• Tidak ada hasil yang ditemukan

Batubara Di Indonesia

Dalam dokumen EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENY (Halaman 45-48)

B. Vibrasi Bengkokan (Bending)

2.6.11 Batubara Di Indonesia

Indonesia memegang peranan yang sangat penting dalam industri batubara dan mineral dunia. Tahun 2005 Indonesia menduduki peringkat ke-2 sebagai negara pengekspor batubara uap. Untuk pertambangan mineral, Indonesia merupakan negara penghasil timah peringkat ke-2, tembaga peringkat ke-3, nikel peringkat ke-4 dan emas peringkat ke-8 dunia . Namun demikian, pertambangan selalu mempunyai dua sisi yang saling berlawanan, sebagai sumber kemakmuran sekaligus perusak lingkungan yang sangat potensial. Sebagai sumber kemakmuran sudah tidak diragukan lagi bahwa sektor ini merupakan salah satu tulang punggung pendapatan negara selama bertahun-tahun. Sebagai perusak lingkungan, praktek pertambangan terbuka (open pit mining) yang paling banyak diterapkan pada penambangan batubara dapat mengubah iklim mikro dan tanah akibat seluruh lapisan tanah di atas deposit batubara disingkirkan (Gautama, 2007).

Menurut Fariz Tirasonjaya yang dikutip di batu bara Indonesia.com (www.batubara-indonesia.com) batubara adalah batuan yang mudah terbakar yang lebih dari 50% -70% berat volumenya merupakan bahan organik yang merupakan material karbonan termasuk inherent moisture. Bahan organik utamanya yaitu tumbuhan yang dapat berupa jejak kulit pohon, daun, akar, struktur kayu, spora, polen, damar, dan lain - lain. Selanjutnya bahan organik tersebut mengalami berbagai tingkat pembusukan (dekomposisi) sehingga menyebabkan perubahan sifat-sifat fisik maupun kimia baik sebelum ataupun sesudah tertutup oleh endapan lainnya. Proses pembentukan batubara terdiri dari dua tahap, yaitu tahap biokimia (penggambutan) dan tahap geokimia (pembatubaraan). Salah satu komoditi tambang yang banyak diusahakan saat ini, untuk memenuhi kebutuhan energi di Indonesia, adalah batubara. Pada saat ini Indonesia

memiliki potensi sumberdaya batubara sekitar 60 miliar ton dengan cadangan miliar ton (Witoro, 2007).

Di lain pihak, tambang batubara di Indonesia umumnya dilakukan dengan cara tambang terbuka, walaupun ada beberapa yang menggunakan tambang bawah tanah (underground mining), sehingga akan berdampak terhadap perubahan bentang alam, sifat fisik, kimia, dan biologis tanah, serta secara umum menimbulkan kerusakan pada permukaan bumi. Dampak ini secara otomatis akan mengganggu ekosistem diatasnya, termasuk tata air (Subardja, 2007).

Tahap penggambutan (peatification) adalah tahap dimana sisa-sisa tumbuhan yang terakumulasi tersimpan dalam kondisi reduksi di daerah rawa dengan sistem pengeringan yang buruk dan selalu tergenang air pada kedalaman 0,5-10 meter. Material tumbuhan yang busuk ini melepaskan H, N, O, dan C dalam bentuk senyawa CO2, H2O, dan NH3 untuk menjadi humus. Selanjutnya oleh bakteri anaerobik dan fungi diubah menjadi gambut. Tahap pembatubaraan (coalification) merupakan gabungan proses biologi, kimia, dan fisika yang terjadi karena pengaruh pembebanan dari sedimen yang menutupinya, temperatur, tekanan, dan waktu terhadap komponen organik dari gambut. Pada tahap ini prosentase karbon akan meningkat, sedangkan prosentase hidrogen dan oksigen akan berkurang. Proses ini akan menghasilkan batubara dalam berbagai tingkat. Cadangan

batu bara di Indoensia tersebar di darah Sumatra, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Menurut management batubara- indonesia.com (www.batubara-indonesia.com), World Energy Council memperkirakan cadangan batubara dunia terbukti mencapai 847.488 juta ton pada akhir 2007 yang tersebar di lebih dari 50 negara. Di Indonesia sendiri, menurut Dirjen Minerba Kementrian ESDM Bambang Setiawan yang dikutip di majalah Investor bulan April 2011, sumber daya dan cadangan batu bara nasional sebesar 105,2 miliar ton. Sedangkan nilai cadangan sebesar 21,13 miliar ton. Besarnya cadangan batu bara nasional menyebabkan peningkatan produksi batu bara setiap tahunnya. Menurut data ESDM, produksi batu bara Indonesia meningkat dari 132,352,025 ton per 2004, hingga 275,164,196 ton pada tahun 2010. Sementara total ekspor meningkat dari 93,758,806 ton per 2004 hingga 208,000,000 ton per 2010. Pertambangan batu bara dan emas mendominasi beberapa daerah di Kalimantan. Ketahanan tanaman terhadap logam berat berbeda. Oleh karena itu perlu diperoleh tanaman yang sesuai untuk reklamasi lahan tertentu. Lahan tambang umumnya telah terkontaminasi toksit, lahan jadi beracun dan susah ditumbuhi, disamping mengaplikasikan bakteri pereduksi sulfur dan bakteri penetralisir toksik. lahan bekas penambangan batu bara seringkali minim bahkan tidak ada lapisan topsoil yang sebenarnya banyak mengandung unsur hara. Usaha untuk memperoleh tanaman yang sesuai untuk reklamasi lahan pertambangan tertentu, dapat melalui modifikasi genetik melalui rekayasa genetika atau induksi mutan melalui radiasi atau somaklonal variasi. Induksi mutan melalui radiasi pada tanaman hutan belum banyak dilakukan dan umumnya tanaman daerah beriklim dingin dan sebagian besar tanaman keras atau berkayu seperti tanaman buah pir. Induksi mutan pada sengon merupakan usaha untuk meningkatkan ketahanan pada tanaman kehutanan di Indonesia yang berpotensi untuk reklamasi lahan pertambangan (Enny, 2009).

Dalam dasawarsa terakhir ini penggunaan batubara sebagai bahan energi meningkat dengan pesatnya pemanfaatan batubara sebagai sumber energy dapat menjadi salah satu skenario dalam mengatasi krisis energy.

Pertambangan dan energi merupakan sektor pembangunan penting bagi Indonesia. Industri pertambangan sebagai bentuk kongkret sektor pertambangan menyumbang sekitar 11,2% dari nilai ekspor Indonesia dan memberikan kontribusi sekitar 2,8% terhadap pendapatan domestik bruto (PDB). Industri pertambangan mempekerjakan sekitar 37.787 tenaga kerja orang Indonesia, suatu jumlah yang tidak sedikit (Anggayana & Widayat, 2007).

Kehadiran dan beroperasinya pertambangan batubara dengan sejumlah aktivitasnya itu, seperti ganti rugi lahan, proses penambangan, perekrutan pegawai, penempatan mess karyawan, dan lain-lain berdampak pada lingkungan di sekitarnya, baik itu lingkungan fisik maupun non-fisik. Kondisi lingkungan yang demikian potensial merubah perilaku sosial masyarakat yaitu pada perilaku bergotong royong. Gotong royong merupakan salah satu aktivitas masyarakat yang terpengaruhi oleh kehadiran pertambangan batubara. Masyarakat desa dengan latar belakang sebagai petani serta kehidupan yang penuh dengan kesederhaan aktivitas gotong royong menjadi alternatif untuk saling meringankan beban pekerjaan yang berlaku secara turun temurun sehingga membentuk perilaku sosial yang nyata dalam tata kehidupan sosial. Gotong royong merupakan ciri budaya bangsa Indonesia yang selalu dipegang teguh dan dijunjung tinggi terutama di pedesaan yang mayoritas dihuni oleh masyarakat tradisional. Namun seiring dengan masuknya sistem budaya baru, perilaku tersebut mengalami perubahan. Jika dulu masyarakat sering melaksanakan kegiatan gotong royong dalam kehidupan sehari-hari secara suka rela (tanpa upah atau bayaran) dan mudah untuk dikerahkan, namun kondisi sekarang sulit untuk mengerahkan warga atau tenaga orang untuk bergotong royong tanpa ada bayaran

(Jatman, 1983:15-16).

Dalam dokumen EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENY (Halaman 45-48)

Dokumen terkait