• Tidak ada hasil yang ditemukan

Beberapa Usaha Yang Dilakukan Untuk Menumpas Pemberontakan Pada tanggal 27 Desember 1637 Terazawa Katataka mengirimkan

sembilan bangsawan yang diikuti oleh 3.000 samurai dari selatan Kyushu untuk menekan dan menanggulangi para pemberontak akan tetapi pasukan tersebut

65

berhasil dihancurkan dalam waktu dua hari dengan korban 2800 orang. Terazawa kemudian mundur dan meminta bantuan pada pemerintah pusat untuk menumpas pemberontak.

Pada tanggal 3 Januari 1638, pasukan pemerintah di bawah pimpinan Itakura Shigemasa dengan kekuatan 30.000 pasukan, tiba di Shimabara dan berhasil mengalahkan para pemberontak dalam sebuah pertempuran. Pasukan pemerintah terus mengejar dan mengepung mereka di pusat kekuasaan mereka yakni istana Hara. Pertahanan istana tersebut sangat sulit ditembus, hal itu terbukti pada serangan pertama yang menjatuhkan banyak korban dari pihak pemerintah termasuk Itakura Shigemasa sendiri.

Shogun menyadari bahwa situasi di Shimabara semakin serius, maka ia kembali mengirim pasukan yang berjumlah 120.000 orang, yang dilengkapi dengan senapan arquebus dan meriam untuk memperkuat pasukan. Pasukan ini dipimpin oleh Matsudaira Nobutsana sebagai pengganti dari Shigemasa.

Untuk menumpas para pemberontak, Matsudaira Nobutsana meminta bantuan dari kapal dagang Belanda untuk membombardir istana Hara dari arah laut. Nicolas Koekebakker, sebagai kepala pos perdagangan Belanda di Hirado memberi bantuan berupa mesiu dan meriam sesuai dengan permintaan pemerintah Jepang. Koebakker memimpin sendiri kapal De Ryp ke lepas pantai dekat istana Hara. Istana Hara dibombardir dari arah darat dan laut, namun tidak terlalu memberikan hasil yang berarti karena posisinya yang strategis dan kokohnya pertahanan istana tersebut, bahkan dua pengintai Belanda tertembak oleh pemberontak

66

Sampai pada awal Februari 1638 pihak pemberontak mampu bertahan dari serangan pemerintah, bahkan mampu menyerang balik, seperti yang terjadi pada tanggal 3 Februari 1638, pihak pemberontak berhasil meraih kemenangan kecil dengan mengalahkan pasukan dari Hizen yang berjumlah 2.000 orang pasukan dan membunuh pemimpin mereka. Namun pada pertengahan bulan Februari 1638 para pemberontak memasuki masa-masa yang sulit. Para pemberontak dihadapkan pada masalah kekurangan makanan dan amunisi ditambah dengan cuaca musim dingin.

Melihat keadaan pemberontak yang sudah kekurangan makanan dan amunisi, Matsudaira merasa sudah tiba saatnya untuk serangan berskala besar. Pada tanggal 10 Maret 1638, seluruh pasukan pemerintah telah dikonsentrasikan di Shimabara dan pada bulan April pertempuran pecah antara 27.000 pemberontak melawan 125.000 pasukan pemerintah. Para pemberontak mengalami kekalahan dan terpaksa mundur.

Pada tanggal 12 April 1638 pasukan dari Hizen di bawah pimpinan Kuroda Tadayuki berhasil menembus pertahanan luar istana Hara. Pasukan pemerintah menyerbu dan menjatuhkan banyak korban di pihak pemberontak, Amakusa Shiro sendiri gugur dalam pertempuran tersebut. Pemberontakan berhasil ditumpas pada tanggal 15 April. Sekitar 5000-6000 orang pemberontak memilih membakar dirinya sendiri dari pada menyerah pada pihak pemerintah. Beberapa pemberontak melemparkan anaknya ke dalam api untuk mencegah mereka diambil dan disiksa oleh pihak pemerintah. Mereka percaya bahwa dengan kematiannya maka ia akan mendapatkan kedamaian yang abadi.

67

Lebih dari 30.000 orang pemberontak dan simpatisannya dihukum pancung secara massal termasuk wanita, orang tua, dan anak-anak. Kepala Amakusa dibawa ke Nagasaki dan dipajang di depan umum sebagai peringatan bagi yang lain. Istana Hara dibumihanguskan bersama mayat para pemberontak di dalamnya. Agama Kristen terlarang di Jepang dan para penganutnya dianiaya dan diburu, mereka yang selamat hanya bisa mempraktekan keyakinannya secara sembunyi-sembunyi. Orang-orang Portugis, Spanyol dan bangsa Barat lainnya diusir dari Jepang karena merekalah yang menyebarkan agama yang dinyatakan terlarang tersebut. Namun bangsa Belanda diberi pos dagang Deshima sebagai balas jasa atas bantuannya selama perang.

Matsukura Katsuie dipersalahkan karena tindakannya yang sewenang-wenang sehingga memicu pemberontakan tersebut. Ia dipaksa melakukan seppuku (bunuh diri) dan wilayahnya diberikan pada Koriki Tadafusa. Keluarga Terazawa berhasil lolos dari hukuman dan tetap berkuasa, namun berakhir belasan tahun kemudian karena Katataka tidak memiliki pewaris.

Setelah pemberontakan, Shimabara mengalami kerusakan besar dalam infrastuktur daerahnya dan populasinya juga menurun drastis. Untuk itu pemerintah mentransmigasikan penduduk dari wilayah lain untuk menempati wilayah tersebut dan menggarap tanah-tanah yang terlantar. Agama Buddha dipromosikan secara besar-besaran di wilayah itu. Penduduk wajib mendaftarkan diri di kuil-kuil lokal di mana para biksu harus memastikan keyakinannya.

68 4.3.6 Dampak Pemberontakan Shimabara

Dampak yang paling berpengaruh bagi Jepang pasca pemberontakan Shimabara adalah politik Sokaku yakni suatu kebijakan yang dilakukan pemerintah Bakufu untuk menutup negara Jepang dari segala bentuk hubungan dengan pihak asing. Meskipun politik Sokaku ini dijalankan akan tetapi dalam kenyataannya para pedagang dari luar terutama dari Cina dan Belanda masih tetap melakukan perdagangan dengan pihak Jepang,

Ada dua alasan para pedagang Cina diizinkan berdagang dengan Jepang antara lain :

- Dalam menjalin hubungan perdagangan dengan Jepang, para pedagang Cina harus mematuhi peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah Jepang. Perdagangan antara Cina dengan Jepang hanya boleh dilakukan dengan pedagang-pedagang Cina yang telah mendapat izin dan dengan pengawasan yang ketat.

- Perdagangan dengan Cina diizinkan karena Jepang mendapatkan banyak mengimpor barang dari Cina terutama sutera.

Dalam melakukan hubungan perdagangan dengan Cina, pemerintah Jepang terpaksa melakukan pengawasan yang ketat karena dikhawatirkan adanya pemasukan kitab-kitab agama Kristen dan buku-buku pengetahuan Barat yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Cina.

Negara lain yang diizinkan oleh pemerintah Jepang untuk melakukan hubungan perdagangan adalah Belanda. Ada dua alasan pemerintah Jepang mengizinkan Belanda melakukan hubungan perdagangan, antara lain :

69

- Hubungan perdagangan Jepang dengan Belanda dapat terjalin karena para pedagang Belanda datang ke Jepang bertujuan untuk mencari keuntungan semata. Mereka tidak tertarik untuk menyebarkan agama Kristen dan lebih tertarik terhadap keuntungan yang diperoleh dari perdagangan tersebut. - Alasan kedua pemerintah Jepang menjalin hubungan dengan pihak Belanda

adalah sebagai bentuk balas jasa yang dilakukan Belanda dalam membantu pemberontakan Shimabara

Meskipun Belanda memperoleh izin melakukan perdagangan dengan Jepang, akan tetapi pengawasan dan peraturan masih dilakukan secara ketat apalagi hal-hal yang berhubungan dengan keagamaan. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, pemerintah Jepang memindahkan pos perdagangan Belanda dari Hirado ke pulau Deshima di pelabuhan Nagasaki, karena dari tempat tersebut mereka lebih mudah diawasi.

Kebijakan dalam negeri yang dilakukan pemerintah Jepang dalam menjalankan politik Sokaku adalah pembuatan kapal-kapal Jepang dibatasi hanya pada kapal-kapal pantai yang tidak layak untuk pelayaran samudera. Akibatnya kapal-kapal dagang Jepang hanya terdiri dari kapal-kapal kecil untuk perdagangan antar pulau di laut dalam kepulauan Jepang saja. Kebijakan lain dalam menjalankan politik Sokaku adalah melarang orang-orang Jepang yang berada di luar Jepang untuk masuk ke negara Jepang, hal itu disebabkan karena kekhawatiran pemerintah Jepang kalau mereka telah terpengaruh oleh budaya asing terutama Kristen.

70

Tujuan pemerintah melakukan politik Sokaku ini adalah untuk memperkokoh sistem masyarakat feodal dan menghindarkan diri dari gangguan-gangguan yang ditimbulkan oleh pengaruh budaya asing terutama agama Kristen. Penutupan hubungan ini berlangsung pada tahun 1639 sampai tahun 1864. Akibat dari adanya politik ini adalah :

1. Putusnya hubungan Jepang dengan luar negeri 2. Pesatnya perdagangan dalam negeri

3. Tertinggalnya kemajuan masyarakat 4. Masyarakat feodal berlangsung lama

Pemberontakan Shimabara yang terjadi pada tahun 1637-1638 memberikan dampak yang sangat besar bagi Jepang terutama dalam hubungan internasional yang menutup negaranya selama dua abad lebih, kehidupan bangsa Jepang terisolasi dan terpencil dari hubungan-hubungan asing.

Dokumen terkait