• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini, perusahaan sedang menghadapi perubahan besar di lingkungan bisnis karena adanya pengaruh globalisasi. Perubahan dan perkembangan dalam mengolah informasi, komunikasi, dan industri logistik menjadi salah satu permasalahan yang dihadapi. Perubahan dan perkembangan tersebut mendorong perusahaan untuk lebih peka terhadap kesempatan yang ada demi meraih keunggulan dari perusahaan lain (Keskes, 2014).

Perubahan yang ada mendorong perusahaan untuk terus mencari karyawan yang berkomitmen dalam mempertahankan keunggulannya di pasar yang kompetitif. Banyak peneliti yang menemukan bahwa salah satu hal yang menentukan kesuksesan perusahaan adalah tingginya tingkat komitmen organisasi yang dimiliki oleh karyawannya (Keskes, 2014). Porter, Crampon, dan Smith (dalam Suseno dan Sugiyanto, 2010) menyatakan bahwa perusahaan membutuhkan karyawan yang berkualitas dan memiliki komitmen yang tinggi untuk dapat bertahan di dunia bisnis yang persaingannya sangat ketat. Katz dan Kahn (dalam Suseno dan Sugiyanto, 2010) juga menyatakan bahwa komitmen yang tinggi akan mendorong karyawan untuk menjadi lebih kreatif dan inovatif. Komitmen organisasi merupakan salah satu faktor utama yang menentukan efektivitas dan kinerja organisasi (Lok dan Crawford dalam Keskes (2014). Karyawan yang berkomitmen tinggi akan memberikan

pengaruh yang signifikan terhadap kinerja organisasi. Komitmen yang tinggi cenderung akan mendorong karyawan untuk memiliki produktivitas kerja yang tinggi pula (Minner dalam Periantalo dan Mansoer 2008). Periantalo dan Mansoer (2008) juga menambahkan bahwa karyawan yang memiliki komitmen tinggi terhadap organisasi cenderung akan memberikan pemikiran dan tenaganya pada organisasi.

The Towers Watson 2014 Talent Management and Rewards Study, sebuah survei global pada 1637 perusahaan termasuk 30 perusahaan di Indonesia, mengungkapkan bahwa terdapat lebih dari 70% perusahaan di Indonesia yang sedang berjuang untuk mempertahankan karyawannya yang memiliki kinerja baik. Johannes Eckold, seorang konsultan senior untuk survei Organization & Insights di Towers Watson menambahkan bahwa cukup banyak responden dari Indonesia yang menyatakan bahwa mereka sedang mempertimbangkan untuk meninggalkan perusahaan mereka saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa kecenderungan karyawan untuk tidak mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi atau komitmen organisasi yang rendah merupakan tren yang mengkhawatirkan bagi perusahaan di Indonesia (http://towerswatson.com).

Periantalo dan Mansoer (2008) menyatakan bahwa komitmen organisasi adalah identifikasi individu terhadap organisasi dan keinginan untuk tetap berada dalam organisasi. Komitmen organisasi merupakan ikatan psikis individu terhadap organisasi yang mencakup keterlibatan kerja, kesetiaan, dan kepercayaan terhadap nilai-nilai organisasi (O’Reilly, 1986).

Neal dan Noertheraft (dalam Sopiah 2008) menambahkan bahwa komitmen organisasi merupakan sikap individu terhadap organisasi agar tercapainya tujuan organisasi secara efektif dan efisien.

Mayer dan Allen (1997) membagi komitmen organisasi menjadi tiga komponen yaitu, afektif, normatif dan kontinum. Afektif merupakan ikatan secara emosional yang dimiliki oleh karyawan terhadap sebuah organisasi sehingga memunculkan keinginan untuk terlibat. Komponen normatif adalah sebuah komitmen yang muncul dikarenakan adanya tanggung jawab moral yang dimiliki karyawan terhadap organisasi. Berbeda dengan afektif dan normatif, komponen kontinum merupakan sebuah komitmen yang dipicu oleh untung rugi yang didapatkan oleh karyawan sehingga muncul rasa butuh akan organisasi.

Istilah komponen digunakan karena hubungan antara karyawan dengan organisasinya dapat bervariasi dalam ketiga komponen tersebut. Misalnya, seorang karyawan dapat secara bersamaan memiliki keterikatan dengan organisasi serta merasa wajib untuk bertahan dalam organisasi. Di sisi lain, terdapat karyawan yang menikmati pekerjaannya sekaligus menyadari bahwa ia lebih baik bertahan di organisasi tersebut dikarenakan situasi ekonomi yang tidak menentu. Dengan demikian, pengukuran komitmen organisasi juga seharusnya merefleksikan ketiga komponen komitmen yaitu komponen afektif, normatif, dan kontinum. Konsekuensinya, peneliti harus melihat kekuatan ketiga komponen secara bersamaan daripada mengklasifikasikannya secara terpisah apabila ingin mendapatkan

pemahaman yang jelas mengenai hubungan karyawan dengan organisasi (Mayer dan Allen, 1997). Berdasarkan pernyataan tokoh Mayer dan Allen tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti ketiga komponen komitmen secara bersamaan untuk melihat komitmen organisasi secara lebih jelas. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar penelitian yang telah dilakukan cenderung mengklasifikasikannya secara terpisah seperti yang telah dilakukan oleh Majorsy (2007) pada staf pengajar di Universitas Gunadarma dan Arishanti (2007) pada PT.X di kawasan Jakarta Selatan.

Mowday, Porter, dan Steers (dalam Keskes 2014) menyatakan bahwasalah satu faktor organisasi yang dianggap sebagai penentu utama dari terbentuknya komitmen organisasi adalah kepemimpinan. Pemimpin merupakan faktor utama dari terbentuknya komitmen organisasi karena ia merupakan pembentuk lingkungan kerja dan persepsi karyawan mengenai pekerjaan dan perusahaan tempat mereka bekerja (Rafferty dan Griffin, 2004).Semakin positif persepsi karyawan terhadap peran pemimpin maka akan semakin tinggi pula komitmen organisasi yang dimiliki sehingga dapat berimplementasi terhadap meningkatnya kinerja karyawan (Robbins, 1996). Komitmen dan perilaku karyawan yang menguntungkan bagi perusahaan didukung oleh seberapa kuat keterikatan yang dimiliki oleh karyawan terhadap team atau terlebih dengan pemimpin (Mayer dan Allen, 1997).

Hasil survei The Towers Watson 2014 Talent Management and Rewards Study menyatakan bahwa karyawan di Indonesia melihat pemimpin mereka sebagai penggerak atas keterikatan mereka terhadap organisasi

(http://towerswatson.com). Awaldi, Direktur dariTalent and Reward, Tower Watson juga menambahkan bahwa organisasi-organisasi yang ada di Indonesia perlu untuk meningkatkan keterikatan karyawan dengan organisasi melalui manajer dan supervisor yang mereka miliki untuk meningkatkan hasil bisnis secara positif (http://towerswatson.com). Kepemimpinan yang kuat merupakan salah satu hal yang berperan penting dalam mencapai kefektifan organisasi secara optimal (Suwarto, 1999). Covey (dalam Anggriawan 2012) juga menyatakan bahwa pemimpin yang bekerja secara efektif akan mampu mendorong bawahannya untuk memajukan perusahaan dan mencapai tujuan dengan baik.

Kepemimpinan dipandang sebagai sebuah proses sosial sehingga pemimpin dan bawahan akan mempengaruhi satu sama lain sebagai hasil dari interaksi yang terjadi di antara keduanya (Smither, 1994). Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi sebuah kelompok yang dilakukan oleh seseorang untuk mencapai tujuan bersama (Northouse, 2013). Gibson (dalam Suwarto 1999) menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan suatu upaya mempengaruhi dan memotivasi seseorang melalui komunikasi untuk mencapai tujuan tertentu tanpa adanya paksaan. Kepemimpinan digambarkan sebagai sebuah proses yang menimbulkan gerakan yang dinamis dari posisi kita berada ke suatu tempat di masa mendatang dengan kondisi yang berbeda. Kepemimpinan juga menyangkut intensionalitas, dalam artian bahwa perubahan yang ada bukanlah perubahan yang asal-asalan, melainkan menuju sebuah tujuan maupun kondisi yang diharapkan (Wirjana dan Supardo 2005).

Sebagian besar teori kepemimpinan yang banyak dipelajari mengasumsikan bahwa pemimpin memperlakukan semua pengikut mereka dengan cara yang sama. Dalam kenyataannya, pemimpin bisa bertindak dengan sangat berbeda kepada karyawan yang satu dengan lainnya (Wibowo dan Susanto, 2013). Hal tersebut dikarenakan pemimpin cenderung tidak memperlakukan bawahannya secara seragam (Dansereau, Graen, dan Haga dalam Spector, 2008). Pemimpin mengembangkan hubungan yang bervariasi dengan tiap bawahannya (Liden, Sparrowe, dan Wayne, 1997). Pemimpin cenderung tidak menjalankan perannya secara merata pada bawahannya dalam mengelola organisasi (Wijayanto dan Susanto, 2013). Hughes, Ginnett, dan Curphy (2012) menyatakan bahwa pemimpin justru membentuk hubungan yang khusus dan unik dengan masing-masing bawahan. Dengan kata lain, pemimpin cenderung memiliki orang-orang kepercayaan dalam suatu organisasi. Inilah yang kemudian menjadi dasar teori Leader Member Exchange (LMX) (Wibowo dan Susanto, 2013). Leader Member Exchange

(LMX) menjadi salah satu pendekatan yang digunakan untuk mempelajari hubungan antara proses kepemimpinan dengan kesuksesan sebuah organisasi (Gerstner dan Day, 1997).

Leader Member Exchange (LMX) adalah sebuah teori kepemimpinan yang berfokus pada hubungan yang terjadi antara pemimpin dengan bawahannya (Dansereau, Graen, dan Haga dalam Spector, 2008). Leader Member Exchange (LMX) merupakan hubungan khusus yang dibangun oleh seorang pemimpin dengan sekelompok kecil bawahan yang terjalin seiring

dengan berjalannya waktu (Robbins dan Judge, 2008). Pola kepemimpinannya dikembangkan berdasarkan kualitas hubungan yang dimiliki oleh pemimpin dengan bawahannya (Dansereau, Graen, dan Haga dalam Landy dan Conte, 2010).

Leader Member Exchange (LMX) melihat keefektifan sebuah kepemimpinan dari kualitas interaksi yang dimiliki oleh pemimpin dengan bawahan yang tergabung dalam tim (Dansereau, Graen, dan Haga dalam Riggio, 2003). Hubungan yang terjalin antara pemimpin dengan bawahan memiliki karakteristik, yaitu melibatkan usaha secara fisik maupun mental, serta dukungan secara materi, informasi, maupun emosi (Liden, Sparrowe, dan Wayne, 1997).Pada proses tersebut anggota kelompok memberikan kontribusi dengan berkorban atau memberikan sesuatu pada kelompok dan menerima imbalan sesuai dengan apa yang telah ia berikan (Robbins, 2006). Pertukaran yang berhasil dibentuk cenderung akan mendorong anggota kelompok untuk mengembangkan hubungan baik dan mencapai kesuksesan bersama (Burgess dan Huston dalam Maslyn dan Uhl-Bien, 2001).

Leader Member Exchange (LMX) memiliki sebuah fenomena yang kontroversial. Leader Member Exchange(LMX) belum memiliki status yang jelas yaitu, unidimensi atau multidimensi. Pada awalnya konseptualisasi

Leader Member Exchange (LMX) dipandang sebagai sebuah konstruk yang unidimensional (Dienesch dan Liden dalam Harris 2004). Dalam perkembangannya, Dienesch dan Liden (dalam Harris, 2004) kemudian membagiLeader-Member Exchange (LMX) menjadi 4 dimensi, yaitu Afeksi

(Affection), Kontribusi (Contribution), Loyalitas (Loyalty), dan Penghargaan Profesional (Professional Respect). Berdasarkan perkembangan teori tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Leader Member Exchange(LMX) secara multidimensional.

Imen Keskes dalam penelitiannya yang berjudul Transformational Leadership and Organizatinal Commitment: Mediating Role of Leader Member Exchange menyatakan bahwa perlu untuk dilakukan penelitian mengenai dimensi Leader Member Exchange(LMX)dengan Komitmen Organisasi secara langsung. Hal tersebut perlu dilakukan untuk mendapatkan data yang lebih mendetail mengenai hubungan yang dimiliki oleh dimensi

Leader Member Exchange (LMX) dengan Komitmen Organisasi. Pemimpin perlu untuk mengetahui seberapa jauh sikap dan pertukaran yang ia miliki dengan bawahan dalam mempengaruhi persepsi bawahannya mengenai

Leader Member Exchange (LMX) dan dalam memprediksi munculnya Komitmen Organisasi. Selain itu, pemimpin juga perlu untuk mendapatkan informasi mengenai cara yang paling tepat untuk dapat meningkatkan komitmen yang dimiliki karyawan terhadap organisasi dari sudut pandang kepemimpinan (Keskes, 2014). Berdasarkan saran yang diberikan dalam penelitian tersebut maka peneliti tertarik untuk meneliti mengenai hubungan antaraLeader Member Exchange(LMX) dengan Komitmen Organisasi.

Dokumen terkait