BAB III METODE PENELITIAN
C. Batasan Istilah
Definisi istilah hakikatnya, yaitu definisi istilah dalam bentuk yang dapat diukur, lebih lugas dan tidak menimbulkan bias atau membingungkan. Penelitian bebas merumuskan, menentukan definisi istilah sesuai dengan tujuan penelitiannya, dan tataran teori dari fokus
yang ditelitinya. Untuk menghindari salah tafsiran dalam penelitian ini, maka fokus definisi istilah yang akan dibahas yaitu:
1. Pola kepercayaan dan keyakinan adalah pola sikap manusia terhadap dunia lain yang bersifat metafisik atau alam non materil.
2. Pola perilaku adalah tindakan manusia yang dipengaruhi oleh adat, emosi, nilai, etika, kekuasaan yang berlaku di lingkungan manusia hidup.
3. Pola status sosial adalah posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial masyarakat yang meliputi adanya derajat hak dan kewajiban. 4. Pola ritual adat adalah ciri tradisi masyarakat tradisional yang memiliki
nilai yang relevan untuk menjawab kebutuhan masyarakat penganutnya seperti pemakaman dan acara-acara pernikahan.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti dalam mengumpulkan data yaitu dengan cara penelitian pustaka:
1. Membaca berulang-ulang novel Puya ke Puya karya Faisal Oddang dan novel Manusia Langit karya J. A. Sonjaya.
2. Mencatat data yang termasuk bentuk mitopoik ke dalam tabel korpus data.
3. Mengklafikasikan data yang termasuk bentuk mitopoik dalam teks novel Puya ke Puya karya Faisal Oddang dan novel Manusia Langit karya J. A. Sonjaya.
4. Menyusun pola-pola mitopoik dalam teks novel berdasarkan pendekatan kajian yang digunakan
E. Teknik Analisis Data
Analisis data dilakukan sejak awal peneliti mengumpulkan data, dilanjutkan mereduksi data, kemudian menyajikan data, selanjutnya melakukan penafsiran data, penarikan simpulan. Jika dianggap kurang, dilakukan pengumpulan ulang, mereduksi ulang, dan menafsir ulang, sampai pada tahap menarik simpulan. Demikian , dilakukan secara ulang-ulang.
Analisis data dilakukan sejak awal penelitian mengumpulkan data, dan mengelaborasikan pandangan Ricouer, menggunakan menggunakan metode fenomenologi dengan teknik: (1) analisis domain yaitu, membaca data secara berulang-ulang dan teliti sehingga diperoleh data yang benar-benar mengandung nilai dan fungsi yang disebut tahap reduksi data yang meliputi proses pemilihan, penyederhanaan, pengabstrakan, (2) analisis taksonomi, yaitu mengidentifikasikan dan mengklasifikasikan data secara utuh menurut masing-masing kategori, (3) analisis komponensial, yaitu penyajian, penafsiran, penganalisisan semua data khusus yang berkenaan dengan komponen-komponen tersebut; (4) penarikan kesibukan; dan (5) verifikasi atau triagulasi dengan pakar yaitu menguji kebenaran interpretasi dan kecocokan dengan data (Azis Aida 2011; 89-90 dalam Spradley, Miles dan Humbermas).
F. Pengujian Keabsahan Data
Berkaitan dengan proses analisis, Krippendorf (1993: 224), mengemukakan bahwa dalam analisis data terdapat kemungkinan terjadinya penafsiran yang berbeda, sehingga dibutuhkan diskusi dan penilaian hasil analisis data dari beberapa pakar yang berkompeten, agar temuan penelitian dapat dipertanggungjawabkan keabsahan atau kevalidasiannya.
Untuk menentukan keabsahan hasil analisis data, dilakukan pengujian keabsahan data dengan cara triagulasi pada tahap analisis. Triangulasi yang digunakan adalah triangulasi penyidik yaitu teknik yang yang memanfaatkan penelitian atau pengamat yang memiliki kemampuan yang memadai dalam menganalisis data untuk keperluan pengecekan kevalidan pembahasan. Triangulasi dilakukan dengan cara memeriksa kembali keabsahan data yang diperoleh dalam kegiatan identifikasi, klasifikasi, analisis, interpretasi, dan deskripsi.
Berdasarkan kriteria dan pertimbangan diatas di tetapkan Triangulator sebagai validator yang dipilih dalam penelitian ini, yaitu:
1. Dr. Muhammad Akhir, M.Pd.
Muhammad Akhir merupakan salah satu dosen tetap Universitas Muhammadiyah Makassar yang mengajar pada program studi pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Adapun riwayat studi beliau, pendidikan S1 di Universitas Muhammadiyah Makassar, pendidikan S2 di Universitas Negeri Makassar, dan pendidikan S3 di Universitas
Negeri Makassar. Validator ini sangat aktif dalam menulis dan meneliti, jurnal-jurnal beliau dapat di temukan di google scolar antara lain: a) Interferensi Bahasa Bugis dalam Penggunaan Bahasa Indonesia Lisan Mahasiswa Jurusa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unismuh Makassar, padan tahun 2017, b) Menamamkan Pendidikan Karakter Melalui Strategi Belajar Membaca Di Sekolah, padan tahun 2017, c) Integrasi Pendidikan Karakter Dalam Meningkatkan Keterampilan Menulis Mahasiswa Di Perguruan Tinggi pada tahun 2018, d) Tindak Tutur Ilokusi Sebagai Media Penyampaian Pesan Sosial Pada Iklan Layanan Masyarakat, tahun 2019, dan e) Pembelakaran Bahasa Indonesia dengan Teknik Permainan Kelompok Siswa Kelas V dI SDN 110 Lagoari di Kabupaten Wajo, tahun 2020 serta masih banyak lagi jurnal-jurnal beliau yang terpablis di google scolar, sedangkan
2. Dr. Anzar, M.Pd.
Anzar juga salah satu dosen tetap Universitas Muhammadiyah Makassar yang mengajar pada program studi pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Adapun riwayat studi beliau, pendidikan S1 di Universitas Negeri Makassar, pendidikan S2 di Universitas Negeri Makassar, dan pendidikan S3 di Universitas Negeri Makassar. Validator ini sangat aktif dalam menulis dan meneliti, jurnal-jurnal beliau dapat di temukan di google scolar antara lain: a). Keefektifan Model Problem Based Introduction (PBI) dalam Menulis Karangan Argumentasi di
SMA, tahun 2013, b) Kajian Keterampilan Menulis Kata Turunan Siswa Kelas IX SMP Negeri 1 Liukang Kabupaten Pangkep, tahun 2016, c) Research Material Development of Drama Appreciation Based on Local Wisdom on Student in Indonesian Literature and Language Education Program at Muhammadiyyah University, tahun 2018.
Berdasarkan hasil diskusi, analisis, koreksi, dan pengamat serta saran dari kedua validator diatas mengenasi data yang di kutip dalam kedua novel yang menjadi data dalam penyelasai studi pada program Magister pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Data yang di ambil peneliti telah sesuai dengan fokus yang menjadi objek yang diteliti dan data yang ditemukan peniliti sudah layak digunakan dalam penyusanan tesis. Data ini, kemudian di deskripsikan sesuai acuan penelitian deskripritif kualitatif.
45
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Mitopoik merupakan salah satu pendekatan dalam kajian sastra yang dipandang sangat beragam karena manjangkau semua unsur dari kebudayaan manusia meliputi sejarah, sosiologi, kepercayaan. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa mitopoik merupakan pendakatan yang melakukan pembacaan terhadap nili dari konstruksi bangunan kebudayaan manusia dalam berbagai karya sastra, terutama novel.
Novel Puya ke Puya karya Faisal Oddang dan Manusia Langit karya J.A Sonjaya merupakan salah satu novel yang terbangun dari struktur kebudayaan manusia Toraja dan pulau Nias. Tana Toraja dan pulau Nias merupakan salah satu daerah yang memiliki kekayaan budaya yang termanifestasi melalui ragam ritual. Dalam cerita vabel mitos banyak dituturkan bahwa moyang orang Toraja dan kehidupan Masyarakat pulau Nias merupakan sosok yang turun langsung dari surga melalui tangga. Dalam konteks cerita ini, tangga tidak hanya sebagai jalan turun ke bumi namun menjadi instrumen yang memiliki fungsi sebagai medium komunikasi kepada Puang Matua yang dikonstruk sebagai satu-satunya Tuhan.
Mitopoik di lingkungan masyarakat Toraja dan pulau Nias sangat dinamis karena terwariskan secara turun-temurun dan menemukan berbagai bentuk ekspresi kebudayaan dari masyarakat pemiliknya. Inti utama kebudayaan masyarakat Toraja terletak pada Aluk Todolo yang merupakan struktur kepercayaan warisan nenek moyak Toraja berkaitan dengan berbagai aturan hidup dan ritual. Novel Puya ke Puya dan Manusia Langit merefleksikan nilai luhur Aluk orang Toraja dan masyarakat pulau Nias yang dapat dibaca sebagai bentuk mitopoik yang terkandung di dalam kedua novel. Lebih lanjut bentuk mitopoik dalam kedua novel ini diuraikan sebagai berikut.
1. Pola Kepercayaan dan Keyakinan
Kedua novel ini merefleksikan pola kepercayaan masyarakat Toraja dan pulau Nias terhadap “mayat yang sakit” dan “roh”sebelum dilakukan upacara pemakaman melalui acara rambu solo. Hal ini dapat dilihat pada kutipan teks novel sebagai berikut.
“Dulu kampung ini hanya akan ramai jika ada kematian yang dirayakan. Ketika ada mayat “sakit” yang diarak. Iya, sakit. Kau mengerti juga, bukan? Bagi orang Toraja, sebelum rambu solo, semua mayat masih sakit. Selayaknya mereka yang sakit, kerabat akan tetap mengajak bicara. Memberi mereka makan, rokok, serta sirih. Kini, disekitar rumah Rante Ralla, Kampung Kete‟, kau akan temuakan keramaian hampir setiap hari. Orang-orang asing menyelusup mirip kutu dalam rambut yang tidak pernah dicuci.” (Oddang, 2015: 6)
Kutipan teks novel di atas menunjukkan bahwa mayat yang disemayamkan dipercayai dalam kondisi sakit sebelum dilakukannya rambu solo. Mayat yang sakit dalam budaya masyarakat Toraja diarak
dalam suatu prosesi ritual yang disebut upacara Ma‟nene yang dilakukan sebagai suatu rangkaian mengganti pakaian mayat leluhur. Dalam sistem budaya masyarakat Toraja, prosesi ritual ini dilakukan setiap tiga tahun sekali sebelum masa panen, karena dipercayai jika tidak dilakukan pada masa sebelum panen akan berdampak secara ekologis yakni kerusakan tanaman dan munculnya banyak hama seperti tikus dan ulat secara mendadak. Deskripsi mayat yang sakit juga dapat dilihat pada kutipan teks novel sebagai berikut.
“Aku tidak menjawab. Ia memang bertanya tanpa mengharapkan jawaban. Kendati pun di Toraja mayat sepertiku yang belum diupacarakan masih dianggap sakit, tentu Tina cukup berpikir bahwa aku tidak bisa apa-apa selain terbaring dan mendengar ceritanya. Tetapi seandainya saja aku telah diupacarakan, dan beruntung aku menjelma dewa, To Membali Puang, tentu aku akan mengijabah doa-doanya, atau paling tidak mengantar doanya ke Tuhan, ke Puang Matua.” (Oddang, 2015: 53)
Proses arakan mayat yang sakit tersebut dapat dipahami secara antropoligis telah melalui sejarah panjang sehingga pola kepercayaan ini terwariskan melalui sebuah peristiwa penting dalam masyarakat Toraja. Banyak dituturkan bahwa ritual ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah seorang Pong Rumasek, seorang pemburu yang berburu di hutan Balla dan menemukan jasad manusia yang meninggal dengan mengenaskan. Pong Rumasek kemudian membawa jasad ini dan dikenakan pakaian kemudian dikuburkan di tempat aman.
Pong kemudian mendapatkan banyak berkah setelah pemakaman ini diantaranya mendapatkan buruan dengan mudah saat berburu di hutan karena Pong selalu bertemu dengan arwah manusia
yang dimakamkannya tersebut menjadi penuntun dan penunjuk jalan. Dari peristiwa ini melahirkan kepercayaan yang teguh pada diri Pong bahwa jasad manusia haruslah dirawat dan diberikan penghormatan yang layak meskipun setiap bagian jasad ini telah hancur. Dari sini lahirlah semacam amanah ritual mengarak mayat dengan berbagai tahapan memenuhi kebutuhan jasad leluhur.
Keyakinan manusia juga merupakan salah satu tema penting yang membangun novel Puya ke Puya karya Faisal Oddang. Keyakinan ini dapat dilihat pada penggambaran dunia lain sesudah kematian seperti perjalanan menuju surga melalui tokoh utama novel. Setiap orang Toraja yang meninggal akan melakukan serangkaian penantian dalam persemayaman (sebelum upacara rambu solo) hingga melakukan perjalanan ke surga menggunakan tedong (kerbau). Penggambaran berkaitan dengan pola keyakinan dalam teks novel ini dapat disimak pada kutipan data sebagai berikut.
“Jalan ke surga hanya mampu ditempuh dengan kerbau. Kerbau belang adalah sebaik-baiknya kerbau bagi tuhan. Kami penganut aluk todolo percaya itu. Termasuk kelurga Ralla. Kerbau untuk perayaan kematian tak melulu harus te ong onga yang banyak lurik di badannya, belang, dan ratusan juta rupiah harganya itu. Selain nilai relegius, nilai gengsi menyembelih kerbau belang juga diutamakan. Padahal masih ada kerbau pudu yang berwarna hitam biasa. Atau kerbau bulan yang mirip kulit Si Jangkung Beruban. Namun jenis itu ditabukan dalam upacara adat. Pada akhirnya, semua akan kembali memilih kerbau belang, jika uag cukup. Selain untuk membuat Tuhan senang, juga agar dibicarakan tamu. Dijunjung, dan ya, demi kehormatan keluarga besar. Kau mengerti? Jangan mengangguk saja! (Oddang, 2015: 14-15)
Kutipan teks novel tersebut menunjukkan bahwa pola keyakinan dalam masyarakat Toraja menjadikan surga sebagai tempat yang dituju setelah kematian. Untuk menuju ke surga, bagi penganut aluk todolo hanya mampu ditempuh dengan menggunakan kerbau, dan diantara kerbau yang paling tinggi di mata tuhan adalah kerbau belang. Pemotongan kerbau lain juga bisa digunakan seperti kerbau pudu dan kerbau bulan. Meskipun demikian, lebih banyak bangsawan yang memilih kerbau belang untuk membuat tuhan menang dan sebagai gengsi jika acara selesai banyak dibicarakan oleh para tamu. Hal ini seperti tergambar pada perdebatan keluarga Ralla dalam memutuskan kerbau belang sebagai kerbau yang akan dipotong dalam acara rambu solo.
Rambu solo merupakan proses kunci pembebasan roh kerabat yang sudah meninggal. Seperti terefleksi dalam teks novel Puya ke Puya bahwa proses perjalanan ke surga merupakan sutu dambaan menjelma menjadi to membali puang atau dewa yang tinggal di surga. Fase perjalana roh ini dikemukakan oleh tokoh utama dalam novel yang sesungguhnya oleh pengarang novel menggunakan roh yang bercerita kepada pembaca. Hal ini dapat dilihat pada kutipan teks novel sebagai berikut.
“Dulu aku, pernah berharap untuk menjadi To Mem ali puang menjadi dewa, ketika kelak tiba di surga. Aku ingin, bahkan sampai saat ini aku asih diam-diam memeram keinginan itu. Soal rohku yang kini masih tergantung antara langit dan bumi, menjadi bombo karena belum diupacarakan, biarlah menjadi
tanggunganku sendiri, biarlah kuderitakan sendiri.” (Oddang, 2015: 32)
………. “Sekalian lagi, dengan sangat berat meninggalkan beban, aku tetap berharap kerabat mengupacarakanku dengan sempurna sehingga aku menjelma dewa To Membali Puang. Semoga kelak cucu-cucuku bisa kubantu keinginannya serta doa-doa-nya, cucu-cucuku yang masih hidup di dunia.” (Oddang, 2015: 33)
Kutipan teks novel tersebut menunjukkan bahwa proses pemakaman melalui upacara rambu solo merupakan unsur penting yang dapat membuat roh menjelma menjadi dewa. Jika hal ini bisa dicapai maka anak cucu yang mengupacarakan akan dengan muda terijabah doanya oleh roh yang menjelma menjadi dewa di surga tersebut. Dengan demikian, dapat disimpulkan prosesi pemakaman tersebut mengandung keyakinan perjalana ke alama setelah kematian yakni menuju surga. Sesampainya di surga, kerabat yang telah wafat yang sudah mendapatkan prosesi pemakaman melalaui upacara adat diyakini menjelma menjadi dewa. Jika tidak makan roh kerabat yang mati, seperti pada penuturan tokoh dalam novel, akan terjebak antara langit dan bumi menjadi bombo.
Pola kepercayaan juga ditemukan dalam novel Manusia Langit merefleksikan kepercayaan terhadap adanya kegaiban yakni eksistensi roh. Pola semacam ini dapat ditemukan dalam banyak struktur kebudayaan di Indonesia, termasuk pada masyarakat Toraja yang telah dibahasa terdahulu. Data tentang adanyanya roh pada
suatu tempat tertentu yang dikeramatkan ini dapat disimak pada kutipan teks novel sebagai berikut.
“Orang ini berkata bahwa mereka akan membicarakan izin nanti dengan Tuan Mbowo Laiya. Tapi, kata dia, jika Bang Mahendra ingin mengetahui sejarah Banuaha, pulang saja. Pak Nai Laiya bisa berbicara dengan roh, termasuk bertanya tentang sejarah Banuaha. Jangan repot-repot mencari, katanya. "
“Benar?‟
“Lau, aina ba nomo yaitu, “kata pria itu.
“Bagaimana cara saya berkomunikasi dengan leluhur?” Pak Nai Laiya kelihatannya mengerti pertanyaanku. Ia melirik pada Sayani sebagai tanda meminta terjemahkan. Sayani menjawab dalam Bahasa Nias. Terjadilah obrolan yang tak ku mengerti. Aku berusaha memahami dari bahasa tubuhnya. Kecurigaan belum hilang dari mata dan cara Pak Nai bicara.
“Kata Pak Nai Laiya, Bang Mahendra bias bicara pada leluhur melalui odu zatua, patung orang tua, di rumah Pak Nai Laiya,” Sayani menerjemahkan. “Roh orang hebat itu bias dipanggil, tapi harus upacara dulu” (Sonjaya, 2010: 5-6).
Kepercayaan terhadap roh penunggu suatu tempat tertentu muncul seiring pertumbuhan budaya manusia jaman dahulu. Nias merupakan salah satu wilayah dengan akar kepercayaan animisme sebelum masuknya agama Kristen. Roh dianggap memiliki kesaktian dalam masyarakat sebagaimana dapat dilihat pada kutipan novel, sebagai berikut.
“Benarkah yang dikatakannya?” tanyaku kepada Sayani. “Bila benar aku bisa bicara dengan roh, aku akan jadi arkeolog hebat, tidak perlu susah-suah lagi menggali, tinggal tanya saja kepada mereka apa yang terjadi serratus atau seribu tahun lalu. Roh kan hebat, sakti.” (Sonjaya, 2010: 6)
Roh-roh tersebut akan menempati pohon-pohon, gunung-gunung, atau tempat-tempat tertentu yang telah dipersiapkan. Tempat berdiamnya roh itu kemudian akan disembah dan dijadikan tempat keramat bagi masyarakat. Roh orang yang telah wafat dianggap sebagai pelindung yang kuat bagi masyarakat untuk menangkal pengaruh negatif dan sihir-sihir dari kelompok masyarakat lain. Roh tersebut hanya dapat dibangkitkan oleh seorang ahli kunci yang dipilih oleh masyarakat sebagai pembimbing bagi roh-roh tersebut. Cara mendatangkan roh dilakukan dengan diiringi nyanyian, tarian, puji-pujian, dan berbagai sajian-sajian. Didatangkannya roh orang yang telah wafat dilakukan sebagai bentuk perlindungan dan pencarian berkah bagi mereka yang masih hidup.
Kepercayaan terhadap roh tersebut melahirkan semacam tradisi yang secara antropologis bida dipahami sebagai penemuan laku hidup masyarakat Nias yakni dilakukannya upaca pemukulan gong dan gendang pada saat pembangunan fondasi rumah untuk menjauhkan dari roh-roh jahat. Hal ini dapat dilihat pada kutipan teks novel sebagai berikut.
“Dahulu, pada saat membuat fondasi rumah diadakan upacara pemukulan gong dan gendang untuk mengusir roh-roh jahat di sekitar tanah yang hendak dibangun rumah. Ketika rumah selesai dibangun, sebelum ditempati, masih harus diadakan beberapa kali upacara, mengundang puluhan lelaki masuk ke dalam rumah untuk menguji kekuatan rumah dengan menari hewa-hewa. Setelah itu mereka harus dijamu makan dengan menyembelih puluhan ekor babi.” (Sonjaya, 2010: 12-13).
Kutipan teks novel tersebut menunjukkan bahwa dahulu karena kepercayaan terhadap roh-roh jahat mendorong masyarakat Nias, khususnya di Banuaha melakukan upaya pemukulan gong dan gendang. Proses ini mengiringi pembangunan rumah baru, bahkan jika rumah sudah selesai dibangun masih harus dilakukan upacara dengan mengudang para lelaki masuk ke dalam rumah menguji kekuatan rumah dengan tarian hewa-hewa. Setelah itu para penari harus dijamu dengan penyembelihan puluhan ekor babi.
Aspek kepercayaan lainnya yang terdapat pada novel ini yaitu percaya adanya Sirao. Kisah lain, seperti Sirao, dikatakan sebagai anak hasil perkawinan dua penjuru langit, dan proses perkawinannya seperti perkawinan manusia. Hal tersebut diceritakan oleh sosok Ama Budi kepada sosok Mahendra. Seperti yang tertera pada kutipan di bawah ini.
“Dalam satu hoho asal kejadian manusia Nias disebutkan bahwa Sirao, leluur Nias, diturunkan ke bumi dari langit, dari tete holi ana’a. Sirao adalah anak daris hasil perkawinan dua angina di langit. Proses perkawinan dan kehamilan angina tersebut diceritakan secara jelas layaknya perkawinan dan kehamilan manusia.” (Sonjaya, 2010: 110-111)
Berdasarkan kutipan tersebut, suku Nias dianggap berasal dari langit. Namun, dari versi lain cerita, suku Nias dianggap berasal dari sebatang pohon kehidupan bernama Sigaru Tora'a. Kutipan di atas tidak masuk akal secara rasional untuk disebut mitos. Mitos menurut Barthes (Rafiek, 2012: 103-105) dapat hidup dalam suasana aksi
revolusioner dengan membayangkan sesuatu. Mitos apa pun dengan beberapa derajat generalisasi pada dasarnya ambigu, karena itu mewakili kemanusiaan. Mitos juga merupakan sistem komunikasi karena mitos adalah pesan. Mitos dapat tumbuh dan berkembang dalam karya sastra sesuai dengan kreativitas pengarangnya.
Novel Manusia Langit, menggambarkan budaya atau kultur secara umum, juga menggambarkan religius masyarakat Nias yang berbeda dengan masyarakat lainnya. Religius adalah cara pandang seseorang terhadap agamanya dan bagaimana orang tersebut menggunakan keyakinan atau agamanya dalam kehidupan sehari-hari.
Masyarakat Nias masih memegang teguh ajaran atau aliran animisme. Animisme adalah kepercayaan pada roh dan roh yang merupakan prinsip kepercayaan agama yang pertama kali muncul di antara manusia primitif. Animisme meyakini bahwa setiap benda di Bumi (seperti daerah tertentu, gua, pohon atau batu besar) yang memiliki jiwa dan harus dihormati agar tidak mengganggu manusia, bahkan dapat membantu mengusir roh jahat dalam kehidupan sehari-hari. Di Nias digambarkan bahwa masyarakatnya masih mempercayai hal-hal gaib. Seperti yang tertera pada kutipan di bawah ini.
“Sudah pulang rupanya kalian?” sapa Ama Budi. “lekas mandi keburu malam, nanti kena tesafo di sungai!”
“baik Ama!”aku sangat merinding mendengar kata tesafo. Aku pernah melihat tetangga Ama Budi yang kesurupan roh
halusbeberapa hari yang lalu. Mengerikan sekali” (Sonjaya, 2010:14)
Tesafo adalah penyakit yang disebabkan oleh makhluk halus, menurut kepercayaan masyarakat Nias. Biasanya seseorang yang terkena Tesafo akan langsung memberikan salip di keningnya menggunakan bahan dapur yaitu kunyit atau arang. Menurut masyarakat Nias, Tesafo adalah makhuk halus yang belum bisa tenang. Artinya jika seseorang meninggal dunia, belum dilaksanakan ritual, maka jiwanya akan resah. Salah satu ritual khusus setelah kematian di Nias adalah doa setelah empat hari kematian. Roh almarhum diundang dan diberi makan untuk terakhir kalinya. Diyakini bahwa selama empat hari setelah kematian roh-roh tersebut masih berada di dalam atau di sekitar rumah. Pada hari upacara atau ritual kematian, tidak boleh ada orang di tengah jalan, apalagi di depan pintu rumah karena bisa terkena Tesafo Roh akan diperlakukan