• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gejala Heat Strain Akibat Paparan Panas pada Pekerja di Pabrik Tahu Sumedang Kecamatan Medan Polonia Tahun 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gejala Heat Strain Akibat Paparan Panas pada Pekerja di Pabrik Tahu Sumedang Kecamatan Medan Polonia Tahun 2015"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

PEDOMAN KUESIONER PENELITIAN

Karakteristik responden

1. Jenis Kelamin :

2. Usia :

3. Apakah anda sedang sakit? :

4. Suhu tubuh :

5. Denyut nadi ( hitungan permenit) :

Kuesioner Gejala Heat Strain

1. Apakah anda sering mengalami nyeri otot? a. Ya

b. Tidak

- Jika jawaban Ya :

1. Dapat menjadi berat biasanya pada tangan

2. Dapat menjadi berat biasanya pada tangan dan perut 3. Mungkin dengan gangguan hebat atau kejang otot - Jika jawaban Tidak, lanjut ke pertanyaan selanjutnya 2. Apakah proses pernafasan anda sering terganggu?

a. Ya b. Tidak

(4)

1. Berubah cepat

2. Berubah menjadi lebih cepat

3. Nafas dalam pada awal kemudian dangkal (sesak napas) - Jika jawaban Tidak, lanjut ke pertanyaan selanjutnya 3. Denyut nadi berubah?

a. Ya b. Tidak

- Jika jawaban Ya :

1. Berubah menjadi lebih cepat 2. Menurun

3. Menurun dengan cepat

4. Apakah anda mengalami kelemahan? a. Ya

b. Tidak

- Jika jawaban Ya :

1. Melemah pada bagian tertentu 2. Melemah seluruh tubuh

3. Berat parah hingga susah bergerak

- Jika jawaban Tidak, lanjut ke pertanyaan selanjutnya 5. Apakah kondisi kulit anda berubah?

a. Ya b. Tidak

(5)

1. Hangat dan lembab

2. Dingin hingga lembab panas 3. Kering dan panas

- Jika jawaban Tidak, lanjut ke pertanyaan selanjutnya 6. Apakah anda banyak mengeluarkan keringat?

a. Ya b. Tidak

- Jika jawaban Ya : 1. Lebih banyak 2. Banyak

3. Sedikit atau tidak sama sekali

- Jika jawaban Tidak, lanjut ke pertanyaan selanjutnya 7. Apakah and amerasakan seperti akan hilang kesadaran?

a. Ya b. Tidak

- Jika jawaban Ya :

1. Performa berkurang, kadang – kadang pusing 2. Sakit kepala, pusing seperti ingin pingsan

3. Kebingungan, kekuatan menurun, hilang kesadaran

(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)

Gambar 1. Pekerja memindahkan kedelai dari karung kedalam tong

Gambar 2. Penampungan air yang digunakan untuk mencuci kedelai

Gambar 3. Pencucian kedelai oleh pekerja

(16)

Gambar 5. Pekerja mengganti tong penampung hasil penggilingan

Gambar 6. Pekerja menuangkan hasil penggilingan

Gambar 7. Bubur Kedelai yang direbus

(17)

Gambar 9. Pencampuran larutan obat ke dalam pati hasil penyaringan air tahu

Gambar 10. Pekerja menuang air tahu ke pencetakan

Gambar 11. Pekerja menutup cetakan yang telah berisi

(18)

Gambar 13. Wajan penggorengan

(19)

DAFTAR PUSTAKA

ACGIH.2001. Heat Stress and Strain.

http://www.worksafe.org/images/contentEdit/docs/ACGIH%heat%20stres s%207th%20edition.pdf. Diakses 12 Mei 2015.

Almatsier, S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama

Alpaugh, E.L. 1988. Temperature Extreme, Revised by Theodore J. Hogan, PhD, CIH, dalam Fundamentals of Industrial Hygiene, Third Edition Edited by Plong, Barbara A. MPH, CIH, CSP, National Safety Council.

Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta.

Bernard, T.E. 2002. Heat Stress and its Effect in Glass Factory Workers of Central India. International Journal of Engineering Research of Technology (IJERT. ISSN; 2278-0181. Vol. 1 Issue 8, October 2012). Berry, Cherie, Allen McNeely and Kevin Beauregard. 2011. A Guide to

Preventing Heat Stress and Cold Stress. N.C. Department of Labor Occupational Safety and Health Program.

CCOHS (Canadian Centre for Occupational Health and Safety).Hot Environments-Health Effects, Ontario, September, 2001.Diakses 11Mei 2015.

Darmanto, R. 1999. Kesehatan Kerja di Perusahaan. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Depkes RI. 2003. Survey Indeks Masa Tubuh (IMT) Pengumpulan Status Gizi Orang Dewasa Berdasarkan IMT. Direktorat Bina Gizi Masyarakat.

Gagnon, Daniel. 2011. Exercise-rest cycle do not alter local and whole body heat loss responses. American Journal Physiology.

Ganong, W. F. 2008.Buku ajar fisiologi kedokteran. Alih bahasa: Brahm U. Pendit. Edisi 22. Jakarta: EGC.

Hudson, Joel B. 2003. Heat Stress Control and Heat Casualty Management. Technical Bulletin Medical Department of The Army and Air Force. Hunt, A.P. 2001. Heat Strain, Hydration Status, and Symptoms of Heat Illnes in

(20)

Institute of Health and Biomedical Innovation. Queensland University of Technology.

Khasan, N. A., Rustiadi, T., Annas, M. 2012. Korelasi denyut nadi istirahat dan kapasitas vital paru terhadap kapasitas aerobik. Jurnal of Physical Education, Sport, Health, and Recreations; 4; 161-4.

Kozier, G. 1987. Fundamentals of Nursing. New Jersey : Butterworth Publisher. Kurniawan, A. 2010. Jurnal Kesehatan Vol, IV, NO.2.

Megasari, A, dan Juniani, A.I. 2005. Penerapan Indeks Suhu Basah Bola (ISBB) sebagai Upaya Pencegahan Terjadinya Heat Strain Akibat Paparan Heat Stress. http://www.iips-online.com/Penerapan_ISBB_TL_ITS_ok.pdf. Diakses 22 September 2015.

Moran, D.S, Shitzer, Pandolf. 1998. A Physiological Strain Index To Evaluate Heat Stress. US Army Research Institute Of Environmental Medicine, Natick, Massachusetts.

NIOSH. 1986. Criteria For a Recommended Standart Occupational Exposure to Hot Environments Revised Criteria: U.S Department of Health and Human Services National Institute for Occupational Safety and Health.

Novianto, F. 2010. Analisis Kecelakaan dan Kesehatan Kerja dan Upaya Pencegahannya di Bagian Flooring dengan Pendekatan Risk Assesment PT. Dharma Satya Nusantara Surabaya. Fakultas Teknologi Industri. Skripsi. Jawa Timur : Universitas Pembangunan Nasional.

OSHA. 1997. Guidelines For The Management Of Work in Extremes Of Temperature. Department of Labour Wellington. New Zelland.

Occupational Safety and Health Service (OSHS). 1997. Guidelines For The Management Of Work In Extreme Of Temperature. Occupational Safety and Health Service Department of Labour. Wellington.

Permenaker No Per-13/Men/X/2011 tentang NAB faktor fisika ditempat kerja. Poulton, E.C. 1970. Environment and Human Heat Tolerance. Experimental

Aging Research.

Santoso, T. 2008. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelelahan Kerja Pada Perajin Tahu Di Kelurahan Madegondo, Grogol, Sukoharjo. Thesis. Universitas Diponegoro.

(21)

61

Siswantara, P. 2006. Perbedaan Efek Fisiologis Pada Pekerja Sebelum dan

Sesudah Bekerja di Lingkungan Kerja Panas,

http://journal.unair.ac.id/filerPDF/ KESLING- 2-2.pdf. Diakses 21Mei 2015.

Suma’mur, PK. 2009. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (HIPERKES). Jakarta : Sagung Seto.

Tarwaka. 2015. Ergonomi Untuk Keselamatan, Kesehatan Kerja danProduktivitas. UNIBA PRESS. Cetakan Pertama. Surakarta.Hal. 35; 97-101.

Tebay, D. 2011. Rancangan Teknis Penambangan Batubara Blok Siambul PT. Riau Bara Harum Desa Kelesa, Kabupaten Indragiri Hulu Propinsi Riau. Jurusan Teknik Pertambangan, Fakultas Teknologi Mineral. Skripsi. Yogyakarta : Universitas Pembangunan Nasional Veteran.

Utami, T, N. 2004. Program Intervensi dalam Upaya Pengendalian Tekanan Darah dan Temperatur Tubuh Pekerja Akibat Heat Stress di Instalasi Gizi RS Dr. Pirngadi Medan : Karya Akhir Profesional Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

(22)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui gejala

heat strain akibat paparan panas pada pekerja di Pabrik Tahu Sumedang

Kecamatan Medan Polonia Tahun 2015.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pabrik Tahu Sumedang Kecamatan Medan Polonia dengan pertimbangan pabrik pembuatan tahu sumedang berisiko terkena paparan panas dan belum pernah dilakukan penelitian mengenai gejala heat strain akibat paparan panas pada pekerja di pabrik tersebut.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Mei hingga Agustus 2015.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi adalah semua pekerja yang bekerja di Pabrik Tahu Sumedang Kecamatan Medan Polonia yaitu berjumlah 25 orang.

3.3.2 Sampel

(23)

26

Population. Sehingga jumlah sampel dalam penelitian ini adalah semua pekerja di

Pabrik Tahu Sumedang yang berjumlah sebanyak 25 orang.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

3.4.1 Data Primer

Data primer yaitu data yang dikumpulkan melalui pengukuran langsung di lapangan berupa Indek Suhu Bola Basah (ISBB), suhu badan pekerja, denyut nadi pekerja dan wawancara dengan menggunakan kuesioner kepada para pekerja di Pabrik Tahu Sumedang.

3.4.2 Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari pemilik pabrik tahu sumedang berupa data pekerja dan gambaran umum berdirinya pabrik hingga sekarang.

3.5 Defenisi Operasional

1. Lingkungan kerja adalah keadaan tempat kerja yang dapat mempengaruhi kondisi pekerja pabrik tahu sumedang pada saat bekerja.

2. Proses Kerja adalah kegiatan yang dilakukan selama jam kerja berlangsung oleh pekerja pabrik tahu sumedang.

(24)

dibantu oleh tenaga laboraturium teknik industri. Cara penggunaan alat

Questemp adalah sebagai berikut :

a. Tombol power ditekan

b. Tombol 0C atau 0F ditekan untuk menentukan suhu yang digunakan

c. Tombol globe ditekan untuk menentukan suhu bola

d. Tombol wet bulb ditekan untuk mendapatkan suhu bola basah e. Hasil akan keluar kemudian dicatat

f. Tombol power ditekan kembali untuk mematikan Adapun kategori untuk tekanan panas adalah :

1. Suhu normal yaitu suhu yang tidak melebihi 28,0 ºC

2. Suhu melebihi nilai ambang batas jika suhu melebihi 28,0 ºC

4. Physiological Strain Index adalah pengukuran tingkat kategori heat strain

untuk mengetahui tingkatan heat strain pada pekerja dengan kriteria mengukur suhu tubuh pekerja dan denyut nadi pekerja kemudian dimasukkan dalam rumus sebagai berikut :

PSI = 5 (T – 36,5) / (39,5 – 36,5) + 5 (HR – 60) / (180 – 60)

(25)

28

Pengukuran Physiological Strain Index dari suhu inti tubuh ada berbagai tingkatan, yaitu 0-2 kategori tidak/sedikit, 3-4 kategori rendah, 5-6 kategori sedang, dan 7-8 kategori tinggi.

Cara mengukur suhu tubuh dan denyut nadi adalah sebagai berikut :

a. Suhu tubuh pekerja diukur menggunakan termometer yang dimasukkan kedalam mulut dibawah lidah selama kurang lebih 3 sampai 4 menit, kemudian ambil termometer dan lihat angka yang muncul dibadan termometer. Berdasarkan Moran dkk (1998) suhu yang didapat dari termometer ditambahkan 0,5º.

b. Denyut nadi pekerja diukur menggunakan stopwatch dengan cara meraba pergelangan tangan (arteri radialis). Dengan menggunakan 2 jari yaitu telunjuk dan jari tengah, atau 3 jari, telunjuk, jari tengah dan jari manis jika mengalami kesulitan menggunakan 2 jari. Temukan titik nadi, yaitu nadi radialis dipergelangan tangan di sisi ibu jari. Setelah menemukan denyut nadi, tekan perlahan kemudian hitunglah denyutan selama minimum 30 detik, tetapi idealnya adalah 1 menit. 5. Gejala heat strain adalah reaksi akibat paparan panas yang mempengaruhi

kondisi kesehatan pekerja pabrik tahu sumedang pada saat bekerja. Gejala

heat strain ada 3 tahapan, pertama gejala awal, kedua gejala ringan dan

(26)

Gejala Heat Strain Kriteria Observasi

Heat Strain

Gejala Awal Ringan Berat

Keram otot Ya, dapat menjadi berat biasanya pada

Napas Berubah Cepat Napas dalam pada

awal kemudian dangkal

Denyut nadi Berubah Menurun Menurun cepat

Kelemahan Ya Pada seluruh tubuh Ya (berat parah) Kulit Hangat dan lembab Dingin hingga

lembab panas

Kering dan panas Keringat Lebih banyak Banyak Sedikit atau tidak

sama sekali

(27)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Gambaran Proses Produksi Pabrik Tahu Sumedang Kecamatan Medan

Polonia

Pembuatan tahu sumedang melewati beberapa tahapan. Berikut ini adalah proses-proses pembuatan pabrik tahu sumedang, yaitu :

1. Pemilihan Bahan Baku

Bahan baku pembuatan tahu sumedang ini adalah kacang kedelai yang di impor dari Amerika. Dalam sehari dihabiskan 800 – 1.000 kg kedelai.

2. Perendaman

Kedelai direndam selama satu jam agar mengembang dan selanjutnya digiling untuk menjadi bubur kedelai.

3. Penggilingan

Kedelai yang telah direndam kemudian dimasukkan ke mesin penggilingan dan proses penggilingan membutuhkan air. Bubur kedelai yang telah digiling, ditampung dalam tong plastik untuk kemudian direbus.

4. Perebusan

(28)

5. Penyaringan

Bubur kedelai yang telah selesai di rebus langsung dimasukkan ke dalam saringan kain sutra (tudung), di bawah saringan diletakkan tong plastik untuk menampung air tahu. Hasil penyaringan ini adalah air tahu, sementara ampas tidak digunakan.

6. Pemberian Larutan Obat/Asam Cuka

Air tahu yang telah disaring dicampur dengan larutan obat/asam cuka sambil diaduk. Setelah selesai dicampur dengan larutan obat/asam cuka, air tahu lansgung dituang ke alat pencetakan. Penambahan larutan obat/asam cuka berguna agar air tahu menjadi gumpalan padat pada saat di cetak.

7. Pencetakan

Sebelum proses pencetakan, kain tudung yang digunakan untuk mencetak harus dioleskan minyak makan agar air tahu tidak lengket dikain dan di cetakan. Mekanisme pencetakan tahu secara berurutan, mulai dari pengambilan gumpalan pati tahu dari tong kayu, kemudian dimasukkan ke dalam wadah pencetakan berupa tempat berbahan papan beralaskan kain tudung yang menyaring air dari gumpalan pati tahu, lalu kain tersebut ditutup dan di tekan agar tahu menjadi padat dan tercetak.

8. Pemotongan

(29)

32

penggaris. Setelah pemotongan, sebagian tahu dimasukkan ke wadah pengepakan yang berisi air kemudian direndam satu malam.

9. Penggorengan

Tahu yang telah dicetak dan direndam satu malam kemudian digoreng menggunakan kuali dengan sumber panas berasal dari kayu bakar yang dibantu dengan alat blower agar api tetap menyala dengan besar. Proses penggorengan membutuhkan waktu + 5 menit.

4.2 Gambaran Lingkungan Kerja

Kondisi lingkungan kerja pabrik dengan bangunan terbuka dengan atap seng, dibagian proses pembuatan tahu lantai basah, sedangkan di bagian penggorengan dan penyimpanan tahu yang sudah masak kondisi lantai tanah dan kering. Awal masuk kedalam pabrik disebelah kanan ada bagian penggorengan, disebelah kiri ada tempat penyimpanan tahu yang sudah dimasak. Masuk kedalam ada tempat proses pembuatan tahu dan di ujung kanan ada ketel uap yang digunakan untuk merebus air tahu yang dialirkan melalui pipa. Pabrik ini memiliki beberapa perangkat kerja yaitu 4 buah kuali, 3 buah mesin giling kedelai, 2 set pemotong tahu dan 18 pencetak tahu.

(30)

Pekerja di bagian proses pembuatan tahu memakai sepatu boots dan pekerja di bagian penggorengan dan penyimpanan tahu tidak memakai sepatu boots. Pekerja di bagian proses pembuatan tahu ada yang memakai baju dan ada yang tidak memakai baju. Pekerja yang tidak memakai baju mempunyai alasan tidak memakai baju karena panas dan agar lebih nyaman daripada memakai baju yang basah karena keringat.

Suhu panas di lingkungan kerja berasal dari dua sumber yaitu panas matahari dan panas dari proses pembuatan tahu sumedang. Suhu panas dari proses kerja berasal dari alat-alat yang digunakan dalam pembuatan tahu sumedang seperti ketel uap dan api untuk menggoreng tahu.

Akibat terpapar langsung oleh tekanan panas di lingkungan kerja, pekerja merasa kelelahan, keringat berlebih, terkadang merasa pegal di punggung, tangan, pinggang dan pekerja juga merasa cepat haus. Ini adalah gejala heat strain yang dirasakan oleh pekerja, oleh karena itu pekerja membawa minuman air putih untuk menghilangkan rasa haus.

Pekerja yang paling besar terkena paparan panas adalah pekerja bagian penggorengan dan pekerja yang berada dekat dengan perebusan air tahu. Maka dari itu pekerja pada bagian proses pembuatan tahu banyak yang tidak memakai baju dan lebih banyak mengkonsumsi air putih.

4.3 Karakteristik Responden

(31)

34

responden pada pekerja Pabrik Tahu Sumedang Kecamatan Medan Polonia tahun 2015 dapat dilihat pada tabel 4.1 sebagai berikut :

Tabel 4.1 Distribusi Karakteristik Responden Pekerja Pabrik Tahu Sumedang Kecamatan Medan Polonia Tahun 2015

Karakteristik Responden Jumlah sumedang terbanyak adalah kelompok umur 21 – 30 tahun yaitu 16 orang (64%), Pekerja jenis kelamin laki – laki adalah yang paling banyak yaitu 20 orang (80%) dan perempuan yaitu 5 orang (20%).

4.4 Tekanan Panas

(32)

Suhu pada lingkungan kerja Pabrik Tahu Sumedang Kecamatan Medan Polonia tahun 2015 pada saat dilakukan penelitian dapat dilihat dari tabel berikut:

Tabel 4.2 Distribusi Hasil Pengukuran Tekanan Panas di Pabrik Tahu Sumedang Kecamatan Medan Polonia Tahun 2015

No Titik Pengukuran ISBB

1 Penggorengan 32,95 ºC

2 Pembuatan Tahu 32,07ºC

Sumber : Laboraturium teknologi industri, 2015

Berdasarkan tabel 4.1 diatas, diketahui bahwa tekanan panas dititik penggorengan sebesar 32,95ºC dan tekanan panas dititik pembuatan tahu sebesar 32,07ºC. Cuaca lingkungan ketika peneliti melakukan penelitian memang panas. Semakin panas cuaca maka akan semakin tinggi pula suhu di lingkungan kerja.

4.5 Heat Strain pada Pekerja Pabrik Tahu Sumedang Kecamatan Medan

Polonia

Physiological Strain Index dibagi menjadi 4 kategori yaitu tidak

(33)

36

Tabel 4.3 Physiological Strain Index Pekerja Pabrik Tahu Sumedang Kecamatan Medan Polonia Tahun 2015

Strain N Persentase (%)

Berdasarkan tabel 4.2 di atas, diketahui bahwa hasil Physiological Strain

Index pekerja pabrik tahu sumedang paling banyak adalah kategori rendah

sebanyak 17 orang (68%) dan 2 pekerja di kategorikan tidak ada/sedikit.

Tabel 4.4 Physiological Strain Index Pekerja Pabrik Tahu Sumedang Menurut Bagian Pekerjaan di Kecamatan Medan Polonia Tahun 2015

Strain Penggorengan Pembuatan Tahu

N % N %

Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa pekerja bagian penggorengan ada 2 orang dengan kategori tidak ada/sedikit ada 2 orang (25%), kategori rendah ada 5 orang (62,5%), dan kategori sedang ada 1 orang (12,5%). Sedangkan bagian pembuatan tahu dengan kategori rendah ada 12 orang (70,6%), dan kategori sedang ada 5 orang (29,4%). Dapat disimpulkan bahwa pekerja yang terkena heat

strain paling banyak adalah bagian pembuatan tahu yaitu 12 orang (70,6%)

(34)

4.6 Gejala Heat Strain

Menurut OSHS gejala heat strain yang dapat di observasi ada 7 gejala yaitu keram otot, napas, denyut nadi, kelemahan, kulit, keringat dan tingkat kesadaran. Berdasarkan penelitian dan observasi di pabrik tahu pekerja yang mengalami keram otot ada 13 orang (52%), gangguan pernapasan 15 orang (60%), denyut nadi 21 orang (84%), merasa lemah 11 orang (44%), gangguan kulit 16 orang (64%), keringat 16 orang (64%), kesadaran 6 orang (24%). Maka hasil distribusi frekuensi gejala heat strain dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4.5 Gejala Heat Strain pada Pekerja Pabrik Tahu Sumedang Kecamatan Medan Polonia Tahun 2015

No Gejala N

Berdasarkan tabel 4.3 gejala yang paling banyak dialami pekerja pabrik adalah perubahan denyut nadi sebanyak 21 orang (84%) dan yang paling sedikit adalah gejala tingkat kesadaran yaitu sebanyak 6 orang (24%).

(35)

38

Tabel 4.6 Tingkatan Gejala Keram Otot pada Pekerja Pabrik Tahu

Sumedang Kecamatan Medan Polonia Tahun 2015

No Tingkatan Gejala N Persen (%)

Pekerja yang mengalami gejala keram otot ringan ada 10 orang (40%) dan mengalami gejala awal ada 3 orang (12%). Dari 10 orang pekerja yang mengalami gejala keram otot ringan adalah pekerja bekerja di bagian pembuatan tahu dengan kegiatan yang dilakukan adalah memasukkan kedelai ke mesin penggilingan, memasukkan kedelai yang sudah digiling ketempat perebusan, menyaring air kedelai, mencetak tahu dan memotong tahu. Selama proses kerja ini pekerja selalu berdiri dan banyak melakukan aktifitas gerak. Sedangkan 3 pekerja kategori gejala awal adalah pekerja yang bekerja di proses penggorengan dengan aktifitas kerja menggoreng tahu dapat membuat lengan terasa pegal.

Tabel 4.7 Tingkatan Gejala Kram Otot pada Pekerja Pabrik Tahu Sumedang Menurut Bagian Pekerjaan di Kecamatan Medan Polonia Tahun 2015

(36)

Sedangkan bagian pembuatan tahu pekerja yang mengalami gejala awal ada 2 orang (11,8%), dan gejala ringan ada 8 orang (47,1%). Dapat disimpulkan bahwa pekerja paling banyak mengalami kram otot adalah bagian pembuatan tahu yaitu 8 orang (47,1%) dengan gejala ringan.

Tabel 4.8 Tingkatan Gejala Pernapasan pada Pekerja Pabrik Tahu Sumedang Kecamatan Medan Polonia Tahun 2015

No Tingkatan Gejala N Persen (%)

Pekerja yang mengalami gejala pernapasan ringan ada 8 orang (32%) dan mengalami gejala awal ada 7 orang (28%). Dari 8 orang pekerja yang mengalami gejala pernapasan ringan dan 7 orang dengan gejala awal adalah pekerja bekerja di bagian pembuatan tahu dengan kegiatan yang dilakukan adalah memasukkan kedelai ke mesin penggilingan, memasukkan kedelai yang sudah digiling ketempat perebusan, menyaring air kedelai, mencetak tahu dan memotong tahu. Selama proses kerja ini pekerja selalu berdiri dan banyak melakukan aktifitas gerak.

(37)

40

Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa pekerja bagian penggorengan ada 2 orang mengalami gejala awal (25%), dan gejala ringan ada 1 orang (12,5%). Sedangkan bagian pembuatan tahu pekerja yang mengalami gejala awal ada 5 orang (29,4%), dan gejala ringan ada 7 orang (41,2%). Dapat disimpulkan bahwa pekerja paling banyak mengalami gejala pernapasan adalah bagian pembuatan tahu yaitu 7 orang (41,2%) dengan gejala ringan.

Tabel 4.10 Tingkatan Gejala Perubahan Nadi pada Pekerja Pabrik Tahu Sumedang Kecamatan Medan Polonia Tahun 2015

No Tingkatan Gejala N Persen (%)

1. Tidak ada gejala 4 16

2. Gejala awal 21 84

3. Ringan 0 0

4. Berat 0 0

Total 25 100

(38)

Tabel 4.11 Tingkatan Gejala Perubahan Nadi pada Pekerja Pabrik Tahu Sumedang Menurut Bagian Pekerjaan di Kecamatan Medan Polonia Tahun 2015

Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa pekerja bagian penggorengan ada 4 orang mengalami gejala awal (50%). Sedangkan bagian pembuatan tahu pekerja yang mengalami gejala awal ada 17 orang (100%). Dapat disimpulkan bahwa pekerja yang paling banyak mengalami perubahan nadi adalah pekerja bagian pembuatan tahu yaitu 17 orang (100%) dengan gejala awal.

Tabel 4.12 Tingkatan Gejala Kelemahan pada Pekerja Pabrik Tahu Sumedang Kecamatan Medan Polonia Tahun 2015

(39)

42

Tabel 4.13 Tingkatan Gejala Kelemahan pada Pekerja Pabrik Tahu Sumedang Menurut Bagian Pekerjaan di Kecamatan Medan Polonia Tahun 2015

Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa pekerja bagian penggorengan ada 1 orang mengalami gejala awal (12,5%), dan gejala ringan ada 1 orang (12,5%). Sedangkan bagian pembuatan tahu pekerja yang mengalami gejala awal ada 6 orang (35,3%), dan gejala ringan ada 4 orang (23,5%). Dapat disimpulkan bahwa pekerja bagian pembuatan tahu lebih banyak mengalami kelemahan yaitu 6 orang (35,3%) dengan gejala awal.

Tabel 4.14 Tingkatan Gejala Kondisi Kulit pada Pekerja Pabrik Tahu Sumedang Kecamatan Medan Polonia Tahun 2015

(40)

ketel uap yang digunakan untuk merebus, pekerja selalu berdiri dan banyak melakukan aktifitas gerak.

Tabel 4.15 Tingkatan Gejala Kondisi Kulit pada Pekerja Pabrik Tahu Sumedang Menurut Bagian Pekerjaan di Kecamatan Medan Polonia Tahun 2015

Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa pekerja bagian penggorengan ada 4 orang mengalami gejala awal (50%). Sedangkan bagian pembuatan tahu pekerja yang mengalami gejala awal ada 13 orang (76,5%). Dapat disimpulkan bahwa pekerja bagian pembuatan tahu lebih banyak mengalami gejala kulit yaitu 13 orang (76,5%) dengan gejala awal.

Tabel 4.16 Tingkatan Gejala Keringat pada Pekerja Pabrik Tahu Sumedang Kecamatan Medan Polonia Tahun 2015

No Tingkatan Gejala N Persen (%)

(41)

44

proses kerja pekerja terpapar panas dari uap panas yang dihasilkan dari ketel uap yang digunakan untuk merebus, pekerja selalu berdiri dan banyak melakukan aktifitas gerak.

Tabel 4.17 Tingkatan Gejala Keringat pada Pekerja Pabrik Tahu Sumedang Menurut Bagian Pekerjaan di Kecamatan Medan Polonia Tahun 2015

Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa pekerja bagian penggorengan ada 4 orang mengalami gejala awal (50%). Sedangkan bagian pembuatan tahu pekerja yang mengalami gejala awal ada 12 orang (70,6%). Dapat disimpulkan bahwa pekerja bagian pembuatan tahu paling banyak mengalami gejala keringat yaitu 12 orang (70,6%) dengan gejala awal.

Tabel 4.18 Tingkatan Gejala Kesadaran pada Pekerja Pabrik Tahu Sumedang Kecamatan Medan Polonia Tahun 2015

No Tingkatan Gejala N Persen (%)

(42)

kedelai yang sudah digiling ketempat perebusan, menyaring air kedelai, mencetak tahu dan memotong tahu. Selama proses kerja pekerja terpapar panas dari uap panas yang dihasilkan dari ketel uap yang digunakan untuk merebus, pekerja selalu berdiri dan banyak melakukan aktifitas gerak.

Tabel 4.19 Tingkatan Gejala Kesadaran pada Pekerja Pabrik Tahu Sumedang Menurut Bagian Pekerjaan Kecamatan Medan Polonia Tahun 2015

Gejala Heat Strain

Penggorengan Pembuatan Tahu

N % N %

Tidak ada gejala 7 87,5 12 70,6

Gejala Awal 1 12,5 5 29,4

Ringan 0 0 0 0

Berat 0 0 0 0

Total 8 100 17 100

(43)

BAB V

PEMBAHASAN

5.1 Tekanan Panas

Tekanan panas adalah kombinasi suhu udara, kelembapan udara, kecepatan gerakan dan suhu radiasi (Suma’mur, 2009). Tekanan panas dalam

penelitian ini adalah suhu di lokasi kerja yang diambil dengan dua titik pengukuran yang telah ditentukan. Tekanan panas pada titik 1 sebesar 32,95ºC dan pada titik 2 sebesar 32,07ºC. Suhu paling tinggi adalah pada titik 1 sebesar 32,95ºC. Hal ini, dapat dikarenakan beberapa faktor seperti suhu pada hari tersebut, proses perebusan, proses penggorengan. Dari kedua titik pengukuran tersebut diketahui suhu pada lingkungan kerja telah melebihi ambang batas yang telah ditentukan oleh PER.13/MEN/X/2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja yaitu sebesar 28ºC. Hal ini dapat dikarenakan ada proses penggorengan yang menghasilkan panas, suhu bisa bertambah semakin panas apabila cuaca semakin panas.

(44)

Pekerja yang termasuk dalam kelompok beban kerja sedang sebagian besar adalah pekerja bagian pembuatan tahu. Pekerja pada bagian pembuatan tahu bekerja dalam posisi berdiri sambil melakukan pekerjaan seperti memasukkan kedelai ke mesin penggiling, menyaring air tahu, mencetak tahu dan memotong tahu. Sehingga beban kerja bagian pembuatan tahu lebih berat dibanding pekerja pada bagian lain.

Menurut Berry dkk (2011) pada beban kerja yang tinggi, jantung mengalami kesulitan untuk memenuhi semua tuntutan yang dibutuhkan. Hasilnya akan terjadi peningkatan denyut jantung dan suhu tubuh serta penurunan kemampuan otot. Pengendalian beban kerja harus dilakukan untuk menurunkan tingkat kejadian heat strain pada pekerja pabrik tahu sumedang. Perbaikan posisi kerja ataupun otomatisasi alat dapat menurunkan panas metabolik yang dihasilkan oleh tubuh.

Selain dipengaruhi oleh beban kerja, paparan tekanan panas juga dipengaruhi oleh jam kerja. Durasi kerja merupakan faktor penting untuk dipertimbangkan. Penelitian menggambarkan bahwa lama waktu yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan mempengaruhi kemampuan termoregulasi tubuh (Gagnon, 2011). Saat termoregulasi tubuh terganggu akibat pengaturan jam kerja dan jam istirahat yang tidak seimbang, maka tubuh akan kehilangan kemampuan untuk mempertahankan suhu tubuh saat terpapar lingkungan panas yang akibatnya risiko untuk menerima tekanan panas juga meningkat.

(45)

48

paparan panas yang terus menerus akan menyebabkan kebutuhan cairan tubuh semakin meningkat dan jika tidak terpenuhi akan mengakibatkan dehidrasi pada pekerja.

Faktor panas lingkungan menjadi faktor yang berpengaruh terhadap paparan tekanan panas. Panas lingkungan kerja pada pabrik tahu sumedang bersumber dari mesin perebusan dan api yang dibutuhkan dalam proses penggorengan. Tahap penggorengan, selain harus masak tahu mentah juga harus menyuplai kayu untuk dibakar agar api yang dihasilkan tidak terhenti. Sehingga, selain pekerja selalu berada dekat pada sumber panas, beban kerja yang dilakukan juga cukup besar.

Pekerja yang menerima paparan tekanan panas akan mengalami heat

strain dan akan berdampak serius jika heat strain dibiarkan terjadi antara lain

terhentinya pengeluaran keringat sampai menyebabkan kematian. Paparan tekanan panas yang diterima oleh pekerja harus dikendalikan untuk menurunkan tingkat kejadian heat strain pada pekerja.

5.2 Heat Strain

(46)

Penelitian ini dilakukan di pabrik tahu sumedang di wilayah Kecamatan Medan Polonia. Pengukuran dilakukan dengan mengukur suhu tubuh dan denyut nadi yang diukur saat pekerja melakukan pekerjaan. Peningkatan suhu tubuh dan denyut nadi merupakan indikasi terjadinya heat strain. Heat strain perlu di evaluasi terhadap pekerja karena efek kesehatannya serius. Menurut OSHS (1997) dampak fisik yang ditimbulkan pada seseorang yang mengalami heat strain dapat bervariasi mulai dari keluhan ringan seperti ruam pada kulit atau pingsan sampai situasi yang mengancam kehidupan saat terjadi terhentinya pengeluaran keringat

dan heat stroke.

Pengukuran heat strain dilakukan dengan metode Physiological Strain

Index (PSI) untuk menilai kejadian heat strain secara objektif. Hasil pengukuran

heat strain menggunakan PSI menunjukkan bahwa sebanyak 17 orang (68%)

termasuk kategori heat strain ringan, sebanyak 2 orang (8%) kategori tidak ada/sedikit dan sebanyak 6 orang (24%) kategori sedang.

Pekerja di bagian pembuatan tahu lebih banyak terkena gejala heat strain dibandingkan di bagian penggorengan. Hal ini disebabkan dengan banyaknya aktifitas kerja yang dilakukan di bagian pembuatan tahu sehingga suhu tubuh meningkat dan denyut jantung bertambah cepat akibat lelah. Sedangkan dibagian penggorengan pekerja hanya duduk dan menunggu tahu yang di goreng sampai matang. Di bagian penggorengan pekerja sedikit melakukan aktifitas kerja tetapi lebih dekat dengan sumber panas yaitu panas dari api untuk proses penggorengan.

Pekerja dibagian penggorengan ada yang tidak masuk kategori

(47)

50

bagian kasir. Pekerja tersebut tidak termasuk kategori karena letak tempat pekerja agak sedikit jauh dari sumber panas dan aktifitas kerja yang dilakukan juga sedikit. Pekerja di bagian kasir tempatnya didalam ruangan yang sedikit terbuka dan suhu nya tidak terlalu panas, maka dari itu 2 pekerja tersebut tidak masuk kategori tidak ada/sedikit heat strain.

Bekerja di pabrik tahu sumedang berarti pekerja harus melakukan pekerjaannya di lingkungan panas dan lembap. Kondisi ini jelas dapat memicu terjadinya heat strain. Saat tubuh manusia terpapar oleh tekanan panas dan memproduksi panas hasil metabolisme, total panas yang ada di dalam tubuh akan meningkat. Sistem termoregulasi yang berfungsi untuk mengontrol dan mengurangi panas dalam tubuh dapat mengalami kegagalan atau tidak mampu menangani panas dalam tubuh. Saat kondisi tersebut, tubuh manusia akan mengalami heat strain sebagai respon.

Suhu tubuh pekerja dibawah standar yang disarankan oleh NIOSH (1986) untuk pekerja yang teraklimatisasi yaitu dibawah 38º C, namun berdasarkan hasil perhitungan menggunakan metode Physiological Strain Index (PSI), pekerja dengan suhu tubuh lebih dari 36,5º C sebagai standar suhu tubuh terendah dan menghasilkan nilai indeks 2 sudah termasuk dalam kelompok pekerja yang mengalami heat strain.

Heat strain perlu menjadi perhatian bagi pihak terkait dalam peningkatan

(48)

kejadian heat strain yaitu lebih dari 200 kematian dan 15.000 kasus dalam periode tahun 1999 – 2003. Federal and California Occupational Safety and Health Administrations (OSHA) menempatkan heat strain sebagai heat illness dalam prioritas utama dalam tiga tahun terakhir. Menurut NIOSH (1986) pada tahun 1979 di Amerika, total dari insiden heat strain dengan kehilangan hari kerja paling kecil satu hari diestimasikan sebesar 1.432 kasus.

Dampak jangka pendek yang dapat ditimbulkan adalah menurunnya produktivitas kerja. Menurut Poultan (1970), produktivitas pekerja menurun seiring dengan meningkatnya temperatur lingkungan. Menurunnya produktivitas pekerja ini dapat mengakibatkan kerugian biaya. Dampak jangka panjang yang ditimbulkan akibat heat strain yaitu terhentinya pengeluaran keringat dan dapat menyebabkan kematian. Selain merugikan pekerja, heat strain juga dapat menurunkan produktivitas perusahaan akibat menurunnya kinerja pekerja.

Menurut Bureau of Labor Statistic (2009) estimasi biaya yang dihabiskan untuk satu kejadian heat strain adalah $7.500. Rata – rata upah yang hilang per hari adalah $150 atau setara dengan $100 juta selama periode 5 tahun atau lebih dari $20 juta pertahun. Jumlah tersebut hanya untuk kejadian heat strain yang akut dan belum termasuk kasus heat strain yang sampai menyebabkan kematian (Brown, 2013).

Heat strain paling banyak dialami pekerja bagian pembuatan tahu.

(49)

52

pembuatan tahu yang terkena heat strain. Pekerja di pembuatan tahu bekerja dengan posisi selalu berdiri sambil mengolah kedelai menjadi tahu, sedangkan di penggorengan pekerja hanya duduk sambil menunggu tahu yang digoreng hingga masak.

5.3 Gejala Heat Strain

Gejala umum heat strain yang dirasakan antara lain nyeri otot, peningkatan frekuensi pernapasan, peningkatan denyut nadi, kelemahan, peningkatan suhu kulit, pengeluaran keringat dan penurunan tingkat kesadaran (OSHS, 1997). Hasil observasi gejala heat strain berdasarkan tabel 4.3 diketahui bahwa gejala yang dirasakan oleh pekerja adalah keram otot 13 orang (52%), pernapasan 15 orang (60%), nadi 21 orang (84%), kelemahan 12 orang (48%), kulit 17 orang (68%), keringat 16 orang (64%) dan tingkat kesadaran 6 orang (24%). Pengaruh gejala heat strain di lingkungan kerja dapat mempengaruhi kesehatan dan memberikan keluhan subyektif pada pekerja.

(50)

rasa lelah. Meningkatnya rasa lelah menyebabkan kondisi tubuh menjadi lemas karena berkurangnya energi dari dalam tubuh. Oleh karena itu pekerja harus banyak minum air putih untuk mengganti cairan tubuh yang keluar. Ditambah lagi dengan pemberian waktu istirahat memberikan kesempatan pada otot untuk istirahat dan menurunkan kerja otot, sehingga darah yang beredar dapat membawa asam laktat ke hati (Almatsier, 2004). Gejala ini dapat ditanggulangi dengan melakukan intervensi berupa pemberian air minum dan pengaturan waktu istirahat.

(51)

54

Pekerja yang mengalami kelemahan 12 orang (48%), kulit 17 orang (68%), keringat 16 orang (64%) dan tingkat kesadaran 6 orang (24%) bisa disebabkan karena terpapar panas yang melebihi Nilai Ambang Batas (NAB). Selain itu kelemahan dapat diakibatkan karena faktor usia, jenis kelamin, kondisi kesehatan, beban kerja, waktu istirahat, dan waktu bekerja, serta keadaan perjalanan yaitu waktu perjalanan dari dan ke tempat kerja yang seminimal mungkin dan seaman mungkin berpengaruh terhadap kondisi kesehatan kerja pada umumnya dan kelelahan kerja khususnya (Setyawati, 2007).

Kelemahan terjadi karena ada tekanan panas yang dialami tenaga kerja yang berada ditempat kerja tersebut, hal ini disebabkan oleh panas yang berasal dari lingkungan kerja seperti panas dari ketel uap dan api untuk penggorengan serta tekanan panas dari sinar matahari yang sangat cepat membuat konsentrasi tenaga kerja berkurang dan menguras tenaga sehingga memacu timbulnya perasaan kelelahan. Aktifitas kerja yang dilakukan di lingkungan kerja juga berpengaruh terhadap terjadinya kelemahan.

(52)

pekerja yang terpapar tekanan panas dan pemberian air minum dapat memperbaiki tekanan darah tersebut.

Menurut Megasari dan Juniani (2005), pekerja yang bekerja di lingkungan dengan suhu tinggi, kebutuhan air dan elektrolit sebagai pengganti cairan yang hilang/keringat perlu mendapat perhatian. Selama bekerja satu hari (kurang lebih 8 jam) di lingkungan yang terpapar tekanan panas seorang pekerja dapat kehilangan 1 liter/jam cairan dan elektrolit dalam keringat. Kehilangan ini harus diganti dengan minum air setiap 15-20 menit sebanyak 250 ml.

Bagian paling beresiko terkena gejala heat strain berdasarkan hasil penelitian adalah bagian pembuatan tahu dibandingkan dengan bagian penggorengan. Hal ini disebabkan karena banyaknya aktifitas kerja yang dilakukan dan adanya paparan tekanan panas yang dihasilkan dari panas pada saat proses perebusan.

Pekerja harus membiasakan diri untuk minum air secara teratur dan lebih kepada kebiasaan minum air hanya ketika pekerja merasa haus. Pekerja membutuhkan asupan vitamin C untuk aklimatisasi setelah terpapar panas, dengan memberikan vitamin C setiap hari sangat baik bagi tubuh yang langsung bekerja dalam lingkungan panas selama 4-8 jam sehari, dengan meningkatnya pengeluaran keringat dapat meningkatkan laju aliran darah (Utami, 2004).

(53)

56

(54)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Tekanan panas pada bagian penggorengan pabrik tahu sumedang yaitu 32,95ºC dan suhu pada titik pembuatan tahu yaitu 32,07ºC. Pekerja yang bekerja di titik penggorengan ada 8 orang dan pekerja yang berada di titik pembuatan tahu ada 17 orang.

2. Physiological strain index pada pekerja pabrik tahu sumedang dengan

kategori tidak ada/sedikit ada 2 orang yang bekerja dibagian penggorengan, pekerja dengan kategori rendah ada 17 orang yaitu 5 orang bekerja di bagian penggorengan dan 12 orang bekerja di bagian pembuatan tahu, dan pekerja dengan kategori sedang 6 orang yaitu 1 orang bekerja di bagian penggorengan dan 5 orang bekerja di bagian pembuatan tahu. 3. Gejala heat strain pada pekerja pabrik tahu sumedang yang merasa keram

(55)

58

4. bekerja di bagian penggorengan dan 12 orang bekerja di bagian pembuatan tahu. Dan mengalami penurunan tingkat kesadaran sebanyak 6 orang yaitu 1 orang bekerja di bagian penggorengan dan 5 orang di bagian pembuatan tahu..

5. Bagian pekerjaan yang paling beresiko terkena heat strain adalah bagian pembuatan tahu.

6.2 Saran

1. Melakukan pengendalian untuk mengurangi kejadian heat strain pada pekerja pabrik tahu sumedang yaitu meningkatkan konsumsi air putih pada saat bekerja serta memakai pakaian kerja.

2. Agar pekerja mau mengonsumsi air, pihak pabrik sebaiknya menyediakan dan mewajibkan pekerja untuk meminum air.

(56)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tekanan Panas

2.1.1 Pengertian Tekanan Panas

Tekanan panas adalah batasan kemampuan penerimaan panas yang diterima pekerja dari kontribusi kombinasi metabolisme tubuh akibat melakukan pekerjaan dan faktor lingkungan (seperti temperatur udara, kelembaban, pergerakan udara dan radiasi perpindahan panas) dan pakaian yang digunakan. Pada saat tekanan panas mendekati batas toleransi tubuh, risiko terjadinya kelainan kesehatan menyangkut panas akan meningkat (ACGIH, 2005).

Menurut Suma’mur (2009) cuaca kerja adalah kombinasi dari suhu udara,

kelembaban udara, kecepatan gerakan dan suhu radiasi. Kombinasi keempat faktor itu dihubungkan dengan produksi panas oleh tubuh disebut tekanan panas.

Menurut Santoso (2005), tekanan panas adalah beban iklim kerja yang diterima oleh tubuh manusia. Sedangkan menurut Suma’mur (2009) suhu udara

dapat diukur dengan termometer biasa (termometer suhu kering). Kelembaban udara diukur dengan menggunakan hygrometer. Adapun suhu dan kelembaban dapat diukur bersama sama dengan misalnya menggunakan alat pengukur sling

psychrometer atau arsmanpsychrometer yang juga menunjukkan suhu basah

(57)

9

diukur dengan anemometer, sedangkan kecepatan udara yang kecil dengan suatu

katatermometer. Suhu radiasi diukur dengan suatu termometer bola (globe

thermometer). Panas radiasi adalah energi atau gelombang elektromagnetis yang

panjang gelombangnya lebih dari sinar matahari dan mata tidak peka terhadapnya atau mata tidak dapat melihatnya.

2.1.2 Mekanisme Panas Tubuh

Di dalam kehidupan, tubuh manusia selalu memproduksi panas. Proses dalam menghasilkan panas ini disebut metabolisme. Proses ini pada dasarnya adalah proses oksidasi dari bahan seperti karbohidrat, lemak, protein, yang diatur oleh enzim (Kurniawan, 2010).

Proses metabolisme di dalam tubuh merupakan poses kimiawi, proses ini terus berlangsung supaya kehidupan manusia dapat dipertahankan. Hasil dari metabolisme ini antara lain energi dan panas. Panas yang dihasilkan inilah yang merupakan sumber utama panas tubuh manusia. Dengan demikian panas akan terus terbentuk walaupun dalam keadaan istirahat, selama metabolisme berlangsung (Depkes RI, 2003).

(58)

didapat dari metabolisme tetapi juga dipengaruhi oleh panas lingkungan(Depkes RI, 2003).

Semakin tinggi panas lingkungan semakin besar pula pengaruhnya terhadap suhu tubuh. Sebaliknya semakin rendah suhu lingkungan semakin banyak pula suhu tubuh yang hilang. Dengan kata lain terjadi pertukaran panas antara tubuh manusia yang didapat dari metabolisme dengan tekanan panas yang dirasakan sebagai kondisi panas lingkungan. Selama pertukaran panas ini seimbang, tidak akan menimbulkan gangguan baik performance kerja maupu kesehatan kerja (Depkes RI, 2003).

2.1.3 Dampak Akibat Paparan Panas

Tekanan panas memerlukan upaya tambahan pada anggota tubuh untuk memelihara keseimbangan panas. Menurut Tarwaka (2015) bahwa reaksi fisiologis tubuh (heat strain) oleh karena peningkatan temperatur udara di luar

comfort zone adalah sebagai berikut :

a. Vasodilatasi

b. Denyut jantung meningkat c. Temperatur kulit meningkat

(59)

11

Pemaparan terhadap tekanan panas juga menyebabkan penurunan berat badan. Menurut hasil penelitian Tarwaka (2015) bahwa pekerja yang bekerja selama 8 jam/hari berturut-turut selama 6 minggu, pada ruangan dengan Indeks Suhu Basah Bola (ISBB) antara 32,02-33,010 C menyebabkan kehilangan berat badan sebesar 4,23 %.

Secara lebih rinci gangguan kesehatan akibat pemaparan suhu lingkungan panas yang berlebihan dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Gangguan perilaku dan performansi kerja, seperti terjadinya kelelahan, sering melakukan istirahat curian, dan lain-lain.

b. Dehidrasi, yaitu kehilangan cairan tubuh yang berlebihan yang disebabkan baik oleh pergantian cairan yang tidak cukup maupun karena gangguan kesehatan. Pada kehilangan cairan tubuh < 1,5 % gejalanya tidak nampak, kelelahan muncul lebih awal dan mulut mulai kering.

c. Heat Rash, keadaan seperti biang keringat atau keringat buntat, gatal kulit

akibat kondisi kulit terus basah. Pada kondisi demikian pekerja perlu beristirahat pada tempat yang lebih sejuk dan menggunakan bedak penghilang keringat.

d. Heat Cramps, merupakan kejang-kejang otot tubuh (tangan dan kaki)

akibat keluarnya keringat yang menyebabkan hilangnya garam natrium dari tubuh yang kemungkinan besar disebabkan karena minum terlalu banyak dengan sedikit garam natrium.

e. Head Syncope atau Fainting, keadaan ini disebabkan karena aliran darah

(60)

permukaan kulit atau perifer yang disebabkan karena minum terlalu banyak dengan sedikit garam natrium.

f. Heat Exhaustion, keadaan ini terjadi apabila tubuh kehilangan terlalu

banyak cairan dan atau kehilangan garam. Gejalanya mulut kering, sangat haus,lemah, dan sangat lelah. Gangguan ini biasanya banyak dialami pekerja yang belum beraklimatisasi terhadap suhu udara panas.

2.1.4 Kerugian Karena Tekanan Panas

Pekerja yang mengalami heat strain mengeluh cepat lelah sehingga membutuhkan banyak waktu untuk istirahat dan mencari tempat yang dingin hal ini menyebabkan produktivitas pekerja dalam menjalakannya pekerjaannya menjadi menurun yang merupakan suatu kerugian besar bagi perusahaan. Selain itu pekerja sering mengalami dehidrasi sehingga sering kehilangan fokus dalam bekerja yang dapat menyebabkan kecelakaan kerja. Biaya yang dikeluarkan perusahaan akibat terjadinya kecelakaan sering kali sangat besar. Biaya ini dapat dibagi menjadi biaya langsung meliputi biaya atas Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K), pengobatan, perawatan, biaya angkutan, upah selama tidak mampu bekerja, kompensasi cacat, biaya atas kerusakan bahan, perlengkapan, peralatan, mesin (Suma’mur, 2009).

2.1.5 Pengendalian Tekanan Panas

Menurut Tarwaka (2015) pengendalian terhadap tekanan panas meliputi ssebagai berikut:

(61)

13

Isolasi terhadap benda yang panas akan mencegah keluarnya panas ke lingkungan. Ini dapat dilakukan misalnya dengan membalut pipa yang panas, menutupi tangki yang berisi cairan panas sehingga mengurangi aliran panas yang timbul. Cara ini merupakan cara yang praktis dalam membatasi pemaparan seseorang terhadap panas dan merupakan cara pengendalian yang dianjurkan bila tempat kerja terdapat sumber panas yang sangat tinggi.

b. Tirai radiasi

Tirai radiasi terbuat dari lempengan alumunium, baja anti karat atau dari bahan metal yang permukannya mengkilap.

c. Ventilasi setempat

Ventilasi ini bertujuan untuk mengendalikan panas konveksi yaitu dengan menghisap udara panas.

d. Pendinginan lokal

Pendinginan lokal dilakukan dengan cara mengalirkan udara sejuk ke sekitar pekerja dengan tujuan meggantikan udara yang panas dengan udara yang sejuk dan dialirkan dengan kecepatan tinggi.

e. Ventilasi umum

(62)

f. Pengaturan lama kerja

Pengaturan lama bekerja digunakan untuk menghindari terjadinya gangguan kesehatan akibat terpapar suhu udara yang tinggi, lamanya kerja dan istirahat harus disesuaikan dengan tingkat tekanan panas yang dihadapi oleh pekerja.

2.1.6 Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Heat Strain

Kejadian Heat strain yang terjadi menurut Suma’mur (2009) disebabkan oleh :

1. Faktor Manusia

Kesalahan - kesalahan yang disebabkan oleh pekerja dan karena sikap yang tidak wajar seperti terlalu berani, sembrono, tidak mengindahkan instruksi, kelalaian, melamun, tidak mau bekerja sama, dan kurang sabar. Adapun faktor manusia sebagai berikut :

a. Aklimatisasi

Aklimatisasi adalah suatu proses adaptasi fisiologis yang ditandai dengan adanya pengeluaran keringat yang meningkat, penurunan denyut nadi dan suhu tubuh akibat pembentukan keringat. Aklimatisasi terhadap suhu tinggi merupakan hasil penyesuaian diri seseorang terhadap lingkungannya. Aklimatisasi terhadap panas ditandai dengan penurunan suhu tubuh dan pengeluaran garam dari dalam tubuh.

(63)

15

minggu. Dengan bekerja pada suhu tinggi saja belum bisa menghasilkan aklimatisasi yang sempurna (Siswanto, 1987).

b. Umur

Daya tahan seseorang terhadap panas akan menurun pada umur yang lebih tua. Orang yang lebih tua akan lebih lambat keluar keringatnya dibandingkan dengan orang yang lebih muda. Orang yang lebih tua memerlukan waktu yang lama untuk mengembalikan suhu tubuh menjadi normal setelah terpapar panas. Studi menemukan bahwa 70% dari seluruh penderita tusukan panas (heat stroke), mereka yang berusia lebih dari 60 tahun. Denyut nadi maksimal dari kapasitas kerja yang maksimal berangsur-angsur menurun sesuai dengan bertambahnya umur (WHO, 1969).

c. Jenis Kelamin

Adanya perbedaan kecil aklimatisasi antara laki-laki dan wanita. Wanita tidak dapat beraklimatisasi dengan baik seperti laki-laki. Hal ini dikarenakan mereka mempunyai kapasitas kardiovaskuler yang lebih kecil (WHO, 1969).

2. Faktor Lingkungan

a. Suhu Ruangan

(64)

radiasi, dibuatlah Skala Suhu Efektif Dikoreksi. Namun tetap ada kekurangannya yaitu tidak diperhitungkannya panas hasil metabolisme.

b. Kelembaban Udara

Kelembaban udara yang cukup terutama dalam ruang kerja sangat diperlukan apalagi jika dalam ruangan tersebut panas dan sesak. Pertukaran udara yang cukup

akan menyebabkan kesegaran fisik dari para karyawan. Sebaliknya, pertukaran udara

yang kurang akan dapat menimbulkan rasa pengap sehingga terjadi dehidrasi dan

kelelahan dari para karyawan, sehingga produktivitas pekerja untuk menyelesaikan

tugas-tugasnya menjadi menurun.

c. Ukuran Ruangan

Ukuran ruang kerja, ruang kerja sangat mempengaruhi kinerja karyawan.

Ruang kerja yang sempit akan membuat pegawai sulit bergerak untuk melakukan

aktivitasnya. Ruang kerja karyawan pada dasarnya tidak hanya digunakan untuk

karyawan itu sendiri maupun rekan kerja satu ruang, namun juga akan dimanfaatkan

oleh pihak lain yang datang untuk melakukan koordinasi atau sebagai partner dan

mitra kerja. Oleh karena itu, ruang kerja harus proporsional dengan peran karyawan

dalam organisasi atau perusahaan tersebut. Sebagai contoh, karyawan yang berada

pada departemen humas akan lebih banyak membutuhkan space dibandingkan

dengan karyawan yang bekerja sebagai tenaga operator server.

3. Faktor Mesin dan Peralatan Kerja

a. Pakaian Kerja

(65)

17

tinggi, sering kali tergantung kepada pantulan pakaian yang digunakan (Alpaugh,1988). Efek dari pakaian sulit untuk dikaji sejak terjadinya penurunan kehilangan panas melalui radiasi dan konveksi. Terjadinya penurunan tersebut sangat dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain ketebalan bahan pakaian, warna, dan apakah pakaian tersebut longgar atau tidak.

2.1.7 Indikator Tekanan Panas

Indikator tekanan panas menurut Suma’mur (2009) terdiri dari :

1. Suhu Efektif

Suhu efektif yaitu indeks sensoris tingkat panas (rasa panas) yang dialami oleh seseorang tanpa baju dan bekerja enteng dalam berbagai kombinasi suhu, kelembaban dan kecepatan aliran udara. Kelemahan penggunaan suhu efektif ialah tidak memperhitungkan panas radiasi dan panas metabolisme tubuh. Untuk penyempurnaan pemakaian suhu efektif dengan memperhatikan panas radiasi, dibuat Skala Suhu Efektif Dikoreksi (Corected Effective Themperature Scale), namun tetap saja ada kelemahan pada suhu efektif yaitu tidak diperhitungkannya panas hasil metabolisme tubuh.

2. Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB)

Indeks Suhu Basah dan Bola (Wet Bulb-Globe Temperature Index), yaitu rumus-rumus sebagai berikut :

ISBB = 0,7 x suhu basah + 0,2 x suhu radiasi + 0,1 x suhu kering (untuk bekerja dengan sinar matahari)

(66)

3. Prediksi Kecepatan Keluarnya Keringat Selama 4 Jam

Prediksi kecepatan keluarnya keringat selama 4 jam (Predicted 4 Hour

Sweetrate disingkat P4SR), yaitu banyaknya prediksi keringat keluar selama 4

jam sebagai akibat kombinasi suhu, kelembaban dan kecepatan aliran udara serta panas radiasi. Nilai prediksi ini dapat pula dikoreksi untuk bekerja dengan berpakaian dan juga menurut tingkat kegiatan dalam melakukan pekerjaan.

4. Indeks Belding-Hacth

Indeks Belding-Hacth yaitu kemampuan berkeringat dari orang standar

yaitu orang muda dengan tinggi 170 cm dan berat 154 pond, dalam keadaan sehat dan memiliki kesegaran jasmani, serta beraklimatisasi terhadap panas.

2.1.8 Pengukuran Tekanan Panas

Pengukuran ISBB dilakukan dengan menggunakan Questemp, dimana alat ini dioperasikan secara digital yang meliputi parameter suhu basah, suhu kering, dan suhu radiasi (Tarwaka, 2004).

Cara Kerja :

1. Tombol power ditekan

2. Tombol 0C atau 0F ditekan untuk menentukan suhu yang digunakan

3. Tombol globe ditekan untuk menentukan suhu bola

4. Tombol wet bulb ditekan untuk mendapatkan suhu bola basah 5. Hasil akan keluar kemudian dicatat

(67)

19

Adapun kategori untuk tekanan panas adalah

1. Suhu normal yaitu suhu yang tidak melebihi 28,0 ºC

2. Suhu melebihi nilai ambang batas jika suhu melebihi 28,0 ºC

2.2 Physiological Heat Strain

Metode penilaian heat strain menggunakan Physiological Strain Index (PSI) diperkenalkan pertama kali oleh Moran, Shitzer, dan Pandolf (1998).

Physiological Strain Index (PSI) yang didasarkan pada pengukuran denyut

jantung dan suhu tubuh yang kemudian dimasukkan dalam rumus berikut : PSI = 5 (T - 36,5) / (39,5 – 36,5) + 5 (HR – 60) / (180 – 60)

T dan HR merupakan suhu tubuh dan denyut nadi yang diukur pada waktu kapan saja selama waktu paparan tekanan panas berlangsung. Sedangkan 36,5 dan 180 sebagai standar suhu tubuh denyut jantung tertinggi (Wan, 2006).

Physiological Strain Index (PSI) dihitung saat responden terpapar panas

tanpa harus menunggu sampai paparan berakhir untuk menilai terjadinya heat

strain. Tidak seperti metode lain yang melibatkan banyak indikator, Physiological

Strain Index (PSI) hanya menggunakan dua indikator untuk menghindari

terjadinya kesalahan (Moran, 1998).

Pengukuran heat strain pemantauan suhu inti tubuh (Core Body

Temperature) merupakan pengukuran utama untuk mengevaluasi heat strain.

(68)

ketidakmauan partisipan untuk dilakukan pengukuran dan membatasi aktifitas gerak partisipan. Sehingga beberapa tahun terakhir digunakanlah pengukuran suhu oral, yang secara luas dapat dilakukan terhadap partisipan tanpa menggangu aktifitas normal mereka (Hunt, 2011). Pengukuran suhu oral menurut Bernard (2006) cukup menggambarkan suhu inti tubuh dengan menambahkan 0,5ºC.

Berikut ini tingkat gejala heat strain berdasarkan Physiological Strain

Index (PSI) dalam ukuran suhu tubuh inti menurut Moran dkk (1998):

Tabel 2.1 Pengukuran Physiological Strain Index (PSI) Dari Suhu Inti Tubuh

Strain PSI tºC

Evaluasi heat strain yang terakhir yaitu pemantauan keluhan subjektif yang dialami pekerja. Menurut OSHS (1997) keluhan subjektif pekerja terhadap

heat strain dimulai dengan sakit kepala. Gejala lain juga mungkin timbul yaitu

(69)

21

Tabel 2.2 Gejala Heat Strain Kriteria

Observasi

Heat Strain

Gejala Awal Ringan Berat

Keram otot Ya, dapat menjadi berat biasanya pada

Napas Berubah Cepat Napas dalam pada

awal kemudian dangkal

Denyut nadi Berubah Menurun Menurun cepat

Kelemahan Ya Pada seluruh tubuh Ya (berat parah) Kulit Hangat dan lembab Dingin hingga

lembab panas

Kering dan panas Keringat Lebih banyak Banyak Sedikit atau tidak

sama sekali

Temperatur tubuh adalah keseimbangan antara panas yang dihasilkan dalam tubuh dan panas yang hilang. Tubuh seseorang yang sehat dapat mempertahankan temperature secara tetap terhadap perubahan kondisi lingkungan oleh karena keberadaan organ sistem pengatur tubuh atau thermoregulatory

system yaitu hypothalamus ( Kozier, 1987).

(70)

pengatur suhu. Suhu yang menetap ini akibat keseimbangan antara panas yang dihasilkan di dalam tubuh sebagai akibat metabolisme dan pertukaran panas tubuh dengan lingkungan sekitar (Suma’mur, 2009).

2.3.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Temperatur Tubuh

Faktor-faktor yang mempengaruhi temperatur tubuh yaitu (Kozier, 1987) : a. Usia

Perbedaan usia menyebabkan adanya perbedaan temperatur. Temperatur tubuh rata-rata orang dewasa usia 30-45 tahun adalah 36,7º C - 37,2º C. b. Emosi

Pengaruh emosi menyebabkan perbedaan yang besar terhadap temperatur tubuh. Emosi yang tinggi dapat meningkatkan temperatur tubuh dan dalam keadaan depresi temperatur tubuh berkurang oleh karena menurunnya produksi panas.

c. Latihan

Temperatur tubuh dapat menglami peningkatan karena aktivitas otot, misalnya latihan fisik.

d. Makanan, Minuman dan Alkohol

Makanan panas atau dingin dapat menyebabkan temperatur tidak menetap, contoh makan eskrim dapat menurunkan temperatur mulut sekitar 0,9ºC. e. Lingkungan

(71)

23

2.4 Denyut Nadi

2.4.1 Pengertian Denyut Nadi

Denyut nadi (pulse rate) adalah gelombang yang disalurkan melalui arteri sebagai respons terhadap ejeksi darah dari jantung ke dalam aorta. Denyut nadi juga dapat mewakili detak jantung permenit atau yang dikenal dengan denyut jantung (heart rate). Denyut nadi dihitung tiap menitnya (kali/menit) (Khasan dkk, 2012).

Pemeriksaan denyut nadi sederhana biasanya dilakukan dengan cara palpasi. Denyut nadi paling mudah dirasakan ketika arteri ditekan ringan pada tulang. Beberapa tempat untuk meraba denyut nadi yaitu salah satunya arteri radialis di pergelangan tangan. Frekuensi denyut jantung normal berkisar antara 60 sampai 100 denyut per menit, dengan rata-rata denyutan 75 kali per menit. Frekuensi denyut melambat selama tidur dan dipercepat oleh emosi, olahraga, demam, dan rangsangan lain (Ganong, 2008).

2.4.2 Cara Pengukuran Denyut Nadi

(72)

2.5 Kerangka Penelitian

Adapun kerangka penelitian ini adalah sebagai berikut :

Gambar 2.1 Kerangka Penelitian

Lingkungan Kerja

Proses Kerja

Panas

Pekerja Pembuat Tahu

Heat Strain

(73)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Pembangunan di bidang kesehatan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari pembangunan kesejahteraan bangsa secara berkesinambungan, terus-menerus dilakukan oleh bangsa Indonesia untuk menggapai cita-cita luhur yakni terciptanya masyarakat yang adil dan makmur baik spiritual maupun material. Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 2004 mengamanatkan perlunya meningkatkan mutu sumber daya manusia dan lingkungan yang saling mendukung melalui pendekatan paradigma sehat, dengan memberikan prioritas pada upaya peningkatan kesehatan, pencegahan, pemulihan dan rehabilitasi. Pokok-pokok pemikiran dalam GBHN tersebut merupakan dasar untuk mengembangkan rencana Pembangunan Indonesia Sehat 2010 (Darmanto, 1999).

(74)

Perkembangan industri di indonesia terutama industri informal harus didukung dengan peningkatan perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) para pekerjanya. Hal ini didasari oleh fakta bahwasanya banyak sektor industri informal memiliki tingkat risiko kecelakaan kerja yang cukup tinggi. Banyaknya kecelakaan yang terjadi di sektor informal seperti kebakaran, peledakan, pencemaran lingkungan, dan lainnya menyebabkan industri sektor informal memiliki potensi bahaya tinggi terhadap kejadian kecelakaan kerja. (Tebay, 2011)

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) merupakan suatu upaya untuk menekan atau mengurangi resiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja terhadap pekerja yang berkaitan dengan alat kerja, bahan dan proses pengolahan, tempat kerja dan lingkungannya serta cara-cara melakukan pekerjaannya. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) baik sekarang maupun di masa mendatang merupakan sarana menciptakan situasi kerja yang aman, nyaman dan sehat, ramah lingkungan sehingga mendorong efisiensi dan produktivitas yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan semua pihak, bagi pekerja maupun pengusaha (Suma’mur 2009).

(75)

3

menurunnya prestasi kerja fikir dan penurunan sangat hebat sesudah 32ºC. Suhu panas mengurangi kelincahan, memperpanjang waktu reaksi dan waktu pengambilan keputusan, mengganggu kecermatan otak, mengganggu koordinasi saraf perasa dan saraf motoris (Suma’mur, 2009).

Menurut Siswantara (2006) pekerja di dalam lingkungan kerja panas dapat mengalami tekanan panas. Panas yang dihasilkan selama proses produksi akan menyebar ke seluruh lingkungan kerja, sehingga mengakibatkan suhu udara di lingkungan kerja juga meningkat. Iklim kerja yang panas mempunyai dampak negatif terhadap respon fisiologis pekerja sehingga diperlukan pekerja yang sehat, muda dan sudah beraklimatisasi untuk bekerja didalamnya. Asupan air dan garam yang cukup merupakan salah satu bentuk pengendalian selain itu perlu juga penyesuaian beban kerja dengan ketentuan yang diperkenankan.

Suhu yang nyaman bagi pekerja sekitar 200C dan 270C dan dalam situasi humiditas berkisar 35% sampai 60%. Apabila temperatur dan humiditas lebih tinggi, orang akan merasa tidak nyaman. Situasi ini tidak menimbulkan kerugian selama tubuh dapat beradaptasi dengan panas yang terjadi. Lingkungan yang sangat panas dapat mengganggu mekanisme penyesuaian tubuh dan berlanjut kepada kondisi serius dan bahkan fatal (CCOHS, 2001).

(76)

mengalami kehilangan panas. Fenomena interaksi tubuh manusia dengan temperatur lingkungan disebut dengan heat stress. Heat stress dapat menimbulkan efek negatif berupa gangguan psikologis dan gangguan fisiologis bagi tenaga kerja. Gangguan fisiologis berupa meningkatnya kapasitas pembuluh darah yang mengakibatkan penurunan tekanan darah. Penurunan tekanan darah dapat menyebabkan lemah dan pusing sehingga produktivitas pekerja menurun. Meningkatnya pengeluaran keringat yang merupakan mekanisme penguapan tubuh dapat menyebabkan temperatur tubuh menurun. Apabila heat stress tidak dilakukan upaya pengendaliannya dapat mengakibatkan kedaruratan heat stress yaitu : heat rash, heat cramps, heat exhaustion dan heat stroke (OSHA, 1997).

Pemerintah telah membuat Undang-Undang Keselamatan dan Kesehatan Kerja khususnya pada Permenaker No : Per 13/Men/X/2011 tentang Nilai Ambang Batas (NAB) faktor fisika di lingkungan kerja. Dalam peraturan tersebut berisi tentang standar suhu lingkungan berdasarkan kategori beban kerja dan pola istirahat kerja yang dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu. Dengan adanya Nilai Ambang Batas (NAB) faktor fisika di lingkungan kerja maka tingginya potensi bahaya pada lingkungan kerja panas tersebut dapat diperhatikan dan dikendalikan agar kondisi keselamatan dan kesehatan pekerja tetap terjaga.

(77)

5

hasil ini sudah melebihi NAB. Hal ini cukup berpotensi untuk meningkatkan suhu tubuh pekerja. Dari hasil pengukuran suhu tubuh 8 pekerja didapatkan 2 pekerja yang memiliki suhu tubuh 37,6ºC, sehingga 2 pekerja tidak ada/sedikit terkena dampak paparan panas.

Salah satu kondisi lingkungan kerja yang berpotensi menimbulkan dampak bahaya terhadap kesehatan pekerja pabrik tahu adalah iklim kerja panas. Dari penelitian yang telah dilakukan oleh Santoso (2008) dalam standar kategori

Physiological Strain Index suhu tersebut sudah termasuk kategori Heat Strain

ringan, dimana pekerja mulai mengeluhkan pusing, kelelahan, dan banyak berkeringat. Dari hasil wawancara ternyata rata-rata pekerja juga mengeluhkan hal tersebut.

Pabrik Tahu Sumedang Desa Sukorejo merupakan sektor informal yang bergerak pada bidang usaha pembuatan tahu sumedang. Diketahui bahwa pekerja di pabrik pembuatan tahu sumedang sebanyak 25 orang, yaitu 17 orang diproses pembuatan tahu, 6 orang dibagian penggorengan, 1 orang mensortir tahu yang sudah masak, dan 1 orang dibagian kasir. Jam kerja mulai dari jam 08.00 – 18.00 WIB dengan istirahat pukul 12.30 – 14.00 WIB.Waktu kerja pekerja yang terlalu lama yaitu lebih dari 8 jam sehari dengan tekanan panas yang besar berisiko bagi pekerja untuk mengalami heat strain.

Gambar

Gambar 3. Pencucian kedelai oleh pekerja
Gambar 12. Ketel uap
Gambar 13. Wajan penggorengan
Tabel 4.1 Distribusi Karakteristik Responden Pekerja Pabrik Tahu Sumedang Kecamatan Medan Polonia Tahun 2015
+7

Referensi

Dokumen terkait

Di Indonesia sendiri terdapat beberapa penelitian yang telah dilakukan terkait Dermatitis Kontak, penelitian yang dilakukan oleh Riska Fedrian (2012) dari 71

Perubahan iklim/cuaca ini telah menyebabkan terjadinya tekanan panas (heat stress) yang akan di terima oleh tenaga kerja yang bekerja di lingkungan tempat kerja tersebut sebagai

Penelitian ini dilakukan pada pekerja Pabrik tahu di Kecamatan Medan Polonia tahun 2015 untuk mengetahui hubungan antara Usia, Lama kerja, Masa kerja,

Penelitian ini dilakukan pada pekerja Pabrik tahu di Kecamatan Medan Polonia tahun 2015 untuk mengetahui hubungan antara Usia, Lama kerja, Masa kerja,

Di Indonesia sendiri terdapat beberapa penelitian yang telah dilakukan terkait Dermatitis Kontak, penelitian yang dilakukan oleh Riska Fedrian (2012) dari 71

Dermatitis Kontak alergik (DKA) dapat terjadi karena kulit terpajan/berkontak dengan bahan-bahan yang bersifat sensitizer (alergen), penyakit ini timbul akibat

Faktor Faktor yang Berhubungan dengan Gejala Dermatitis Kontak pada.. pekerja Pabrik Tahu Sumedang di Kecamatan Medan

Suhu lingkungan di tempat kerja yang terlalu panas ataupun terlalu dingin berbahaya terhadap kesehatan individu pekerja.. Heat stress (tekanan panas) juga