, pada
setiap apa saja yang merupakan tanggung jawabnya. (Shappiro, 2000:13)
menyatakan bahwa orang-orang yang neurotik adalah seperti
kanak-kanak. Mereka sering mengalami kegoncangan mental, karena masih
memiliki sikap mental yang labil dan belum matang emosionalnya.33
c. Segi Kependudukan
Perkawinan usia muda, ditinjau dari segi kependudukan mempunyai
tingkat fertilitas (kesuburan) yang tinggi, keibuan (melahirkan anak)
datangnya lebih cepat juga, dan timbullah komplikasi, sehingga kurang
mendukung pembangunan di bidang kesejahteraan.34
d. Segi Kelangsungan Rumah Tangga
Perkawinan usia muda adalah perkawinan yang masih rawan dan belum
stabil, tingkat kemandiriannya masih rendah serta menyebabkan banyak
terjadinya perceraian.
33
Shappiro. F, Mencegah Perkawinan yang Tidak Bahagia, Jakarta, Restu Agung, 200, hal.13.
34
BAB IV
ANALISIS PERBANDINGAN BATAS USIA MINIMAL MELAKUKAN PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIP DENGAN
PENDAPAT FUQAHA
A. Persamaan Hukum Islam dengan Hukum Positip.
Batas minimal usia melakukan pernikahan menurut hukum positip dan hukum Islam sebenarnya sama-sama mengutamakan kemaslahatan guna tercapainya tujuan dari pernikahan tersebut, walaupun dalam Islam sendiri tidak ada batasan usia minimal melakukan perkawinan tetapi yang menjadi patokan adalah baligh, karena perkawinan yang bahagia dan kekal itu perlu dipersiapkan dengan sungguh-sungguh, keluarga merupakan unit terkecil yang menjadi sendi dasar utama bagi kelangsungan dan perkembangan suatu masyarakat bangsa dan negara, Oleh karena itu Agama dan Negara memiliki wewenang untuk mengaturnya.
bertujuan agar hukum Islam tetap selalu up to date, relevan dan mampu merespon dinamika perkembangan zaman.1
Melakukan pernikahan tanpa kesiapan dan pertimbangan yang matang dari satu sisi dapat mengindikasikan sikap tidak affresiatif terhadap makna nikah dan bahkan lebih jauh bisa merupakan pelecehan terhadap kesakralan sebuah pernikahan. Sebagian masyarakat yang melangsungkan perkawinan usia muda ini dipengaruhi karena adanya beberapa faktor-faktor yang mendorong mereka untuk melangsungkan perkawinan usia muda atau di bawah umur.2
Dari sudut pandang kedokteran, pernikahan dini mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan. Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan dini dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat pernikahan dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan diatas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita. Perkembangan kehidupan manusia tentunya banyak melalui masa-masa tertentu. Dari masa kanak-kanak, remaja, dewasa, dan kemudian menjadi orangtua, tidak lebih hanyalah merupakan suatu proses wajar dalam hidup yang berkesinambungan dari tahap-tahap pertumbuhan yang harus dilalui oleh seorang
1
Imam Syatibi, al Muwafaqot, Beirut, Darul Kutub Ilmiah, h. 220.
2
manusia. Setiap masa pertumbuhan memiliki ciri-ciri tersendiri. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Demikian pula dengan masa remaja.3
Tidak bisa dipungkiri bahwa pada pasangan suami-istri yang telah melangsungkan perkawinan di usia muda tidak bisa memenuhi atau tidak mengetahui hak dan kewajibannya sebagai suami istri. Hal tersebut timbul dikarenakan belum matangnya fisik maupun mental mereka yang cenderung keduanya memiliki sifat keegoisan yang tinggi. Dampak adalah “akibat-akibat dari konsekuensi yang ditimbulkan dengan dilaksanakannya suatu kebijaksanaan”.4
Pasangan usia muda belum mampu dibebani suatu pekerjaan yang memerlukan ketrampilan fisik, untuk mendatangkan penghasilan baginya, dan mencukupi kebutuhan keluarganya. Faktor ekonomi adalah salah satu faktor yang berperan dalam mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan rumah tangga. Rasa ketergantungan kepada orang tua harus dihindari. Utamanya bagi pria.5
Permasalahan berikutnya adalah baik kebijakan pemerintah maupun hukum agama sama-sama mengandung unsur maslahat. Pemerintah melarang pernikahan usia dini adalah dengan berbagai pertimbangan. Begitu pula agama tidak membatasi usia pernikahan, ternyata juga mempunyai nilai positif.
3
http://my.opera.com/diniluphxibum/blog/
4
Poerwadarminto, Kamus Bahasa Indonesia, 1992, hal.24.
5
B. Perbedaan Hukum Islam dengan Hukum Positip.
Batas usia minimal menurut hukum positip disebutkan dalam bilangan angka sesuai dengan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas tahun) tahun.6 Akan tetapi usia minimal untuk melakukan perkawinan menurut para fuqaha tidak di sebutkan secara kongkret yang dinyatakan dalam bilangan angka, yang terdapat pernyataan istilah balig sebagai batas minimalnya.
Dalam hal usia perkawinan telah di sebutkan dalam Pasal 15 KHI yaitu : Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.
Menurut ketentuan di dalam Pasal 15 tersebut, secara jelas KHI telah membatasi umur calon mempelai (calon suami dan istri), sesuai dengan
6Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Bandung: Citra Umbara, 2007. Pasal 7
Undang yang berada di atasnya yaitu UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 7 angka (1).7
Akan tetapi tidak menutup kemungkinan pernikahan di bawah umur itu dapat di lakukan jika hal tersebut mendapat persetujuan dari orang tua atau wali melalui pengadilan sesuai dengan pasal 7 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi, ” dalam hal penyimpangan dalam ayat 1 pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau wanita.”8
Menurut Kompilasi Hukum Islam usia dewasa seseorang adalah 21 tahun, sesuai dengan Pasal 98 Ayat (1) : "Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan".9 Selain itu dalam Hukum Islam juga dikenal istilah "baligh". Baligh merupakan istilah dalam Hukum Islam yang menunjukkan seseorang telah mencapai kedewasaan. "Baligh" diambil dari kata bahasa Arab yang secara bahasa memiliki arti "sampai", maksudnya "telah sampainya usia seseorang pada tahap kedewasaan". Secara hukum Islam, seseorang dapat dikatakan baligh apabila mengetahui, memahami, dan mampu
7
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Bandung: Citra Umbara, 2007.
8
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Bandung: Citra Umbara, 2007. Pasal 7 ayat 2.
9
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, serta telah mencapai usia 15 tahun ke atas dan atau sudah mengalami mimpi basah.
Para ulama mazhab sepakat bahwa haidh dan hamil merupakan bukti ke baligh-an seorang wanita. Hamil terjadi karena pembuahan ovum oleh sperma, sedangka