• Tidak ada hasil yang ditemukan

Batu Apung (BA) atau Pumice

Dalam dokumen digital_2016-4_20416070-D2054-Moh Azhar (Halaman 44-52)

Batu apung atau pumice telah digunakan selama berabad-abad oleh manusia. Agregat batu apung dapat ditemukan di banyak tempat di seluruh dunia di mana gunung berapi berada. Dewasa ini batu apung sebagai agregat telah banyak digunakan dan dikembangkan sebagai salah satu bahan dasar pembuatan beton ringan, dikarenakan sifatnya yang tangguh dan memiliki daya tahan yang baik sampai dengan 2000 tahun. Oleh sebab itulah agregat batu apung digunakan secara meluas dalam industri sipil sebagai materi konstruksi bangunan. Peningkatan pemanfaatan bahan ringan dalam aplikasi struktur bangunan sipil yang menyebabkan batu apung menjadi sangat populer untuk bahan baku batu bata ringan. Kemampuan batu apung salah satunya adalah dibuat produk yang berbeda-beda baik berdasarkan sifat fisik, kimia dan sifat mekanik. Batu apung yang digunakan sebagai agregat ringan alami ini memiliki porositas tinggi dan bobot bulk density yang rendah, sehingga diaplikasikan dalam produksi beton kekuatan rendah seperti batu-bata untuk tujuan tertentu.

Karakteristik LWC secara umum tergantung kepada kadar air agregat sebelum pencampuran. Kandungan air yang berlebihan menyebabkan kurangnya daya rekat antara agregat dan mortar, Sebaliknya kandungan air kurang menyebabkan agregat menyerap sebagian dari air mortar, sehingga menyebabkan semen sub-hidrasi dan konskwensinya perubahan kapasitas dari adukan beton. Kedua kasus diatas mengakibatkan sifat ketahanannya rendah dibandingkan ketika agregat direndam yang cukup sesaat sebelum persiapan adukan beton. Agregat pumice yang akan digunakan harusnya direndam dalam air selama 30 menit sebelum dicampur sehingga agregat pumice tidak menyerap air lagi pada saat dicampur (Gunduz, 2005).

Agregat batu apung yang dikombinasikan dengan Portland semen dan air menghasilkan LWC tahan panas, kedap suara, dan tahan api untuk dek atap, sebagai pengisi lantai ringan, isolasi dek lantai struktural, tirai sistem dinding, blok agregat batu apung dan beragam aplikasi lain untuk isolasi permanen (Brown dan Skinner, 1990; Failla dkk, 1997; Neville, 1996). Pada batu apung blok beton ringan atau Pumice Lightweight Concrete Block (PLWCB) yang dibuat dari campuran agregat batu apung, semen dan air telah diaplikasikan dalam

konstruksi non-beban dinding pengisi bantalan dan lempengan. Penggunaan PLWCB pada sebuah struktur bangunan telah terbukti mungarangi beban mati pada setruktur bangunan tersebut, dan dalam proses produksinya kepadatan atau densitasnya dapat dibuat antara 400 kg/m3 sampai 1300 kg/m3.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Hanifi Binici (2007) untuk mempelajari tentang penggunaan limbah industri keramik dan agregat batu apung untuk LWC dilihat dari sifat kekuatan tekannya. Pada penelitian ini digunakan Portland cemen ASTM Type I (PC 42,5 MPa), agregat dari batu kali yang kering dan bersih dengan ukuran maksimum 16 mm, crushed ceramic (CC) dari limbah industri, dan crused basaltic pumice (CBP). Sifat kimia dan fisik material yang digunakan dalam penelitian ini ditampilkan pada Tabel 2.7.

Tabel 2.7. Sifat kimia dan fisik material yang digunakan pada LWC (Hanifi Binici, 2007)

Materials Oxides (%)

SiO2 Al2O3 Fe2O3 CaO MgO SO3 LOI

Pc 42,5 19,4 5,5 3,9 63,4 1,8 2,0 - CC 88,4 7,3 0,5 0,1 0,1 - 0,4 CBP 63,9 15,6 6,3 2,3 2,1 3,2 1,6

Specific Gravity Specific surface Fineness (retained on Vicat time of Compressive strength

(kg/m3) (m3/kg) 90-μm sieve) setting (min) (MPa)

3180 345 8,2 Initial Final 3day 7day 28day

115 200 34,2 37,3 48,6

Terlihat dari Tabel 2.7 diatas bahwa pada material PC 42.5 senyawa yang dominan adalah CaO, sedangkan senyawa SiO2 lebih kecil. Pada material CC dan CBP senyawa yang dominan adalah SiO2 dan Al2O3 dengan jumlah yang tidak besar. Sedangkan Kuat Tekan bertambah besar dengan bertambahnya periode waktu reaksi.

Untuk sifat fisik pada batu kali sebagai agregat yang digunakan pada penelitian Hanifi Binici ditampilkan pada Tabel 2.8, sedangkan untuk CC dan CBP ditampilkan pada Tabel 2.9.

Tabel 2.8. sifat fisik dari batu kali sebagai agregat (Hanifi Binici, 2007)

Property Fine aggregate Coarse aggregate

Specific gravity (kg/m3) 2,65 2,7 Fineness modulus 2,68 - Water absorption 24 h (%) 0,75 1,24 Void (%) 46,20 44,25 Maximum size 4 16 Bulk density (kg/m3) 1695 1627 Abrasion value (%) - 26 Soundness test: weight loss - 7,1 after 30 cycles (%)

Tabel 2.9. Sifat fisik dari crushed ceramic (CC) dan crused basaltic pumice (CBP) (Hanifi Binici, 2007) Property CC CBP Specific gravity (kg/m3) 2,44 2,71 Fineness modulus 2,68 3,46 Water absorption 24 h (%) 0,71 0,88 Void (%) 44,2 64,2 Maximum size 4 4 Bulk density (kg/m3) 1395 1401 Abrasion value (%) 28 35 Soundness test: weight loss after 30 cycles (%) 4,2 7,1

Dari kedua Tabel 2.8 dan Tabel 2.9 diatas memperlihatkan bahwa nilai

Specific gravity terkecil didapat dari material CC yaitu sebesar 2,44 kg/m3

kemudian berturut-turut naik nilainya untuk batu kali (Fine aggregate sebesar 2,65 kg/m3 dan Coarse aggregate 2,7 kg/m3) serta yang paling besar adalah material CBP sebesar 2,71 kg/m3. Sedangkan Fineness modulus pada Fine

aggregate dan material CC memiliki nilai yang sama yaitu sebesar 2,68, nilai

terbesar terdapat pada material CBP sebesar 3,46.

Dari hasil penelitian Hanifi Binici (2007) didapatkan grafik kekuatan tekan pada beberapa variasi sampel yang digunakan terhadap waktu pengerasan yang ditampilkan pada Gambar 2.16.

Gambar 2.16. Kekuatan tekan pada campuran beton terhadap waktu pengerasan (Hanifi Binici, 2007)

Dari Gambar 2.16 pada penelitian ini terlihat bahwa pada sampel M3 dimana kandungan CC (60%) memiliki kekuatan tekan yang paling tinggi (± 55 MPa) dibandingkan dengan sampel M6 (60% CBP) yang hanya memiliki kekuatan tekan ± 37 MPa. Untuk material CBP yang terbesar adalah pada sampel M5 (50% CBP) dengan kekuatan tekan sebesar ± 42 MPa. Sedangkan sampel M0 (0% replacement) memiliki kuat tekan paling kecil yaitu sebesar ± 33 MPa.

Penggunaan CBP dalam campuran untuk pembuatan LWC ini perlu dikombinasikan lagi, baik peningkatan persentase CBP maupun dengan kombinasi jenis agregat yang lain, sehingga nilai kekuatan tekannya dapat lebih meningkat (Hanifi Binici, 2007).

Uma Ramasamy dan Paul Tikalsky (2012) dalam laporan penelitian menjelaskan bahwa bahan semen lengkap adalah bahan yang menyediakan bahan mikro-substrat atau memiliki efek katalitik untuk bahan semen lainnya. Batu apung dapat dikarakterisasi dengan menganalisis sifat kimia dan fisika, kinetika hidrasi dan sifat beton campuran yang mengandung batu apung. Lima kombinasi campuran beton dengan batu apung dicampur dengan Tipe II / V diperiksa. Campuran kontrol dengan 100% semen, tiga campuran dengan 20% semen digantikan oleh DS200, DS325 dan Ultrafine dan ketika campuran 30% maka simbolnya adalah DS325.

Uma Ramasamy dan Paul Tikalsky juga melaporkan bahwa batu apung memiliki kandungan mineral yang berbeda di dalam setiap campuran yang dibuat. Hasil difraksi sinar X menginformasikan bahwa batu apung merupakan jenis amorf yang memiliki kualitas berbeda dengan semen murni. Sementara dari uji fluoresensi sinar X (XRF), komposisi kimiawi dari batu apung dan semen bervariasi bergantung pada kualitasnya. Tabel 2.10 adalah tabel komposisi kimiawi dari berbagai tipe campuran batu apung dan semen.

Analisis kimia menunjukkan bahwa komponen dominan dari batu apung adalah silika (70%) sedangkan semen memiliki kalsium oksida (62%). ASTM C 618 mengklasifikasikan batu apung sebagai pozzolan Kelas N (untuk pozzolan alam mentah atau dikalsinasi) jika memenuhi persyaratan fisik dan kimia tertentu. Kelas N pozzolan harus memiliki minimal SiO2 + Al2O3 + Fe2O3 isi 70%, batu apung memiliki sekitar 80% dari bahan-bahan tersebut. Kehadiran senyawa mengandung silika dan alumina jelas dari bahan kimia.

Berdasarkan hasil analisis kimia tersebut jelas bahwa semua nilai dari batu apung yang terdiri dari kurang lebih sama persentase elemen hanya berbeda dalam ukuran partikel, yang dapat disimpulkan dari analisis distribusi ukuran partikel dan pemindaian mikroskop elektron. Dari Tabel 2.10, dapat disimpulkan bahwa batu apung memiliki silika yang sangat tinggi, kalsium sangat rendah, alumina dan alkali lebih tinggi dibandingkan dengan jenis semen II.

Tabel 2.10. Hasil uji XRF dari berbagai tipe campuran batu apung dan semen (Uma Ramasamy dan Paul Tikalsky, 2012)

Type II DS200 DS325 Ultrafine SiO2 20.67 69.09 69.16 69.75 Al2O3 3.97 10.63 10.79 11.18 Fe2O3 3.65 1.01 1 1.04 CaO 63.57 0.93 0.93 0.97 MgO 1.55 0.09 0.16 0.25 SO3 2.81 -0.04 -0.04 -0.04 Na2O 0.06 2.49 2.13 2.34 K2O 0.72 4.77 5.08 4.79

Cl 0.018 Nil Nil Nil

Uma Ramasamy dan Paul Tikalsky juga melaporkan bahwa jenis ultrafine memiliki tingkat kehalusan yang unggul sementara yang paling kasar adalah jenis DS200. Jenis ultrafine memiliki tingkat kehalusan empat kali lebih baik dibandingkan jenis semen portland.

Bahan semen menghasilkan panas melalui reaksi hidrasi eksotermik. Kinetika reaksi pozzolan dan semen dapat diukur dengan konduksi panas isotermal kalorimeter. Sebuah kalorimeter konduksi digunakan untuk menganalisis 8 batu apung yang dikombinasikan dengan semen. 8 kombinasi yang digunakan adalah 100% semen portland ASTM Tipe II / V; 20 dan 30% DS200; 10, 20, 30% DS325; 20 dan 30% batu apung halus. Masing masing tes dilakukan pada 21 0C (70 0F) selama 30 hari, dan kombinasi yang dilakukan mengacu pada massa batu apung yang digunakan.

Gambar 2.17 menunjukkan aliran panas delapan kombinasi selama tujuh puluh lima jam pertama dan Gambar 2.18 menunjukan aliran panas antara 75-225 jam pada 70 0F. 100% campuran semen menghasilkan panas lebih dibandingkan dengan campuran yang mengandung batu apung. Dengan meningkatnya konten pozzolanik, puncak utama aliran panas berkurang. Tergantung pada nilai dari batu apung, ketinggian puncak utama bervariasi untuk kombinasi persentase yang sama dari semen dan bahan pozzolan. 70% semen dan 30% DS200 & DS325 menghasilkan aliran panas terendah masing-masing diantara 8 campuran sedangkan 70% semen dan 30% yang ultrafine menghasilkan panas sebanding dengan 80% semen dan 20% DS200 & DS325 campuran. 90% semen dan 10% DS325 menghasilkan aliran panas sebanding dengan 80% semen dan 20% yang

ultrafine. Itu pengujian kalorimeter menunjukkan bahwa ada aktivitas pozzolanik

terbatas 100 jam pertama untuk DS200 atau DS325. Namun ultrafine berdampak pada karakteristik hidrasi usia dini dan jelas menghasilkan hidrasi lebih daripada semen portland yang tersisa. Gambar 2.18 menunjukkan bahwa setelah 100 jam, hidrasi campuran semen 100% mulai menurun sedangkan untuk campuran batu apung yang mengandung hidrat lebih dari reaksi semen portland. Hal ini menunjukkan reaksi pozzolan dan efek lengkap nilai yang berbeda dari batu apung.

Gambar 2.17. Aliran panas untuk kombinasi campuran yang berbeda selama 75 jam pertama (Uma Ramasamy dkk, 2012)

Gambar 2.18. Aliran panas untuk kombinasi campuran yang berbeda selama 75-225 jam (Uma Ramasamy dkk, 2012)

Peneliti bernama Sancak (E. Sancak, 1998). menggunakan serat baja dengan rasio 0%, 0,5%, dan 1% volume pada beton agregat ringan batu apung dengan 300 kg/m3 isi semen Portland. Dia menggunakan batu apung sebagai agregat kasar dalam eksperimennya, melaporkan bahwa kuat tekan spesimen adalah 11, 17, dan 13 MPa, densitas sebesar 1.835, 1.860 dan 1.742 kg/m3. Peningkatan kadar serat umumnya mengakibatkan penurunan kuat tekan karena penurunan kemampuan kerja beton. Polymer Lightweight Concrete (PLC) dalam penelitian ini memiliki nilai kuat tekan dua kali lebih besar pada umur 7-28 hari bila dibandingkan dengan beton ringan normal atau Normal Lightweight Concrete (NLC) dengan

batu apung di dosis 300 kg/m3 (E. Sancak, 1998). Peningkatan kuat tekan PLC bila dibandingkan dengan NLC terutama tergantung pada kekuatan yang didapatkan dari epoxy resin (pengikat) sebagai pengeras dan suhu. Pada tahap pertama dari polimerisasi (yaitu, proses curing), epoxy resin biasanya dalam keadaan cair. Setelah suhu reaksi tercapai, keadaan fisik senyawa perubahan tiba-tiba dari cairan menjadi gel dan reaksi silang melambat (G. Martinez-Barrera, dkk, 2011). Gambar 2.19 struktur berpori setengah terbuka agregat batu apung sebagian besar dipengaruhi peningkatan kuat tekan dengan meningkatkan kwalitas

epoxy sebagai bahan pengikat dengan agregat. Juga terlihat permukaan sampel

terdapat pori dengan berbagai bentuk dan ukuran bervariasi dengan kerapatan jumlah yang cukup besar, ini memperlihatkan rendahnya densitas batu apung.

Di sisi lain, karena struktur permukaan setengah terbuka batu apung, semen portland membutuhkan bahan lebih sebagai epoxy resin dibandingkan dengan semen portland dengan agregat normal (Tayfun Uygunoglu, dkk, 2013). Tujuan yang paling penting dari menggunakan beton ringan adalah untuk mengambil keuntungan dari kepadatannya yang rendah untuk menurunkan beban mati struktur.

Gambar 2.19 Mikrostruktur dari agregat batu apung (Tayfun Uygunoglu, dkk, 2013)

Dari hasil rangkuman teoritikal maupun hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan terdahulu pada bab ini, maka dapat dikatakan untuk penelitian dengan bahan tambah berupa ASP dan BA pada beton ringan dengan komposisi PCC : Pasir : ASP : BA serta dengan nilai Slump tertentu sesuai dengan rencana dapat dilaksanakan dan dilanjutkan.

BAB III

Dalam dokumen digital_2016-4_20416070-D2054-Moh Azhar (Halaman 44-52)

Dokumen terkait