• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIIKIRAN

2. Pemeliharaan Tanaman

1.1. Latar Belakang

Tanaman hortikultura mempunyai fungsi dalam pemenuhan kebutuhan vitamin, mineral, penyegar, pemenuhan kebutuhan akan serat dan kesehatan lingkungan. Salah satu komoditi hortikultura yang sangat dibutuhkan manusia dan merupakan salah satu pangan yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat hampir setiap hari adalah sayuran. Banyaknya manfaat sayuran ini menyebabkan sayuran menjadi bagian dari komoditas hortikultura yang terus diproduksi. Perkembangan tanaman hortikultura terutama sayuran dari tahun ke tahun terus meningkat, baik dari segi luasan lahan panen, produktivitas dan produksi setiap tahun di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup baik (Hermanto, Fadholi. 1996).

Cabai besar merupakan produk hortikultura yang memiliki harga yang sangat berfluktuasi. Adanya fluktuasi harga ini merupakan suatu risiko yang dihadapi oleh petani. Sewaktu–waktu harga sangat tinggi namun tidak berselang lama harga dapat turun dengan drastis. Kesenjangan harga tertinggi dan terendah pada komoditi cabai merah cukup besar. Sepanjang tahun 2006-2008 cabai merah keriting terendah berada pada harga Rp 2800 per kilogram sedangkan harga tertinggi adalah Rp 26000 per kilogram. Sementara itu untuk cabai merah besar harga terendah berada pada titik Rp 3000 dan harga tertinggi Rp 25000 ( Rachmat, Muchjidin. 2005).

Di sisi lain wilayah sentra produksi pertanian hortikultura khususnya cabai merah memiliki topografi yang beragam, ketersediaan sarana prasarana yang mendukung sektor tersebut (produksi, pengolahan, penyimpanan) bervariasi dari satu wilayah dengan wilayah lain, waktu panen yang tidak bersamaan di beberapa wilayah, dan iklim yang kurang mendukung pada saat tanam maupun panen raya, sehingga petani, kelompok tani (Poktan) maupun Gabungan Kelompoktani (Gapoktan) selalu dihadapkan pada berbagai masalah:

(a) Keterbatasan modal usaha untuk melakukan kegiatan pengolahan, penyimpanan, pendistibusian/pemasaran;

(b) Posisi tawar petani yang rendah pada saat panen raya yang bersamaan dengan datangnya hujan, sehingga petani terpaksa menjual produknya dengan harga rendah kepada para pelepas uang (pedagang perantara);

(c) Keterbatasan akses saat paceklik yang disebabkan karena tidak memiliki cadangan yang cukup.

Dampak dari ketidakberdayaan petani, Poktan dan Gapoktan dalam mengolah, menyimpan dan mendistribusikan/memasarkan hasil produksinya dapat menyebabkan: (a) ketidakstabilan harga di wilayah sentra produksi pertanian pada saat terjadi panen raya, dan (b) kekurangan pangan pada saat musim paceklik. Untuk mengatasi permasalahan harga, kebiajakan yang dilakukan oleh pemerintah Sumatera Utara adalah dengan menetapkan Harga Referensi Daerah (HRD). (Anonimous. 2007).

5

Dari tabel 1, kita dapat melihat produksi cabai dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Dalam kurun waktu tahun 2005 hingga tahun 2010, produksi tertinggi tercapai pada tahun 2010 yaitu sebanyak 196.347 ton. Sedangkan produksi terendah terdapat di tahun 2005 yaitu sebanyak 104.089 ton. Luas panen cabai di sumatera utara juga meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan luas panen ini meningkat sekitar 10 hingga 20 persen setiap tahun. Sedangkan untuk rata-rata produksi, komoditi cabai di Sumatera Utara mengalami fluktuasi rata-rata produksi setiap tahun. Pada tahun 2008, rata-rata produksi cabai tidak mengalami peningkatan yang signifikan dibandingkan tahun sebelumnya yaitu tahun 2007. Rata-rata produksi cabai tahun 2008 adalah sebesar 85,74 Kw/ha sedangkan rata-rata produksi cabai tahun 2007 adalah sebesar 85,30 Kw/ha. Rata-rata produksi cabai Sumatera Utara dari tahun 2005 sampai tahun 2010 adalah sebesar 84,06 Kw/ha (Pusat Data dan Informasi Pertanian. Volume 5, Nomor 2. 2006).

Tabel 1. Produksi Cabai Sumatera Utara Pada Tahun 2010

Tahun Luas Panen

(Ha) Produksi (Ton) Rata-rata Produksi (Kw/Ha) 2005 13.313 104.089 78,19 2006 14.628 117.591 80,38 2007 13.229 112.843 85,30 2008 15.911 136.415 85,74 2009 18.350 154.799 84,36 2010 21.711 196.347 90,44

Walaupun luas lahan, produksi, dan rata-rata produksi cabai di Sumatera Utara cenderung mengalami kenaikan, namun kenaikan ini masih belum menjawab masalah ketersediaannya dalam memenuhi seluruh kebutuhan akan cabai. Ketika panen raya, harga cabai cenderung menurun signifikan. Sedangkan ketika hari-hari besar, permintaan cabai akan meningkat harga cabai juga akan ikut meningkat tajam hingga dua sampai tiga kali lipat.

Harga cabai yang rendah akibat panen raya, dirasakan sangat membebani petani. Harga cabai yang dibeli oleh pedagang pengumpul bahkan terkadang tidak sanggup menutupi biaya produksi. Sebaliknya, ketika hari besar dan permintaan cabai meningkat, harga cabai akan meningkat tajam. Namun peningkatan harga cabai ini tidak sepenuhnya dirasakan oleh petani. Petani hanya dapat merasakan sedikit porsi dari kenaikan harga cabai di pasar. Hal ini terjadi akibat tidak efisiennya rantai tataniaga cabai di Sumatera Utara sehingga margin share tidak terbagi secara adil sesuai dengan peran masing-masing pihak di dalam rantai tataniaga cabai ini.

Di lain pihak, konsumen akhir cabai di Sumatera Utara juga mengalami peningkatan harga yang fluktuatif. Konsumen tidak selalu menikmati harga cabai yang rendah ketika musim panen raya. Harga cabai biasanya tidak turun drastis sesuai dan tidak terlalu berbeda jauh dengan harga di tingkat petani. Misalnya ketika harga cabai di tingkat petani turun hingga 70% dari musim sebelumnya, harga cabai di tingkat konsumen akhir hanya turun maksimal hingga 30%. Sedangkan ketika permintaan cabai tinggi yang umumnya terjadi ketika hari-hari besar nasional, konsumen harus menerima harga yang meningkat hingga 2 sampai 3 kali lipat.

7

Melihat kegiatan tataniaga cabai di Sumatera Utara yang masih cukup tidak efisien, maka pemerintah hendaknya mengambil langkah kebijakan dan pelaksanaan kebijakan yang bertujuan meningkatkan efisiensi tataniaga cabai di Sumatera Utara. Bulog, sebagai salah satu lembaga yang bertugas menjaga stabilitas harga dan stok pangan, dapat merumuskan kebijakan Harga Referensi Daerah (HRD) yang berguna untuk stabilisasi harga.

Harga Referensi Daerah (HRD) bertujuan untuk melindungi petani dari kerugian akibat penurunan harga cabai yang signifikan. Harga Referensi Daerah (HRD) juga bertujuan untuk melindungi konsumen dari kerugian akibat kenaikan harga cabai ketika permintaannya sangat tinggi. Harga Referensi Daerah (HRD) umumnya dirumuskan berdasarkan besarnya biaya produksi yang dikeluarkan petani cabai di Sumatera Utara dalam memproduksi cabai tersebut.

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara menyiapkan harga referensi daerah (HRD) cabai sebagai standar pembelian dari petani dengan mencari masukan dari berbagai pihak, termasuk kalangan pengusaha. Harga Referensi Daerah Cabai adalah harga minimum pembelian cabai di tingkat petani yang disepakati sebesar biaya produksi ditambah margin/keuntungan petani sebesar 30% (tiga puluh persen). Landasan kesepakatan Harga Referensi Daerah Cabai tahun 2012 di Provinsi Sumatera Utara adalah :

1) Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu daerah sentra produksi Cabai nasional dengan produksi ± 200.000 ton/tahun.

2) Masyarakat Provinsi Sumatera Utara memiliki permintaan yang cukup tinggi akan komoditi cabai.

3) Fluktuasi harga cabai terutama ketika harganya menigkat tajam, selama ini telah terbukti menyebabkan inflasi dan terganggunya perekonomian secara keseluruhan.

Dengan demikian, kebijakan Harga Referensi Daerah (HRD) sangat penting di dalam membantu produsen dan konsumen cabai di Sumatera Utara terhindar dari fluktuasi tajam harga cabai (Badan Ketahanan Pangan Sumatera Uatara 2012).

Dokumen terkait