• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor

DAFTAR LAMPIRAN

1.1. Latar Belakang

Dewasa ini kegiatan privatisasi Badan Usaha Milik Negara atau disingkat BUMN menjadi isu yang sangat kontroversial. Privatisasi BUMN yang banyak dijalankan terutama di negara berkembang sering menimbulkan kontroversi terkait dengan tujuan, motivasi, serta implementasi yang disertai banyak distorsi. Beberapa pemikiran yang muncul mendukung privatisasi sebagai konsep untuk menciptakan perbaikan kinerja dan meningkatkan nilai tambah BUMN, sementara pemikiran lain melihat langkah restrukturisasi BUMN lebih tepat dilakukan untuk menghindarkan efek buruk privatisasi (Pranoto, 2011). Menurut Bastian (2002), peran restrukturisasi pada BUMN di Indonesia selama ini justru dilakukan untuk meningkatkan kemungkinan keberhasilan memprivatisasi BUMN tersebut. Apabila kinerja perusahaan BUMN membaik dengan direstrukturisasi, maka diharapkan proses privatisasi BUMN dapat berjalan dengan lancar dan mencapai target yang ditetapkan oleh pemerintah.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN, privatisasi didefinisikan sebagai penjualan saham persero, baik sebagian maupun seluruhnya kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas kepemilikan saham oleh masyarakat. Penjualan saham tersebut bisa dilakukan melalui mekanisme penawaran umum saham kepada publik (IPO) atau dapat pula dilakukan melalui mekanisme strategic sales,

yaitu menjual langsung ke investor strategis tanpa melalui mekanisme pasar modal.

Pemikiran yang mendukung perubahan status BUMN menjadi perusahaan terbuka, melihat bahwa kinerja BUMN akan menjadi lebih baik jika perusahaan tersebut menjadi perusahaan publik. Dengan menjadi perusahaan publik, hal tersebut akan mendorong terciptanya transparansi pada tata kelola perusahaan BUMN. Menurut studi yang dilakukan Bank

Dunia dalam IGCGS (2003), ada beberapa fenomena yang cenderung negatif dalam tubuh BUMN yang belum diprivatisasi, yaitu antara lain:

a. Kebanyakan BUMN menyedot anggaran pemerintah yang sebenarnya bisa dialokasikan untuk pelayanan sosial.

b. Kebanyakan BUMN mengambil kredit untuk investasi yang tidak tepat. c. Kebanyakan BUMN lebih polutif daripada industri swasta.

d. Kebanyakan perbaikan BUMN menghasilkan manfaat dalam mengurangi defisit fiskal.

Bank Dunia juga menilai bahwa para birokrat (pemerintah) tidak mampu mengelola bisnis dengan baik, hal tersebut disebabkan bukan karena birokrat tidak mempunyai kompetensi, akan tetapi karena mereka menghadapi kontradiksi, yaitu apakah mereka berperan sebagai pemain bisnis atau sebagai pelayan publik. Pemerintah yang melakukan privatisasi pada perusahaan milik negara (BUMN) dapat dipastikan memiliki motif tertentu. Menurut Sulistio dalam Soegiharto (2005), privatisasi yang dilakukan oleh perusahaan milik negara akan merubah kultur BUMN tersebut, sehingga BUMN benar-benar berkonsenstrasi untuk mencapai misi utamanya, yakni memaksimalkan kekayaan pemegang saham atau memaksimalkam profit. Dari sisi fiskal pemerintah, hal tersebut berarti akan meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak. Oleh sebab itu menurut Soedjais dalam Soegiharto (2005), secara umum privatisasi yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara sesungguhnya lebih banyak berdampak positif terhadap BUMN yang melakukannya.

Salah satu BUMN yang sudah melakukan privatisasi adalah PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, perseroan melakukan privatisasi melalui Initial Public Offering (IPO) pada tahun 2007. Wijaya Karya merupakan BUMN kedua bidang konstruksi bangunan yang melantai di Bursa Efek Indonesia setelah Adhi Karya ditahun 2004. Sebagai perusahaan yang bergerak pada bisnis jasa konstruksi, perekayasaan dan investasi bidang infrastruktur di Indonesia. Wijaya Karya memiliki visi untuk menjadi perusahaan terkemuka di Asia Tenggara pada tahun 2010. Untuk mencapai visi tersebut, Wijaya Karya harus memperkuat struktur modal agar dapat meluaskan operasi

usahanya hingga ke luar negeri, serta terus mengembangkan kapasitas bisnis

Engineering Procurement and Construction (EPC) sesuai dengan visi misi Wijaya Karya.

Oleh sebab itu, sesuai dengan arsitektur startegi perusahaan yang disebut Road Map to WIKA 2010, maka untuk mengembangkan kapasitas bisnis perseroan tesebut, Wijaya Karya harus melakukan privatisasi melalui

Initial Public Offering (IPO). Dana IPO tersebut diharapkan akan membuat posisi Wijaya Karya semakin kuat, terutama ketika krisis ekonomi dunia mulai memperlihatkan dampaknya di dalam negeri pada waktu itu. Dengan dana segar yang didapat melalui IPO tersebut, perusahaan dapat berinvestasi dan mengembangkan sejumlah proyek infrastruktur (Laporan tahunan Wijaya Karya, 2008). Secara garis besar, privatisasi melalui IPO tersebut merupakan usaha dalam memenuhi kebutuhan modal perseroan. Selain itu privatisasi merupakan bagian dari tahapan yang harus dilakukan agar Wijaya Karya bisa menjadi perusahaan terkemuka sesuai dengan visi perusahaan.

Tabel 1. Laporan Posisi Keuangan Wijaya Karya Sebelum Privatisasi (dalam jutaan rupiah)

Indikator Tahun 2003 2004 2005 2006 Aset lancar 1.105.950 1.610.988 1.700.320 2.246.164 Aset tetap 189.450 213.729 232.092 245.501 Total Aset 1.344.738 1.956.828 2.097.931 2.655.142 Total Hutang 1.100.733 1.622.418 1.718.220 2.197.879 Ekuitas 239.981 292.347 329.383 402.258 Jumlah Hutang dan Ekuitas 1.344.738 1.956.828 2.097.931 2.655.142

Sumber : Laporan Keuangan PT. Wijaya Karya, (Persero) Tbk

Tabel diatas menunjukkan bagaimana posisi keuangan Wijaya Karya sebelum privatisasi melalui IPO dilakukan. Sebelum dilakukannya privatisasi, seluruh kepemilikan saham perseroan masih dikuasai oleh pemerintah 100%. Akan tetapi setalah privatisasi dilakukan, komposisi kepemilikan saham perseroan menjadi berubah, saham yang dimiliki oleh pemerintah berkurang

menjadi 68,4% sedangkan sisanya dikuasai oleh publik sebesar 31,6%. Berdasarkan prospektus yang diterbitkan untuk Penawaran Umum pada tanggal 29 Oktober 2007, perolehan dana hasil penawaran umum setelah dikurangi biaya emisi tercatat sebesar Rp 759,59 miliar. Hasil dana yang didapat melalui IPO disalurkan ke berbagai pos belanja sesuai dengan kebutuhan perseroan. Jumlah dana Rp 152 miliar ditargetkan untuk modal kerja proyek, lalu Rp 304 miliar akan disalurkan sebagai modal kerja proyek di luar negeri dan EPC, serta jumlah dana sebesar Rp 303,59 miliar akan digunakan untuk investasi dan pengembangan proyek infrastruktur. Hingga 30 September 2009, seluruh dana hasil penawaran umum telah digunakan 100% sesuai dengan rencana dan telah dilaporkan kepada Bapepam–LK, melalui surat No. SE.01.01/A.DIR.0952/2010 tertanggal 22 Juni 2010 yang merupakan laporan final penggunaan dana hasil penawaran umum.

Keputusan Wijaya Karya dalam melakukan privatisasi melalui IPO merupakan suatu keputusan yang kompleks, hal tersebut dikarenakan privatisasi melalui IPO dapat memunculkan adanya kerugian dan biaya baru, sehingga hal tersebut dapat menggagalkan cita-cita perseroan. Selain itu keputusan sebuah perusahaan baik BUMN maupun perusahaan milik swasta untuk menjadi perusahaan publik merupakan suatu keputusan yang penuh dengan pertimbangan dan perhitungan. Karena dengan menjadi perusahaan publik, maka perusahaan tersebut akan dihadapkan pada beberapa konsekuensi langsung baik yang bersifat menguntungkan maupun yang merugikan. Disamping biaya yang harus ditanggung setelah menjadi perusahaan publik, perseroan juga akan mendapat tekanan untuk meningkatkan performansi dan membayarkan deviden kepada pemegang saham yang jumlahnya bertambah. Untuk itu harus diwaspadai bahwa keberhasilan pada jangka panjang mungkin akan terancam bila manajemen dipaksakan untuk mengejar tujuan jangka pendek pemegang saham (Sitompul, 2004).

Salah satu indikator terpenting untuk mengetahui pengaruh privatisasi melalui IPO yang dilakukan Wijaya Karya adalah dengan menganalisa kinerja keuangan BUMN tersebut. Berdasarkan uraian diatas, maka akan

menarik untuk diadakan penelitian mengenai pengaruh privatisasi melalui IPO yang diakukan Wijaya Karya terhadap kinerja keuangannya. Kinerja keuangan perseoran dapat dinilai melalui laporan keuangan yang dikeluarkan oleh perusahaan, berdasarkan laporan keuangan tersebut maka dapat dihitung sejumlah rasio keuangan yang lazim dijadikan dasar penilaian kinerja perusahan. Rasio yang digunakan dalam penelitian ini meliputi kinerja profitabilitas (return on equity dan return on assets), likuiditas (cash ratio dan

current ratio), aktivitas (total asset turnover dan total modal sendiri terhadap total aset), dan solvabilitas (debt to equity ratio dan debt to total assets) sesuai dengan keputusan Menteri BUMN No KEP-100/MBU/2002 tentang tata cara pengukuran tingkat kesehatan BUMN di Indonesia.

Dokumen terkait