Berdasarkan pembahasan sebelumnya dimana putusan pidana terhadap Kepala Divisi Konstruksi I Jakarta PT.Adhi Karya (Persero) Tbk pada perkara Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hanya Kepala Divisinya saja yang mendapat hukuman pemidanaan, sementara Korporasi nya tetap berjalan dan hidup sampai saat ini tanpa sanksi hukum apapun sampai sekarang, maka pembahasan selanjutnya penulis akan membahas batasan-batasan korporasi dapat dipertanggungjawabkan sebagai subjek tindak pidana.
Secara sosiologis bahwa perilaku koruptif yang merugikan keuangan dan perekonomian negara, ternyata tidak hanya dilakukan oleh orang tetapi juga oleh korporasi yang menjadi sarana untuk melakukan kejahatan (corporate criminal), olehnya itu korporasi patut diterima sebagai subjek tindak pidana korupsi.111
111 Elwi Danil, 2012, Korupsi Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm.110-111.
commit to user commit to user
73
Globalisasi yang berkembang di semua lini kehidupan juga membawa dampak yang cukup signifikan bagi adanya perluasan subyek hukum. Apabila dahulu hanya dikenal manusia (persoon) sebagai subyek dari hukum, maka saat ini korporasi dapat pula dimasukkan ke dalam subyek hukum. Subyek hukum merupakan pihak yang memiliki kewenangan terhadap segala hak dan kewajiban yang diberikan oleh hukum untuk melakukan perbuatan hukum, baik di dalam pengadilan maupun di luar pergaulan hukum di masyarakat.112 Globalisasi tersebut akhirnya membawa dampak terhadap pergeseran pengertian subyek hukum disamping manusia yang mampu bertanggungjawab menjadi korporasi yang merupakan suatu badan hukum.
Berbicara masalah korporasi, maka kita tidak bisa melepaskan pengertian korporasi dalam lapangan hukum perdata. Sebab korporasi merupakan terminologi yang erat kaitannya dengan badan hukum (rechstpersoon) dan badan hukum itu sendiri merupakan terminologi yang erat kaitannya dengan bidang hukum perdata113 sehubungan itu terdapat pendapat ahli terkait hubungan terminologi korporasi dengan bidang hukum perdata.
Korporasi sebagai badan hukum keperdataan dapat diperinci dalam beberapa golongan, dilihat dari cara mendirikan dan peraturan perundang-undangan sendiri yaitu :
1. Korporasi egoistis, yaitu korporasi yang menyelenggarakan kepentingan harta para anggotanya, terutama kepentingan harta kekayaan, misalnya perseroan terbatas, serikat sekerja.
2. Korporasi alturistis, yaitu korporasi yang tidak menyelenggarakan kepentingan anggotanya, seperti perhimpunan yang memperhatikan nasib orang-orang tunanetra, tunarungu, penyakit TBC, penyakit jantung, penderita cacat, taman siswa, Muhamadiyah, dan sebagainya.114
112 Dijan Widijowati, 2012, Hukum Dagang, Edisi Pertama, Andi, Yogyakarta, hlm. 13.
113 Muladi dan Dwidja Priyatno. Pertanggungjawaban... op.cit., hlm. 23.
114 Chaidir Ali, op.cit., hlm.69.
commit to user commit to user
74
Sedangkan pengertian korporasi di dalam hukum pidana sebagai ius constituendum dapat dilihat pada Konsep Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Baru Buku I Tahun 2012.115 Pasal 182 KUHP menyatakan Korporasi adalah Kumpulan terorganisasi dan dari orang dan/atau kekayaan baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Menurut Mulyadi pengertian korporasi dalam konsep KUHP ini mirip dengan pengertian korporasi di Negara Belanda, sebagaimana terdapat dalam bukunya Van Bemmelen yang berjudul Ons Strafrecht 1 Het Materiele Strafrecht Algemeen Deel antara lain menyatakan, “…dalam naskah dari bab ini selalu dipakai dalil umum “korporasi” yang mana termasuk semua badan hukum khusus dan umum (maksudnya badan hukum privat dan badan hukum publik-penulis), perkumpulan, yayasan, pendeknya semua perseroan yang tidak bersifat alamiah”.116
Perkembangan perundang-undangan khusus diluar KUH Pidana, khusunya tentang subjek hukum pidana, yaitu korporasi, perumusannya lebih luas bila dibandingkan dengan pengertian korporasi menurut hukum perdata, menurut hukum pidana pengertian korporasi bisa berbentuk badan hukum atau tidak. Misalnya, dalam tindak pidana subversi dikatakan perserikatan orang dalam maatschap (Pasal 16,18, dan seterusnya KUH Perdata), firma (Pasal 16 dan seterusnya KUH Dagang), dan perseroan komanditer/CV (Pasal 19 dan seterusnya dalam KUH Dagang), merupakan bentuk badan usaha yang bukan badan hukum.
Menurut Muladi sebagaimana dikutip oleh Edi Yunara pembenaran pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana dapat didasarkan hal-hal berikut117:
115Rancangan KUHP diakses melalui
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/2391_RANCANGAN%20Penjelasan%20KUHP%2 06-1-2012.pdf pada tanggal 12 Januari 2016.
116 Muladi dan Dwidja Priyatno. 2010. Pertanggungjawaban … op.cit., hlm. 32.
117 Edi Yunara, 2005, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Berikut Studi Kasus), Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 31.
commit to user commit to user
75
1. Atas dasar falsafah intergralistik, yakni segala sesuatu yang diukur atas dasar keseimbangan, keselarasan, dan keserasian antara kepentingan individu dan kepentingan sosial.
2. Atas dasar kekeluargaan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
3. Untuk memberantas anomie of success (sukses tanpa aturan).
4. Untuk perlindungan konsumen.
5. Untuk kemajuan tehnologi.
Diaturnya korporasi sebagai subjek hukum, korporasi tersebut dapat melakukan hak dan kewajibannya dengan nyata. Perubahan dan perkembangan kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana, mengalami beberapa perkembangan secara bertahap yang secara garis besar dapat dibagi dalam tiga tahap sebagaimana akan diuraikan dibawah ini.
1. Tahap Pertama
Tahap ini ditandai dengan usaha-usaha agar sifat delik yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan (naturlijk persoon).
Sehingga apabila suatu tindak pidana terjadi dalam lingkungan korporasi, maka tindak pidana itu dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut. Dalam tahap ini membebankan “tugas mengurus” (zorgplicht) kepada pengurus.118 Dengan demikian, tahap ini merupakan dasar bagi Pasal 51 WvS Belanda atau Pasal 59 KUHP yang isinya : “dalam hal-hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota badan pengurus, atau komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus, atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tindak pidana”. Dengan melihat ketentuan tersebut, maka para penyusun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dahulu dipengaruhi oleh asas societas delinquere nonpotest, yaitu badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana.119 Pada tahap pertama dalam WvS Belanda, Pasal 51 sebelum diadakan perubahan ketentuan tersebut rumusannya sama dengan ketentuan Pasal 59 KUHP. Hal ini dipengaruhi oleh asas
118 Mardjono Reksodiputro dalam Muladi dan Dwidja Priyatno Pertanggungjawaban Pidana op.cit., hlm. 53.
119 Ibid, hlm. 54.
commit to user commit to user
76
universitas delinquere nonpotest, yaitu sifat delik yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan.120
2. Tahap Kedua
Tahap kedua ini ditandai dengan pengakuan yang timbul sesudah perang dunia pertama dalam perumusan undang-undang bahwa suatu tindak pidana, dapat dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha (korporasi). Tanggung jawab untuk itu juga menjadi beban dari pengurus badan hukum tersebut.121 Menurut D. Schaffmeister perumusan khusus untuk ini adalah apakah jika suatu tindak pidana dilakukan oleh atau karena suatu badan hukum, tuntutan pidana dan hukuman pidana harus dijatuhkan terhadap pengurus. Secara perlahan-lahan tanggung jawab pidana beralih dari anggota pengurus kepada mereka yang memerintahkan, atau dengan larangan melakukan apabila melalaikan memimpin secara sesungguhnya.122 Menurut Mardjono Reksodiputro dalam tahap ini korporasi dapat menjadi pembuat delik, akan tetapi yang dipertanggungjawabkan adalah para anggota pengurus, asal saja dengan tegas dinyatakan demikian dalam peraturan itu.123
Pada tahap kedua baik di Belanda maupun di Indonesia, di dalam perumusan undang-undang dikenal bahwa suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh korporasi, akan tetapi pertanggungjawaban pidana secara langsung belum timbul, sehingga yang dapat dipertanggungjawabkan adalah pengurus korporasi.124
3. Tahap Ketiga
Tahap ketiga ini merupakan permulaan adanya tanggung jawab yang langsung dari korporasi yang dimulai pada waktu dan setelah Perang Dunia II. Dalam tahap ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporas dan meminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana.
120 Ibid, hlm. 61.
121 Ibid, hlm. 55.
122 Ibid. hlm. 55.
123 Ibid. hlm. 56.
124 Ibid. hlm. 61
commit to user commit to user
77
Alasan lain adalah karena misalnya dalam delik-delik ekonomi dan fisika keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat dapat demikian besarnya, sehingga tidak akan mungkin seimbang bilamana pidana dijatuhkan kepada pengurus korporasi saja.
Juga diajukan alasan bahwa dengan hanya memidana para pengurus tidak atau belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi delik tersebut. Dengan memidana korporasi dengan jenis dan beratnya yang sesuai dengan sifat korporasi itu, diharapkan dapat dipaksa korporasi untuk menaati peraturan bersangkutan.125
Subjek hukum pidana korporasi di Indonesia sudah mulai dikenal sejak tahun 1951, yaitu terdapat dalam Undang-Undang Penimbunan Barang-Barang. Kemudian mulai dikenal secara luas dalam :
1. Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi (Pasal 15 ayat (1) UU No.
7 Drt. Tahun 1955),
2. Pasal 17 ayat (1) UU No. 11 PNPS Tahun 1963 tentang tindak Pidana Subversi,
3. Pasal 49 Undang-Undang No. 9 Tahun 1976, 4. Undang-Undang tentang Narkotika,
5. Undang-Undang Lingkungan Hidup, 6. Undang-Undang Psikotropika, 7. UU Tindak Pidana Korupsi,
8. Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Dan masih banyak lainnya diluar, dimana korporasi sebagai subjek hukum pidana di Indonesia hanya ditemukan dalam perundang-undangan khusus di luar KUHP, yang merupakan pelengkap KUHP, sebab untuk hukum pidana umum atau KUHP itu sendiri masih menganut subjek hukum pidana secara umum, yaitu manusia (Pasal 59 KUHP).
Ketika memperlakukan korporasi dipersamakan kedudukannya dengan manusia/persoon sebagai subyek hukum, maka perilaku manusia juga dipersamakan dengan perilaku korporasi, sehingga ketentuan sistem
125 Ibid. hlm 57.
commit to user commit to user
78
pembuktian sebagaimana dalam pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga berlaku bagi korporasi. Hal ini sejalan dengan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 13 Tahun 2016 Pasal 14 ayat (2) yang menyatakan sistem pembuktian dalam penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh Korporasi mengikuti Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan ketentuan hukum acara yang diatur khusus dalam undang-undang lainnya. Adapun Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan sebagai berikut : Alat bukti yang sah ialah : a) Keterangan saksi ; b) Keterangan ahli ; c) Surat ; d) Petunjuk ; e) Keterangan Terdakwa ;
Perkembangan selanjutnya secara berangsur korporasi dapat diterima sebagai subjek tindak pidana, dengan beberapa alasan yaitu126 :
1. Sistem pemidanaan dipandang sebagai sistem pengaturan masyarakat.
Pandangan tersebut menurut Remmelink akan merubah pandangan hanya manusia yang memungkin terjadinya tindak pidana, karena itu di samping manusia korporasi juga selayaknya dapat dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakannya di dalam masyarakat dan perlu ada perangkat sanksi khusus bagi korporasi.
2. Alasan kepentingan prkatis.
Perkembangan dalam hukum pidana fiskal seringkali kerugian yang diderita oleh Negara akibat penyelundupan dan penggelapan pajak banyak menggunakan fiksi (hukum). Kenyataannya hukum pidana fiscal berdasarkan alasan praktis menerima kemungkinan pertanggungjawaban korporasi. Sudut pandang ini membuat hukum pidana dapat dengan mudah merujuk pada kewajiban yang dibebankan oleh hukum fiscal pada pemilik, penyewa atau yang menyewakan, yang seringkali berbentuk korporasi.
3. Pengaturan dalam undang-undang administrasi.
Dalam perkembangannya di Negeri Belanda banyak bermunculan peraturan perundang-undangan administrasi yang dalam aturan-aturannya
126 Remmelink Jan dalam Widyo Pramono, op.cit., hlm. 147-148.
commit to user commit to user
79
pembuat undang-undnag merujuk pada “pengemban” hak warga yang banyak berbentuk korporasi. Sejumlah kecil undang-undang administrasi Negara menetapkan bahwa selain pengurus dan seterusnya, bahkan juga koporasi, dapat diperlakukan sebagai pelaku yang dapat dimintai pertanggungjawaban hukum.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, dalam Pasal 1 butir 1 UU PTPK diatur “dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan korporasi adalah kumpulan orang atau harta kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”.
Dilihat dari perumusan tersebut jelas bahwa UUPTPK menganut pengertian korporasi yang luas yaitu yang berbadan hukum dan tidak berbadan hukum hal ini merupakan perkembangan perundang-undangan khusus diluar KUH Pidana, khusunya tentang subjek hukum pidana, yaitu korporasi, dimana perumusan dalam UUPTPK lebih luas bila dibandingkan dengan pengertian korporasi menurut hukum perdata, jadi menurut UUPTPK ini pengertian korporasi bisa berbentuk badan hukum atau tidak. Hal ini sependapat dengan Loebby Loqman yang menerangkan dalam diskusi yang dilakukan oleh para sarjana mengenai korporasi, berkembang 2 (dua) pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan korporasi itu? Pendapat pertama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan korporasi adalah kumpulan dagang yang berbadan hukum. Jadi, dalam hal ini hanya dibatasi bahwa korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah korporasi yang telah berbadan hukum. Adapun alasan yang dikemukakan oleh kelompok pertama ini bahwa dengan berbadan hukum, telah jelas susunan pengurus serta sejauh mana hak dan kewajiban dalam korporasi tersebut. Pendapat lain adalah pendapat yang mengartikan korporasi secara luas, dimana dikatakan bahwa korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana tidak perlu harus berbadan hukum, dalam hal ini setiap
commit to user commit to user
80
kumpulan manusia, baik dalam hubungan suatu usaha dagang ataupun usaha lainnya, dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.127
Selain itu juga menurut H. Setiyono Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli hukum pidana dan kriminologi untuk menyebut badan hukum (rechtspersoon), legal body atau legal person.
Konsep badan hukum itu sebenarnya bermula dari konsep hukum perdata yang tumbuh akibat dari perkembangan masyarakat. Pengertian korporasi dalam hukum pidana Indonesia lebih luas dari pengertian badan hukum sebagaimana dalam konsep hukum perdata. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan hukum pidana Indonesia dinyatakan bahwa pengertian korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan atau kekayaan baik merupakan badan hukum maupun bukan.128
Pengertian korporasi dalam UUPTPK tersebut saat ini juga telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi, dimana dalam perma tersebut Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa “Korporasi adalah kumpulan orang dan / atau kekayaan yang terorganisir, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”. Rumusan pengertian korporasi menurut Perma ini hampir sama dengan rumusan Rancangan KUHP tahun 2012.
Berbicara tentang pertanggungjawaban pidana korporasi, tidak dapat dilepaskan dengan tindak pidana. Walaupun dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk masalah pertanggungjawaban. Tindak pidana hanya menunjukkan kepada dilarangnya suatu perbuatan.129 Menurut Muladi berbicara masalah pertanggungjawaban pidana, ternyata terdapat dua pandangan, yaitu pandangan yang monistis antara lain dikemukakan oleh Simon yang merumuskan strafbaar feit sebagai “eene strafbaar gestelde,
127 Loebby Loqman, op.cit., hlm. 32.
128 Setiyono, 2003, Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Edisi kedua, Cetakan Pertama, Banyumedia Publishing, Malang, hlm. 17.
129 Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 30.
commit to user commit to user
81
onrechtmatige, met should in verband staande handeling van een torekeningvatbaar persoon” (suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seorang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya).
Menurut aliran monism, unsur-unsur strafbaar feit itu meliputi baik unsur perbuatan yang lazim disebut unsur objektif, maupun unsur pembuatnya, maka dapat disimpulkan bahwa strafbaar feit adalah sama dengan syarat-syarat penjatuhan pidana, sehingga seolah-olah dianggap bahwa kalau terjadi strafbaar feit, maka pasti pelakunya dapat dipidana.130
Korporasi sebagai pelaku tindak pidana, dalam hukum positif sudah diakui bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, dan dapat dijatuhkan pidana.131 Dengan diterimanya korporasi sebagai pelaku tindak pidana, sudah tentu timbul konsekuensi khususnya tentang pertanggungjawaban pidananya. Apakah kesalahan terdapat pada korporasi sebagai konsekuensi diterimanya asas kesalahan dalam korporasi. Dengan diterimanya asas kesalahan pada korporasi maka timbul suatu pertanyaan, yaitu apakah korporasi dapat mempunyai kesengajaan atau kelalaian?.132 Masalah pertanggungjawaban pidana berkaitan dengan unsur kesalahan, membicarakan unsur kesalahan dalam hukum pidana ini berarti mengenai jantungnya, demikian dikatakan oleh Idema.133 Menurut Sauer ada trias, ada tiga pengertian dasar dalam hukum pidana yaitu : sifat melawan hukum (unrecht); kesalahan (schuld); dan pidana (strafe).134
Menurut Suprapto bahwa korporasi dapat memiliki kesalahan seperti apa yang dikemukannya, yaitu badan bisa didapat kesalahan bila kesengajaan atau kelalaian terdapat pada orang-orang yang menjadi alat-alatnya.
Kesalahan itu tidak bersifat individual, karena hal itu mengenai badan sebagai suatu kolektivitet. Dapatlah kiranya kesalahan itu disebut keslahan kolektif,
130 Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit., hlm. 63.
131 Ibid, hlm. 124.
132 Ibid. hlm. 129.
133 Sudarto, Suatu Dilemma dalam Pembaruan Sistem Pidana Indonesia, Semarang, FH Undip. 1979, hlm 45.
134 Ibid. hlm. 86.
commit to user commit to user
82
yang dapat dibebankan kepada pengurusnya. Selain daripada itu, cukup alasan untuk menganggap badan mempunyai kesalahan dan karena itu harus menanggungnya dengan kekayaannya, karena ia misalnya menerima keuntungan yang terlarang. Hukuman denda yang setimpal dengan pelanggaran dan pencabutan keuntungan tidak wajar yang dijatuhkan pada pribadi seseorang, karena mungkin hal itu melampaui kemampuannya.135
Menurut Van Bemmelen dan Remmelink, sehubungan dengan kesalahan yang terdapat pada korporasi menyatakan bahwa pengetahuan bersama dari sebagian besar anggota direksi dapat dianggap sebagai kesengajaan badan hukum itu, jika mungkin sebagai kesengajaan bersyarat dan kesalahan ringan dari setiap orang yang bertindak untuk korporasi itu, jika dikumpulkan akan dapat merupakan kesalahan besar dari korporasi itu sendiri.136 Dalam masalah pertanggungjawaban pidana korporasi, asas kesalahan masih tetap dipertahankan, tetapi dalam perkembangannya di bidang hukum, khususnya hukum pidana menyangkut pertanggungjawaban pidana asas kesalahan atau “asas tiada pidana tanpa kesalahan” tidak mutlak berlaku. Pada pandangan baru cukuplah fakta yang menderitakan si korban dijadikan dasar menuntut pertanggungjawaban pidana si pelaku sesuai dengan adagium “ res ipsa loquitur, fakta sudah berbicara sendiri.137
Roscou pound, filsuf dalam bidang hukum pada abad ke-20 mengemukakan pendapatnya tentang pertanggungjawaban atau liability, yaitu : “…use the simple word “liability” for the situation whereby one exact legally and other is legally subjected to the exaction”.138 Bertitik tolak pada rumusan “liability” tersebut, Pound membahasnya dari pandangan filosofis dan sistem hukum secara timbal balik. Secara sistematis, Pound lebih jauh menguraiakan perkembangan konsep liability. Teori pertama, menurut Roscou Pound, bahwa liability diartikan sebagai suatu kewajiban untuk
135 Muladi dan Dwidja Priyatno, “Pertanggungjawaban... op.cit., hlm 105.
136 Ibid, hlm 105-106.
137 Ibid, hlm. 110.
138 Romli Atasasmita dalam Widyo Pramono, 2012, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Hak Cipta, Cetakan Kesatu, Bandung, Alumni, hlm, 76.
commit to user commit to user
83
membayar pembalasan yang akan diterima pelaku pelanggaran dari seseorang yang telah dirugikan. Sejalan dengan semakin efektifnya perlindungan undang-undang terhadap kepentingan masyarakat akan suatu kedamaian dan ketertiban, dan adanya keyakinan bahwa “pembalasan” sebagai alat penangkal, maka pembayaran “ganti rugi” bergeser kedudukannya, semula sebagai suatu hak istimewa kemudian menjadi suatu kewajiban. Ukuran ganti rugi tersebut tidak lagi dari nilai suatu pembalasan yang harus dibayar, melainkan dari sudut kerugian atau penderitaan yang ditimbulkan oleh perbuatan yang bersangkutan.139
Sehubungan dengan masalah pertanggungjawaban pidana, Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawbakan. Ini berarti harus dipastikan dahulu siapa yang dinyatakan sebagai pembuat untuk suatu tindak pidana tertentu. Masalah ini menyangkut masalah subjek tindak pidana yang pada umunya sudah dirumuskan oleh pembuat undang-undang untuk tindak pidana yang bersangkutan memastikan siapa pembuat adalah tidak mudah.140
Selanjutnya, Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa setelah pembuat ditentukan, bagaimana selanjutnya mengenai pertanggungjawaban pidananya? Masalah pertanggungjawaban pidana ini merupakan segi lain dari subjek tindak pidana yang dapat dibedakan dari masalah si pembuat (yang melakukan tindak pidana). Artinya, pengertian subjek tindak pidana dapat meliputi dua hal, yaitu siapa yang melakukan tindak pidana (si pembuat) dan siapa yang dapat dipertanggungjawabakan. Pada umumnya yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana adalah si pembuat, tetapi tidaklah selalu demikian. Masalah ini tergantung juga pada cara atau sistem perumusan pertanggungjawban yang ditempuh oleh pembuat undang-undang.141
139 Ibid, hlm 76-77.
140 Barda Nawawi Arief dalam Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit., hlm 84-85.
141 Ibid. hlm 85.
commit to user commit to user
84
Terdapat beberapa doktrin yang membenarkan korporasi sebagai subjek hukum pidana yang dinilai dapat melakukan tindak pidana dan dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana. Umumnya, pertanggungjawaban korporasi didasarkan pada doktrin respondeat superior yaitu suatu doktrin yang menyatakan bahwa korporasi sendiri tidak bisa melakukan kesalahan. Dalam hal ini hanya agen-agen korporasilah yang bertindak untuk dan atas nama korporasi. Oleh sebab itu, hanya agen-agen korporasi saja yang dapat melakukan kesalahan. Doktrin respondeat superior inilah yang kemudian menghasilkan tiga model pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu direct corporate criminal liability, strict liability, dan vicarious liability sebagaimana akan dijelaskan berikut ini142 :
1. Doktrin Identifikasi :
Sebelum membahas lebih jauh mengenai doktrin-doktrin atau teori-teori yang membenarkan pertanggungjawaban pidana korporasi, Roeslan Saleh menyatakan bahwa khususnya untuk pertanggungjawaban dari badan hukum (korporasi), asas kesalahan tidak mutlak berlaku.143 Doktrin pertama yang membenarkan pertanggungjawaban pidana korporasi adalah Identification Theory atau dikenal juga dengan Direct Liability Doctrine. Di Inggris, sejak tahun 1944 telah mantap pendapat bahwa suatu korporasi dapat bertanggungjawab secara pidana, baik sebagai pembuat atau peserta untuk tiap delik, meskipun disyaratkan adanya mens rea dengan menggunakan asas identifikasi. Doktrin
Sebelum membahas lebih jauh mengenai doktrin-doktrin atau teori-teori yang membenarkan pertanggungjawaban pidana korporasi, Roeslan Saleh menyatakan bahwa khususnya untuk pertanggungjawaban dari badan hukum (korporasi), asas kesalahan tidak mutlak berlaku.143 Doktrin pertama yang membenarkan pertanggungjawaban pidana korporasi adalah Identification Theory atau dikenal juga dengan Direct Liability Doctrine. Di Inggris, sejak tahun 1944 telah mantap pendapat bahwa suatu korporasi dapat bertanggungjawab secara pidana, baik sebagai pembuat atau peserta untuk tiap delik, meskipun disyaratkan adanya mens rea dengan menggunakan asas identifikasi. Doktrin