Sebagian besar anggota Arso Tunggal menilai Djoko Murwono sebagai orang yang memiliki kelebihan, baik secara spiritual maupun intelektual. Djurianto Prabowo, sarjana pertanian yang menjadi anggota garda paguyuban ini, mengakui bahwa Djoko Murwono memiliki kelebihan spiritual sekaligus intelektualitas yang melebihi orang-orang kebanyakan. “Dia mampu menggabungkan dua kelebihan itu, sehingga pengeta-huannya di bidang spiritual bisa dikembangkan menjadi karya-karya nyata yang bermanfaat bagi kemanusiaan. Dia bisa meng-eksplorasi kearifan-kearifan lokal Jawa untuk dikembangkan ke dalam penelitian-penelitian ilmiah yang menghasilkan obat-obatan alternatif dan pertanian organik,” katanya.
Pertemuan Djurianto dengan Djoko Murwono berawal dari pertemanannya dengan Herujati yang sudah lebih dulu bergabung dengan Arso Tunggal sejak tahun 1980-an. Dari Herujati, dia mendapat cerita tentang pemikiran Djoko yang sering melawan arus, aneh-aneh, dan unik. Cerita yang mirip dia peroleh pula dari istrinya yang mengajar di Fakultas Teknologi Pertanian Unika Soegijapranata Semarang, tempat Djoko Murwono ketika itu juga mengajar. Kesan istrinya, Djoko Murwono orang pintar tapi agak kasar (kalau berbicara ceplas-ceplos dan sangat berterus terang).
“Ketika anak ketiga kami lahir banyak dibantu dengan obat-obat herbal dari Pak Djoko, dan saya merasa anak ini sehat, baik kondisinya. Tapi, waktu itu saya belum kontak langsung dengan Pak Djoko. Baru setelah itu, saya diajak Mas Herujati ke Plamongan (rumah Djoko Murwono), ngobrol ngalor-ngidul. Saya merasa orang ini punya komitmen serius untuk masyarakat petani dan membuat obat murah tapi efektif. Mulailah tahun 2002-an saya bergabung dengan Arso Tunggal,” kata
Tahun 2004, Djurianto mendapat kecelakaan yang me-nyebabkan gegar otak ringan. Saat itu, dia ditangani langsung oleh Djoko Murwono, selain juga mengonsumsi obat BIP dan albumin (nanas dicampur telur ayam kampung, dikocok, di-biarkan 10-15 menit, dicampur dengan stansol). Ternyata, kese-hatan dia cepat pulih.
“Pak Djoko itu kalau menjelaskan sesuatu, misalnya tentang kitab suci dan pengetahuan, bisa komprehensif. Biasa-nya, orang lain menjelaskan hal-hal semacam itu hanya dari disiplin ilmu mereka sendiri, tapi Pak Djoko itu lintas disiplin, misalnya menjelaskan tanah yang banyak dimasuki pupuk kimia, maka unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman menjadi kurang, NPK (nitrogen, pospat, kalium) tidak terserap. Akibat-nya, tanaman, padi, menjadi miskin kandungan P-Akibat-nya, padahal pospat diperlukan untuk proses metabolisme tubuh manusia.”
Eryono, prajurit Arso Tunggal di pos Ketapang Kaliman-tan, menjelaskan bahwa ia bergabung dengan paguyuban ini berawal dari kesembuhan penyakit kanker yang diderita anak-nya. Beberapa tahun yang lalu, anaknya dinyatakan terkena kanker dan harus dioperasi di Jakarta. Pada saat yang hampir bersamaan, ia mendapat informasi bahwa di Semarang ada Paguyuban Arso Tunggal yang mengadakan pengobatan alter-natif. Ia kemudian memutuskan untuk membawa anaknya itu ke Arso Tunggal. Setelah mendapat terapi dan minum obat dari paguyuban ini, ternyata anaknya sembuh. Sejak saat itu, Eryono bergabung dengan Arso Tunggal hingga menjadi prajurit seka-rang. Menurit Eryono, Djoko Murwono memiliki kelebihan, selain kelebihan di bidang spiritual juga kelebihan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi pengobatan dan pertanian.
Prajurit yang lain, Subiyanto menjelaskan, bahwa Djoko Murwono mampu menerjemahkan laku ke dalam karya nyata
kemanusiaan. Pada awalnya, menurut Subiyanto yang berga-bung dengan Arso Tunggal sejak tahun 1994 ini, kegiatan Djoko Murwono banyak bersifat olah kebatinan. Olah kebatinan itu, kemudian dikembangkan menjadi kegiatan yang bertujuan membantu masyarakat melalui pengobatan dan pertanian alternatif. “Banyak hal yang membuktikan, bahwa Pak Djoko memang memiliki kekuatan spiritual, namun kekuatan itu tidak berhenti pada sekadar krenteg atau karep, melainkan dilakukan ke dalam karya nyata,” katanya.
Romo Sebastian, romo yang melayani jemaat Gereja Katolik Gedangan, Semarang, dalam wawancara dengan penulis (4 Januari 2010) menyebut Djoko Murwono sebagai seorang intelektual. Romo yang pernah menulis kertas kerja tentang kegiatan pengobatan yang dilakukan Arso Tunggal melalui klinik Hati Kudus ini berpendapat, selain dilatarbelakangi budaya Jawa, Djoko juga dipengaruhi oleh nilai-nilai Katolik yang pernah diperoleh ketika belajar di seminari. Bagi dia, gerakan yang dilakukan Djoko lewat Paguyuban Arso Tunggal lebih bersifat intelektual daripada spiritual.
Menurut Romo Sebastian, kelemahan Djoko Murwono justru terletak pada pendiriannya yang sangat kuat dan keras, sehingga terkesan tidak mudah menerima pendapat orang lain. Dalam banyak hal, Djoko sangat teguh pada kebenaran yang ia yakini, sehingga kadang-kadang terkesan memaksakan kehen-dak.
Komentar yang mirip dengan komentar Romo Sebastian, disampaikan Edi Suhandoyo, pengelola Pusat Pelatihan Peternakan di Dusun Kwayuhan, Desa Sendangmulyo, Godean, Yogyakarta. Sudah berpuluh-puluh tahun, Edi bekerja sama dengan Djoko mengembangkan budidaya lele dan ayam, meng-gunakan teknologi Arso Tunggal. Menurut Edi, Djoko Murwono sangat teguh memegang pendirian, namun justru
karena itulah ia senang bekerja sama. “Bagi saya, yang penting mengikuti arahannya saja. Kita harus menghormati beliau sebagai orang yang sudah sepuh dan berpengalaman, meskipun dalam pelaksanaan, kami bisa saja melakukan modifikasi,” katanya.
Adapun sebagian besar mahasiswa Teknik Kimia Undip yang sedang mengikuti mata kuliah yang diampu Djoko Murwono (Matematika Kimia atau MTK dan Fenomena Perpindahan atau Fenper) maupun yang sudah lulus, juga menyebut Djoko sebagai dosen dengan tingkat intelektualitas tinggi. Sebagian di antara mereka bahkan menyebut Djoko jenius. Mahasiswa-mahasiswa tersebut mem-buat account
facebook “Ir. R.P. Djoko Murwono S.U. Fans Club,” sebagai
forum tukar-menukar pikiran, gagasan, dan bahkan kritikan dan sindiran terhadap Djoko, baik dalam wall maupun
discussion. Sampai 8 September 2010 pukul 23.00 WIB, anggota
account tersebut mencapai 501. Selain di facebook, komentar
tentang Djoko Murwono juga dapat dijumpai di blog. (lihat komentar-komentar tersebut di lampiran).
Gambar 1:
Djoko Murwono dan mahasiswanya.
Mengenai forum tersebut, Djoko menanggapi, “Bagi saya, forum semacam itu malah bagus. Itu forum demokratis. Mahasiswa silakan mau ngomong apa saja, saya tidak akan marah. Kalau ada yang berkomentar saya membodoh-bodohkan ya biar saja, agar mereka menjadi pinter.” Menurut dia, men-didik mahasiswa tidak sekadar mengajarkan untuk hafal suatu mata kuliah, melainkan harus mendidik mereka untuk mampu mencipta sesuatu. Untuk bisa mencipta, maka mahasiswa harus dilatih menjadi orang yang kritis dan account facebook itu salah satu forum yang memberi ruang agar mahasiswa berani kritis.
Pada tahun 1980-an, ketika berusia 30 tahun, Djoko merasa batinnya mulai “digoyang” oleh Tuhan Yang Maha Esa, yang selalu ia sapa dengan sebutan “Juragan.” Inti “goyangan” itu berupa permintaan agar dia meninggalkan hal-hal duniawi, memperdalam dan menitikberatkan pada hal-hal spiritual untuk menolong sesama manusia. Pada awalnya muncul keragu-raguan karena hal itu berarti hilangnya kebebasannya.
Pada saat itu, ketika undian berhadiah (lotere, perjudian) masih diperbolehkan di Indonesia, misalnya Nalo, Porkas, dan SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah), banyak orang yang datang ke rumah Djoko Murwono, meminta ramalan nomor buntut. Pada awalnya, dia melayani permintaan orang-orang yang ingin menang judi tersebut.
“Tapi, saya kemudian dimarahi ‘Juragan’ mengapa ke-mampuan saya digunakan untuk itu,” katanya.
Tahun 1984, setelah menyelesaikan pendidikan S-2 di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ia pindah ke Semarang. Saat itulah ia merasa menemukan kematangan, men-dapat pijakan yang benar. Ia kemudian mendirikan Paguyuban Arso Tunggal, dengan titik tolak ingin memayu hayuning
buwana, membuat dunia tersenyum, serasi, semarak, dan lebih bahagia.
Gambar 2:
Djoko Murwono di Padepokan Arso Tunggal, Jl Bulusan Selatan Raya Nomor 111, Semarang:
Kesimpulan
Paguyuban Arso Tunggal bukan perkumpulan kebatinan (seperti yang dikenal dalam gerakan kejawèn), melainkan perkumpulan sosial-budaya. Paguyuban ini menitikberatkan gerakan pada bidang pengobatan, pertanian, dan budaya, berbasis pada budaya dan kearifan lokal Jawa.
Secara garis besar, tujuan Arso Tunggal adalah membantu pemerintah, negara, dan masyarakat Indonesia dalam pengem-bangan bidang pengobatan dan pertanian yang berbasis budaya dan kearifan lokal Jawa. Untuk mencapai tujuan tersebut, paguyuban ini melakukan berbagai usaha sosial, edukasional, dan informasi, agar masyarakat kembali ke alam di bidang pengobatan dan pertanian, dalam rangka menjaga kesehatan secara holistik.
Di bidang pengobatan, usaha-usaha itu dilakukan dengan dasar-dasar pemikiran: ketidakpastian dalam pengobatan model
Barat yang sangat rasional dibandingkan dengan model pengobatan Timur (Jawa) yang sudah teruji; membantu pasien-pasien yang kurang mampu; memadukan pengobatan model Barat dan pengobatan model Timur (terutama untuk mengatasi kebuntuan pengobatan penyakit akibat virus dan kanker) demi kesejahteraan umat manusia.
Dasar pemikiran di bidang pertanian terutama terkait dengan penerapan sistem pertanian modern yang unorganik. Sistem modern tersebut menyebabkan kerusakan tanah, makin ganasnya serangan hama, tingginya biaya produksi budidaya pangan. Selain itu, sistem tersebut juga menurunkan kadar kesehatan umat manusia karena mengonsumsi bahan makanan yang sudah terkontaminasi oleh bahan-bahan kimia. Oleh sebab itu, Arso Tunggal berusaha mengajak pemerintah dan masyara-kat untuk kembali ke alam, ke budaya dan kearifan lokal Jawa.
Untuk menunjang kegiatan pengobatan dan pertanian tersebut, Arso Tunggal melakukan kajian-kajian, eksplorasi, serta pengembangan budaya dan kearifan lokal Jawa. Melalui pertemuan-pertemuan rutin dan kegiatan ritual, pada intinya kegiatan di bidang budaya itu bertujuan mengembalikan manusia pada budaya dan kearifan lokal untuk menangkal pengaruh budaya luar.
Paguyuban Arso Tunggal tidak dapat dilepaskan dari aktor sentral, yaitu Djoko Murwono, yang lahir dari ayah kerabat Keraton Yogyakarta dan ibu kerabat Keraton Surakarta. Perpaduan budaya dua keraton itu membentuk kepribadian Djoko yang teguh pada prinsip dan semangat mengembangkan budaya dan kearifan lokal Jawa. Nilai-nilai budaya dan awa kemudian melandasi gerakan Arso Tunggal dalam pengembangan bidang pengobatan dan pertanian.
Ilmu budaya dan kearifan lokal Jawa yang diperoleh Djoko Murwono dari kakeknya di Keraton Yogyakarta, kemu-dian dipadukan dengan ilmu pengetahuan yang ia peroleh di bangku kuliah, terutama Ilmu Kimia, menghasilkan berbagai penemuan di bidang pengobatan dan pertanian. Berbagai penemuan itu kemudian ia kembangkan melalui Paguyuban Arso Tunggal.
Secara kelembagaan, Paguyuban Arso Tunggal memang tidak besar. Terdapat pula kelemahan dalam berbagai kegiatan-nya, antara lain masih sangat tergantung pada aktor sentral dan belum adanya langkah-langkah regenerasi atau transfer ilmu pengetahuan (di bidang pengobatan dan pertanian; terutama dalam hal riset) yang memadai dari aktor sentral kepada jajaran di bawahnya. Kelemahan itu harus mendapat perhatian serius dari paguyuban ini, agar gerakan yang telah dilakukan tidak berhenti di tengah jalan.