• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan di bidang kesehatan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari pembangunan kesejahteraan bangsa secara berkesinambungan, terus-menerus dilakukan oleh bangsa Indonesia untuk menggapai cita-cita luhur yakni terciptanya masyarakat yang adil dan makmur baik spiritual maupun material. Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 2004 mengamanatkan perlunya meningkatkan mutu sumber daya manusia dan lingkungan yang saling mendukung melalui pendekatan paradigma sehat, dengan memberikan prioritas pada upaya peningkatan kesehatan, pencegahan, pemulihan dan rehabilitasi. Pokok-pokok pemikiran dalam GBHN tersebut merupakan dasar untuk mengembangkan rencana Pembangunan Indonesia Sehat 2010 (Darmanto, 1999).

Perkembangan industri di Indonesia sekarang ini berlangsung sangat pesat seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Proses industrialisasi masyarakat Indonesia makin cepat dengan berdirinya perusahaan dan tempat kerja yang beraneka ragam. Perkembangan industri yang pesat ini diiringi pula oleh adanya risiko bahaya yang lebih besar dan beraneka ragam karena adanya alih teknologi dimana penggunaan mesin dan peralatan kerja yang semakin kompleks untuk mendukung berjalannya proses produksi. Hal ini dapat menimbulkan masalah kesehatan dan keselamatan kerja (Novianto, 2010).

Perkembangan industri di indonesia terutama industri informal harus didukung dengan peningkatan perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) para pekerjanya. Hal ini didasari oleh fakta bahwasanya banyak sektor industri informal memiliki tingkat risiko kecelakaan kerja yang cukup tinggi. Banyaknya kecelakaan yang terjadi di sektor informal seperti kebakaran, peledakan, pencemaran lingkungan, dan lainnya menyebabkan industri sektor informal memiliki potensi bahaya tinggi terhadap kejadian kecelakaan kerja. (Tebay, 2011)

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) merupakan suatu upaya untuk menekan atau mengurangi resiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja terhadap pekerja yang berkaitan dengan alat kerja, bahan dan proses pengolahan, tempat kerja dan lingkungannya serta cara-cara melakukan pekerjaannya. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) baik sekarang maupun di masa mendatang merupakan sarana menciptakan situasi kerja yang aman, nyaman dan sehat, ramah lingkungan sehingga mendorong efisiensi dan produktivitas yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan semua pihak, bagi pekerja maupun pengusaha (Suma’mur 2009).

Seseorang dapat bekerja dengan baik maka perlu kenyamanan lingkungan tempat kerja, karena lingkungan fisik yang tidak nyaman terutama bekerja pada lingkungan panas dapat mempengaruhi lingkungan pekerja. Ketidaknyamanan iklim kerja fisik mengakibatkan perubahan fungsional pada organ tubuh manusia. Kondisi panas yang berlebihan mengakibatkan rasa letih, kantuk, mengurangi kestabilan dan meningkatkan angka kesalahan kerja. Suhu panas berakibat

3

menurunnya prestasi kerja fikir dan penurunan sangat hebat sesudah 32ºC. Suhu panas mengurangi kelincahan, memperpanjang waktu reaksi dan waktu pengambilan keputusan, mengganggu kecermatan otak, mengganggu koordinasi saraf perasa dan saraf motoris (Suma’mur, 2009).

Menurut Siswantara (2006) pekerja di dalam lingkungan kerja panas dapat mengalami tekanan panas. Panas yang dihasilkan selama proses produksi akan menyebar ke seluruh lingkungan kerja, sehingga mengakibatkan suhu udara di lingkungan kerja juga meningkat. Iklim kerja yang panas mempunyai dampak negatif terhadap respon fisiologis pekerja sehingga diperlukan pekerja yang sehat, muda dan sudah beraklimatisasi untuk bekerja didalamnya. Asupan air dan garam yang cukup merupakan salah satu bentuk pengendalian selain itu perlu juga penyesuaian beban kerja dengan ketentuan yang diperkenankan.

Suhu yang nyaman bagi pekerja sekitar 200C dan 270C dan dalam situasi humiditas berkisar 35% sampai 60%. Apabila temperatur dan humiditas lebih tinggi, orang akan merasa tidak nyaman. Situasi ini tidak menimbulkan kerugian selama tubuh dapat beradaptasi dengan panas yang terjadi. Lingkungan yang sangat panas dapat mengganggu mekanisme penyesuaian tubuh dan berlanjut kepada kondisi serius dan bahkan fatal (CCOHS, 2001).

Apabila suhu lingkungan tinggi (lebih tinggi daripada suhu tubuh normal), maka akan menyebabkan terjadinya peningkatan suhu tubuh karena tubuh menerima panas dari lingkungan. Sedangkan hal yang sebaliknya terjadi, yaitu bila suhu lingkungan rendah (lebih rendah daripada suhu tubuh normal), maka panas tubuh akan keluar melalui evaporasi dan ekspirasi sehingga tubuh dapat

mengalami kehilangan panas. Fenomena interaksi tubuh manusia dengan temperatur lingkungan disebut dengan heat stress. Heat stress dapat menimbulkan efek negatif berupa gangguan psikologis dan gangguan fisiologis bagi tenaga kerja. Gangguan fisiologis berupa meningkatnya kapasitas pembuluh darah yang mengakibatkan penurunan tekanan darah. Penurunan tekanan darah dapat menyebabkan lemah dan pusing sehingga produktivitas pekerja menurun. Meningkatnya pengeluaran keringat yang merupakan mekanisme penguapan tubuh dapat menyebabkan temperatur tubuh menurun. Apabila heat stress tidak dilakukan upaya pengendaliannya dapat mengakibatkan kedaruratan heat stress yaitu : heat rash, heat cramps, heat exhaustion dan heat stroke (OSHA, 1997).

Pemerintah telah membuat Undang-Undang Keselamatan dan Kesehatan Kerja khususnya pada Permenaker No : Per 13/Men/X/2011 tentang Nilai Ambang Batas (NAB) faktor fisika di lingkungan kerja. Dalam peraturan tersebut berisi tentang standar suhu lingkungan berdasarkan kategori beban kerja dan pola istirahat kerja yang dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu. Dengan adanya Nilai Ambang Batas (NAB) faktor fisika di lingkungan kerja maka tingginya potensi bahaya pada lingkungan kerja panas tersebut dapat diperhatikan dan dikendalikan agar kondisi keselamatan dan kesehatan pekerja tetap terjaga.

Hasil penelitian Santoso (2008) dipabrik tahu di Kecamatan Ciputat didapatkan rata-rata hasil Indeks Suhu Bola Basah (ISBB) lingkungan kerja 31º dengan beban kerja sedang. Dibandingkan standar iklim kerja Per 13/Men/X/2011

5

hasil ini sudah melebihi NAB. Hal ini cukup berpotensi untuk meningkatkan suhu tubuh pekerja. Dari hasil pengukuran suhu tubuh 8 pekerja didapatkan 2 pekerja yang memiliki suhu tubuh 37,6ºC, sehingga 2 pekerja tidak ada/sedikit terkena dampak paparan panas.

Salah satu kondisi lingkungan kerja yang berpotensi menimbulkan dampak bahaya terhadap kesehatan pekerja pabrik tahu adalah iklim kerja panas. Dari penelitian yang telah dilakukan oleh Santoso (2008) dalam standar kategori

Physiological Strain Index suhu tersebut sudah termasuk kategori Heat Strain

ringan, dimana pekerja mulai mengeluhkan pusing, kelelahan, dan banyak berkeringat. Dari hasil wawancara ternyata rata-rata pekerja juga mengeluhkan hal tersebut.

Pabrik Tahu Sumedang Desa Sukorejo merupakan sektor informal yang bergerak pada bidang usaha pembuatan tahu sumedang. Diketahui bahwa pekerja di pabrik pembuatan tahu sumedang sebanyak 25 orang, yaitu 17 orang diproses pembuatan tahu, 6 orang dibagian penggorengan, 1 orang mensortir tahu yang sudah masak, dan 1 orang dibagian kasir. Jam kerja mulai dari jam 08.00 – 18.00 WIB dengan istirahat pukul 12.30 – 14.00 WIB.Waktu kerja pekerja yang terlalu lama yaitu lebih dari 8 jam sehari dengan tekanan panas yang besar berisiko bagi pekerja untuk mengalami heat strain.

Survei awal yang dilakukan ada pekerja yang tidak memakai baju pada saat bekerja dengan alasan keadaan lingkungan yang panas. Pekerja mulai mengeluhkan pusing, kelelahan, merasa cepat haus dan banyak berkeringat. Hal

ini adalah tanda-tanda dari gejala heat strain, apabila dibiarkan maka dapat mengakibatkan penyakit akibat kerja.

Luas tempat kerja kira-kira 11 x 4 meter persegi, 1 gudang penyimpanan berbentuk persegi panjang dengan luas kira-kira 4 x 5 meter persegi dan 1 ruang penggorengan tahu dengan luas kira-kira 4 x 7 meter persegi. Lantai pabrik tahu terbuat dari semen dan atap terbuat dari seng. Pabrik ini memiliki beberapa perangkat kerja yang membantu produksi tahu. Pabrik tahu ini mempunyai 3 buah kompor dan kuali pemanas, 1 buah mesin giling keledai, 2 set pemotong tahu, dan sekitar 20 pencetak tahu. Lokasi kerja berada disatu tempat yang sama sehingga semua pekerja terkena dampak dari paparan panas.

Pekerja melakukan proses produksi di pabrik tahu sumedang melewati berbagai tahapan seperti pemilihan bahan baku, pencucian, perendaman, penggilingan, perebusan, penyaringan, pemberian larutan obat/cuka, pencetakan dan penggorengan. Dalam setiap proses tersebut pekerja berhubungan langsung dengan paparan panas, selain itu tempat kerja yang tidak menggunakan bahan-bahan yang dapat mengurangi panas dan perilaku pekerja dalam bekerja kemungkinan pekerja akan mengalami heat strain yang dapat mempengaruhi produktivitas kerja, kesehatan pekerja dan gangguan kenyamanan dalam melakukan pekerjaan.

Sumber panas di lingkungan kerja berasal dari proses pembuatan tahu dan panas matahari. Proses pembuatan tahu khususnya perebusan dan penggorengan pada saat memasak ada yang menggunakan kayu bakar, ini menyebabkan suhu panas menjadi naik. Ketel uap yang proses pembakarannya menggunaka kayu

7

bakar juga menjadi sumber panas yang memberikan paparan panas terhadap pekerja.

Berdasarkan latar belakang dan hasil survei awal yang dilakukan oleh peneliti, maka peneliti ingin melakukan penelitian dengan judul “Gejala Heat

Strain Akibat Paparan Panas Pada Pekerja di Pabrik Tahu Sumedang Medan

Polonia tahun 2015”.

Dokumen terkait