• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.3.4 Jalannya Pemberontakan Shimabara

Semenanjung Shimabara dan pulau Amakusa merupakan tempat tinggal bagi ribuan penganut agama Kristen. Muncul dan berkembangnya agama Kristen di wilayah tersebut berkat jasa dari seorang missionaris Luis d Ameida dan usahanya yang didukung oleh daimyo Kristen yang pada saat itu sedang berkuasa yaitu Konishi Yukinaga.

Setelah Konishi dikalahkan oleh Tokugawa Ieyasu, penguasaan wilayah beralih tangan kepada Matsukura Shigemasa, seorang daimyo (penguasa daerah) yang menekan masyarakat lapisan bawah khususnya para petani yang beragama Kristen. Salah satu bentuk tekanan yang dilakukan daimyo Matsukura Shigemasa

61

adalah pemberlakuan pajak yang sangat tinggi kepada masing-masing kepala keluarga terutama petani yang setiap tahunnya menghasilkan tanaman padi dan gandum. Setiap petani dipaksa menyerahkan 80 % hasil panennya kepada daimyo tersebut. Jumlah ini dua kali lipat lebih besar dari jumlah pajak yang biasa diberlakukan yakni 40%. Pemberlakuan pajak ini berlanjut bahkan lebih keras lagi setelah Matsukura Shigemasa meninggal dan digantikan oleh anaknya yang bernama Matsukura Katsuie.

Ada dua alasan Matsukura Katsuie memberlakuan pajak dengan sangat tinggi Pertama, pajak digunakan untuk membiayai proyek-proyek domestik yakni pembangunan istana. Kedua, pajak juga digunakan untuk membayar hutang daimyo Matsukura Shigemasa yang telah meminjam modal kepada para pedagang di Sakai, Hirado dan Nagasaki untuk biaya penyerangan ke pulau Luzon, Filipina yang dianggap sebagai basis dari penyebaran agama Kristen ke Jepang, akan tetapi penyerangan ini dibatalkan oleh shogun dengan pertimbangan ketidaksiapan Jepang karena situasi di dalam negerinya belum stabil.

Daimyo lain yang sama dengan Matsukura Shigemasa adalah Terazawa Hirotaka, penguasa di pulau Amakusa yang memberlakukan pajak dengan sangat tinggi kepada masyarakat di wilayahnya. Pada tahun 1633, Terazawa Katataka bekerjasama dengan keluarga Matsukura menyiksa para petani yang tidak mampu membayar pajak. Adapun untuk penyiksaan tersebut antara lain :

- memasukan tubuh yang telah ditelanjangi ke dalam air panas di puncak gunung Unzen

62

- Orang yang mendapat siksaan dipakaikan baju yang terbuat dari jerami kemudian dibakar hidup-hidup. Penyiksaan seperti ini dikenal dengan nama

mini odori atau baju jerami menari. Gambaran penyiksaan ini dijelaskan oleh

salah satu administrator Belanda di Hirado yang bernama Nicholas Koecbacker. (http://www.keikyo.com/museums/museums/kumamoto/amakusa_shiro/. 2006)

Penindasan serta siksaan lain yang dilakukan oleh penguasa terhadap masyarakat Jepang Kristen dapat diketahui dari kesaksian salah satu pedagang Inggris yang bernama Richard Cooks yang digambarkan dalam laporannya sebagai berikut :

I saw fifty five of them martyred at one time at Miyako. Among them were little children of five or six years, burned alive in the arms of mother of their mothers, who cried ‘Jesus, receive their souls!’ There are many in the prison who hourly await death, for very few return to their idolatry.

(Sansom, 1984 :41)

Terjemah :

“ saya melihat lima-puluh lima martyred dalam suatu waktu di Miyako. Diantara mereka ada beberapa anak kecil yang berusia sekitar lima atau enam tahun, yang dibakar hidup-hidup di kedua tangan ibunya, yang menangis dan berteriak ‘Jesus terimalah jiwa mereka’ Beberapa dari mereka yang berada di penjara hanya menunggu kematian, yang beberapa saat akan kembali kepada yang dipujanya”

Hidup dalam garis kemiskinan, tidak adanya toleransi, ketidakadilan dari penguasa beserta para pegawainya membuat para petani mengharapkan datangnya seorang juru selamat. Mereka percaya bahwa segala penderitaannya akan segera berakhir dalam waktu dekat dengan munculnya seorang penyelamat.

Alasan masyarakat Jepang yang beragama Kristen mampu bertahan dari siksaan, tekanan dan penindasan, adalah doktrin agama Kristen yang sudah

63

melekat pada diri masyarakat di wilayah Amakusa dan Shimabara yang menyatakan bahwa “ barang siapa percaya kepada ajaran Kristen maka ia akan

diselamatkan oleh keadilan Tuhan. tetapi tidak ada seseorang pun yang percaya kepada agama lain akan diselamatkan“.

Franciscus Xavier (missionaris pertama yang tinggal di Jepang) meramalkan dalam bukunya yang dikenal dengan nama Suekagami yang mengatakan bahwa “Dalam dua puluh tahun atau lebih, tirani akan musnah dan

seorang anak yang memiliki keajaiban akan muncul untuk menyelamatkan dunia, langit di sebelah timur dan Barat akan berubah merah dan pohon-pohon yang mati akan ditutupi oleh bunga-bunga sakura. Jika orang-orang memberikan segala sesuatunya pada Kristen termasuk hatinya maka mereka diizinkan untuk menikmati kedamaian yang abadi”. ( board/palungjit.com/archieve/index.php/t-91036.html. 2006)

Ramalan dari Franciscus Xavier terjawab dengan munculnya seorang juru selamat yang bernama Matsuda Shiro Tokisada atau yang biasa dikenal dengan nama Amakusa Shiro, seorang remaja kharismatik yang berusia 16 tahun yang tidak hanya memiliki penampilan dan pengetahuan yang baik akan tetapi ia dianggap sebagai “Anak Tuhan” yang akan membebaskan masyarakat Jepang Kristen dari segala bentuk tekanan penguasa setempat.

Pemberontakan dimulai dengan ditangkapnya 16 orang petani dan dijatuhi hukuman mati karena berdoa kepada Tuhan Yesus. Hal ini membangkitkan kemarahan rakyat, kemudian mereka menyerang dan membunuh petugas pajak. Dengan menggunakan senjata yang sederhana yang terdiri dari penggaruk jerami,

64

pedang dan batu, para pemberontak menyerang dan masuk ke kota Shimabara dan berhasil membunuh 13 bangsawan, pegawai pengadilan beserta para bawahan-bawahannya.

Sama halnya dengan yang terjadi di Shimabara, orang-orang Kristen di pulau Amakusa juga mengangkat senjata dan mengepung dua istana milik keluarga Terazawa yakni istana Hondo dan Tomioka. Ketika kedua istana tersebut dalam kondisi kritis, pasukan pemerintah yang didatangkan dari wilayah lain di pulau Kyushu tiba dan berhasil memukul mundur kaum pemberontak. Pengepungan yang dipimpin oleh Amakusa Shiro terhadap istana Shimabara juga berhasil dipatahkan. Mereka mundur dan mengkonsolidasi kekuatan di reruntuhan istana Hara yang merupakan istana bekas Arima Harunobu ketika berkuasa.

Jumlah pemberontak yang berkumpul di istana Hara mencapai 35.000 orang mereka meliputi para ronin, para petani, serta rakyat sipil termasuk wanita, anak-anak dan orangtua.

(http://militaryhistory.about.com/od/battleswars16011800/p/shimabara.htm, 2007). Di istana Hara mereka membangun pertahanan yang kokoh. Persenjataan, amunisi dan persediaan makanan sudah cukup memadai, sebagian besar diperoleh dari hasil penjarahan di gudang-gudang milik keluarga Matsukura.

4.3.5 Beberapa Usaha Yang Dilakukan Untuk Menumpas Pemberontakan

Dokumen terkait