• Tidak ada hasil yang ditemukan

Batasan Penelitian

Dalam dokumen SKRIPSI. Disusun Oleh: RAHMAD ASWANDI NIM (Halaman 33-150)

BAB I PENDAHULUAN

1.6. Batasan Penelitian

Dalam penyusunan skripsi ini peneliti membatasi masalah atau ruang lingkup penelitian yaitu hanya mencakup keputusan

pembelian dengan labelisasi halal sebagai variabel intervening pada Restoran Gunung Salju.

14

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Keputusan Pembelian

2.1.1. Pengertian Keputusan Pembelian

Jual beli tidak terlepas dari aktivitas kehidupan manusia.

Sebelum melakukan pembelian, biasanya seseorang akan melakukan keputusan pembelian terhadap sesuatu yang hendak dibeli. Pengambilan keputusan pembelian sangat dipengaruhi oleh perilaku konsumen. Proses tersebut sebenarnya merupakan proses pemecahan masalah dalam rangka memenuhi keinginan atau kebutuhan konsumen (Sangadji & Sopiah, 2013 : 332). Keputusan pembelian merupakan kegiatan individu yang secara langsung terlibat dalam pengambilan keputusan untuk melakukan pembelian terhadap produk yang ditawarkan oleh penjual. Pengertian keputusan pembelian menurut Peter dan Olson (2000), keputusan pembelian adalah proses mengkombinasikan pengetahuan untuk mengevaluasi dua atau lebih perilaku alternatif dan memilih salah satu diantaranya.

Setiadi (2003), menuturkan pengambilan keputusan yang diambil oleh konsumen dapat disebut sebagai pemecahan masalah.

Dalam proses pengambilan keputusan, konsumen memiliki sasaran atau perilaku mana yang ingin dilakukan untuk mencapai sasaran tersebut. Dengan demikian hal ini dapat membantu memecahkan masalahnya. Selanjutnya dijelaskan pemecahan masalah

merupakan suatu aliran timbal balik yang berkesinambungan diantara faktor lingkungan, proses kognitif dan afektif serta tindakan perilaku. Pada tahap pertama merupakan pemahaman adanya masalah. Selanjutnya terjadi evaluasi terhadap alternatif yang ada dan tindakan yang paling sesuai dipilih. Pada tahap selanjutnya, pembelian dinyatakan dalam tindakan yang pada akhirnya barang yang telah dipilih atau ditunjuk akan digunakan dan konsumen akan melakukan evaluasi ulang mengenai keputusan yang telah diambilnya.

Pranoto (2008), juga menjelaskan perilaku pengambilan keputusan oleh konsumen untuk melakukan pembelian produk atau jasa diawali dengan adanya kesadaran atas pemenuhan kebutuhan atau keinginan dan menyadari adanya masalah selanjutnya, makakonsumen akan melakukan beberapa tahap yang pada akhirnya sampai pada tahap evaluasi pasca pembelian.

2.1.2. Tahap-tahap dalam proses keputusan pembelian

Proses keputusan pembelian yang spesifik menurut Kotler dan Armstrong (2008) terdiri dari urutan kejadian berikut:

pengenalan masalah kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi alternatif,keputusan pembelian dan perilaku pasca pembelian.

Secara rinci tahap-tahap ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Pengenalan masalah, yaitu konsumen menyadari akan adanya kebutuhan. Konsumen menyadari adanya

perbedaan antara kondisi sesungguhnya dengan kondisi yang di harapkan.

2. Pencarian informasi, yaitu konsumen ingin mencari lebih banyak konsumen yang mungkin hanya memperbesar perhatian atau melakukan pencarian informasi secara aktif.

3. Evaluasi alternatif, yaitu mempelajari dan mengevaluasi alternatif yang diperoleh melalui pencarian informasi untuk mendapatkan alternatifpilihan terbaik yang akan digunakan untuk melakukan keputusan pembelian.

4. Keputusan membeli, yaitu melakukan keputusan untuk melakukan pembelian yang telah diperoleh dari evaluasi alternatif terhadap merek yang akan dipilih.

5. Perilaku sesudah pembelian, yaitu keadaan dimana sesudah pembelian terhadap suatu produk atau jasa maka konsumen akan mengalami beberapa tingkat kepuasan atau ketidakpuasan.

Philip Kotler (2005), J.w. Stanton (1993) yang menyebutkan bahwa ada beberapa proses yang dilakukan dalam rangka tindakan pembelian yaitu: mengenali atau pemahaman adanya kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi alternatif, tindakan pembelian dan perilaku pasca pembelian (Effendi, 2016:292).

2.1.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pembelian konsumen

Kotler (2005) dalam Apriyanti (2011) perilaku konsumen sangat dipengaruhi oleh sikap konsumen terhadap produk, apabila sikapnya positif maka konsumen akan melakukan pembelian terhadap produk yang merknya diminati.

Suardika dkk (2014) menjelaskan bahwa beberapa faktor yang berperan dalam pemilihan produk pangan adalah persepsi dan sikap terhadap atribut produk dan harapan kualitas sesungguhnya yang diperoleh sebelum dan setelah pembelian dan konsumsi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pembelian konsumen (Kotler, 2005) yang terkait penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Faktor psikologis 2. Keputusan pembelian 3. Perilaku pasca pembelian

Proses pembelian konsumen dapat dipengaruhi oleh keadaan , waktu , dan lokasi . Selain itu, faktor yang dapat berpengaruh terhadap situasional proses pembelian konsumen terdiri atas lima kategori yaitu yang pertama adalah sekitar seperti fisik, lokasi, menyimpan ambience, atau cuaca. Kedua adalah sifat dan sekitarnya seperti sosial interaksi dengan orang lain. Dimensi ketiga adalah waktu. Waktu bermain peran penting sebagai pembeli menganggap daya tahan produk produk menggunakan atau frekuensi. Sebagainya menjadi alasan mengapa konsumen membeli

produk tertentu. Konsumen yang terakhir kondisi atau perasaan mungkin berimbas pada proses keputusan konsumen membeli (Sagala dkk, 2014).

2.1.4. Keputusan Pembelian Dalam Islam

Proses pengambilan keputusan dalam Islam diterangkan dalam beberapa ayat yang bersifat umum, artinya dapat diterapkan dalam segala aktifitas. Konsep pengambilan keputusan dalam Islam lebih ditekankan pada sifat adil dan berhati-hati terhadap informasi seperti yang dijelaskan dalam Al-qur‟an:





































Artinya: “Hai orang orang yang beriman jika datang kepadamu yang fasik membawa satu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan itu” (Q.S: Al-Hujarat [49]:6).

Q.S Al- Hujarat (46) ayat 6 secara eksplisit menjelaskan bagaimana dengannya berbicara tentang seharusnya seseorang merespons suatu berita. Dalam, hal ini, Ibn Katsir, Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, serta Quraish Shihab menyebutkan beberapa musafir saja, menjelaskan tentang penafsirannya akan Q.S Al-Hujarat (49) ayat 6. Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya al-Quran al-Adzim, menjelaskan agar seseorang janganlah percaya dengan segala bentuk berita apalagi itu berasal dari kaum fasik.

Karena dikhawatirkan orang yang mendengar kabar tersebut menjadi terprovokasi ataupun terhasut terkait berita yang disebarkan.

Dan juga ayat diatas menjelaskan bahwa sebagai umat muslim hendaknya berhati-hati dalam menerima berita atau informasi. Ayat ini dapat disandarkan dengan sikap kehati-hatian umat Islam dalam mengambil keputusan untuk mengkonsumsi atau menggunakan suatu produk.

2.1.5. Perilaku Konsumen dalam Perspektif Ekonomi Islam Menurut Munrokhim Misanam (2004), Perilaku konsumen muslim dipengaruhi oleh Masalah berkah/keberkatan, prinsip utama sistem ekonomi Islam dalam menyikapi permasalahan tentang perilaku konsumen, termasuk konsumsi didalamnyaGaya hidup hemat dan tidak bermewah-mewah (abstain from wasteful and lixurius living), yang dimaksud hidup hemat disini yakni tindakan ekonomi diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan bukan untuk pemuasan keinginan. Seperti yang dijelaskan dalam al-Quran:

























Artinya : “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian”. (Q.S : Al-Furqan : [25] : 67)

Dari ayat diatas nenurut tafsir Ibnu Katsir dalam ayat tersebut mengartikan bahwasanya hamba-hamba yang mukmin itu jika membelanjakan hartanya, mereka tidak berlaku mubadzir dan boros untuk menonjolkan kekayaannya dan tidak pula berlaku kikir dan bakhil dikarenakan cinta sayangnya sangat kepada harta kekayaannya. Tidak berlebih lebihan dan tidak pula menahan diri.

Serta hendaklah hidup di antara keduanya (moderat). Selain itu ayat tersebut selanjutnya membenarkan perkataan Rasul mengenai dosa besar yakni berlaku syirik, membunuh jiwa yang diharamkan dan berzina.

Sekilas dapat disimpulkan menurut tafsir Ibnu Katsir dari ayat di atas, dapat dilihat bahwa larangan untuk berlebih-lebihan dalam hal membelanjakan harta (dilarang berperilaku boros) ketika membeli sesuatu yang sangat disenangi, dan juga larangan untuk bersifat kikir yakni sikap tidak mau mengeluarkan harta yang semestinya harus dikeluarkan, baik untuk dirinya, untuk kepentingan agama maupun untuk orang lain dan masyarakat, perintah untuk hidup moderat atau berada di pertengahan.

Menjalankan usaha-usaha yang halal (permissible conduct), jauh dari riba, maisir dan gharar baik dalam proses maupun outputnya. Dalam konsumsi Islam memposisikan sebagai bagian dari aktifitas ekonomi yang bertujuan untuk mendapatkan falah.

Motif berkonsumsi dalam Islam pada dasarnya maslahah atas kebutuhan dan kewajiban (Kurniati, 2016).

2.1.6 Indikator Keputusan Pembelian

Menurut Kotler dan Keller (2013) ada Sembilan indikator keputusan pembelian, yaitu:

1. Kemantapan 2. Kebiasaan

3. Memberikan rekomendasi 4. Melahirkan pembelian ulang 5. Pengenalan Kebutuhan 6. Pencarian informasi 7. Evaluasi alternatif 8. Keputusan Membeli

9. Tingkah Laku Pasca Pembelian 2.2 Keamanan Pangan (Food Safety)

Menurut UU RI nomor 18 tahun 2012, tentang pangan, pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati berupa produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, baik yang diolah maupun yang tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makana atau minuman. Pangan merupakan kebutuhan dasar yang permintaannya terus meningkat seiring dengan perkembangan jumlah penduduk dan peningkatan kualitas hidup.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan jasa. Smith (2008) mendefinisikan keamanan pangan sebagai kondisi dan upaya mempertahankan kualitas sebuah makanan yang mencegah kontaminasi dan foodborne desease. Makanan dapat terkontaminasi pada setiap tahap alur makanan dari pertanian sampai ke meja.

Sumber kontaminasi dapat berasal dari tanah, air, tumbuhan, hewan, dan manusia. Oleh sebab itu pencegahan dan pengendalian harus diawali dari makanan tersebut diterima sampaii makanan tersebut disajikan.

Keamanan pangan merupakan keprihatinan konsumen dengan memakan yang dihasilkan dari semprotan bahan kimia, pupuk, dan pengawet (Wallace, Ruth, & Joe:2005). Anwar, F (2004) mendefinisikan pangan yang tidak aman dapat menyebabkan penyakit yang disebut dengan foodborne diseases yaitu gejala penyakit yang timbul akibat mengkonsumsi pangan yang mengandung bahan /senyawa beracun atau atau organisme patogen. Saleh et al., (2010) Keamanan pangan menjadi perimbangan yang paling penting ketika membuat keputusan pembelian.

Sajogjo Goenardi, dkk, (1993) menyatakan ada dua masalah utama yang menyebabkan rendahnya keamanan pangan tersebut yaitu pelaksanaan kebersihan dan sanitasi yang masih sangat kurang dan penggunaan bahan berbahaya yang sebetulnya tidak

boleh untuk pangan. Hal yang terakhir biasanya dilakukan oleh industri rumah tangga karena faktor ketidaktahuan dan biayanya lebih murah. Oleh karena itu, perlu dibentuk jaringan komunikasi keamanan pangan untuk memberikan penyuluhan terhadap masalah ini. Renee, (2008) Keamanan pangan mengacu pada kondisi dan praktik yang menjaga kualitas makanan untuk mencegah kontaminasi dan penyakit bawaan makanan.dapat disimpulkan dari teori diatas menunjukkan bahwa kurangnya pemahaman dan pengetahuan produsen dalam mengolah produk pangan dengan menggunakan bahan berbahaya guna menghemat cost produksi tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan bagi kesehatan konsumen.

2.2.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keamanan Pangan Menurut Anwar (2004), pangan yang tidak aman dapat menyebabkan penyakit yang disebut dengan foodborne diseases yaitu gejala penyakit yang timbul akibat mengkonsumsi pangan yang mengandung bahan/senyawa beracun atau organisme patogen.

Penyakit-penyakit yang ditimbulkan oleh pangan dapat digolongkan ke dalam dua kelompok utama, yaitu infeksi dan intoksikasi. Istilah infeksi digunakan bila setelah mengkonsumsi pangan atau minuman yang mengandung bakteri patogen, timbul gejala-gejala penyakit. Beberapa faktor yang menyebabkan makanan menjadi tidak aman adalah :

1. Kontaminasi Kontaminasi adalah masuknya zat asing ke dalam makananyang tidakdikehendaki atau diinginkan.

Kontaminasi dikelompokkan ke dalam empat macam, yaitu : a. Kontaminasi mikroba seperti bakteri, jamur, cendawan.

b. Kontaminasi fisik seperti rambut, debu, tanah, serangga dan kotoran lainnya.

c. Kontaminasi kimia seperti pupuk, pestisida, merkuri, arsen, cyianida dan sebagainya.

d. Kontaminasi radioaktif seperti radiasi, sinar alfa, sinar gamma, radio aktif, sinar cosmis dan sebagainya.

Terjadinya kontaminasi dapat dibagi dalam tiga cara, yaitu:

 Kontaminasi langsung yaitu adanya bahan pencemar yang masuk ke dalam makanan secara langsung karena ketidaktahuan atau kelalaian baik disengaja maupun tidak disengaja.

 Kontaminasi silang yaitu kontaminasi yang terjadi secara tidak langsung sebagai akibat ketidaktahuan dalam pengolahan makanan.

 Kontaminasi ulang (recontamination) yaitu kontaminasi yang terjadi terhadap makanan yang telah dimasak sempurna

1. Keracunan Menurut Dirjen PPM dan PL (2000), Keracunan adalah timbulnya gejala klinis suatu penyakit atau gangguan kesehatan lainnya akibat mengkonsumsi makanan yang tidak hygienis. Makanan yang menjadi

penyebab keracunan umumnya telah tercemar oleh unsur- unsur fisika, mikroba atau kimia dalam dosis yang membahayakan. Kondisi tersebut dikarenakan pengelolaan makanan yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan dan atau tidak memperhatikan kaidahkaidah hygiene dan sanitasi makanan.

Keracunan makanan adalah keadaan darurat yang diakibatkan masuknya suatu zat atau makanan ke dalam tubuh melalui mulut yang mengakibatkan bahaya bagi tubuh. Keracunan makanan adalah suatu penyakit yang terjadi setelah menyantap makanan yang mengandung racun, berasal dari bahan beracun yang terbentuk akibat pembusukan makanan dan bakteri. Keracunan dapat terjadi karena (Junaidi, 2011):

a. Bahan makanan alami, yaitu makanan yang secara alami telah mengandung racun seperti jamur beracun, ikan, buntel, ketela hijau, umbi gadung atau umbi racun lainnya.

b. Infeksi mikroba, yaitu bakteri pada makanan yang masuk ke dalam tubuh dalam jumlahbesar (infektif) dan menimbulkan penyakit seperti cholera, diare, disentri.

c. Racun/toksin, mikroba yaitu racun atau toksin yang dihasilkan oleh mikroba dalammakanan yang masuk ke

dalam tubuh dalam jumlah membahayakan (lethal dose).

d. Zat kimia, yaitu bahan berbahaya dalam makanan yang masuk ke dalam tubuh dalam jumlah membahayakan.

e. Alergi, yaitu bahan allergen di dalam makanan yang dapat menimbulkan reaksi sensitif kepada orang-orang yang rentan.

2.2.2. Indikator Keamanan Pangan

HACCP (hazard analysis critical control point) adalah sistem manajemen keamanan pangan yang didesain untuk identifikasi dan mencegah microba dan bahaya lainnya dalam proses produksi makanan dan keseluruhan rantai makanan. haccp meliputi tahapan pendesainan untuk mencegah masalah sebelum masalah itu terjadi dan untuk mengoreksi penyimpanan secara sistematis dengan cepat dapat mendeteksi masalah yang ada. haccp memungkinkan produsen, pengolah, distributor, eksportir dari produk pangan untuk menggunakan sumber daya teknik secara efisien dan dalam hal biaya yang efektif dalam jaminan keamanan pangan (Anonim: 2005).

Indikator untuk mengukur keamanan pangan dengan menerapkan sistem HACCP (hazard analysis critical control point) menurut Bryan (1992) adalah sebagai berikut :

1. Penerimaan makanan (receipt of food).

2. Proses memasak(cooking).

3. Persiapan dan penyajian (preparation and serving).

4. Penawaran/pembelian (supply/purchase).

Menurut Codex Alimentarius Commission / FAO / WHO / HACCP,(2012) mengemukakan bahwa ada empat indikator kesadaran kesehatan, yaitu:

1. Identifikasi Bahaya.

2. Penilaian bahaya.

3. Kontrol Bahaya

2.3. Kesadaran Kesehatan (Health Consciousness)

Kesadaran kesehatan adalah suatu kepedulian dan perhatian untuk menjadi lebih baik dan termotivasi dalam memperbaiki, mempertahankan, menjaga kesehatan dan kualitas hidup dengan menerapkan pola hidup sehat (Michaelidou and Hassan, 2008).

Lebih jauh Michaelidou and Hassan menyatakan terdapat empat dimensi kesadaran kesehatan, yaitu kepedulian dalam kesehatan, perhatian yang tinggi bahwa asupan makanan mempengaruhi kesehatan, penghargaan pada makanan yang sehat dan alami, dan usaha memilih makanan yang sehat.

Menurut Yang., et al (2014:14), kesadaran akan kesehatan diartikan sebagai suatu sikap dimana orang-orang menyadari pentingnya kesehatan dalam makanan dan gaya hidup mereka.

Hong menyatakan bahwa kesadaran kesehatan adalah kesadaran berdasarkan persepsi kesehatan sebagai individu, dengan tanggung jawab dan motivasi agar menjadi sehat (Hong, 2011).

Kesadaran Kesehatan menyangkut penilaian kesiapan untuk melakukan tindakan kesehatan (Becker, Kirscht, Haefner, &

Drachman, 1977). Konsumen kini lebih sadar pada nutrisi yang terkandung dalam makanan, makanan yang sehat, dan kualitas dari makanan yang mereka konsumsi, kemudian kesehatan menjadi kriteria yang penting ketika membeli produk makanan Magnusson, et al., (2001), dan Wandel dan Bugge, (1997).

Konsep kesehatan sangat penting untuk membantu memberikan kesadaran kepada masyarakat tentang arti betapa pentingnya kesehatan yang menyeluruh. Kesadaran kesehatan adalah suatu kepedulian dan perhatian untuk menjadi lebih baik dan termotivasi untuk memperbaiki, mempertahankan, menjaga kesehatan dan meningkatkan kualitas hidup dengan menerapkan pola hidup sehat (Michaelidou and Hassan: 2008).

Kesadaran kesehatan mengacu pada tingkat dimana perhatian akan kesehatan terintegrasi ke dalam aktivitas seharihari seseorang (Jayanti dan Burns, 1998:10).

Kesadaran kesehatan dianggap sebagai niat atau motivasi subjektif untuk meningkatkan kesehatan individu. Apabila dikaitkan dengan koteks makanan organik dapat disimpulkan bahwa sikap positif terhadap makanan organik oleh konsumen berasal dari keyakinan bahwa makanan organik baik untuk kesehatan, dengan demikian mereka dapat mengkonsumsi tanpa ada rasa takut dan khawatir (Suh et al., 2012:55).

Iversen & Kraft (2006) mengatakan bahwa kesadaran kesehatan mengacu pada bagaimana individu memperhatikan kesehatannya. Konsumen yang sadar akan kesehatan adalah orang yang lebih memilih melakukan sesuatu untuk kesehatan yang lebih baik bersama dengan tindakan hidup sehat seperti mengonsumsi makanan sehat. Dapat disimpulkan kesadaran kesehatan perhatian pada makanan yang dikonsumsi oleh konsumen, kesadaran kesehatan yang tinggi membuat konsumen lebih berhati-hati dalam memilih makanan yang dikonsumsinya disebabkan hal yang paling utama yang harus dijaga oleh konsumen adalah kesehatan, karena tanpa kesehatan yang baik maka tidak bisa melakukan aktivitas sehari-hari.

2.3.1. Indikator Kesadaran Kesehatan

Michaelidou dan Hassan (2008) mengemukakan bahwa ada empat indikator kesadaran kesehatan, yaitu:

1. Kepedulian akan kesehatan.

2. Perhatian yang tinggi bahwa asupan makanan mempengaruhi kesehatan.

3. Penghargaan pada makanan yang sehat.

4. Usaha dalam memilih makanan yang sehat.

Dutta-Bergman (2004) menyebutkan ada empat indikator kesadaran kesehatan, yaitu:

1. Integrasi perilaku kesehatan.

2. Pencarian dan penggunaan informasi kesehatan.

3. Tanggung jawab pribadi.

4. Motivasi kesehatan.

2.4. Labelisasi Halal

2.4.1. Pengertian Labelisasi Halal

Labelisasi halal adalah pencantuman tulisan atau pernyataan halal pada kemasan produk untuk menunjukkan bahwa produk yang dimaksud berstatus sebagai produk halal, di Indonesia lembaga yang diberi wewenang oleh Pemerintah dalam proses sertifikasi halal adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Labelisasi halal mempunyai tujuan untuk memenuhi tuntutan pasar (konsumen) secara universal. Maka apabila tuntutan itu bisa terpenuhi, secara ekonomi para pebisnis Indonesia akan mampu menjadi tuan rumah dari segi produk yang di pasarkan,tujuan lain yang sangat mendasar adalah melindungi akidah para konsumen terutama yang beragama Islam Wibowo dan Mandusari (2018).

Labelisasi halal menurut Sam et al (2009:84) adalah pencantuman tulisan atau pernyataan halal pada kemasan produk untuk menunjukkan bahwa produk yang dimaksud berstatus sebagai produk halal.

Menurut Stanton dalam Suryani (2008), label adalah bagian sebuah produk yang membawa informasi verbal tentang produk atau tentang penjualnya. Sebuah label bisa merupakan bagian dari kemasan atau pula etiket (tanda pengenal) yang dicantumkan pada produk. Label dibagi kedalam 3 klasifikasi yaitu: 1. Brand label,

yaitu merek yang diberikan pada produk atau dicantumkan pada kemasan. 2. Descriptive label, yaitu label yang memberikan informasi objektif mengenai penggunaan, konstruksi/pembuatan, perhatian/perawatan dan kinerja produk, serta karakteristik-karakteristik lainnya yang berhubungan dengan produk. 3. Grade label, yaitu label yang mengidentifikasikan penilaian kualitas produk dengan suatu huruf, angka atau kata. Misalnya buah-buahan dalam kaleng diberi label kualitas A, B dan C.

Menurut Stanton, J.W. (2004) Label merupakan bagian sebuah produk yang membawa informasi verbal tentang produk atau tentang penjualnya. Sebuah label bisa merupakan bagian dari kemasasan atau pula etiket (tanda pengenal) yang dicantumkan pada produk. Label terbagi kedalam tiga klasifikasi yaitu : Brand label, Describtive label, Grade label. menurut Latiff et.al.,(2015) label makanan halal terdiri dari tiga (3) bagian yaitu : a. Terdapat logo halal, b. Terdapat label komposisi c. Terdapat label kandungan nutrisi. Menurut Sukesti, F. dan Mamdukh B., (2014) labelisasi halal adalah pencantuman tulisan atau pernyataan halal pada kemasan produk untuk menunjukkan bahwa produk yang dimaksud bersetatus sebagai produk halal. Label pada kemasan hanya sekedar menginformasikan tentang logo dan komposisi sebuah produk, tetapi berbeda pada label lahal, label halal tidak hanya sekedar menginformasikan logo tetapi juga kopisisi atau bahan yang terkandung didalamnya sudah terjamin kehalalannya.

Kotler (2008) menyatakan bahwa label memiliki 3 fungsi utama yaitu: 1. Mengindentifikasi produk atau merek 2.

Menentukan kelas produk 3. Menjelaskan produk yaitu siapa pembuatnya, kapan, dimana dan apa isinya.

Untuk mendapat mendapatkan label halal dari MUI, ada 11 kriteria yang harus dimiliki oleh suatu produk yaitu ( Kumparan Bisnis, 2017)

1. Perusahaan memiliki kebijakan halal.

2. Tim manajemen pengelola kebijakan halal.

3. Melakukan pelatihan dan pendidikan mengenai konsep halal.

4. Memiliki kriteria bahan halal dan non halal.

5. Mengetahui kriteria produk yang bisa dan tidak bisa disertifikasi.

6. Memiliki fasilitas yang bebas dari hal yang mencemari kehalalan.

7. Memiliki kreteria prosedur tertulis untuk aktivitas produksi dalam keadaan kritis.

8. Memiliki sistem keterlurusan. Atrinya, bahan dasar produk yang dihasilkan bisa ditelusuri kehalalannya.

9. Prosedur menangani produk yang tidak halal.

10. Memiliki tim audit internal untuk melakukan evaluasi minimal enam bulan sekali.

11. Memiliki tinjauan manajemen atau manajemen riview.

Dalam ayat Al-quran, Allah secara tegas memerintahkan umatnya dalam mengonsumsi makanan yang halal yang dijelaskan pada Q.S Al-Baqarah: 168 :



































Artinya : “Wahai manusia, makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu”(Q.S Al-Baqarah [2]:

168).

2.4.4. Logo Halal

Pemberian sertifikat halal MUI pada produk pangan, obat-obatan dan kosmetika bertujuan untuk melindungi konsumen muslim terhadap produk yang tidak halal. Sertifikat halal merupakan hak konsumen muslim atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.

Sumber : www.halalmui.org (2020).

Gambar 2.1 Logo Halal MUI

2.4.5 Indikator Kehalalan

Menurut Harahap (2013) mengemukakan bahwa ada dua indicator labelisasi halal, yaitu:

1. Legalitas 2. Kepercayaan.

Menurut Fuad (2010) mengemukakan bahwa ada lima indicator labelisasi halal, yaitu:

1. Memastikan sertifikat halal produk

2. Memastikan sertifikat halal pada restoran yang akan saya kunjungi

3. Sertifikasi halal lebih penting daripada informasi produk 4. Hanya akan mengkonsumsi produk bersertifikasi halal 5. Mengenali logo sertifikasi halal dari MUI.

3. Sertifikasi halal lebih penting daripada informasi produk 4. Hanya akan mengkonsumsi produk bersertifikasi halal 5. Mengenali logo sertifikasi halal dari MUI.

Dalam dokumen SKRIPSI. Disusun Oleh: RAHMAD ASWANDI NIM (Halaman 33-150)

Dokumen terkait