• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Belajar

BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Belajar

Belajar tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, sejak lahir manusia telah memulai usahanya untuk memenuhi kebutuhan dan mengembangkan dirinya. Mengingat pentingnya belajar, para ahli berusaha merumuskan pengertian belajar. Walaupun antara yang satu dengan yang lain berbeda, namun pada prinsipnya adalah sama. Setiap orang mempunyai pandangan yang berbeda tentang belajar, dan pandangan seseorang tentang belajar akan mempengaruhi tindakan-tindakannya yang berhubungan dengan belajar terutama belajar di sekolah. Misalnya seorang guru yang mengartikan belajar sebagai kegiatan menghafalkan fakta akan lain cara mengajarnya dengan guru yang mengartikan bahwa belajar sebagai suatu proses penerapan prinsip (Slameto, 1995: 2).

Banyak teori belajar yang telah disusun oleh para ahli. Setiap teori belajar mempunyai keunggulan dan kelemahan sehingga dalam pelaksanaannya perlu menggabungkan beberapa teori agar saling melengkapi. Beberapa teori yang dapat dijadikan acuan, antara lain:

a. Behavioristik

Belajar merupakan suatu perubahan perilaku yang dapat diamati, yang dipelajari melalui terkaitnya stimulus-stimulus dan respons-respons menurut prinsip-prinsip mekanistik. Jadi, belajar melibatkan terbentuknya hubungan-hubungan tertentu antara satu seri stimulus-stimulus dan respons-respons. Stimulus, yaitu penyebab belajar, adalah agen-agen lingkungan, yang bertindak terhadap suatu organisma, yang menyebabkan organisma itu memberikan respons, atau meningkatkan probabilitas terjadinya respons tertentu. Respons-respons, yaitu akibat-akibat atau efek-efek, merupakan

commit to user

reaksi-reaksi fisik suatu organisma terhadap stimulus eksternal maupun stimulus internal.(Ratna Wilis Dahar, 1989: 19-20)

Dalam bukunya, Gino (1998: 8) menyebutkan bahwa prinsip-prinsip teori Behavioristik yang banyak dipakai di dalam dunia Pendidikan adalah:

1) Proses belajar dapat terjadi apabila si pelajar ikut berperan serta secara

aktif

2) Materi pelajaran dibentuk dalam bentuk unit-unit kecil dan diatur

berdasarkan urutan logis sehingga si pelajar mudah mempelajarinya, karena di sini mereka memerlukan suatu respon tertentu saja

3) Tiap-tiap respon perlu diberi umpan balik secara langsung, sehingga

mereka mengetahui apa respon yang diberikannya itu benar atau salah

4) Setiap kali si pelajar memberikan respon yang benar, ia perlu diberi

penguatan

b. Kognitif

Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu berbentuk tingkah laku yang dapat diamati dan diukur. Teori ini berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi, dan aspek-aspek kejiwaan lainnya. Proses belajar terjadi antara lain mencakup pengaturan stimulus yang diterima dan menyesuaikannya dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki dan terbentuk di dalam pikiran seseorang berdasarkan pemahaman dan pengalaman-pengalaman sebelumnya.

Beberapa tokoh yang mengemukakan tentang teori belajar kognitif, diantaranya yaitu:

1) Piaget

Menurut Piaget, proses belajar akan terjadi jika mengikuti tahap-tahap asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi (penyeimbangan). Proses asimilasi merupakan proses pengintegrasian atau penyatuan informasi baru ke dalam struktur kognitif yang telah dimiliki oleh individu. Proses akomodasi merupakan proses penyesuaian struktur kognitif ke dalam

commit to user

situasi yang baru. Sedangkan proses ekuilibrasi adalah penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.

Perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, yaitu suatu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan syaraf. Semakin bertambah umurnya, maka kemampuan seseorang akan semakin meningkat. Piaget tidak melihat perkembangan kognitif sebagai sesuatu yang dapat didefinisikan secara kuantitatif. Ia menyimpulkan bahwa daya pikir atau kekuatan mental anak yang berbeda usia akan berbeda pula secara kualitatif.

Piaget membagi tahap-tahap perkembangan kognitif yang dialami setiap individu menjadi empat tahap yaitu:

a) Tahap sensori motor (0-2 tahun)

Pertumbuhan kemampuan anak tampak dari kegiatan motorik dan persepsinya yang sederhana.

b) Tahap pra-operasional (2-7 tahun)

Anak telah mampu menggunakan bahasa dalam

mengembangkan konsepnya walaupun masih sangat sederhana.

c) Tahap operasional konkret (7-11 tahun)

Tahap ini merupakan permulaan berpikir rasional yaitu memiliki operasi-operasi logis yang dapat diterapkan pada masalah-masalah konkret saja artinya individu belum dapat berurusan dengan materi-materi yang abstrak.

d) Tahap operasional formal (11/12-18 tahun)

Individu sudah dapat menggunakan operasi-operasi konkretnya untuk membentuk operasi-operasi yang lebih komplek atau sudah dapat berpikir abstrak.

Flavell dalam Ratna Willis Dahar (1989: 155) mengemukakan beberapa karakteristik dari perkembangan pada tahap ini yaitu:

(1) Siswa sudah mampu berpikir Adolesensi yaitu hipotesis-deduktif

yang berarti dapat merumuskan banyak alternatif hipotesis dalam menanggapi masalah dan mencek data terhadap setiap hipotesis

commit to user

untuk membuat keputusan yang layak. Tetapi ia belum mempunyai kemampuan untuk menerima atau menolak hipotesis.

(2) Siswa sudah mampu berpikir proposisional yaitu berpikir yang

tidak hanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang konkret saja.

(3) Siswa mampu berpikir kombinatorial yaitu berpikir yang meliputi

semua kombinasi benda-benda, gagasan-gagasan atau proposisi-proposisi termasuk berpikir abstrak dan konkret dengan menggunakan pola berpikir “kemungkinan”. Metode berpikir

ilmiah dengan tipe hipothetico-deductive dan inductive sudah mulai

dimiliki siswa, dengan kemampuan menarik kesimpulan, menafsirkan, dan mengembangkan hipotesis.

2) Bruner

Dengan teorinya yang disebut free discovery learning, Bruner

mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya.

3) Ausubel

Menurut Ausubel dalam Ratna Willis Dahar (1989: 112) belajar bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Dengan berlangsungnya belajar, dihasilkan perubahan-perubahan dalam sel-sel otak, terutama sel-sel yang telah menyimpan informasi yang mirip dengan informasi yang sedang dipelajari.

c. Konstruktivisme

Konstruktivisme memandang siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuan awal tersebut menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru, sehingga guru atau pendidik bertugas membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan tersebut. Siswa

commit to user

diberi kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan pemikirannya tentang sesuatu yang dihadapinya sehingga siswa akan terbiasa dan terlatih untuk berpikir sendiri, memecahkan masalah yang dihadapinya, bersikap mandiri, kritis, kreatif dan mampu mempertanggungjawabkan pemikirannya secara rasional (Sardiman, 2004: 37).

Belajar merupakan proses mengkonstruksi (membangun) pengetahuan melalui interaksi dengan objek, fenomena, pengetahuan, dan lingkungan. Sehingga diperlukan keaktifan dari masing-masing siswa. Pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja, tetapi harus dibentuk dan dibangun sendiri oleh setiap individu. Pengetahuan bukan merupakan sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang berkembang terus-menerus. Keaktifan seseorang amat berperan dalam perkembangan pengetahuan tersebut.

Dari berbagai teori belajar yang telah diuraikan di atas dapat

disimpulkan bahwa belajar merupakan suatu proses pembentukan

pengetahuan yang memerlukan keaktifan pebelajar dan disesuaikan dengan tahap perkembangan pebelajar.

Dokumen terkait