• Tidak ada hasil yang ditemukan

EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENY"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

FAKULTAS TEKNIK

PROGRAM STUDI S1 TEKNIK LINGKUNGAN

Jalan Jenderal A. Yani Km.36 Banjarbaru – 70714

(2)

Terima Kasih Kepada :

(3)

MAKALAH

EPIDEMIOLOGI

INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA)

PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN

SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

OLEH :

RIMA SARI ARISNAWATI H1E112034

AFWAN ALKARIMY H1E112052

ANTUNG NUR RAHMILIYANTI H1E112204

MARIAN NOVIEANU H1E112210

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

FAKULTAS TEKNIK

PROGRAM S-1 TEKNIK LINGKUNGAN

BANJARBARU

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Batubara merupakan salah satu sumber daya alam yang keberadaanya melimpah di Indonesia. Berdasarkan data yang dikeluarkan Badan Geologi, Kementerian ESDM tahun 2009, total sumber daya batubara yang dimiliki Indonesia mencapai 104.940 Milyar Ton dengan total cadangan sebesar 21.13 Milyar Ton. Batubara merupakan sedimen organik, lebih tepatnya merupakan batuan organik, terdiri dari kandungan bermacam-macam pseudomineral. Batubara terbentuk dari sisa tumbuhan yang membusuk dan terkumpul dalam suatu daerah dengan kondisi banyak air, biasa disebut rawa-rawa. Kondisi tersebut yang menghambat penguraian menyeluruh dari sisa-sisa tumbuhan yang kemudian mengalami proses perubahan menjadi batubara (Susilawati 1992).

Dari penambangan Batubara ini dapat membuat masalah kesehatan khuusnya pada anak-anak yang dipengaruhi oleh dua persoalan utama yaitu tingginya angka kesakitan dan angka kematian. Angka kesakitan dan angka kematian merupakan salah satu indikator derajat kesehatan yang disebabkan oleh kurangnya penanganan keluarga dalam menanggulangi penyakit infeksi khususnya penyakit ISPA . ISPA adalah penyakit yang sangat umum dijumpai pada anak-anak dengan gejala batuk, pilek, panas (demam) atau gejala tersebut muncul secara bersamaan, ISPA juga dapat menyerah orang dewasa di kawasan pertambangan karena partikulat-partikulat yang bertebaran di udara karena aktivitas pertambangan itu sendiri (Meadow, Sir Roy, 2002).

(5)

preventif seperti isolasi penderita penyakit ISPA dan pemberian imunisasi. Makalah ini bertujuan mengetahui faktor resiko pertambangan batu bara terhadap kejadian ISPA di Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Banjar, ( Notoatmojo, 2003 ).

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana perkembangan industri pertambangan batubara di Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan ? 2. Bagaimana pengaruh aktivitas pertambangan batubara terhadap

kesehatan pekerja dan masyarakat disekitarnya ?

3. Apa saja faktor resiko yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan batu bara terhadap kejadian ISPA ?

4. Bagaimana upaya pencegahan dan penanggulangan ISPA ?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui perkembangan industri pertambangan batubara di Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. 2. Mengetahui pengaruh aktivitas pertambangan batubara terhadap

kesehatan pekerja dan masyarakat disekitarnya.

3. Mengidentifikasi faktor resiko yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan batu bara terhadap kejadian ISPA.

(6)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian ISPA

Penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) merupakan salah satu penyakit pernafasan terberat dan terbanyak menimbulkan akibat dan kematian. ISPA merupakan salah satu penyakit pernafasan terberat dimana penderita yang terkena serangan infeksi ini sangat menderita, apa lagi bila udara lembab, dingin atau cuaca terlalu panas. (Saydam, 2011)

Dari kedua pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) adalah, infeksi yang menyerang saluran pernafasan atas yang disebabkan oleh bakteri dan virus serta akibat adanya penurunan kekebalan tubuh penderita akibat populasi udara yang di hirup. ISPA merupakan infeksi saluran pernapasan yang berlangsung sampai 14 hari. Saluran pernapasan meliputi organ mulai dari hidung sampai gelembung paru, beserta organ-organ disekitarnya seperti : sinus, ruang telinga tengah dan selaput paru. ISPA meliputi saluran pernapasan bagian atas dan saluran pernapasan bagian bawah. Sebagian besar dari infeksi saluran pernapasan bersifat ringan, misalnya batuk pilek dan tidak memerlukan pengobatan dengan antibiotik. Namun demikian jangan dianggap enteng, bila infeksi paru ini tidak diobati dengan antibiotik dapat menyebabkan anak menderita pneumoni yang dapat berujung pada kematian (Mairusnita, 1984).

Menurut Program Pemberantasan Penyakit (P2) ISPA, penyakit ISPA dibagi menjadi dua golongan yaitu pneumonia dan yang bukan pneumonia. Pneumonia dibedakan atas derajat beratnya penyakit yaitu pneumonia berat dan pneumonia tidak berat. Penyakit batuk pilek seperti rinitis, faringitis, tonsilitis dan penyakit jalan napas bagian atas lainnya digolongkan sebagai bukan pneumonia (Mairusnita, 1984).

Menurut Depkes RI tahun 2008, klasifikasi dari ISPA adalah : 1. Ringan (bukan pneumonia)

(7)

2. Sedang (pneumonia sedang)

Batuk dan nafas cepat tanpa stridor, gendang telinga merah, dari telinga keluar cairan kurang dari 2 minggu. Faringitis purulen dengan pembesaran kelenjar limfe yang nyeri tekan (adentis servikal).

3. Berat (pneumonia berat)

Batuk dengan nafas berat, cepat dan stridor, membran keabuan di taring, kejang, apnea, dehidrasi berat / tidur terus, sianosis dan adanya penarikan yang kuat pada dinding dada sebelah bawah ke dalam (Depkes RI, 2008)

2.2 Gejala ISPA

Penyakit ISPA adalah penyakit yang timbul karena menurunnya sistem kekebalan atau daya tahan tubuh, misalnya karena kelelahan atau stres. Bakteri dan virus penyebab ISPA di udara bebas akan masuk dan menempel pada saluran pernafasan bagian atas, yaitu tenggorokan dan hidung. Pada stadium awal, gejalanya berupa rasa panas, kering dan gatal dalam hidung, yang kemudian diikuti bersin terus menerus, hidung tersumbat dengan ingus encer serta demam dan nyeri kepala (Halim, 2000).

Permukaan mukosa hidung tampak merah dan membengkak. Akhirnya terjadi peradangan yang disertai demam, pembengkakan pada jaringan tertentu hingga berwarna kemerahan, rasa nyeri dan gangguan fungsi karena bakteri dan virus di daerah tersebut maka kemungkinan peradangan menjadi parah semakin besar dan cepat. Infeksi dapat menjalar ke paru-paru, dan menyebabkan sesak atau pernafasan terhambat, oksigen yang dihirup berkurang. Infeksi lebih lanjut membuat sekret menjadi kental dan sumbatan di hidung bertambah. Bila tidak terdapat komplikasi, gejalanya akan berkurang sesudah 3-5 hari. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah sinusitis, faringitis, infeksi telinga tengah, infeksi saluran tuba eustachii, hingga bronkhitis dan pneumonia (Halim, 2000).

(8)

yang sama. Misalnya untuk menentukan infeksi saluran pernafasan, WHO menganjurkan pengamatan terhadap gejala-gejala, kesulitan bernafas, radang tenggorok, pilek dan penyakit pada telinga dengan atau tanpa disertai demam. Efek pencemaran terhadap saluran pernafasan memakai gejala-gejala penyakit pernafasan yang meliputi radang tenggorokan, rinitis, bunyi mengi dan sesak nafas (Purwana, 1992).

Dalam hal efek debu terhadap saluran pernafasan telah terbukti bahwa kadar debu berasosiasi dengan insidens gejala penyakit pernafasan terutama gejala batuk. Di dalam saluran pernafasan, debu yang mengendap menyebabkan oedema mukos dinding saluran pernafasan sehingga terjadi penyempitan saluran. Menurut Putranto (2007), faktor yang mendasari timbulnya gejala penyakit pernafasan :

1. Batuk

Timbulnya gejala batuk karena iritasi partikulat adalah jika terjadi rangsangan pada bagian-bagian peka saluran pernafasan, misalnya trakeobronkial, sehingga timbul sekresi berlebih dalam saluran pernafasan. Batuk timbul sebagai reaksi refleks saluran pernafasan terhadap iritasi pada mukosa saluran pernafasan dalam bentuk pengeluaran udara (dan lendir) secara mendadak disertai bunyi khas.

2. Dahak

Dahak terbentuk secara berlebihan dari kelenjar lendir (mucus glands) dan sel goblet oleh adanya stimuli, misalnya yang berasal dari gas, partikulat, alergen dan mikroorganisme infeksius. Karena proses inflamasi, di samping dahak dalam saluran pernafasan juga terbentuk cairan eksudat berasal dari bagian jaringan yang berdegenerasi.

3. Sesak nafas

Sesak nafas atau kesulitan bernafas disebabkan oleh aliran udara dalam saluran pernafasan karena penyempitan. Penyempitan dapat terjadi karena saluran pernafasan menguncup, oedema atau karena sekret yang menghalangi arus udara. Sesak nafas dapat ditentukan dengan menghitung pernafasan dalam satu menit.

(9)

Bunyi mengi merupakan salah satu tanda penyakit pernafasan yang turut diobservasikan dalam penanganan infeksi akut saluran pernafasan.

2.3 Faktor-faktor terjadinya ISPA

Secara umum terdapat 3 (tiga) faktor resiko terjadinya ISPA yaitu faktor lingkungan, faktor individu anak, serta faktor perilaku.

a. Faktor lingkungan

1) Pencemaran udara dalam rumah

Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahanan paru sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA. Hal ini dapat terjadi pada rumah yang keadaan ventilasinya kurang dan dapur terletak didalm rumah, bersatu dengan kamar tidur, ruang tempat bayi dan anak balita bermain. Hal ini lebih dimungkinkan karena bayi dan anak balita lebih lama berada di rumah bersama-sama ibunya sehingga dosis pencemaran tentunya akan lebih tinggi. Hasil penelitian diperoleh adanya hubungan antara ISPA dan polusi udara, diantaranya ada peningkatan resiko bronchitis, pneumonia pada anak-anak yang tinggal di daerah lebih terpolusi, dimana efek ini terjadi pada kelompok umur 9 bulan dan 6-10 tahun. (Maryunani, 2010).

2) Ventilasi rumah

Ventilasi yaitu proses penyediaan udara atau pengerahan udara ke atau dari ruangan baik secara alami maupun secara mekanis. Fungsi dari ventilasi dapat dijabarkan sebagai berikut mensuplai udara bersih yaitu udara yang mengandung kadar oksigen yang optimum bagi pernafasan, membebaskan udara ruangan dari bau-bauan, asap ataupun debu dan zat-zat pencemar lain dengan cara pengenceran udara, mensuplai panas agar hilangnya panas badan seimbang, mensuplai panas akibat hilangnya panas ruangan dan bangunan, mengeluarkan kelebihan udara panas yang disebabkan oleh radiasi tubuh, kondisi, evaporasi ataupun keadaan eksternal, mendisfungsikan suhu udara secara merata. (Maryunani, 2010).

(10)

Keadaan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor polusi dalam rumah yang telah ada. Penelitian menunjukkan ada hubungan bermakna antara kepadatan dan kematian dari bronkopneumonia pada bayi, tetapi disebutkan bahwa polusi udara, tingkat sosial, dan pendidikan memberi korelasi yang tinggi pada faktor ini. (Maryunani,2010).

b. Faktor individu anak 1) Umur anak

Sejumlah studi yang besar menunjukkan bahwa insiden penyakit pernafasan oleh virus melonjak pada bayi dan usia dini anak-anak dan tetap menurun terhadap usia. Insiden ISPA tertinggi pada umur 6-12 tahun. (Maryunani, 2010).

2) Berat badan lahir

Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental pada masa balita. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai resiko kematian yang lebih besar dibandingkan dengan berat badan lahir normal, terutama pada bulan-bulan pertama kelahiran karena pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan sakit saluran pernafasan lainnya. Penelitian menunjukan bahwa berat bayi kurang dari 2500 gram dihubungkan dengan meningkatnya kematian akibat infeksi saluran pernafasam dan hubungan ini menetap setelah dilakukan adjusted terhadap status pekerjaan, pendapatan, pendidikan. Data ini mengingatkan bahwa anak-anak dengan riwayat berat badan lahir rendah tidak mengalami rate lebih tinggi terhadap penyakit saluran pernafasan, tetapi mengalami lebih berat infeksinya. (Maryunani, 2010).

3) Status gizi

(11)

faktor daya tahan tubuh yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang “ISPA berat” bahkan serangannya lebih lama. (Maryunani, 2010).

4) Vitamin A

Sejak tahun 1985 setiap enam bulan Posyandu memberikan kapsul 200.000 IU vitamin A pada balita dari umur satu sampai dengan empat tahun. Balita yang mendapat vitamin A lebih dari 6 bulan sebelum sakit maupun yang tidak pernah mendapatkannya adalah sebagai resiko terjadinya suatu penyakit sebesar 96,6% pada kelompok kasus dan 93,5% pada kelompok kontrol. Pemberian vitamin A yang dilakukan bersamaan dengan imunisasi akan menyebabkan peningkatan titer antibodi yang spesifik dan tampaknya tetap berada dalam nilai yang cukup tinggi. Bila antibodi yang ditujukan terhadap bibit penyakit dan bukan sekedar antigen asing yang tidak berbahaya, niscaya dapatlah diharapkan adanya perlindungan terhadap bibit penyakit yang bersangkutan untuk jangka yang tidak terlalu singkat. (Maryunani, 2010). 5) Status Imunisasi

Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan selamat akan mendapat kekebalan alami terhadap pneumonia sebagai komplikasi campak. Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis, campak, maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat. (Warung Masyrakat Informasi Indonesia,2009).

c. Faktor perilaku

(12)

suatu rumah tangga, satu dengan lainnya saling tergantung dan berinteraksi. Bila salah satu atau beberapa anggota keluarga mempunyai masalah kesehatan, maka akan berpengaruh terhadap anggota keluarga lainnya (Rasmaliah, 2008).

Paru merupakan organ manusia yang mempunyai fungsi sebagai ventilasi udara, difusi O2 dan CO2 antara alveoli dan darah, transportasi O2 dan CO2 serta pengaturan ventilasi serta hal – hal lain dari pernapasan.8 Fungsi paru dapat menjadi tidak maksimal oleh karena faktor dari luar tubuh atau faktor ekstrinsik yang meliputi kandungan komponen fisik udara, komponen kimiawi dan faktor dari dalam tubuh penderita itu sendiri atau instrinsik (Amin,2000).

Faktor ekstrinsik yang pertama adalah keadaan bahan yang diinhalasi (gas, debu, uap). Ukuran dan bentuk berpengaruh dalam proses penimbunan debu, demikian pula dengan kelarutan dan nilai higroskopisnya. Komponen yang berpengaruh antara lain kecenderungan untuk bereaksi dengan jaringan di sekitarnya, keasaman atau tingkat alkalinitas (dapat berupa silia dan sistem enzim). Bahan tersebut dapat menimbulkan fibrosis yang luas di paru dan dapat bersifat antigen yang masuk paru (Epler,2000).

Faktor ekstrinsik lainnya adalah lamanya paparan, perilaku merokok, perilaku penggunaan alat pelindung diri (APD) terutama yang dapat melindungi sistem pernapasan dan kebiasaan berolah raga. Faktor instrinsik dari dalam diri manusia juga perlu diperhatikan, terutama yang berkaitan dengan sistem pertahanan paru, baik secara anatomis maupun fisiologis, jenis kelamin, riwayat penyakit yang pernah diderita, indeks massa tubuh (IMT) penderita dan kerentanan individu (Epler,2000).

(13)

adalah berkurangnya elastisitas paru, yang ditandai dengan penurunan pada kapasitas vital paru (Mukono,2000).

2.4 Vektor penularan

ISPA adalah suatu keadaan dimana kuman penyakit berhasil menyerang alat-alat tubuh yang dipergunakan untuk bernafas yaitu mulai dari hidung, hulu kerongkongan, tenggorokan, batang tenggorokan sampai ke paru-paru, dan berlangsung tidak lebih dari 14 hari. Penyebab ISPA terdiri dari lebih dari 300 jenis penyakit bakteri, virus, dan riketsia. Virus penyebab ISPA antara lain adalah golongan Miksovirus, Adenvirus, Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma, Herpesvirus dan lain-lain (Dep Kes.RI, 1998 : 5)

Infeksi Saluran Pernafasan Atas disebabkan oleh beberapa golongan kuman yaitu bakteri, virus, dan ricketsia yang jumlahnya lebih dari 300 macam. Pada ISPA atas 90-95% penyebabnya adalah virus. Di negara berkembang, ISPA bawah terutama pneumonia disebabkan oleh bakteri dari genus streptokokus, haemofilus, pnemokokus, bordetella dan korinebakterium, sedang di negara maju ISPA bawah disebabkan oleh virus, miksovirus, adenivirus, koronavirus, pikornavirus dan herpesvirus (Putranto, 2007).

2.5 Mekanisme penularan

ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, darah, bersin, udara pernapasan yang mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat kesaluran pernapasannya. Kelainan pada sistem pernapasan terutama infeksi saluran pernapasan bagian atas dan bawah, asma dan ibro kistik, menempati bagian yang cukup besar pada area pediatri. Infeksi saluran pernapasan bagian atas terutama yang disebabkan oleh virus, sering terjadi pada semua golongan masyarakat pada bulan-bulan musim dingin (Mairusnita, 1984).

(14)

Cairan tubuh lain dan feses bisa juga mengandung bahan infeksius. Karena itu, ISPA dapat ditularkan oleh aerosol dari saluran pernapasan atau melalui kontak dengan permukaan yang telah terkontaminasi. Karena itu, selain penggunaan alat pelindung tertentu terhadap droplet (yaitu, masker), beberapa unsur kewaspadaan standar, seperti kebersihan pernapasan, kebersihan tangan, kebersihan lingkungan, dan pengelolaan limbah, juga sangat penting untuk membantu mencegah penularan ISPA (WHO, 2008).

(15)

Tabel 2.1 prosedur yang menimbulkan aerosol menyebabkan peningkatan risiko penularan ISPA dan cara pencegahan.

Sumber : WHO, 2008 Keterangan :

a. Misalnya, influenza like illness (ILI) tanpa faktor risiko ISPA yang dapat menimbulkan kekhawatiran.

b. Bakteri penyebab ISPA umumnya adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Chlamydia spp., dan Mycoplasma pneumoniae. c. Misalnya, flu musiman, flu pandemi.

(16)

e. Penyebab ISPA yang baru teridentifikasi, cara penularannya biasanya tidak diketahui.

f. Membersihkan tangan sesuai dengan kewaspadaan standar.

g. Sarung tangan dan gaun pelindung harus dipakai sesuai dengan kewaspadaan standar.

h. Bila ada kemungkinan percikan darah atau cairan tubuh lainnya dan gaun pelindung tidak tahan cairan, celemek tahan air harus dipakai menutupi gaun pelindung.

i. Pelindung wajah (masker bedah dan pelindung mata).

j. Pada saat penyusunan pedoman ini, belum terjadi penularan flu burung dari manusia ke manusia yang berkelanjutan dan efisien. Bukti yang ada tidak menunjukkan penularan melalui udara dari manusia ke manusia. k. Bukti yang ada sekarang menunjukkan bahwa penularan SARS di fasilitas

pelayanan kesehatan umumnya terjadi melalui droplet dan kontak.

l. Prosedur yang menimbulkan aerosol yang berkaitan dengan peningkatan risiko penularan patogen pernapasan: intubasi, resusitasi jantung dan paru-paru, dan prosedur yang terkait (misalnya, ventilasi manual, suction); bronkoskopi; dan autopsi, atau pembedahan yang melibatkan penggunaan peralatan kecepatan tinggi.

m. Sebagian prosedur yang menimbulkan aerosol menyebabkan peningkatan risiko penularan SARS dan tuberkulosis. Sampai sekarang, risiko infeksi yang disebabkan oleh prosedur yang menimbulkan aerosol pada pasien yang menderita ISPA bakteri, ISPA yang disebabkan rhinovirus, parainfluenza, RSV, dan adenovirus belum diketahui.

n. Bila tidak tersedia masker bedah, gunakan metode lain untuk pengendalian sumber pathogen (misalnya, sapu tangan, tisu, atau tangan) saat batuk dan bersin.

o. Patogen-patogen ini umum ditemukan pada anak anak yang mungkin tidak sesuai jika menerapkan rekomendasi ini.

(17)

q. Ruang untuk kewaspadaan transmisi airborne dapat diberi ventilasi alami atau mekanis, dengan tingkat pergantian udara yang memadai setidaknya 12 ACH dan arah aliran udara yang terkontrol.

r. Bila tersedia, ruangan untuk kewaspadaan transmisi airborne harus diutamakan untuk pasien yang mengalami infeksi patogen yang terbawa udara (misalnya, tuberkulosis paru-paru, cacar air, campak) dan untuk pasien ISPA yang disebabkan oleh organisme baru (WHO,2008).

2.6 Pengertian pertambangan batubara

Pemerintah gencar menggali potensi perolehan devisa dari sektor pertambangan sebagai akibat semakin terbatasnya kemampuan negara untuk memperoleh pendapatan dari sektor lainnya. Deposit bahan galian (bahan mineral, batubara, bahan fosil, dan lain-lain) banyak tersebar diberbagai daerah dengan berbagai jenis dan kapasitas, potensial untuk dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk menopang kebutuhan negara. Hal ini penting karena Indonesia berada di kawasan vulkanik tropika basah dengan zone penunjaman (subduction zone) yang membujur di pantai barat, pantai selatan dan pantai utara bagian timur, sehingga memiliki erupsi indeks >99%. Laju pasokan mineral berlangsung intensif, sehingga Indonesia banyak memiliki deposit mineral bahan tambang. Di lain pihak laju pelapukan mineral juga berlangsung intensif, sehingga apabila tidak segera ditambang/ dimanfaatkan sebagai bahan baku industri, deposit bahan mineral ini akan cepat mengalami pelapukan/kerusakan dan apabila dibiarkan akan hilang terbawa aliran air yang dapat mencemar lingkungan. Pertambangan dan energi merupakan sektor pembangunan penting bagi Indonesia. Industri pertambangan sebagai bentuk kongkret sektor pertambangan menyumbang sekitar 11,2% dari nilai ekspor Indonesia dan memberikan kontribusi sekitar 2,8% terhadap pendapatan domestik bruto (PDB). Industri pertambangan mempekerjakan sekitar 37.787 tenaga kerja orang Indonesia, suatu jumlah yang tidak sedikit (Munir, 1996).

(18)

kecamatan di Kukar yang juga melakukan produksi tambang batubara. Di wilayah ini 60% perusahaan tambang telah beroperasi. Berkenaan dengan hal ini, Desa Mulawarman merupakan salah satu wilayah di Kecamatan Tenggarong Seberang yang dihuni oleh masyarakat trans sebagai hasil penempatan dari Transmigrasi tahun 1980 -1981 dan saat ini lokasinya telah dikelilingi oleh aktivitas pertambangan batubara. Adapun sejumlah perusahaan tambang batubara yang beroperasi dikawasan tersebut antaralain : PT. Jembayan (JMB) , PT. Kayan Putra Utama Coal (KPUC), PT. Pama Persada Nusantara, PT. Santan Batu-Bara dan PT. Kimco Armindo yang mulai beroperasi sejak tahun 2003 (Kantor Desa Mulawarma, 2012 ).

Permasalahan yang paling berat akibat penambangan terbuka adalah terjadinya fenomena acid mine drainage (AMD) atau acid rock drainage (ARD) akibat teroksidasinya mineral bersulfur (Untung, 1993) dengan ditandai berubahnya warna air menjadi merah jingga. AMD akan memberikan serangkaian dampak yang saling berkaitan, yaitu menurunnya pH, ketersediaan dan keseimbangan unsur hara dalam tanah terganggu, serta kelarutan unsur-unsur mikro yang umumnya merupakan unsur logam meningkat (Marschner, 1995; Havlin et al., 1999). Hasil penelitian Widyati (2006) menunjukkan bahwa kandungan sulfat pada tanah bekas tambang batubara PT. Bukit Asam di Sumatera Selatan mencapai 60.000 ppm, pH 2,8 dan kandungan logam-logam jauh di atas ambang batas untuk air bersih. Kualitas lingkungan perairan yang demikian dapat mengganggu kesehatan manusia dan kehidupan lainnya. Disamping itu, kondisi tanah yang demikian degraded, mengakibatkan kegiatan revegetasi memerlukan biaya yang mahal.

(19)

hayati tanah yang ada di tanah lapisan atas menjadi terbenam, sehingga hilang/mati dan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Daya dukung tanah lapisan atas pasca penambangan untuk pertumbuhan tanaman menjadi rendah (Hidayati, 2000).

Proses penambangan sistem terbuka pada prinsipnya dimulai dengan membersihkan permukaan tanah, kemudian mengupas tanah penutup, menggali bahan tambang, dan mengangkut bahan tambang ke tempat penampungan (stockyard) untuk selanjutnya dimanfaatkan sebagai bahan baku industri. Alur kegiatan penambangan selengkapnya adalah sebagai berikut :

1. Pembersihan lahan dari vegetasi yang menutupi lapisan tanah permukaan (clearing and grubing) dilakukan dengan Buldozer dan Excavator.

2. Pengupasan tanah penutup. Tanah penutup dikupas dan diangkut ke tempat penimbunan sementara, atau ditata dan disebar di area pembuangan (disposal) akhir.

3. Penggalian dan pengambilan bahan tambang (ore) dengan alat gali muat (ore getting). Ore diangkut keluar melewati jalan tambang ke Export Transite Ore (ETO) dan Export Final Ore (EFO) di dekat pelabuhan. 4. Penimbunan kembali kolong bekas galian dengan tanah penutup. Setiap selesai penambangan, tanah penutup dan tanah sisa penambangan ditimbun kembali di area bekas galian sesuai dengan design yang telah ditentukan.

5. Penanaman kembali tanaman penutup tanah. Kegiatan penambangan terbuka pada prinsipnya diwajibkan untuk menutup kembali areal bekas tambang yang ditinggalkan agar tidak terjadi kerusakan lingkungan yang lebih besar dan dipulihkan kembali kondisi ekosistemnya sekurang-kurangnya seperti kondisi sebelumnya (Finnel, 1948).

(20)

heterogen dan memiliki berat isi tinggi, total pori rendah, kandungan N dan P rendah, cadangan Ca dan Mg tinggi, dan populasi mikroba tanah rendah dibandingkan dengan tanah hutan di sekitarnya (Tabel 1). Ukuran pori tanah berperanan penting bagi kehidupan hayati tanah, bakteria tanah tidak mampu masuk pada ukuran pori 1-3 ìm, akar tanaman tidak mampu masuk pada pori ukuran <10 ìm, akar pohon hanya mampu menembus pada ukuran pori >150 ìm (Pitty, 1979). Selain itu, pori tanah juga berperan penting dalam menentukan infiltrasi-perkolasi, kelembaban dan aerasi tanah.

2.6.1.Peraturan Pertambangan

(21)

peralatan-peralatan yang modern dan canggih memberikan dampak risiko kecelakaan dan kerugian yang lebih besar. Setiap proses produksi, peralatan/mesin dan tempat kerja yang digunakan untuk menghasilkan suatu produk, selalu mengandung potensi bahaya tertentu yang bila tidak mendapat perhatian secara khusus akan dapat menimbulkan kecelakaan kerja. Potensi bahaya yang dapat menyebabkan kecelakaan kerja dapat berasal dari berbagai kegiatan atau aktivitas dalam pelaksanaan operasi atau juga berasal dari luar proses kerja (Tarwaka, 2008).

Sistem penambangan terbuka yang berada di permukaan tanah banyak mengubah bentang lahan dan keseimbangan ekosistem permukaan tanah, maka berdasarkan UU No.41/1999, Pasal 38, Ayat 4, sistem penambangan terbuka ini dilarang dilakukan di kawasan hutan lindung. Hermawan et al. (2009) menyatakan bahwa kegiatan penambangan timah di Provinsi Bangka-Belitung yang dilakukan dengan cara terbuka telah menimbulkan perubahan lingkungan dengan menurunkan produktivitas tanah dan mutu lingkungan. Di lain pihak kolong-kolong air akibat kegiatan penambangan timah terbuka di Perlang, Bangka-Belitung dapat dimanfaatkan sebagai kantong sumber air irigasi untuk pencetakan sawah baru disekitarnya (Subardja et al., 2010).

Sumber-sumber bahaya perlu dikendalikan untuk mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Untuk mengendalikan sumber-sumber bahaya, maka sumber-sumber-sumber-sumber bahaya tersebut harus ditemukan dengan melakukan identifikasi sumber bahaya potensial yang ada di tempat kerja (Suma’mur, 1993).

(22)

pembangunan, maka pada tahun 1995 telah disempurnakan dengan terbitnya Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 555/K/26/M.PE/1995 tanggal 22 mei 1995 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pertambangan Umum (Direktorat Pertambangan dan Energi, 1995).

Selain itu pemerintah juga mengeluarkan undang-undang guna meningkatkan kesadaran bagi pihak perusahaan dan karyawan, undang-undang tersebut diantaranya adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja yang menyebutkan bahwa keselamatan kerja bertujuan untuk (Suma’mur, 1996):

1. Melindungi tenaga kerja atas hak keselamatannya dalam melakukan pekerjaan untuk kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksi serta produktivitas nasional.

(23)

kasus, tahun 2004 sebanyak 95.418 kasus, tahun 2005 sebanyak 96.081 kasus dan pada tahun 2006 terjadi kecelakaan sebanyak 70.069 kasus kecelakaan kerja serta sepanjang tahun 2007 telah terjadi kecelakaan kerja sebanyak 65.474 kejadian. Angka tersebut tentunya masih sangat fantastis dan dapat dijadikan tolak ukur pencapaian kinerja K3 (Tarwaka, 2008).

2.6.2. Batubara

Batubara adalah mineral organik yang terbentuk dari endapan, dan merupakan batuan organik yang terutama terdiri dari karbon, hidrogen, dan oksigen. Batubara terbentuk dari tumbuhan yang telah bersatu antara strata batuan lainnya dan diubah oleh kombinasi pengaruh tekanan dan panas selama jutaan tahun sehingga membentuk lapisan batubara. Proses yang mengubah tumbuhan menjadi batubara tadi disebut dengan pembatubaraan atau coalification (Speight, 1994).

Bahan mineral di dalam batubara berasal dari unsur organik yang terdapat dalam tumbuhan pembentuk batubara dan dari bahan mineral yang berasal dari luar yang tergabung dalam proses pembentukan batubara. Jumlah dan tipe mineral yang ditemukan dalam batubara sangat bervariasi, bergantung pada sejarah pembentukan batubara tersebut. Mineral yang ditemukan dalam jumlah yang melimpah adalah clay mineral dengan illite, kaolinite dan montmorillonite sebagai jenis yang sering ditemukan (speight, 1994). Mineral utama yang ditemukan dalam batubara dapat diklasifikasikan sebagai shale, kaolin, sulfida, karbonat, klorida atau accessory mineral. Beberapa kelompok mineral yang terkandung dalam batubara dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Bahan Mineral yang Biasa Terdapat dalam Batubara

Kelomp

(24)

Ankerite CaCO3.(Mg, Fe, Mn) CO3

Pro chloride 2FeO. 2 MgO. Al2O2. 2SiO2. 2 H2O

Diaspore Al2O3. H2O

(25)

sebagai berikut:

Gambar 1. Proses Pembentukan Batubara (Sukandarrumidi, 1995).

Proses pembentukan batubara terdiri dari dua tahap, yaitu tahap penggambutan dan tahap pembatubaraan. Tahap penggambutan dimana sisa-sisa tumbuhan yang terakumulasi tersimpan dalam kondisi reduksi di daerah rawa dengan sistem pengeringan yang buruk dan selalu tergenang air pada kedalaman 0,5 – 10 meter. Material tumbuhan yang busuk ini melepaskan H, N, O, dan C dalam bentuk senyawa CO2, H2O, dan NH3 untuk menjadi humus. Bakteri anaerobik dan fungi akan merubah material tersebut menjadi gambut (Sukandarrumidi, 1995).

Pada proses pembatubaraan gambut akan terkubur dengan sedimen lain, di bawah pemanasan dan tekanan mengubah gambut menjadi batubara tingkat rendah yaitu lignit. Batubara di bawah pemanasan dan tekanan yang terus menerus selama jutaan tahun, mengalami perubahan yang secara bertahap sehingga menambah maturitas organiknya dan mengubah batubara muda menjadi batubara subituminus. Pada pemanasan dan tekanan yang lebih tinggi batubara lignit berubah menjadi batubara bituminus. Bahkan pada pemanasan dan tekanan yang lebih tinggi lagi dapat mengubah batubara bituminus menjadi batubara antrasit yang lebih keras dan mengkilap (Sukandarrumidi, 1995). Berikut ini contoh analisis dari masing – masing unsur yang terdapat dalam setiap tahapan pembatubaraan pada Tabel 2.

(26)

Jenis C H O N C

Kayu 50 6, 43 1, 1,

Gambut 59 6, 33 2, 1,

Lignit 69 5, 25 0, 2,

Bituminus 82 5, 12 0, 6,

Antrasit 95 2, 2, 0, 3

(Sukandarrumidi, 1995)

Semakin tinggi tingkat pembatubaraan, kadar karbon akan meningkat sedangkan hydrogen dan oksigen berkurang. Batubara dengan tingkat pembatubaraan rendah disebut pula batubara bermutu rendah, contohnya lignit dan sub-bituminus yang biasanya lebih lembut dengan materi yang rapuh dan berwarna suram seperti tanah, memiliki tingkat kelembaban (moisture) yang tinggi dan kadar karbon yang rendah, sehingga kandungan energinya juga rendah. Semakin tinggi mutu batubara, umumnya akan semakin keras dan kompak, serta warnanya akan semakin hitam mengkilat (Sukandarrumidi, 1995).

Selain unsur karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen, di dalam batubara terdapat sulfur. Sulfur berada dalam bentuk senyawa organik dan anorganik. Sulfur anorganik sebagian besar terdiri dari bentuk sulfit dan sulfat. Kandungan sulfur dalam batubara bervariasi tergantung wilayah batubara tersebut berasal (Speight, 1994). Berikut persentase senyawa sulfur dalam batubara:

Tabel 3. Persentase Senyawa Sulfur dalam Batubara

Unsur Rentang

Sulfur organik 0,31-3,09 %

Sulfur pirit 0,06-3,78 %

Sulfur sulfat 0,01-1,06 %

Total sulfur 0,42-6,47 %

(Speight, 1994).

2.6.4. Klasifikasi Batubara

(27)

geologi dan lokasi tempat tumbuh dan berkembangnya, ditambah dengan lokasi pengendapan (sedimentasi) tumbuhan, pengaruh tekanan batuan dan panas bumi serta perubahan geologi yang berlangsung kemudian, akan menyebabkan terbentuknya batubara yang jenisnya bermacam-macam (Speight, 1994).

Tipe batubara berdasarkan tingkat pembatubaraan ini dapat dikelompokkan sebagai berikut :

1. Lignit

Lignit merupakan jenis batubara yang secara geologis tergolong jenis batubara yang paling muda yang mengandung karbon sebanyak 25-35%. Pada umumnya warna lignit mulai dari coklat hingga hitam kecoklatan (Gambar 3). Lignit sebagian besar terdiri dari material kayu kering yang terkena tekanan tinggi. Lignit bersifat rapuh serta memiliki kandungan air yang sangat tinggi sehingga perlu dikeringkan terlebih dahulu sebelum dibakar. Sebagian besar lignit digunakan untuk pembangkit listrik. Struktur kimia dan bentuk batubara lignit dapat dilihat pada gambar 2 (Speight, 1994).

(a) (b)

Gambar 2 . (a) Struktur Kimia Batubara Lignit (Schumacher,1997), (b) Bentuk Batubara Lignit (Bryant, 2005)

2. Subituminus

(28)

merupakan batubara yang sering digunakan dalam industri karena di Indonesia jumlahnya sangat melimpah. Struktur dan bentuk batubara Subbituminus dapat dilihat pada gambar 3 (Speight, 1994)

Gambar 3. (a) Struktur Kimia Batubara Subbituminus (Schumacher,1997), (b) Bentuk Batubara Subbituminus (Bryant, 2005)

3. Bituminus

Batubara jenis bituminus dapat diperoleh dengan menambahkan panas serta tekanan pada lignit. Batubara Bituminus mengandung karbon sebanyak 45-86%. Penggunaan terbesar batubara bituminus terdapat di pembangkit listrik serta industri baja. Bentuk batubara bituminus dapat dilihat pada gambar 4 (Speight, 1994)

(a) (b)

Gambar 4 . (a) Struktur Kimia Batubara Bituminus (Schumacher,1997), (b)Bentuk Batubara Bituminus ((Bryant, 2005)

4. Antrasit

(29)

(a) (b)

Gambar 5. (a) Struktur Kimia Batubara Antrasit (Schumacher,1997), (b) Bentuk Batubara Antrasit (Bryant, 2005)

Dari keempat jenis batubara tersebut, masing-masing memiliki kualitas yang berbeda. Lignit merupakan golongan yang paling rendah, karena kandungan airnya yang sangat tinggi harga lignit pun sangat murah. Oleh karena itu, untuk pengolahan batubara menjadi energi alternatif, jenis yang banyak dipakai adalah lignit karena cost effective (Speight, 1994).

2.6.5. Substansi Humik dalam Batubara

Substansi humik (HSs) merupakan produk organik yang berwarna coklat sampai hitam dengan banyak pengaruhnya terhadap agrikultural dan lingkungan. HSs merupakan karbon terkaya di bumi. HSs juga merupakan makromolekul aromatik yang kompleks dengan variasi ikatan diantara gugus aromatik. Ikatan yang berbeda termasuk diantaranya asam amino, peptida, asam alifatik, dan senyawa alifatik lainnya. Gugus fungsional dalam sustansi humat termasuk gugus asam karboksil (COOH), fenolik, alifatik, dan enolik-OH dan struktur karbonil (C=O) dalam berbagai tipe yang bervariasi (Arianto et al., 2005).

Menurut Arianto et al., (2005), subtansi humik terdiri atas fraksi asam humat, asam fulvat dengan klasifikasi sebagai berikut :

1. Humic Acid (Asam humat)

(30)

Gambar 6. Struktur Asam Humat (Stevenson, 1982) 2. Fulvic Acid (Asam fulvat)

Dapat diekstraksi dengan basa kuat, larut juga dalam asam, berat molekul(BM) 275-2110

Gambar 7 . Struktur Asam Fulvat (Stevenson, 1982)

2.6.6. Biosolubilisasi Batubara

Biosolubilisasi adalah proses pelarutan batubara dalam suatu medium dengan bantuan mikroorganisme. Biosolubilisasi dapat berupa upaya untuk mencairkan batubara atau bioliquifaksi yang nantinya dapat digunakan sebagai bahan bakar pengganti minyak bumi. Disamping untuk mencairkan batubara, biosolubilisasi dapat pula digunakan untuk mengurangi kandungan sulfur atau logam toksik pada batubara (Faison et al.,1989).

(31)

bahan bakar, tapi belum dapat digunakan sebagai bahan bakar sarana transportasi. Selain itu, kebanyakan mikroorganisme membutuhkan gula dan media pertumbuhan untuk pertumbuhan lebih dari 2 minggu. Media murah yang mampu mempercepat pertumbuhan mikroorganisme dibutuhkan untuk aplikasi komersial. Masalah ekonomis lainnya yang berhubungan adalah dibutuhkannya pra-perlakuan untuk menghasilkan produk berkualitas (Liu et al., 1989).

Produksi batubara cair dapat juga dilakukan dengan memanfaatkan enzim hasil isolasi dari mikroorganisme. Biosolubilisasi batubara dengan bantuan mikroorganisme dapat menghasilkan produk yang setara dengan komponen minyak bumi. Produk biosolubilisasi yang setara dengan senyawa yang terdapat dalam bensin mempunyai rantai atom karbon yang pendek yaitu C4 sampai C12, sedangkan untuk komponen minyak solar mempunyai atom karbon C10 sampai C13 (American Petroleum Institute, 2001).

2.6.7. Mikroorganisme Pensolubilisasi Batubara

Terdapat beberapa jenis mikroorganisme dari jenis bakteri maupun jamur yang dapat mengubah batubara padat menjadi produk cair. Batubara cair yang dihasilkan dari proses biosolubilisasi adalah berupa campuran senyawa yang larut dalam air, senyawa-senyawa polar dengan berat molekul relatif tinggi. Contoh bakteri yang dapat dimanfaatkan untuk proses ini adalah Thiobacillus Ferroxidans, Leptospirillum Ferroxidansdan Rhodococcus erythropolis. Sementara itu contoh fungi yang dapat dimanfaatkan untuk proses ini diantaranya adalah Polyporus versicolor, Penicillium, Streptomyces (Reiss,1992).

(32)

dari hifa, hifa berfungsi menyerap nutrien dari lingkungan serta membentuk struktur reproduksi (Hidayat et al, 2006).

Hifa adalah suatu struktur berbentuk tabung menyerupai seuntai benang panjang yang terbentuk dari pertumbuhan spora atau konidia. Kumpulan hifa yang bercabang-cabang membentuk suatu jala dan umumnya berwarna putih disebut miselium. Ada beberapa kapang dengan miselia longgar atau seperti bulu kapas sedangkan yang lainnya kompak. Penampakan miselia ada yang seperti beludru (velvet) pada permukaan atasnya, beberapa kering seperti bubuk, basah atau memiliki massa seperti gelatin (Hidayat et al, 2006).

Kapang saprofit adalah kapang yang memanfaatkan atau menyerap nutrient dari benda mati. Pada umumnya, kapang mengekskresikan enzim ekstraseluler ke lingkungan. Enzim ekstraseluler tersebut menguraikan komponen kompleks pada substrat menjadi komponen-komponen sederhana yang dapat dengan mudah diserap kapang untuk mensintesis berbagai bagian sel, dan digunakan sebagai sumber energinya. Keberadaan kapang pada suatu substrat dapat diketahui dengan adanya perubahan warna atau kekeruhan pada substrat cair, timbul bau, dan substrat berubah menjadi lunak. Hal tersebut mengindikasikan adanya pertumbuhan kapang berupa pertambahan massa sel atau volume sel (Gandjar et al, 2006).

Sifat-sifat fisiologi kapang sangat penting dipenuhi agar pertumbuhan kapang menjadi optimal. Gandjar et al., (2006) menerangkan sifat-sifat fisiologi kapang sebagai berikut :

1. Kebutuhan air

Pada umumnya, fungi tingkat rendah seperti Rhizopus sp. dan Mucor sp. memerlukan lingkungan dengan kelembaban nisbi 90 %, kapang Aspergillus sp, Penicillium sp, Fusarium sp. dan banyak hypomycetes lainnya dapat hidup pada kelembaban yang lebih rendah yaitu 80 % sedangkan kapang xerofilik mampu hidup pada kelembaban 70 %.

(33)

Kebanyakan kapang bersifat mesofilik yaitu tumbuh baik pada suhu kamar. Suhu optimum pertumbuhan untuk kebanyakan kapang adalah sekitar 25-30° C, tetapi beberapa kapang dapat tumbuh pada suhu 35-37° C atau lebih tinggi seperti Aspergillus sp. Beberapa kapang mampu tumbuh pada suhu dingin (bersifat psikrotrofik) dan juga pada suhu tinggi (termofilik).

3. Derajat keasaman (pH)

Kebanyakan kapang mampu tumbuh pada kisaran pH yang luas yaitu 2 - 8,5 akan tetapi pertumbuhannya akan lebih baik pada kondisi asam atau pH rendah.

4. Substrat

Substrat merupakan sumber nutrien utama bagi kapang. Nutrien dalam substrat baru dapat dimanfaatkan apabila kapang telah mengekskresikan enzim-enzim ekstraseluler untuk menguraikan senyawa kompleks menjadi sederhana.

5. Komponen penghambat

Beberapa kapang mengeluarkan komponen yang dapat menghambat organisme lainnya seperti bakteri, komponen tersebut disebut antibiotik.

2.6.8 Solubilisasi Batubara oleh Kapang

(34)

Hemiselulosa merupakan kelompok polisakarida heterogen dengan berat molekul rendah, relatif lebih mudah dihidrolisis dengan asam menjadi monomer yang mengandung glukosa, mannosa, galaktosa, xilosa dan arabinosa. Lignin merupakan polimer dengan struktur aromatik yang terbentuk melalui unit-unit penilpropan. Lebih dari 30 % tanaman tersusun atas lignin yang memberikan bentuk yang kokoh (Lynd et al., 2002).

Gambar 8. (a) Struktur lignin, (b) hemiselulosa dan (c) selulosa (Gutiérrez dan Martínez, 1996)

Lignin sulit disolubilisasi karena strukturnya kompleks dan heterogen yang berikatan dengan selulosa dan hemiselulosa dalam jaringan tanaman (Orth et al, 1993). Lignin merupakan suatu unsur yang memegang peranan penting dalam merubah susunan sisa tumbuhan menjadi batubara. Sebagian besar mikroorganisme yang mampu mensolubilisasi lignin dapat diaplikasikan juga untuk mensolubilisasi batubara (Cohen et al., 1990).

(35)

komponen aromatic pada batubara dan mendepolimerisasinya menjadi komponen yang kaya oksigen dan dapat melarut ke dalam air (Holker et al., 2002).

Enzim pendegradasi lignin secara umum terdiri dari dua kelompok utama yaitu laccase (Lac) dan peroksidase yang terdiri dari lignin peroksidase (LiP) dan mangan peroksidase (MnP) (Chahal and Chahal, 1998). Ketiga enzim tersebut bertanggung jawab terhadap pemecahan awal polimer lignin dan menghasilkan produk dengan berat molekul rendah, larut dalam air dan CO2 (Akhtar et al.1997).

Lignin peroksidase (LiP) merupakan enzim utama dalam proses degaradasi lignin karena mampu mengoksidasi unit non fenolik lignin. Unit non fenolik merupakan penyusun sekitar 90 persen struktur lignin. Oksidasi substruktur lignin yang dikatalis oleh LiP dimulai dengan pemisahan satu electron cincin aromatik substrat donor dan menghasilkan radikal aril. LiP memotong ikatan Cα-Cβ molekul lignin, pemotongan tersebut merupakan jalur utama perombakan lignin oleh berbagai kapang pelapuk putih (Hammel, 1996).

Mangan peroksidase (MnP) berperan dalam oksidasi unit fenolik, sehingga LiP dan MnP dapat bekerja secara sinergis. Siklus katalitik MnP dimulai dengan pengikatan H2O2 atau peroksida organik dengan enzim ferric alami dan pembentukan kompleks peroksida besi. Pemecahan ikatan oksigen peroksida membutuhkan Fe oxo-porphyrin-radikal kompleks dalam pembentukan MnP-komponen I, kemudian ikatan dioksigen dipecah dan dikeluarkan satu molekul air. Reaksi berlangsung sampai terbentuk MnP-komponen II, ion Mn2+ bekerja sebagai donor 1-elektron untuk senyawa antara porfirin dan dioksidasi menjadi Mn3+. Mn3+ merupakan oksidasi kuat yang dapat mengoksidasi senyawa fenolik tetapi tidak dapat menyerang unit non fenolik lignin (Perez et al., 2002).

(36)

electron membentuk radikal bebas yang dapat disamakan dengan radikal kation yang terbentuk pada reaksi MnP (Kersten et al., 1990).

Tabel 4. Enzim ekstraseluler pendegradasi lignin dari kapang pelapuk putih (Akhtar et al.,1997).

Kapang yang memiliki kemampuan palingbaik dalam proses biosolubilisasi batubara adalah Trametes versicolor, Pleurotus florida, P. ostreatus and P. sajorcaju. Kapang lain yang juga mampu mensolubilisasi batubara seperti Trichoderma atroviride, Fusarium oxysporum, Penicillium sp., Candida sp., Aspergillus sp., Mucor sp. dan Sporothrix sp. namun dengan kemampuan yang lebih kecil. Kapang tersebut mensolubilisasi batubara menggunakan enzim ekstraseluler (Reiss, 1992).

Enzim ekstraseluler adalah enzim yang diekskresikan oleh kapang ke luar tubuhnya untuk mensolubilisasi substrat. Enzim ekstraseluler tersebut akan menghasilkan medium yang lebih gelap akibat dari solubilisasi batubara selama proses kultur cair atau cairan gelap pada permukaan kultur ketika ditumbuhkan pada permukaan kultur agar (Faison et al, 1989).

2.6.9. Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Biosolubilisasi

Batubara

(37)

terhadap batubara. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap proses biosolubilisasi diantaranya:

a. Temperatur

Secara umum kenaikan temperatur akan meningkatkan laju reaksi kimia, termasuk reaksi yang dilakukan oleh mikroorganisme. Temperatur proses biodegradasi harus dikendalikan agar tetap berada pada temperatur optimum mikroorganisme yang digunakan serta tidak melewati temperature minimum atau maksimum mikroorganisme tersebut. Setiap mikroorganisme memiliki temperatur optimum dan temperatur maksimum yang berbeda-beda. Oleh karena itu, temperatur optimum biodegradasi akan sangat bergantung pada mikroorganisme yang digunakan. Temperatur optimum pada kapang adalah 22-30 oC (Pelzar dan Chan, 2005).

b. pH

Seperti halnya temperatur, pH juga sangat berpengaruh terhadap proses biosolubilisasi. Setiap mikroorganisme memiliki pH optimum yang berlainan oleh karena itu biodegradasi harus dilakukan pada pH optimum sesuai dengan mikroorganisme yang digunakan. Jika pH yang digunakan terlalu asam atau basa maka proses biodegradasi akan mengalami inhibisi. Inhibisi ini terjadi akibat pengaruh buruk lingkungan yang terlalu asam terhadap metabolism mikroorganisme yang menyebabkan aktivitas metaboliknya menurun. pH optimum kapang adalah 3,8-5,6 (Pelzar dan Chan, 2005).

c. Ukuran Partikel

(38)

Semakin sedikit konsentrasi sel mikroorganisme, maka efisiensi biodegradasi akan semakin berkurang. Pada umumnya konsentrasi mikroorganisme yang digunakan adalah 5 % (Scott dan lewis, 1990).

2.6.10 Analisis Kimia Terhadap Produk Solubilisasi Batubara

Produk biosolubilisasi batubara dikarakterisasi menggunakan Spektrofotometer UV-Vis, Spektrofotometer infra merah (FTIR), dan Kromatografi Gas - Spektroskopi Massa (GC-MS) sebagaimana yang telah dilakukan oleh Shi, et al., (2009).

Spektrofotometer UV-Vis

Spektrofotometer sesuai dengan namanya adalah alat yang terdiri dari spektrometer dan fotometer. Spektrometer menghasilkan sinar dari spectrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorpsi. Jadi spektrofotometer digunakan untuk mengukur energi secara relatif jika energi tersebut ditransmisikan, direfleksikan atau diemisikan sebagai fungsi dari panjang gelombang (Underwood dan Day, 2002).

Semua molekul dapat mengabsorpsi radiasi dalam daerah UV-Vis karena mengandung elektron, baik sekutu maupun menyendiri, yang dapat dieksitasikan ke tingkat yang lebih tinggi. Panjang gelombang di mana absorpsi itu terjadi, bergantung pada berapa kuat elektron itu terikat dalam molekul itu (Underwood dan Day, 2002). Gambar Spektrofotometer UV-Vis diperlihatkan pada gambar 9.

(39)

yang praktis untuk digunakan dalam eksperimen. Identifikasi kualitatif senyawa organik dalam daerah ini jauh lebih terbatas daripada dalam daerah inframerah. Ini karena pita absorpsi terlalu lebar dan kurang terinci. Tetapi gugus-gugus fungsional tertentu seperti karbonil, nitro, dan sistem terkonjugasi, benar-benar menunjukkan puncak karakteristik, dan sering dapat diperoleh informasi yang berguna mengenai ada atau tidaknya gugus semacam itu dalam molekul tersebut (Underwood dan Day, 2002).

Pada penelitian ini analisis produk biosolubilisasi batubara dilakukan dengan menggunakan spektroskopi sinar ultraviolet-visible (UV-Vis). Spektroskopi UV-Vis dapat menentukan adanya ikatan tak jenuh dalam produk biosolubilisasi. Panjang gelombang yang digunakan yaitu 250 dan 450 nm (Shi et al., 2009).

Spektrofotometer Fourier Transform Infra Red (FTIR)

Spektrofotometri infra merah merupakan teknik yang di dasarkan pada vibrasi (pergerakan) atom-atom dalam molekul. Spektrum infra merah pada umumnya dihasilkan melalui sampel dan penentuan fraksi akibat dari sinar yang diabsorbsi pada energi tertentu. Energi tempat munculnya peak absorpsi berhubungan dengan frekuensi vibrasi suatu gugus fungsi atau kromofor yang terdapat dalam suatu molekul. Spektrofotometri IR ditujukan untuk penentuan gugus-gugus fungsi molekul pada analisis kualitatif (Giwangkara, 2006).

Energi dari kebanyakan vibrasi molekul berhubungan dengan daerah infra merah. Vibrasi molekul dapat dideteksi dan diukur pada spektrum infra merah, penggunaan spektrum infra merah untuk penentuan struktur senyawa organic biasanya antara 650-4000 cm-1 (15,4-2,5 µm). Daerah di bawah frekuensi 650 cm-1 dinamakan infra merah jauh dan daerah di atas frekuensi 4000 cm-1 dinamakan infra merah dekat. Letak puncak serapan dapat dinyatakan dalam satuan frekuensi (µm) atau bilangan gelombang (cm-1 ) (Sudjadi, 1985).

(40)

dua golongan besar, yaitu : vibrasi renggangan (stretching) dan vibrasi bengkokan (bending) (Giwangkara, 2006).

A. Vibrasi Regangan (Streching)

Dalam vibrasi ini atom bergerak terus sepanjang ikatan yang menghubungkannya sehingga akan terjadi perubahan jarak antara keduanya, walaupun sudut ikatan tidak berubah. Vibrasi regangan ada dua macam (Giwangkara, 2006).

1. Regangan Simetri, unit struktur bergerak bersamaan dan searah dalam satu bidang datar.

2. Regangan Asimetri, unit struktur bergerak bersamaan dan tidak searah tetapi masih dalam satu bidang datar. Sebagaimana gambar berikut:

Gambar 10. Vibrasi Renggangan (Giwangkara, 2006)

B. Vibrasi Bengkokan (Bending)

Jika sistem tiga atom merupakan bagian dari sebuah molekul yang lebih besar, maka dapat menimbulkan vibrasi bengkokan atau vibrasi deformasi yang mempengaruhi osilasi atom atau molekul secara keseluruhan. Vibrasi bengkokan ini terbagi menjadi empat jenis (Giwangkara, 2006).

1. Vibrasi Goyangan (Rocking), unit struktur bergerak mengayun asimetri tetapi masih dalam bidang datar.

(41)

3. Vibrasi Kibasan (Wagging), unit struktur bergerak mengibas keluar dari bidang datar.

4. Vibrasi Pelintiran (Twisting), unit struktur berputar mengelilingi ikatan yang menghubungkan dengan molekul induk dan berada di dalam bidang datar.

Gambar 11. Vibrasi Bengkokan (Giwangkara, 2006)

(42)

Gambar 12. Instrumentasi FTIR (Dokumen Pribadi, 2010)

Pada sistem optik FTIR digunakan radiasi LASER (Light Amplification By Stimulated Emmission of Radiation) yang berfungsi sebagai radiasi yansg diinterferensikan dengan radiasi infra merah agar sinyal radiasi infra merah yang diterima oleh detektor secara utuh dan lebih baik. Detektor yang digunakan dalam spektrofotometer FTIR adalah TGS ( Tetra Glycerine Sulphate) atau MCT (Mercury Cadmium Telluride). Detektor MCT lebih banyak digunakan karena memiliki beberapa kelebihan dibandingkan detektor TGS yaitu memberikan respon yang lebih baik pada frekuensi modulasi tinggi, lebih sensitif, cepat tidak dipengaruhi oleh temperatur, sangat selektif terhadap energi vibrasi yang diterima dari radiasi infra merah (Giwangkara, 2006).

Tabel 5. Beberapa Contoh Nilai Frekuensi Gugus Fungsi

(43)

C=O Aldehid Keton

Asam Ester Anhidrida

5,75-5,81 5,79-5,97 5,79-5,87 5,71-5,86 5,52-5,68

1720-1740 1675-1725 1700-1725 1720-1750 1760-1181

CN Nitrit 4,35-5,00 2000-3000

NO2 Nitro 6,06-6,67 1500-1650

(Hermanto,2008)

Gas Chromatography Mass Spectrometry (GC-MS)

Kromatografi Gas-Spektroskopi Massa atau sering disebut GC-MS (Gass Chromatography Mass Spectrometry) adalah teknik analisis yang menggabungkan dua metode analisis, yaitu Kromatografi Gas dan Spektroskopi Massa. Kromatografi gas adalah metode analisis, dimana sampel terpisahkan secara fisik menjadi bentuk molekul-molekul yang lebih kecil (hasil pemisahan dapat dilihat berupa kromatogram). Sedangkan spektroskopi massa adalah metode analisis, dimana sampel yang dianalisis akan diubah menjadi ion gasnya, dan massa dari ion-ion tersebut dapat diukur berdasarkan hasil deteksi berupa spektrum massa (Underwood dan Day, 2002).

Gambar 13. Instrumentasi GC-MS (Dokumen Pribadi, 2010)

(44)

detector) komponen tersebut dapat teridentifikasi, karena Spektrum Bobot Molekul pada suatu komponen dapat dilihat, serta dapat juga dibandingkan dengan LIBRARY (reference) pada software (Hermanto, 2008).

Pemisahan komponen senyawa dalam GC-MS terjadi di dalam kolom (kapiler) GC dengan melibatkan dua fase, yaitu fase diam dan fase gerak. Fase diam adalah zat yang ada di dalam kolom, sedangkan fase gerak adalah gas pembawa (Helium maupun Hidrogen dengan kemurnian tinggi, yaitu ± 99,995%). Proses pemisahan dapat terjadi karena terdapat perbedaan kecepatan alir dari tiap molekul di dalam kolom. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan afinitas antar molekul dengan fase diam yang ada di dalam kolom. Komponen- komponen yang telah dipisahkan tersebut masuk ke dalam ruang MS yang berfungsi sebagai detektor secara instrumentasi (Hermanto, 2008).

Injeksi sampel berupa cairan adalah teknik memasukkan sampel yang paling umum. Sampel langsung dimasukkan atau diinjeksi setelah mendapat preparasi. Direct Inlet Probe digunakan untuk sampel yang memilki titik uap yang lebih tinggi dari kemampuan injector GC atau untuk analisis sampel yang tidak stabil secara termal. Sampel langsung dimasukkan ke dalam MS tanpa melalui GC. Teknik Headspace digunakan untuk sampel hasil ekstraksi dari senyawa- senyawa organik yang mudah menguap. Senyawa-senyawa tersebut terdapat di dalam produk berbentuk cair atau padat. Misalnya, senyawa yang mudah menguap di dalam air, aroma di dalam produk makanan dan sebagainya. Sampel dimasukkan ke dalam wadah khusus, lalu diinkubasi. Setelah terjadi ekuilibrium gas yang berada di atas diambil oleh syringe. Lalu sampel dimasukkan ke dalam GC. Teknik sampling ini menggunakan alat khusus yang terpisah dari instrument GC-MS, sedangkan pirolis digunakan untuk sampel yang tidak dapat diuapkan oleh injector GC, misalnya polimer-polimer.

(45)

pertama kali dikeluarkan dari sampel dengan menggunakan gas inert. Kemudian zat volatil tersebut diabsorb oleh zat khusus untuk meng-absorb seperti karbon aktif. Kemudian absorbe dipanaskan untuk melepaskan senyawa yang diinginkan ke dalam GC untuk dianalisis (Hermanto, 2008).

2.6.11 Batubara Di Indonesia

Indonesia memegang peranan yang sangat penting dalam industri batubara dan mineral dunia. Tahun 2005 Indonesia menduduki peringkat ke-2 sebagai negara pengekspor batubara uap. Untuk pertambangan mineral, Indonesia merupakan negara penghasil timah peringkat ke-2, tembaga peringkat ke-3, nikel peringkat ke-4 dan emas peringkat ke-8 dunia . Namun demikian, pertambangan selalu mempunyai dua sisi yang saling berlawanan, sebagai sumber kemakmuran sekaligus perusak lingkungan yang sangat potensial. Sebagai sumber kemakmuran sudah tidak diragukan lagi bahwa sektor ini merupakan salah satu tulang punggung pendapatan negara selama bertahun-tahun. Sebagai perusak lingkungan, praktek pertambangan terbuka (open pit mining) yang paling banyak diterapkan pada penambangan batubara dapat mengubah iklim mikro dan tanah akibat seluruh lapisan tanah di atas deposit batubara disingkirkan (Gautama, 2007).

(46)

memiliki potensi sumberdaya batubara sekitar 60 miliar ton dengan cadangan miliar ton (Witoro, 2007).

Di lain pihak, tambang batubara di Indonesia umumnya dilakukan dengan cara tambang terbuka, walaupun ada beberapa yang menggunakan tambang bawah tanah (underground mining), sehingga akan berdampak terhadap perubahan bentang alam, sifat fisik, kimia, dan biologis tanah, serta secara umum menimbulkan kerusakan pada permukaan bumi. Dampak ini secara otomatis akan mengganggu ekosistem diatasnya, termasuk tata air (Subardja, 2007).

(47)

batu bara di Indoensia tersebar di darah Sumatra, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Menurut management batubara-indonesia.com (www.batubara-batubara-indonesia.com), World Energy Council memperkirakan cadangan batubara dunia terbukti mencapai 847.488 juta ton pada akhir 2007 yang tersebar di lebih dari 50 negara. Di Indonesia sendiri, menurut Dirjen Minerba Kementrian ESDM Bambang Setiawan yang dikutip di majalah Investor bulan April 2011, sumber daya dan cadangan batu bara nasional sebesar 105,2 miliar ton. Sedangkan nilai cadangan sebesar 21,13 miliar ton. Besarnya cadangan batu bara nasional menyebabkan peningkatan produksi batu bara setiap tahunnya. Menurut data ESDM, produksi batu bara Indonesia meningkat dari 132,352,025 ton per 2004, hingga 275,164,196 ton pada tahun 2010. Sementara total ekspor meningkat dari 93,758,806 ton per 2004 hingga 208,000,000 ton per 2010. Pertambangan batu bara dan emas mendominasi beberapa daerah di Kalimantan. Ketahanan tanaman terhadap logam berat berbeda. Oleh karena itu perlu diperoleh tanaman yang sesuai untuk reklamasi lahan tertentu. Lahan tambang umumnya telah terkontaminasi toksit, lahan jadi beracun dan susah ditumbuhi, disamping mengaplikasikan bakteri pereduksi sulfur dan bakteri penetralisir toksik. lahan bekas penambangan batu bara seringkali minim bahkan tidak ada lapisan topsoil yang sebenarnya banyak mengandung unsur hara. Usaha untuk memperoleh tanaman yang sesuai untuk reklamasi lahan pertambangan tertentu, dapat melalui modifikasi genetik melalui rekayasa genetika atau induksi mutan melalui radiasi atau somaklonal variasi. Induksi mutan melalui radiasi pada tanaman hutan belum banyak dilakukan dan umumnya tanaman daerah beriklim dingin dan sebagian besar tanaman keras atau berkayu seperti tanaman buah pir. Induksi mutan pada sengon merupakan usaha untuk meningkatkan ketahanan pada tanaman kehutanan di Indonesia yang berpotensi untuk reklamasi lahan pertambangan (Enny, 2009).

(48)

Pertambangan dan energi merupakan sektor pembangunan penting bagi Indonesia. Industri pertambangan sebagai bentuk kongkret sektor pertambangan menyumbang sekitar 11,2% dari nilai ekspor Indonesia dan memberikan kontribusi sekitar 2,8% terhadap pendapatan domestik bruto (PDB). Industri pertambangan mempekerjakan sekitar 37.787 tenaga kerja orang Indonesia, suatu jumlah yang tidak sedikit (Anggayana & Widayat, 2007).

Kehadiran dan beroperasinya pertambangan batubara dengan sejumlah aktivitasnya itu, seperti ganti rugi lahan, proses penambangan, perekrutan pegawai, penempatan mess karyawan, dan lain-lain berdampak pada lingkungan di sekitarnya, baik itu lingkungan fisik maupun non-fisik. Kondisi lingkungan yang demikian potensial merubah perilaku sosial masyarakat yaitu pada perilaku bergotong royong. Gotong royong merupakan salah satu aktivitas masyarakat yang terpengaruhi oleh kehadiran pertambangan batubara. Masyarakat desa dengan latar belakang sebagai petani serta kehidupan yang penuh dengan kesederhaan aktivitas gotong royong menjadi alternatif untuk saling meringankan beban pekerjaan yang berlaku secara turun temurun sehingga membentuk perilaku sosial yang nyata dalam tata kehidupan sosial. Gotong royong merupakan ciri budaya bangsa Indonesia yang selalu dipegang teguh dan dijunjung tinggi terutama di pedesaan yang mayoritas dihuni oleh masyarakat tradisional. Namun seiring dengan masuknya sistem budaya baru, perilaku tersebut mengalami perubahan. Jika dulu masyarakat sering melaksanakan kegiatan gotong royong dalam kehidupan sehari-hari secara suka rela (tanpa upah atau bayaran) dan mudah untuk dikerahkan, namun kondisi sekarang sulit untuk mengerahkan warga atau tenaga orang untuk bergotong royong tanpa ada bayaran

(Jatman, 1983:15-16).

2.7 Industri Pertambangan di Kalimantan Selatan

(49)

selama sepuluh tahun terakhir, Indonesia telah mengalami pertumbuhan luar biasa di sector pertambangan batubara yang belum pernah terjadi sebelumnya, dengan meningkatnya produksi dan ekspor batu bara sebesar lima kali lipat antara tahun 2000 dan 2012. Meskipun pertumbuhannya meningkat sangat pesat, sektor batubara menyumbang hanya 4% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dengan prospek pertumbuhan di masa depan yang lebih terbatas (Greenpeace Indonesia, 2014).

Eksplotasi batubara yang masif ini harus dibayar dengan biaya besar terhadap ekonomi nasional, sektor-sektor ekonomi lainnya serta mata pencaharian penduduk Indonesia di daerah-daerah terkena dampak. Industri ekstraktif seperti pertambangan batubara mengguncang perekonomian Indonesia, menyebabkan fluktuasi besar dalam neraca pembayaran dan nilai tukar. Dampak dari fluktuasi ini juga menghambat pembangunan jangka panjang dari industri dengan nilai tambah yang lebih tinggi karena mengalihkan dan menghalau investasi modal awal. Saat ini, Indonesia menderita karena pasar batubara internasional lemah (Greenpeace Indonesia, 2014).

Meskipun pertumbuhan dramatis selama dekade terakhir, ekspor batubara hanya merupakan 3% dari perekonomian nasional dan penggunaan batu bara dalam negeri hanya 1%, seperti yang diperkirakan pada Tabel 2 di bawah ini. Kontribusi pertambangan terhadap PDB lebih kecil dari semua jasa (35%), manufaktur (27%) dan pertanian (16%). Industri batubara juga sangat sedikit mempekerjakan orang. Sebuah studi besar di Kalimantan Selatan – salah satu pusat pertambangan batubara utama di Indonesia – menunjukkan bahwa keseluruhan sektor pertambangan mempekerjakan hanya dua persen dari angkatan kerja di wilayah tersebut. Studi ini juga menemukan bahwa keuntungan ekonomi dari pertambangan batubara menggelontor terutama untuk rumah tangga berpendapatan tinggi daripada rumah tangga berpendapatan rendah (Greenpeace Indonesia, 2014).

(50)

cadangan bahan tambang melimpah, khusunya batu bara. Sampai saat ini produksinya dapat mencapai 10% dari produksi total batubara nasional. Merebaknya tambang batu bara di Kalsel tersebut memberikan dampak pada bidang ekonomi, dimana devisa terus saja mengalir dari hasil ekspor tambang itu dengan tujuan berbagai negara di dunia (Greenpeace Indonesia, 2014).

2.6.1 Pengertian Pertambangan Batubara

Pertambangan merupakan suatu bidang usaha yang karena sifat kegiatannya pada dasarnya selalu menimbulkan perubahan pada alam lingkungannya. Batubara merupakan salah satu bahan galian strategis yang sekaligus menjadi sumber daya energy yang sangat besar. Indonesia pada tahun 2006 mampu memproduksi batu bara sebesar 162 juta ton dan 120 juta ton diantaranya diekspor. Sementara itu sekitar 29 juta ton diekspor ke Jepang. indonesia memiliki cadangan batubara yang tersebar di Pulau Kalimantan dan Pulau Sumatera, sedangkan dalam jumlah kecil, batu bara berada di Jawa Barat, Jawa Tengah, Papua dan Sulawesi (BPLHD Jabar, 2005).

2.6.2 Jenis Batubara

Jenis dan kualitas batubara tergantung pada tekanan, panas dan waktu terbentuknya batubara. Berdasarkan hal tersebut, maka batubara dapat dikelompokkan menjadi 5 jenis batubara, diantaranya adalah antrasit, bituminus, sub bituminus, lignit dan gambut (Anonim1,2013) : 1. Antrasit merupakan jenis batubara dengan kualitas terbaik, batubara jenis ini mempunyai ciri-ciri warna hitam metalik, mengandung unsur karbon antara 86%-98% dan mempunyai kandungan air kurang dari 8%. 2. Bituminus merupakan batubara dengan kualitas kedua, batubara jenis ini mempunyai kandungan karbon 686% serta kadar air antara 8%-10%. Batubara jenis ini banyak dijumpai di Australia.

(51)

4. Lignit merupupakan batubara dengan kwalitas keempat, batubara jenis ini mempunyai cirri memiliki warna muda coklat, sangat lunak dan memiliki kadar air 35%-75%.

5. Gambut merupakan jenis batubara dengan kwalitas terendah, batubara ini memiliki ciri berpori dan kadar air diatas 75%.

Aktivitas pertambangan Batubara selalu membawa dua sisi. Sisi pertama adalah memacu kemakmuran ekonomi negara. Sisi yang lainnya adalah timbulnya dampak lingkungan yang memerlukan tenaga, pikiran, dan biaya yang cukup signifikan untuk proses pemulihannya. Salah satu komoditi tambang yang banyak diusahakan saat ini, untuk memenuhi kebutuhan energi di Indonesia, adalah batubara. Pada saat ini Indonesia memiliki potensi sumberdaya batubara skater 60 miliar ton dengan cadangan 7 miliar ton (Witoro, 2007). Di lain pihak, tambang batubara di Indonesia umumnya dilakukan dengan cara tambang terbuka, walaupun ada beberapa yang menggunakan tambang bawah tanah (underground mining), sehingga akan berdampak terhadap perubahan bentang alam, sifat fisik, kimia, dan biologis tanah, serta secara umum menimbulkan kerusakan pada permukaan bumi.

Dari pengertian diatas bahwa mengatakan pertambangan Batubara mengakibatkan dua sisi efek negatif maupun positif yang diakibatkan oleh pertambangan Batubara itu sendiri :

2.6.3 Dampak Negatif Terhadap Lingkungan a. Dampak Terhadap Lingkungan

(52)

Gambar 2.1 Aktivitas penambangan batu bara. 1. Pencemaran air

Permukaan batubara yang mengandung pirit (besi sulfide) berinteraksi dengan air menghasilkan Asam sulfat yang tinggi sehingga terbunuhnya ikan-ikan di sungai, tumbuhan, dan biota air yang sensitive terhadap perubahan pH yang drastis. Itu terjadi apabila system pembuangan dari pertambangan batubara itu tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku atau tidak mengikuti peraturannya itu. 2. Pencemaran udara

Polusi/pencemaran udara yang kronis sangat berbahaya bagi kesehatan. Menurut logika udara kotor pasti mempengaruhi kerja paru-paru. Peranan polutan ikut andil dalam merangsang penyakit pernafasan seperti influenza, bronchitis dan pneumonia serta penyakit kronis seperti asma dan bronchitis kronis.

Gambar

Tabel 2.1 prosedur yang menimbulkan aerosol menyebabkan peningkatan
Tabel 2.2
Tabel 1. Bahan Mineral yang Biasa Terdapat dalam Batubara
Gambar 1. Proses Pembentukan Batubara (Sukandarrumidi, 1995).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Beberapa faktor yang telah dikenal sebagai faktor yang meningkatkan resiko terjadinya infeksi, antara lain : tidak adanya pemberian antibiotik profilaksis,

Hubungan penyalahgunaan keadaan sebagai faktor yang menyebabkan cacad kehendak terhadap terjadinya perjanjian, relevan karena perjanjian terjadi dengan adanya kata

Peneliti hanya melihat hubungan status imunisasi, status gizi, dan ASI eksklusif sedangkan faktor – faktor risiko lain yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada bayi

Penelitian ini tidak berhasil membuktikan adanya hubungan antara pengetahuan gizi dengan kepatuhan diet membuktikan makna bahwa kendali perilaku pilihan atas

Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Petrus (2016) mengenai faktor – faktor yang berhubungan dengan terjadinya ISPA di Kelurahan Jati Sampurna bahwa ada hubungan

Peneliti hanya melihat hubungan status imunisasi, status gizi, dan ASI eksklusif sedangkan faktor – faktor risiko lain yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada bayi

Karakteristik respoden yang meliputi jenis kelamin, umur pendidikan dan pekerjaan tidak menunjukkan adanya hubungan dengan kejadian ISPA faktor lingkungan yang berhubungan dengan

Berdasarkan kasus didapatkan beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya gizi buruk dan stunting pada pasien yaitu status ekonomi, pendidikan orangtua, perilaku orangtua