BAB III BENTUK KESALAHAN DAN KELALAIAN KURATOR
C. Beberapa Permasalahan dalam Pengurusan
Kurator dalam menjalankan tugas pengurusan dan pemberesan harta pailit tidak selalu berjalan mulus. Menurut Ave Maria Sihombing, Balai Harta Peninggalan Kota Medan dalam menjalankan tugas dan kewenangannya sebagai
kurator sering menghadapi permasalahan-permasalahan yang dapat menghambat tugas kurator dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit.
Permasalahan yang sering dihadapi oleh Balai Harta Peninggalan Kota Medan dalam melaksanakan tugas pengurusan dan pemberesan harta pailit antara lain sebagai berikut:154
1. Permasalahan Dana
Pada saat melaksanakan tugas pengurusan dan pemberesan harta pailit, tentunya diperlukan dana yang tidak sedikit. Menurut Ave Maria Sihombing, hambatan utama yang dihadapi oleh Balai Harta Peninggalandalam melaksanakan tugasnya sebagai kurator adalah permasalahan dana. Selama kurang lebih 3 (tiga) tahun terakhir Balai Harta Peninggalan Medan tidak menangani perkara kepailitan. Hal ini dikarenakan BHP Medan tidak memiliki kesiapan dana yang cukup untuk melaksanakan pengurusan dan pemberesan harta pailit. Menurutnya, dalam menangani perkara kepailitan dibutuhkan dana yang tidak sedikit, terutama jika kasusnya berada di luar Provinsi Sumatera Utara.
Menurut Ave Maria Sihombing, untuk mengatasi hal tersebut selama ini BHP Medan terpaksa melakukan pinjaman dana dari pihak ketiga yang selanjutnya harus segera dibayarkan setelah dilakukan penjualan harta pailit. Menurutnya, hal tersebut tidak mudah dilakukan, sehingga dalam 3 tahun terakhir ini BHP Medan lebih memilih untuk menolak perkara kepailitan yang ditawarkan oleh Pengadilan Niaga, sehingga pada akhirnya perkara kepailitan diberikan
154
Wawancara pada tanggal 12 Juni 2014, dengan Ave Maria Sihombing, Anggota Teknis Hukum Balai Harta Peninggalan Medan
kepada kurator swasta yang memang lebih memiliki kesiapan dana dalam melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit.155
a. Balai Harta Peninggalan 2. Permasalahan Birokratis
Balai Harta Peninggalan adalah lembaga yang terikat pada birokrasi sebagai bagian birokrasi pemerintah, Balai Harta Peninggalan ternyata kurang dapat berperan aktif dalam menjalankan tugas dan fungsinya.Seharusnya Balai Harta Peninggalan bertindak sebagai kurator yang profesional dan memberikan layanan publik yang baik, sehingga baik kreditur maupun debitur merasa memperoleh pelayanan yang baik.
Masalah birokratis ini sangat terasa pada pelakasanaan pemberesan harta pailit yang dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan, khususnya pada pengajuan permohonan kepada Pengadilan, hakim pengawas untuk dapat menjual secara lelang ataupun secara dibawah tangan harta kekayaan debitur pailit sesuai dengan Pasal 185 UUK dan PKPU. Menurut Ave Maria Sihombing, dalam penjualan tersebut harus berpedoman kepada harga yang ditentukan oleh tim penaksir yang terdiri dari 4 instansi yaitu:
b. Pengadilan Niaga setempat
c. Badan Pertanahan Nasional sepanjang mengenai tanah d. Direktorat Tata Bangunan (PU) jika mengenai bangunan.
Harga yang ditentukan oleh 4 instansi tersebut sering kali terjadi perbedaan taksiran harga dalam menentukan aset debitur pailit, untuk mengatasi hambatan tersebut, selama ini Balai Harta Peninggalan melakukan koordinasi dengan Hakim
155
Wawancara pada tanggal 12 Juni 2014, dengan Ave Maria Sihombing, Anggota Teknis Hukum Balai Harta Peninggalan Medan
Pengawas untuk mendapatkan harga terbaik yang memungkinkan untuk penjualan harta pailit.156
Menurut Ave Maria Sihimbing, dalam menjalankan tugasnya Balai Harta Peninggalan menemui beberapa hambatan yuridis, yakni belum adanya ketentuan atau peraturan khusus yang mengatur tentang Balai Harta Peninggalan. Instruksi Balai Harta Peninggalan di Indonesia (Ordonansi tgl 5 Oktober 1872) yang merupakan warisan masa kolonial masih digunakan hingga saat ini, padahal banyak hal-hal yang ada didalamnya yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman.
3. Permasalahan Yuridis
157
156
Wawancara pada tanggal 12 Juni 2014, dengan Ave Maria Sihombing, Anggota Teknis Hukum Balai Harta Peninggalan Medan
157
Wawancara pada tanggal 12 Juni 2014, dengan Ave Maria Sihombing, Anggota Teknis Hukum Balai Harta Peninggalan Medan
UUK dan PKPU, sebagai dasar dan pedoman Balai Harta Peninggalan maupun kurator swasta dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit juga dirasa kurang mendukung pelaksanaan tugas dan kewenangan kurator.Pada pasal 72 undang-undang tersebut dinyatakan, bahwa kurator harus bertanggung jawab atas kelalaian dan kesalahannya yang menimbulkan kerugian terhadap harta pailit, sementara terkadang kelalaian dari hakim pengawas maupun pengadilan yang dapat meyebabkan terhambatnya tugas-tugas kurator.
4. Permasalahan Administratif
Balai Harta Peninggalan, dalam praktek jarang menangani perkara kepailitan dibanding dengan kurator swasta. Hal ini dipengaruhi oleh baberapa faktor seperti terbatasnya subyek yang dilayani, ketidaktahuan masyarakat mengenai peranan dan tugas-tugas Balai Harta Peninggalan, luasnya wilayah kerja yang tidak diimbangi dan ditunjang tersedianya dana operasional yang memadai.
Balai Harta Peninggalan Medan wilayah kerjanya meliputi 8 (delapan) wilayah yaitu: Sumatera Utara, Jambi, Nangroe Aceh Darussallam, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Bengkulu dan Bangka Belitung. Gerak lamban kerja Balai Harta Peninggalan tidak hanya disebabkan cara kerja dari kurator kepailitan, akan tetapi banyak ditentukan oleh faktor dari luar kurator.
5. Permasalahan Sumber Daya Manusia (SDM)
Sumber daya manusia yang dimiliki oleh Balai Harta Peninggalan kurang profesional dibandingkan dengan kurator-kurator swasta, sehingga eksistensi Balai Harta Peninggalan kurang dapat berperan aktif.Selain itu, jumlah pegawai yang dimiliki BHP masih sangat kurang dan diperlukan penambahan jumlah pegawai.Akibatnya, selama ini BHP tidak berani dalam melanjutkan usaha debitur pailit, karena SDM yang dimili BHP masih kurang dalam segi jumlah dan kemampuan dalam menangani kepalitan.
Selama ini, BHP lebih memilih untuk melakukan pemberesan melalui penjualan harta pailit, daripada melanjutkan usaha debitur pailit, karena BHP tidak ingin bertanggung jawab apabila tindakan yang dilakukan dalam melanjutkan usaha debitur pailit ternyata membuat kerugian terhadap harta pailit.
Kurator dari Balai Harta Peninggalan dituntut untuk memiliki keterampilan khusus dan pengetahuan yang memadai yang berkaitan dengan tugas dan kewenangannya karena kadang-kadang dalam praktek terdapat hal-hal yang belum diatur dalam undang-undang maupun peraturan-peraturan pelaksanannya. Mengingat mutu sumber daya manusia di Balai Harta Peninggalan belum memadai, sedangkan kasus-kasus kepailitan cukup banyak, maka di dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, diatur selain Balai Harta Peninggalan, dimungkinkan adanya kurator swasta, jadi munculnya kurator swasta lebih banyak disebabkan karena adanya kekhawatiran bila yang pailit adalah perusahaan besar, Balai Harta Peninggalan tidak mempunyai keahlian yang cukup untuk bertindak sebagai kurator.
Selain hal-hal tersebut, permasalahan yang sering terjadi dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit adalah seringnya debitur tidak dengan sukarela menjalankan putusan pengadilan, misalkan debitur tidak memberi akses data dan informasi atas asetnya yang dinyatakan pailit.Debitur sering kali tidak kooperatif, sehingga menghambat dalam penyelesaian perkara kepailitan, baik yang dilakukan oleh BHP maupun kurator swasta.
BAB IV
TANGGUNG JAWAB KURATOR SECARA PRIBADI ATAS KESALAHAN ATAU KELALAIANNYA DALAM PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT YANG MENYEBABKAN KERUGIAN
A. Perlawanan terhadap Perbuatan Kurator
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK dan PKPU) memberikan hak kepada tiap kreditur, panitia kreditur, maupun debitur pailit untuk mengajukan perlawanan kepada hakim pengawas, atas perbuatan kurator; ataupun untuk meminta kepada hakim pengawas agar mengeluarkan perintah tertulis kepada kurator agar kurator melakukan suatu perbuatan yang sudah dirancangkan.158
Pasal 77 ayat (1) UUK dan PKPU telah memberikan instrumen perlawanan bagi kreditur terhadap kebijakan kurator.Berdasarkan pasal 77 ayat (1) UU UUK dan PKPU dikatakan bahwa setiap kreditur, panitia kreditur, dan debitur pailit dapat mengajukan surat keberatan kepada hakim pengawas terhadap perbuatan yang dilakukan oleh kurator atau memohon kepada hakim pengawas untuk mengeluarkan surat perintah agar kurator melakukan perbuatan tertentu atau tidak melakukan perbuatan yang sudah direncanakan. Hakim pengawas harus menyampaikan surat keberatan tersebut kepada kurator paling lambat 3 hari
158
setelah surat keberatan diterimanya. 159 Adapun, kurator harus memberikan
tanggapan kepada hakim pengawas atas surat keberatan tersebut paling lambat 3 hari setelah surat keberatan tersebut diterimanya.160Setelah itu, hakim pengawas
harus memberikan penetapan paling lambat 3 hari setelah tanggapan dari kurator sudah diterima oleh hakim pengawas.161
Pasal 78 ayat (2) UUK dan PKPU menegaskan kembali, bahwa kurator bertanggung jawab kepada debitur pailit dan kreditur. Oleh karena itu, maka tidak adanya kuasa dari hakim pengawas, atas suatu perbuatan yang mensyaratkan diperlukannya kuasa tersebut atau tidak diindahkannya ketentuan-ketentuan termuat dalam Pasal 75 dan Pasal 76 UUK dan PKPU tidak mempengaruhi sahnya perbuatan yang dilakukan oleh kurator terhadap pihak ketiga.162
Tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh debitur maupun kreditur terhadap tindakan/perbuatan dari kurator yang merugikan keduanya yaitu kreditur atau debitur dapat mengajukan perlawanan atau meminta penggantian kurator kepada hakim pengawas. Selain itu, kreditur maupun debitur dapat melakukan gugatan secara perdata maupun pidana dengan dasar gugatan Perbuatan Melawan Hukum karena tugas dan wewenang kuraror telah diatur dalam UUK dan PKPU. Hal ini dilakukan untuk meminta ganti kerugian secara materiil atas tindakan yang telah dilakukan oleh kurator sesuai dengan kewajiban fiduaciary duties yang merupakan kewajiban terhadap pengadilan yang diwakili oleh hakim pengawas, debitur pailit, para kreditur.
159
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 77 ayat (2)
160
Ibid., Pasal 77 ayat (3) 161
Ibid., Pasal 77 ayat (4) 162
Pada saat kurator yang melakukan perbuatan melawan hukum digugat seseorang, misalnya oleh para kreditur, maka penggugat (para kreditur) tidak perlu meminta izin kepada hakim pengawas, karena hubungan hukum yang ada hanyalah antara kurator dan hakim pengawas, namun jika kurator yang melakukan gugatan, maka harus ada penetapan dari hakim pengawas.163
Kurator harus melaksanakan kewenangannya dengan sebaik-baiknya, hal ini juga berguna bagi kurator yang bersangkutan agar tidak dapat dituntut karena merugikan harta pailit.Seorang kurator bertanggung jawab secara pribadi, jika melakukan tindakan yang merugikan harta pailit, dan kerugian yang ditimbulkannya dapat dimintakan penggantian kepada harta pribadi kurator.Oleh karena itu, dalam rangka melaksanakan kewenangannya, khususnya dalam hal harta pailit lebih besar dari utang, maka kurator haruslah memperhatikan batasan- batasan yang ada dalam melaksanakan kewenangannya.164
163
Wawancara pada tanggal 12 Juni 2014, dengan Ave Maria Sihombing, Anggota Teknis Hukum Balai Harta Peninggalan Medan
164
Fennieka Kristianto, Kewenangan Menggugat Pailit dalam Perjanjian Kredit Sindikasi
(Jakarta: Minerva Athena Pressindo, 2009), hlm. 38. B. Tanggung Jawab Kurator secara Pribadi
Pengertian mengenai tanggung jawab di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan:
1. Keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan dan diperkarakan);
2. Fungsi menerima pembebanan, sebagai akibat sikap tindak sendiri atau pihak lain.
Ada dua istilah yang menunjuk padapertanggungjawaban yaitu liability
dan responsibility.Liability merupakan istilah hukum yang luas yang menunjuk hampir semua karakter risiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung atau yang mungkin meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang. Responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, dan termasuk putusan, ketrampilan, kemampuan dan kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang dilaksanakan.Istilah liability, dalam pengertian dan penggunaan praktis menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah responsibility menunjuk pada pertanggungjawaban politik.165
Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut:166
1. Tanggung jawab karena kesalahan (liability based on fault);
2. Praduga selalu bertanggung jawab (presumption of liability);
3. Praduga selalu tidak bertanggung jawab (presumption of nonliability);
4. Tanggung jawab mutlak (strict liability);
5. Pembatasan tanggung jawab (limitation of liability).
165
Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 335-337.
166
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 92.
Prinsip-prinsip tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:167
1. Prinsip Tanggung Jawab Karena Kesalahan (liability based on fault)
Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability based on fault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam KUHPerdata, khususnya Pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh.
Prinsip ini menyatakan, dimana seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum, jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya.Dalam sistem hukum perdata misalnya, ada prinsip perbuatan melawan hukum (onrehtmatige daad) sebagai mana terdapat dalam Pasal 1365 KUHPerdata.
Pasal 1365 KUHPerdata yang dikenal sebagai pasal tentang Perbuatan Melawan Hukum mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu:
a. Adanya perbuatan; b. Adanya unsur kesalahan; c. Adanya kerugian yang diderita;
d. Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.
Yang dimaksud kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum.Pengertian “hukum”, tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat.168
167
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia,2006) , hlm. 73
168
Secara common sense, asas tanggung jawab ini dapat diterima karena adalah adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban, dengan kata lain, tidak adil jika orang yang tidak bersalah harus mengganti kerugian yang diderita orang lain.169
2. Prinsip Praduga untuk Selalu Bertanggung Jawab (presumption of liability principle)
Prinsip ini menyatakantergugat selalu dianggap bertanggung jawab (presumption of liability principle), jadi beban pembuktian ada pada si tergugat.170
Dasar pemikiran dari Teori Pembalikan Beban Pembuktian adalah seseorang dianggap bersalah, sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya.Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah
(presumption of innocence) yang lazim dikenal dalam hukum.
Tampak beban pembuktian terbalik (omkering van bewijslas) diterima dalam prinsip tersebut.Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengadopsi pembuktian terbalik ini, yang ditegaskan dalam Pasal 19, 22, dan 23 UUPK.
171
3. Prinsip Praduga untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab (presumption of nonliability principle)
Prinsip ini menyatakan tergugat tidak selamanya bertanggung jawab.Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption of nonliability
169 Ibid. 170 Ibid.,hlm..94. 171 Ibid., hlm 95
principle) hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas, dan pembatasan demikian biasanya common sense dapat dibenarkan.172
Contoh dari penerapan prinsip ini adalah pada hukum
pengangkutan.Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/bagasi tangan yang biasanya dibawa dan diawasi si penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang, dalam hal ini, pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat diminta pertanggungjawabannya.173
Tanggung jawab mutlak atau strict liability, yakni unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar ganti kerugian, ketentuan ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya.
4. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (strict liability)
Prinsip ini merupakan kebalikan dari prinsip pertama, yaitu liability based on fault. Prinsip ini menyatakan, tergugat harus bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen tanpa harus membuktikan ada atau tidaknya kesalahan pada dirinya.
174
Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability),kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan kedua terminologi di atas.175
172 Shidarta, Op.Cit., hlm. 62-63. 173 Ibid., hlm. 95-96. 174
Abdul Halim Barkatulah, Op.Cit.,hlm. 65. 175
Ada pendapat yang mengatakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun, ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force majeure.Sebaliknya, absolute liability
adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya.
Selain itu, ada pandangan yang agak mirip, yang mengaitkan perbedaan keduanya pada ada atau tidak adanya hubungan kausalitas antara subjek yang bertanggung jawab dan kesalahannya.Pada strict liability, hubungan itu harus ada, sementara pada absolute liability hubungan itu tidak selalu ada.Maksudnya, pada
absolut liability dapat saja tergugat yang dimintai pertanggungjawaban itu bukan pelaku langsung kesalahan tersebut (misalnya dalam kasus bencana alam).176
Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausul eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya.Perjanjian cuci cetak film misalnya, ditentukan, bila film yang ingin dicuci/dicetak itu hilang atau rusak (termasuk akibat kesalahan petugas) maka si konsumen hanya dibatasi ganti kerugian sebesar sepuluh kali harga satu roll film baru.
5. Prinsip Tanggung Jawab dengan Pembatasan (limitation of liability)
177
Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha.Berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999, seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausul yang merugikan
176
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit.,hlm. 96.
177
konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Pembatasan mutlak harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang jelas.178
Tanggung jawab adalah satu prinsip pokok bagi kaum profesional, orang yang profesional sudah dengan sendirinya berarti orang yang bertanggung jawab.Pertama, bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaannya dan terhadap hasilnya, bertanggung jawab menjalankan pekerjaannya sebaik mungkin dan dengan hasil yang memuaskan; dengan kata lain dapat mempertanggungjawabkan tugas pekerjaannya itu berdasarkan tuntutan profesionalitasnya, baik terhadap orang lain yang terkait langsung dengan profesinya maupun terhadap dirinya sendiri. Kedua, bertanggung jawab atas dampak profesinya itu terhadap kehidupan dan kepentingan orang lain khususnya kepentingan orang-orang yang dilayaninya. Pada tingkat dimana profesinya itu membawa kerugian tertentu secara disengaja atau tidak disengaja, maka harus bertanggung jawab atas hal tersebut.Bentuknya bisa bermacam-macam, seperti mengganti kerugian, mundur dari jabatannya dan sebagainya.179
Tanggung jawab kurator dapat dikategorikan sebagai salah satu profesi yang mengandalkan prinsip kehati-hatian.Pada saat menjalankan profesinya, kurator harus mengupayakan semaksimal mungkin atas pengamanan harta pailit dari kerusakan, penyusutan nilai, kecurangan yang mungkin dilakukan oleh debitur dan/atau kreditur, bahkan melakukan tindakan yang dapat meningkatkan nilai boedel pailit.180
178
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit.,hlm. 98
Setiap profesi memiliki resiko profesi yang diemban, dalam profesi kurator, resiko profesi kurator disebutkan dalam Pasal 72 UUK dan PKPU.Kurator bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit.Setiap perbuatan yang merugikan terhadap harta pailit ataupun dalam arti merugikan kepentingan kreditur, baik secara sengaja maupun tidak sengaja oleh kurator, maka kurator harus dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut.
Pasal 72 UUK dan PKPU menentukan bahwa kurator bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalainnya melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan terhadap harta pailit debitur.Ini berarti kurator dalam melakukan pengurusan dan pemberesan tidak dapat bertindak sewenang-wenang, karena apabila ada perbuatan kurator yang merugikan harta pailit, maka harta pribadi kurator turut bertanggung jawab atas perbuatan tersebut.181
Sebagai bentuk pertanggungjawaban kurator, setiap 3 bulan kurator harus menyampaikan laporan kepada hakim pengawas mengenai keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugasnya.Laporan ini bersifat terbuka untuk umum dan dapat dilihat oleh setiap orang secara cuma-cuma.182
Mengenai Pasal 72 UUK dan PKPU, Ave Maria Sihombing, mengatakan bahwa seorang kurator tidak dapat disalahkan dalam melaksanakan pengurusan dan pemberesan harta pailit, apabila dalam melakukan pengurusan dan pemberesan kurator telah mendapatkan izin dari hakim pengawas.Selama ini,
181
Jono,Op.Cit., hlm. 151. 182
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 74 ayat (2)
BHP Medan dalam melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit selalu meminta izin dan berkonsultasi dengan hakim pengawas, sehingga belum pernah ada masalah atau tuntutan hukum baik dari kreditur maupun debitur pailit. Selama ini, dalam menjalankan usaha debitur BHP Medan tidak berani untuk melanjutkan usaha debitur, karena masalah kurang tersedianya sumber daya manusia yang memadai untuk melakukan tugas tersebut, sementara apabila sampai melakukan kesalahan atau kelalaian, maka BHP dapat dikenai pasal 72 UUK dan PKPU.183
Penjelasan Pasal 72 UUK dan PKPU tidak disebutkan batasan dari kesalahan atau kelalaian dalam pemberesan harta pailit, sehingga Pasal 72 mengandung pengertian yang sangat luas. Menurut Ave Maria Sihombing, pada penjelasan Pasal 72 harus diperjelas lagi mengenai prosedur yang dilakukan kurator dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit sehingga kurator tidak lagi merasa takut dalam menjalankan pemberesan harta pailit. Selain itu, bentuk Pembebanan tanggung jawab atas kerugian harta pailit kepada kurator akan membuat kurator menjadi tidak kreatif dalam melaksanakan tugasnya, terutama dalam upaya untuk meningkatkan nilai harta pailit.
Kurator tidak boleh mengabaikan prosedur Standar Profesi Kurator dan Kode Etik Profesi Asosiasi Kurator dalam melaksanakan tugasnya, sehingga dalam menjalankan tugasnya kurator harus sesuai dengan prosedur yang benar.Hal ini untuk menghindari kesalahan atau kelalaian yang dapat terjadi dalam pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit.
183
Wawancara pada tanggal 12 Juni 2014, dengan Ave Maria Sihombing, Anggota Teknis Hukum Balai Harta Peninggalan Medan
kesalahan dan kelalaian kurator dalam Pasal 72 tidak dijelaskan secara rinci dan seharusnya diterjemahakan di dalam UUK dan PKPU.184
Menurut Ave Maria Sihombing, apabila BHP dalam melaksanakan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit melakukan kesalahan atau kelalaian yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit, sepanjang terbukti melakukan