• Tidak ada hasil yang ditemukan

Biaya Usaha Tani Dan Harga Referensi Daerah Komoditas Cabai Merah Di Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Biaya Usaha Tani Dan Harga Referensi Daerah Komoditas Cabai Merah Di Sumatera Utara"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

52

DAFTAR PUSTAKA

Amir, 2004. Strategi Memasuki Pasar Ekspor. Penerbit PPM. Jakarta..

Anonymous. 2007 a. Cabai Merah ( capsicum annum L).

Badan Ketahanan Pangan Sumatera Utara, 2012. Surat Kesepakatan Harga Referensi Daerah Jagung Tahun 2012 di Provinsi Sumatera Utara. Medan.

Direktorat Jendral Bina Produksi Hortikultura. 2005. Statistik Tanaman Sayuran. Departemen Pertanian. Jakarata.

Ginting, P. 2006. Pemasaran Produk Pertanian. USU Press. Medan.

Hernanto, Fadholi. 1996. Ilmu Usahatani. Penebar swadaya. Jakarta.

Mei, Theresia. M.H. 2006. Analisis Pendapatan Usahatani dan Pemasaran Sayuran Organik Yayasan Bina Sarana Bhakti. Skripsi. Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Mubyarto. 1977. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES. Jakarta.

Nasir, M. 1999. Heritabilitas dan Kemajuan Genetik Harapan Karakter Agionomi Tanaman Lombak (capcum annuum L) Habitat. 11 (109) : 1 - 8.

Nurliah, Elly. 2002. Analisis Pendapatan Usahatani Dan Pemasaran Cabai Merah Keriting di Desa Sindangmekar Kecamatan Wanaraja Kabupaten Garut, Jawa Barat. Jurusan Ilmu- Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Pracaya, 2003. Bertanam Lombok Kanisius. Yogyakarta. P. 11 – 19.

Prajnanta, F. 2005. Agribis Cabai Hibrida. Peneban Swadaya. Jakarta.

Pusat Data dan Informasi Pertanian. Volume 5, Nomor 2. 2006. PDB Sektor Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.

Pusat Data dan Informasi Pertanian. Volume 5, Nomor 4. 2006. PDB Sektor Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.

(2)

Setiadi, 1990. Bertanam cabai. Penebar Swadaya. PP 182.

Soekartawi, 1993. Analisis Usahatani. UI Press. Jakarta.

Soekartawi, 2003. Prinsip Dasar Manajemen Pemasaran Hasil-Hasil Pertanian. RAJA Grafindo Persada. Jakarta.

Soekartawi. 2006. Analisis Usahatani. Penerbit Universitas Indonesia. UI Press.Jakarta.

(3)

26

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penentuan Daerah Sampel

Daerah penelitian adalah Sumatera Utara. Propinsi Sumatera Utara dipilih

sebagai daerah penelitian dikarenakan Propinsi Sumatera Utara merupakan salah satu

Propinsi yang akan menetapkan harga referensi daerah untuk komoditi Cabai.

3.2 Metode Pengumpulan Data

Adapun data yang dikumpulkan pada penelitian ini terdiri dari data primer dan

data sekunder. Data primer diperoleh dari data hasil wawancara langsung antara

peneliti dan responden yaitu pimpinan di Dinas Pertanian dan badan Ketahanan

Pangan Sumatera Utara. Sedangkan data sekunder merupakan data yang baru

diperoleh peneliti dari dinas terkait seperti Kantor Badan Ketahanan Pangan Sumut,

Dinas Pertanian Sumut,dan Balai Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara

3.3 Metode Analisis Data

Untuk tujuan pertama akan dianalisis secara diskriptif, yaitu diskripsi tentang

(4)

TC = FC+VC

Untuk tujuan kedua dianalisis dengan menggunakan tabulasi sederhana untuk

menghitung biaya produksi

Keterangan: TC = Total Cost (Total Biaya)

FC = Fixed Cost (Biaya Tetap)

VC = Variable Cost (Biaya Variabel)

Untuk tujuan ketiga digunakan analisis Pendapatan yang dibedakan

menjadi dua, pertama pendapatan atas biaya tunai (pendapatan tunai) yaitu biaya

yang benar- benar dikeluarkan secara tunai oleh petani (explicit cost). Kedua, pendapatan atas biaya total (pendapatan total) dimana semua input milik keluarga

juga diperhitungkan sebagai biaya.

Secara umum pendapatan diperhitungkan sebagai penerimaan dikurangi

dengan semua biaya yang telah dikeluarkan, baik biaya tunai maupun tidak tunai.

Secara matematis tingkat pendapatan usahatani dapat ditulis sebagai berikut

(soekartawi, 1993).

I tunai = NP – BT

I total = NP – (BT + BD)

(5)

28 I tunai = Pendapatan tunai

I total = Pendapatan total

NP = Nilai Produksi (jumlah produk x harga output) (Rp)

BT = Biaya Tunai (Rp)

BD = Biaya Diperhitungkan (Rp)

Biaya tunai terdiri dari sarana produksi, tenaga kerja luar keluarga,

dan pajak lahan. Biaya yang diperhitungkan meliputi sewa lahan, penyusutan

alat, dan tenaga kerja dalam keluarga, serta biaya bibit sendiri. Biaya

penyusutan alat- alat pertanian diperhitungkan dengan membagi selisih

antara nilai pembelian dengan nilai sisa yang ditafsirkan dengan lamanya modal

pakai. Metode yang digunakan ini adalah metode garis lurus. Metode ini

digunakan karena jumlah penyusutan alat tiap tahunnya dianggap sama

(6)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 . Usaha Tani Cabe Merah 4.1.1. Pengolahan Lahan

Sebelum melakukan penanaman cabe biasanya petani di Sumatera Utara

akan melakukan pengolahan lahan . Kedalaman cangkul antara 20 - 30 cm,

agar akar tanaman dapat dengan leluasa memperoleh zat hara yang ada di

dalam tanah. Bila tanah sudah gembur bedengan dapat langsung dibuat.

Bedengan dibuat setinggi 30 - 40 cm, lebar bedengan ± 100 cm, serta jarak antar

bedengan ± 40 cm dengan tujuan agar bisa dilalui oleh petani. Selain itu,

perlu dibuatkan saluran air sebagai tempat untuk penampungan atau

pembuangan air yang berlebihan. Ini perlu dibuat agar pada waktu musim

kering, air pada saluran penampungan tersebut dapat dimanfaatkan. Biasanya

penanaman cabai di lahan tegalan dilakukan pada akhir musim hujan.

Dalam pengolahan lahan atau persiapan lahan petani yang memiliki

luasan rata-rata lahan 0,4 ha melakukan pengolahan lahan sendiri dan

dibantu oleh 1 orang tenaga kerja dalam keluarga dan 1 orang tenaga

kerja luar keluarga. Sedangkan petani yang memiliki lahan 1 ha mengolah

lahannya dibantu oleh 6 orang tenaga kerja, terdiri dari 1 orang tenaga kerja

dalam keluarga dan 5 orang tenaga kerja luar keluarga, dengan upah sebesar Rp.

(7)

30

waktu 10 hari dan pada lahan 0,4 ha dikerjakan selama 5 hari. Terdapat

perbedaan lamanya hari pada saat pengolahan lahan untuk sistem non

organik. Pada lahan 1 ha petani mengolah lahan selama 8 hari dengan

jumlah tenaga kerja sebanyak 6 orang dan pada lahan 0,2 ha yang dikerjakan

selama 2 hari dilakukan oleh 4 orang tenaga kerja.

4.1.2. Pembenihan Tanaman

Penyiapan benih dilakukan pada bedengan yang dibuat khusus untuk

pembenihan. Pada umumnya petani menyemai benih cabai dalam bedengan yang

ukurannya bervariasi. Petani responden umumnya berpedoman bahwa untuk

bedengan pembenihan cabai yang luasnya 2 m2 dapat membenihkan cabai

seluas 1.000 m2, jadi ukuran dan banyaknya bedengan yang akan dibuat

tergantung pada areal pertanaman yang dimiliki petani. Dengan demikian,

kebutuhan benih ± 500 g/ha. Setiap meter persegi luas bedengan diberi 5- 10

kg pupuk kandang dan kompos. Di atas bedengan diberi naungan yang

tingginya sekitar 1 m di bagian barat dan 1,5 m di bagian timur. Bila umur

calon bibit sudah 2 minggu, sebagian naungannya dibuang. Sisa naungannya

dapat dibuang setelah umur calon bibit tersebut sudah 3 minggu.

Buah yang memenuhi syarat dipotong menjadi tiga bagian yang setiap

bagiannya harus sama panjang antara 2 - 3 cm. Biji untuk benih diambil

dari potongan bagian tengah. Potongan bagian tengah ini umumnya memiliki biji

(8)

penyerbukan sempurna. Potogan yang dipilih dibelah, kemudian bijinya

dikeluarkan untuk dijemur sampai kering. Setelah biji cabai untuk

benih diperoleh, tahap berikutnya melakukan seleksi biji untuk

mendapatkan benih

cabai yang baik. Seleksi ini bertujuan agar diperoleh benih cabai dengan

daya tumbuh yang baik. Penyeleksian dilakukan dengan cara biji calon

benih dimasukkan ke dalam ember atau bak berisi air dan diaduk- aduk. Dengan

cara ini tampak adanya biji yang mengambang dan yang tenggelam. Biji

yang mengambang merupakan biji yang kurang baik untuk benih. Biji ini

merupakan biji yang tidak berisi (kosong). Sebaliknya, biji yang tenggelam

merupakan biji yang berisi.

Bila tidak langsung digunakan, benih yang terpilih dapat disimpan,

dengan cara benih ditebarkan merata di atas tampah dan dikeringkan dengan cara

dijemur, tetapi tidak langsung di bawah sinar matahari. Lamanya

penjemuran ini tergantung dari cuaca saat itu. Bila hari panas, lamanya

pengeringan 3 hari. Sebaliknya bila hari hujan, lamanya pengeringan

dapat dilakukan hingga seminggu. Benih yang sudah kering dimasukkan ke

dalam botol hingga ¾ tinggi botol, sedangkan ruang sisanya diisi abu

pembakaran. Dengan cara ini benih dapat disimpan hingga 2 - 3 bulan tanpa

mempengaruhi daya tumbuhnya.

(9)

32

Sebelum disemai, benih yang terpilih direndam selama 1 - 2 jam ke

dalam air hangat. Cara ini agar dapat mempercepat perkecambahan dan juga

dapat membantu menghilangkan sisa- sisa bakteri dan cendawan yang bisa

mengganggu. Setelah itu, benih dapat langsung ditebarkan ke persemaian.

Penyemaian benih di bedengan cukup dengan menebarkan benih di atas

tanah persemaian. Jarak tebaran antara 3 - 6 cm. Setelah benih ditebarkan di

bedengan, di atas benih tersebut ditaburkan pupuk kandang dan kompos.

Benih yang ditebarkan harus dilindungi dari terpaan sinar matahari langsung

ataupun air hujan.

Biasanya 1 - 2 minggu setelah penebaran, benih sudah mulai

bertunas. Untuk mendapatkan bibit yang siap tanam, tentunya semaian harus

dirawat dengan baik. Semaian siap tanam setelah berusia sekitar dua

minggu. Secara umum, perawatan yang dilakukan antara lain penyiraman serta

pengendalian serangan hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan dua kali

sehari, yaitu pagi dan sore bila di bedengan penyemaian sangat panas. Bila

udara dingin atau terjadi hujan, penyiraman dapat ditiadakan atau hanya sekali

penyiraman saja yaitu pada pagi hari saja. Persemaian perlu dijaga dari

kemungkinan serangan hama dan penyakit. Hama dan penyakit yang sering

mengganggu persemaian antara lain semut, cacing dan jamur. Biasanya

petani responden melakukan pengendalian hama dan penyakit dengan

menggunakan pengobatan secara alami, yaitu menggunakan daun sirsak, daun

(10)

4.1.3. Penanaman

Secara umum budidaya cabai merah organik dilakukan secara

polikultur atau tumpang sari dengan tanaman kol dan bisa juga dengan tanaman

sawi putih. Dalam budidaya tanaman cabai organik ini hanya dilakukan dalam

satu musim tanam, yaitu hanya satu tahun sekali sampai habis masa

pertumbuhannya. Penanaman ini dilakukan pada bedengan- bedengan yang

sudah disiapkan.

4.1.4. Penentuan Jarak Tanam

Berdasarkan pengalaman petani responden jarak tanam yang lebar akan

lebih baik untuk kesehatan tanaman. Jarak tanam yang umumnya

digunakan petani responden adalah 60 cm x 60 cm. Dengan jarak tanam yang

lebar, selain memberikan dampak positif terhadap kesehatan tanaman, juga

dapat memberikan keuntungan lain bagi tanaman, yaitu agar masing- masing

tanaman tidak saling berebut makanan, tidak berebut air, dan dapat

memperoleh sinar matahari atau cahaya yang cukup karena tanaman akan tidak

saling menaungi.

4.1.5. Penanaman Bibit

Bibit yang siap tanam merupakan bibit yang sudah berumur 1 - 1,5 bulan

setelah penyemaian benih. Sebelum penanaman, polibag tempat pembibitan harus

dibuang terlebih dahulu. Setelah itu, tanah dan bibitnya ditanam di lubang tanam

(11)

34

agar akar tanamannya tidak rusak. Untuk itu, perlakuan ini harus dilakukan

dengan hati- hati, maka sebaiknya hal ini dilakukan di dekat lubang tanam

agar bibitnya dapat langsung dimasukkan ke dalam lubang tanam.

Bila penanaman dilakukan dengan cara polikultur atau tumpang sari

jumlah tanaman yang akan ditanam berkisar 2.000 - 6.000 tanaman pada

luasan lahan 0,4 – 0,6 ha dengan jarak tanam 60 cm x 60 cm. Setelah

tanaman dimasukkan ke dalam lubang tanam, tanah bekas galiannya

dimasukkan menyusul ke dalam lubang tanam sambil diuruk hingga batas

pangkal batang atau menutupi tanah bekas pembibitan. Selanjutnya bagian

tanah di sekitar tanaman ditekan- tekan atau diinjak-injak yang arahnya ke

bagian akar agar tanah menjadi sedikit lebih padat. Cara ini bertujuan agar

tanaman tidak mudah goyang.

Waktu penanaman sebaiknya dilakukan pada pagi hari antara pukul

07.00 - 09.00 atau sore hari setelah pukul 15.00. Setelah penanaman,

penyiraman dapat langsung dilakukan. Pelindung tanaman juga diperlukan

untuk tanaman cabai merah ini, fungsinya untuk melindungi tanaman agar

tanaman tidak terkena sengatan sinar matahari secara langsung serta terhindar

dari terpaan air hujan dan angin kencang. Para petani membuat pelindung

atau naungan dari pelepah daun pisang kering ataupun daun kelapa. Pelindung

ini cukup ditopang dengan tiang bambu kecil atau ranting kayu asalkan cukup

(12)

35

kelembaban tanah terjaga, di atas tanah biasanya diberikan mulsa atau

penutup tanah, dan petani biasanya menggunakan daun kering, rumput

kering atau plastik perak sebagai mulsa.

4.1.6. Pemupukan Tanaman

Seminggu setelah penanaman, dapat dilakukan pemupukan awal. Tujuan

pemupukan ini adalah agar kol yang akan dipanen lebih dulu akan mendapat

makanan yang cukup tanpa terjadi perebutan makanan antara cabai dan

kol. Pupuk yang biasa digunakan petani responden adalah pupuk kandang dari

kotoran sapi, domba dan kambing. Aturan pemberian pupuk yang dilakukan

petani yaitu setiap satu lubang tanam diberi 1 kg pupuk kandang atau

kompos sebelum tanaman ditanam, diaduk dan didiamkan selama 2 hari.

Proses pemupukan awal ini dilakukan bersamaan saat proses pengolahan

lahan, sehingga jumlah tenaga kerja yang digunakan adalah sama saja.

Kemudian dilakukan pemupukan susulan,dilakukan pada saat awal

pertumbuhan, pembentukan bunga dan buah serta saat proses pematangan

buah. Waktu pemberiannya adalah saat tanaman berumur 1, 3, dan 5 minggu.

Pupuk yang biasa digunakan petani adalah pupuk cair organik yang terbuat

dari kotoran ternak (urine kambing, domba dan sapi) atau bisa juga terbuat

dari kulit udang, bulu ayam, ikan busuk (ikan teri, ikan peda dan lain- lain)

(13)

36

Proses pemupukan susulan pada lahan 1 ha dikerjakan oleh tiga

orang tenaga kerja yang terdiri dari dua orang tenaga kerja pria masing-masing

dari luar keluarga dan dalam keluarga mengerjakan kegiatan ini selama

lima hari dan dibantu oleh 1 orang tenaga kerja wanita dari dalam

keluarga dan dikerjakan selama 2 hari. Namun, pada proses pemupukan susulan

untuk lahan 0,4 ha hanya dibutuhkan 2 orang tenaga pria masing-masing dari

luar keluarga dan dalam keluarga, dan dikerjakan selama 2 hari.

4.1.7. Perawatan Tanaman

Penyulaman tanaman pada cabai merah diperlukan untuk

mengganti tanaman utama yang mengalami pelayuan tanaman atau mati. Proses

penyulaman ini dilakukan sejak satu hingga dua minggu setelah tanam. Caranya

adalah dengan mengganti tanaman yang mati dengan tanaman yang baru. Bibit

yang digunakan untuk penyulaman adalah sisa bibit yang masih ada di

polibag. Proses penyulaman pada lahan 1 ha dan 0,4 menggunakan tenaga

kerja wanita sebanyak 2 orang dan masing-masing lahan dikerjakan dalam

waktu 7 hari dan 3 hari.

4.1.7. Pengontrolan Tanaman

Dalam pengontrolan petani melakukan pengamatan terhadap hama

dan penyakit. Kegiatan ini dilakukan setiap hari dan biasanya yang mengerjakan

adalah tenaga kerja perempuan. Hama yang sering menyerang cabai merah

(14)

dari daunnya, tanpa menggunakan obat- obatan. Ketika melakukan

pengamatan hama dan penyakit, bisa juga dilakukan pembersihan gulma di

sekitar tanaman cabai.

4.1.8. Panen

Bila tidak ada hambatan dan perawatan cukup intensif, tanaman

cabai merah akan dapat dipanen pertama kalinya pada usia 70-75 hari.

Selanjutnya, cabai merah dapat dipanen secara terus- menerus dengan selang

waktu pemanenan 4 hari sekali, sampai maksimal umur tanaman 1,5 tahun.

Setelah umur 1,5 tahun tanaman sudah tidak dapat lagi menghasilkan buah.

Cara panen untuk perlu diperhatikan, pemetikan buah hendaknya dilakukan

dengan mengikutkan tangkai buahnya. Tujuannya agar buah bisa bertahan lama

setelah dipetik, dan tingkat kematangan buah sewaktu panen bisa

disesuaikan dengan kebutuhan, bila menghendaki cabai yang merah berarti

waktu panennya bisa lebih lama. Menurut petani, saat pemanenan perlu

diperhatikan pemilihan cabai yang sehat untuk dijadikan induk penghasil

benih pada penanaman berikutnya. Tanaman yang terpilih kemudian

dipelihara buahnya sampai benar- benar tua. Setelah tua, cabai tersebut dipetik,

dijemur, dan bijinya disortir untuk mendapatkan biji yang sehat.

Selama masa produktif tanaman yaitu 1,5 tahun cabai merah dapat

dipanen sebanyak 117 kali pada lahan 1 ha, sedangkan pada lahan 0,4 ha

(15)

38

pemanenan hanya membutuhkan 2 orang tenaga kerja dari dalam keluarga,

karena pemanenan ini tidak terlalu sulit dalam pelaksanaannya.

4.1.9. Pemasaran Hasil

Cabai merah yang telah dipanen langsung dijual oleh petani ke

konsumen, yaitu pemilik restoran- restoran dengan produk organik dan juga

pemilik kios/ toko sayuran organik yang ada di pusat pasar tradisional di

Sumatera Utara dengan harga yang diterima petani antara Rp 20.000,00

sampai Rp 35.000,00 per kilogram. Proses pemasaran yang terjadi yaitu

konsumen mengambil sendiri cabai merah organik tersebut ke tempat petani

sesuai jumlah yang diminta sebelumnya

4.2. Biaya Produksi

Sarana produksi merupakan faktor pengantar produksi usahatani.

Sarana produksi pada usahatani cabai merah organik dan non organik terdiri

dari bibit, lahan, tenaga kerja dan alat- alat pertanian yang digunakan pada

saat budidaya berlangsung. Berikut dijelaskan sarana produksi yang terdapat

dalam usahatani cabai merah.

4.3. Bibit

Cabai merah yang ditanam oleh petani biasanya adalah Hot Chilli atau petani lebih sering menggunakan bibit lokal yang dibuat sendiri. Bibit jenis

(16)

telah dipanen dimana dipilih yang bentuknya sempurna sehingga nantinya

menghasilkan bibit yang baik kualitasnya. Jarak tanam yang umum digunakan

petani adalah 60 x 60 cm, maka untuk luasan lahan 1 hektar bibit yang

dibutuhkan adalah 25.000 bibit cabai merah organik dengan hasil panen

sebanyak 10.000 kg, sedangkan untuk luasan lahan 1 hektar cabai merah

non organik bibit yang dibutuhkan sebanyak 25.000 dengan hasil panen

sebanyak 15.000 kg cabai merah non organik dan ditambah dengan bibit

cadangan yang digunakan untuk penyulaman sebanyak 20% dari bibit yang

dibutuhkan.

4.4. Lahan

Rata-rata kepemilikan lahan berkisar antara 0,1 ha sampai 1 , 2 ha. Lahan seluas

ini biasanya hanya ditanami dengan satu jenis tanaman utama dan satu jenis

tanaman sebagai tanaman pendamping untuk sistem polikultur.

4.5. Tenaga Kerja

Kebutuhan tenaga kerja untuk usahatani cabai merah, baik secara organik

maupun non organik dapat berupa tenaga kerja dalam keluarga yaitu

tenaga kerja yang berasal dari anggota keluarga petani dan tenaga kerja luar

keluarga yaitu tenaga kerja yang merupakan tenaga upahan.

Jadwal atau waktu kerja b i a s a n y a mulai pukul 07.00 sampai pukul

15.00 (8 jam kerja) untuk tenaga kerja laki- laki, sedangkan pukul 07.00 sampai

(17)

40

penggunaan tenaga kerja pada usahatani non organik pada lahan 1 hektar lebih

banyak menggunakan tenaga kerja pria yaitu sebesar 55 persen atau sebanyak

276 HKP, sedangkan wanita sebesar 45 persen atau sebanyak 227 HKP.

Perincian penggunaan tenaga kerja untuk kegiatan budidaya tanaman cabai

merah non organik untuk produksi satu tahun dapat dilihat pada Tabel 4.1

Tabel 4.1 Penggunaan Tenaga Kerja Usahatani Cabe Merah Non Organik Per Hektar Untuk Masa Produksi Satu Tahun d i S u m u t

Sumber : Dinas Pertanian Sumatera Utara, 213 (diolah)

Rata-rata yang dibayarkan untuk tenaga kerja laki- laki adalah Rp

20.000,-/ hari dan untuk perempuan adalah Rp 10.000,-20.000,-/ hari. Jumlah anggota keluarga

yang terlibat dalam usahatani cabai merah rata- rata sebanyak dua orang yaitu

istri dan anak petani. Kontribusi masing- masing tenaga kerja pada setiap proses

usahatani cabai merah organic. Tenaga kerja perempuan lebih banyak digunakan

pada kegiatan pemanenan dan perawatan. Kontribusi tenaga kerja perempuan

dalam usahatani ini sebesar 56 persen dari total pemakaian tenaga kerja

Total 92,5 111,0 183,5 116,0 503,0 -

(18)

Dalam kegiatan budidaya cabai merah non organik tenaga kerja yang

digunakan sebanyak 503 HKP dengan perincian jumlah tenaga kerja luar

keluarga sebanyak 203,5 HKP dan jumlah tenaga kerja dalam keluarga sebanyak

300 HKP. Penggunaan tenaga kerja paling banyak pada saat kegiatan

perawatan yaitu sebesar 44 persen dan pada kegiatan pemanenan sebesar 26

persen.

Dalam kegiatan budidaya cabai merah non organik pada luasan rata- rata

lahan (0,2 Ha) tenaga kerja yang digunakan sebanyak 163,2 HKP

dengan perincian jumlah tenaga kerja luar keluarga sebanyak 32,8 HKP dan

jumlah enaga kerja dalam keluarga sebanyak 130,4 HKP. Penggunaan

tenaga kerja paling banyak pada saat kegiatan perawatan yaitu sebesar 53

persen dan pada kegiatan pemanenan sebesar 32 persen ( Pusat Data dan

Informasi Pertanian. Volume 5, Nomor 4. 2006. PDB Sektor Pertanian).

Penggunaan tenaga kerja pada usahatani non organik ini lebih banyak

menggunakan tenaga kerja wanita yaitu sebesar 50,5 persen atau sebanyak

82,4 HKP, sedangkan wanita sebesar 49,50 persen atau sebanyak 81 HKP.

Perincian penggunaan tenaga kerja untuk kegiatan budidaya tanaman cabai

(19)

42

Nilai Tenaga 80 576 976 1.072 3.264

Sumber : Dinas Pertanian Sumatera Utara, 213 (diolah)

Terdapat perbedaan penggunaan tenaga kerja antara usahatani cabai

merah dengan budidaya secara organik dan non organik. Pada usahatani secara

organik penggunaan tenaga kerja lebih banyak daripada usahatani secara

non organik, yaitu sebesar 866,4 HKP dan non organik sebanyak 503 HKP

pada luasan lahan satu hektar. Penggunaan tenaga kerja perempuan pada

budidaya secara organik lebih banyak daripada non organik, yaitu sebesar

485,4 HKP dan 227 HKP (Pusat Data dan Informasi Pertanian. Volume 5,

Nomor 4. 2006. PDB Sektor Pertanian).

Hal ini karena budidaya secara organik membutuhkan perawatan yang

sangat teliti dan telaten agar tanaman yang dihasilkan memuaskan. Sehingga petani

yang menggunakan budidaya secara organik harus mengeluarkan biaya untuk

upah seluruh tenaga kerjanya lebih banyak dibandingkan dengan budidaya secara

(20)

4.6. Alat- Alat Pertanian

Dalam usahatani ini jenis alat- alat pertanian yang digunakan meliputi

cangkul, sprayer, kored, garpu, dan golok. Cangkul \digunakan untuk menggemburkan

tanah dan membuat selokan air. Kored dan golok digunakan petani untuk

membersihkan/ menyiangi gulma, dan rumput ataupun semak- semak yang

mengganggu tanaman. Garpu digunakan untuk menggemburkan tanah dan

membalik- balikkan tanah pada saat pengolahan dan pemberian pupuk. Sprayer

digunakan untuk menyemprotkan air dan untuk menyemprotkan pupuk cair

organik, atau untuk budidaya non organik digunakan untuk menyemprotkan

pestisida. Petani tidak selalu membeli alat- alat pertanian setiap kali musim

tanam, sebab setiap alat yang digunakan memiliki umur teknis lebih dari dua

tahun.

Tabel. 4 . 3 Penggunaan Peralatan Usahatani Cabai Merah untuk Satu MusimTanam di Sumut, 2012 per Rata-rata Luasan Lahan

Sumber : Dinas Pertanian Sumatera Utara, 213 (diolah)

(21)

44

Penggunaan alat- alat pertanian untuk setiap budidaya, baik secara organik

maupun non organik adalah sama, hanya jumlah yang dimiliki petani adalah sama,

tergantung kepemilikan luas lahan petani. Tabel 4 . 3 dan Tabel 4 . 4

Tabel. 4 . 4 Penggunaan Peralatan Usahatani Cabai Merah untuk Satu Musim Tanam di Sumut per Hektar

Sumber : Dinas Pertanian Sumatera Utara, 213 (diolah)

menunjukkan nilai penyusutan peralatan pertanian yang digunakan dalam

usahatani cabai merah baik yang digunakan secara organik maupun non organik

yaitu pada luasan lahan rata-rata nilai penyusutan sebesar Rp 159.998,00 per tahun.

Penyusutan dihitung dengan menggunakan metode garis lurus dengan asumsi

peralatan tersebut tidak dapat digunakan lagi setelah melewati umur teknis. Nilai

penyusutan untuk alat- alat yang digunakan pada lahan 1 ha sebesar Rp. 316.666,-

Biaya yang dikeluarkan petani terdiri atas biaya tunai dan biaya

diperhitungkan. Biaya tunai untuk usahatani cabai merah non organik ini terdiri

dari biaya sarana produksi seperti biaya benih, pupuk kandang, pestisida, tenaga

kerja luar keluarga, pembelian ajir (bambu) dan tali rafia. Sedangkan biaya yang

(22)

biaya penyusutan alat pertanian (cangkul, sprayer, kored, garpu dan golok) dan

biaya sewa lahan.

Alokasi biaya terbesar dalam saran produksi adalah untuk pupuk kandang.

Rata-rata penggunaan pupuk kandang per luasan rata - rata lahan per musim tanam

adalah 3.000 kg, sehingga biaya yang dikeluarkan untuk membeli pupuk kandang

adalah sebesar Rp 1.800.000,00. Rata-rata penggunaan pupuk kandang per hektar

per musim tanam sebesar 15.000 kg. Biaya yang dkeluarkan untuk pembelian pupuk

kandang sebesar Rp 9.000.000.00. Penggunaan pupuk kandang pada budidaya non

organik berbeda cara pemberiannya pada budidaya organik, dimana pemberian

pupuk pada budidaya non organik dilakukan dengan menyebar pupuk tersebut

secara merata di atas lubang tanam.

Pupuk kimia yang digunakan dalam usahatani cabai merah non organik

terdiri dari pupuk urea, SP36 dan KCL yang dibeli dengan harga masing- masing

Rp. 1.200,- per kilogram, Rp 1.550,00 per kilogram dan Rp 1.460,00 per

kilogram. Rata- rata penggunaan pupuk kimia per luasan 1 hektar lahan dalam 1

musim tanam adalah sebanyak pupuk urea 200 kg, SP36 150 kg dan KCL 100 kg.

Sedangkan pada luasan rata- rata lahan (0,2 ha) pupuk yang digunakan sebanyak

40 kg untuk penggunaan urea, 30 kg untuk penggunaan SP36 dan 20 kg untuk

penggunaan KCL.

Tenaga kerja dalam keluarga yang digunakan dalam usahatani cabai non

(23)

46

1 hektar sebesar 300 HKP. Tenaga kerja dalam keluarga ini terdiri dari isteri

atau anak- anak dari petani tersebut. Isteri atau anak- anak petani dianggap

sebagai buruh tani, sehingga isteri petani juga diberi upah seperti tenaga kerja luar

keluarga.

Biaya total yang dikeluarkan petani untuk usahatani cabai merah non

organik per luasan lahan rata-rata per musim tanam adalah sebesar Rp

6.503.698,00 sedangkan per hektar per musim tanam sebesar Rp 25.707.499,00.

Pada rata-rata luasan lahan, pendapatan yang diperoleh atas biaya tunai sebesar

Rp 11.960.000,00 sedangkan pendapatan atas biaya total per luasan rata-rata lahan

sebesar Rp. 9.096.302,00. Pada luasan lahan 1 hektar pendapatan yang diperoleh

atas biaya tunai sebesar Rp 59.172.500,00 sedangkan pendapatan atas biaya total

sebesar Rp 52.365.834,00 .

4.7. Analisis Pendapatan Usahatani Cabai Merah

Pada usahatani cabai merah non organik, penerimaan total diperoleh petani

dari produksi yang dihasilkan dikalikan dengan harga yang berlaku. Produksi rata-

rata cabai merah non organik per luasan rata-rata lahan per musim tanam adalah

3.000 kg, dengan luasan rata-rata lahan usahatani cabai merah non organik sebesar

0,2 hektar. Hasil panen ini selain dijual, juga dikonsumsi sendiri oleh petani rata-

rata sebanyak 1 persen (30 kg). Maka, produksi rata- rata cabai merah non organik

per rata-rata luasan lahan per musim tanam setelah dikurangi dengan tingkat

kegagalan panen sebesar 20 persen adalah 2.400 kg. Sehingga penerimaan petani

(24)

penerimaan yang diterima petani per hektar sebesar Rp. 78.000.000,- dengan

asumsi perhitungan yang sama.

4.8. Penentuan Harga Referensi Daerah Cabai Merah

Harga referensi daerah cabai adalah harga minimum pembelian cabai di

tingkat petani yang disepakati sebesar biaya produksi ditambah margin / keuntungan

petani sebesar 30 % (tiga puluh persen). Tujuan disepakatinya harga referensi daerah

cabai di Provinsi Sumatera Utara adalah untuk menjadi acuan bagi petani podusen

dan pelaku tata niaga cabai sehingga tidak merugikan petani. Yang menentukan harga

referensi daerah adalah seluruh organisasi atau himpunan petani/kelompok

tani/gabungan kelompok tani Cabai di Sumatera Utara, Badan Ketahanan Pangan

Provinsi Sumatera Utara, Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara, DInas Pertanian

dan Perindustrian Provinsi Sumatera Utara, Biro Perekonomian Setdaprovsu.

Sesungguhnya penentuan HRD (Harga Referensi Daerah) yang dilakukan

melalui diskusi seluruh stake holder merupakan dilema. Pada satu sisi jika HRD

(Harga Referensi Daerah) dianggap rendah oleh petani, maka petani akan enggan

menanam cabai dan Propinsi harus mengadakan impor dari luar Sumatera Utara

untuk mencukupi konsumsi, dan hal ini memberikan dampak pada semakin

melemahnya posisi petani.

Pada sisi yang lain tingginya harga referensi daerah akan dapat menyebabkan

(25)

48

sehingga akan terjadi kelebihan penawaran cabai di Sumatera Utara yang justru akan

melemahkan harga cabai pada tingkat harga yang merugikan petani.

Ketetapan HRD oleh pemerintah menjadi indikator penting dalam menambah

ketersediaan cabai di Sumatera Utara. Namun demikian, harga referensi daerah yang

tinggi juga akan dapat menyebabkan kenaikan produksi menjadi sia-sia jika tidak

dikonsumsi oleh perusahaan hilir cabai terutama industry makanan dan kuliner.

Tingginya harga actual akan menyebabkan serapan produksi cabai pada pasar industri

makanan dan kuliner menyebabkan akses supply yang membawa akibat pada

jatuhnya harga cabai.

Harga referensi daerah yang ditetapkan oleh pemerintah daerah Sumatera Utara

didasarkan pada besaran biaya produksi per hektar ditambah dengan besaran

keuntungan sebesar 30 persen. Namun demikian besaran HRD cabai juga menerima

masukan dari Gapoktan petani cabai.

Berdasarkan perhitunagan biaya total per hektar untuk komoditi padi adalah Rp.

25.707.499. Biaya total ini akan menghasilkan produksi cabai merah sebanyak

12.000 Kg . Dengan demikian harga pokok untuk cabai adalah Rp.

25.707.499/12.000/Kg atau Rp.2.142.292/Kg. Sehingga jika harga pokok ini

ditambahkan dengan 30 persen keuntungan maka harga referensi daerah untuk cabai

(26)

Harga referensi daerah untuk komoditi cabai merah di Sumatera Utara sebesar

Rp. . 2.784.979 /kg. ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan harga cabai merah di

tingkat petani yang mencapai Rp. 6.500,-. /Kg

Menentukan HRD dengan memberikan keuntungan pada petani 30 persen

atau lebih, dapat meningkatkan kesejahteraan petani cabai. Namun masalah yang

terjadi adalah harga actual di tingkat produsen bellum tentu akan lebih tinggi dari

HRD. Jika harga aktual melebihi 60 persen dari HRD maka harga ditingkat

konsumen akan meningkat tajam dan merugikan konsumen.

Konsekwensi logisnya adalah, dalam menetapkan kebijakan HRD seyogianya

pemerintah Sumatera Utara mengawal jalannya perkembangan harga aktual. Hal ini

penting mengingat harga yang liar akan menyebabkan kerugian petani yang

membawa dampat pada ketersediaan cabai di Sumatera Utara.

Beberapa rekomendasi dari hasil kajian adalah :

1. Menetapkan HRD 30 persen di atas harga pokok

2. Pemerintah mengontrol input produksi seperti pupuk agar tepat sasaran

3. Mengawal perkembangan harga aktual

4. Memberikan informasi harga actual cabai di Sentara produksi diluar Sumatera

Utara.

5. Mengawasi perkembangan jalur distribusi cabai di berbagai daerah di Sumatera

(27)

50

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini, diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Harga Referensi Daerah untuk komoditi cabe merah di Sumatera Utara

disusun berdasarkan kepada struktur biaya produksi dan besaran keuntungan

yang akan diperoleh oleh petani dengan tidak mengorbankan konsumen cabe

merah

2. Pembiayaan usahatani cabe di Sumatera Utara terdiri dari biaya sarana

produksi dan biaya tenaga kerja.

3. Recomendasi penetapan harga referensi daerah untuk cabai didasarkan kepada

persentasi atas harga pokok cabai merah. Harga referensi daerah untuk cabai

(28)

6.2. Saran

Dari hasil penelitian ini, penulis menyampaikan beberapa saran yaitu:

1. Kepada Petani

- Memperkecil biaya produksi, khususnya dalam penggunaan tenaga kerja dalam keluarga.

2. Kepada Pemerintah, khususnya Badan Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera

Utara.

- Agar menetapkan Harga Referensi Daerah cabai merah setiap setahun

sekali agar relevan karena setiap saat biaya saprodi usahatani selalu

(29)

10

ini berakar tunggang dengan banyak akar samping yang dangkal. Batangnya tidak

berbulu, tetapi banyak cabang. Daunnya panjang dengan ujung runcing (oblongus acutus). Cabai berbunga sempurna dengan benang sarinya tidak berlekatan

tersebut melekat pada placenta. Buah cabai mengandung zat capsicin yang pedas

(30)

runcing dan posisinya menggantung pada ketiak daun. Ketika muda warna

buahnya hijau, setelah tua berubah menjadi merah (Anonymous. 2007a).

Cabai dapat dengan mudah ditanam, baik di dataran rendah maupun

dataran tinggi. Syarat agar tanaman cabai tumbuh baik adalah tanah berhumus

(subur), gembur, bersarang, dan pH tanahnya antara 5 - 6. Tanaman cabai tidak

tahan hujan, terutama pada waktu berbunga, karena bunga - bunganya akan mudah

gugur. Jika tanahnya kebanyakan air atau becek, tanaman mudah terserang

penyakit layu. Oleh karena itu, waktu tanam cabai yang baik ialah pada awal

musim kemarau. Namun cabai juga dapat ditanam pada saat musim penghujan

asalkan drainasenya baik.

1. Cara Tanam

Cabai dikembangbiakkan dengan biji yang diambil dari buah tua atau

yang berwarna merah. Biji tersebut disemaikan terlebih dahulu. Tanah

persemaian ini sebaiknya dicampur dengan pupuk kandang supaya

bibitnya lekas besar. Biji akan tumbuh setelah empat sampai tujuh hari

kemudian. Untuk lahan seluas 1 hektar diperlukan 500 gram biji dengan daya

kecambah 75 persen.

Sebelum ditanam, tanah yang akan ditanami cabai dicangkul dan

diberi pupuk kandang. Pupuk kandang ini sebaiknya diletakkan di dalam lubang

kecil yang dibuat lurus dengan jarak antar lubang 50 - 60 cm dan jarak antar

baris 60 - 70 cm, tergantung kepada jenis yang akan ditanam. Setelah bibit

(31)

12

lubang tersedia. Satu bulan setelah tanam, tanaman diberi pupuk buatan. Pupuk

tersebut merupakan campuran urea, TSP, dan KCL dengan perbandingan 1 : 2 :

1 sebanyak 10 gram tiap tanaman. Oleh karena itu, diperlukan 150 kg urea,

300 kg TSP dan 150 kg KCL. Pada tanah tandus, pupuk urea dapat diberikan

sampai 200 kg per hektar. Pupuk buatan ini diberikan di sekeliling tanaman

sejauh 5 cm dari batangnya. Saat tanaman berumur dua bulan sebaiknya diberi

urea susulan 150 kg/ ha (Pracaya, 2003)

2. Pemeliharaan Tanaman

Pemeliharaan tanaman cabai tidak terlalu sulit, dengan cara

membersihkan rumput pengganggu, menjaga ketersediaan air, dan

memberantas hama serta penyakit. Hama yang sering menyerang tanaman

cabai ialah lalat buah (Dacus ferrugineus), kutu daun (Myzus persicae), dan tungu merah (Tetranycus sp.). Lalat buah merusak dengan menusuk buah cabai

hingga berguguran. Pemberantasan hama ini dengan penyemprotan Kelthane

0,1-0,2%.

Penyakit yang sering mengancam tanaman cabai adalah penyakit

busuk buah. Penyakit ini disebabkan cendawan Collectrichum nigrum.

Cendawan Oeidium sp. menyebabkan penyakit gugur daun, sedangkan cendawan

Phytophthora capsici penyebab terjadinya penyakit busuk daun. Penyakit busuk daun dan busuk buah tersebut dapat dicegah dengan disemprotkan Dithane M-45

(32)

besar ialah penyakit yang disebabkan virus daun keriting (TMV). Virus TMV

ditularkan kutu daun. Virus tersebut merusak daun muda sehingga menjadi

keriting atau menggulung dan mengecil. Penyakit ini sampai kini belum

dapat diberantas sehingga bila ada tanaman yang terserang lebih baik

dicabut dan dibuang agar tidak menular ke tanaman yang lain (setiadi, 1990).

3. Pemanenan

Pemungutan buah pertama dapat dilakukan setelah tanaman berumur

empat bulan. Tanaman yang baik dapat menghasilkan buah 4 - 10 ton buah per

hektar. Buah cabai mempunyai pasaran yang luas, baik dalam atau luar negeri.

Dalam bentuk olahan (sambal atau tepung) telah dipasarkan sampai Eropa dan

Amerika. Akan tetapi, harga cabai tidak stabil. Harga dapat berkisar antara

Rp.1.000, sampai Rp.15.000, per kilogram tergantung musim panen dan hari

besar (setiadi, 1990).

2.2 LANDASAN TEORI

Teori Produksi

Pengertian produksi adalah hasil akhir dari proses atau aktivitas ekonomi

dengan memanfaatkan beberapa masukan atau input. Dengan pengertian ini dapat

dipahami bahwa kegiatan produksi adalah mengkombinasi berbagai input atau

masukan untuk menghasilkan output. Hubungan teknis antara input dan output

(33)

14

fungsi produksi adalah suatu persamaan yang menunjukkan jumlah maksimum output

yang dihasilkan dengan kombinasi input tertentu (Nasir, M. 1999).

Hubungan antara jumlah output (Q) dengan sejumlah input yang digunakan

dalam proses produksi (X1, X2, X3, ……Xn) secara matematis dapat ditulis sebagai

berikut:

Q = f (X1 X2 X3... Xn) (2.1)

Keterangan:

Q = output

X = input

Berdasarkan fungsi produksi di atas maka akan dapat diketahui hubungan

antara input dengan output, dan juga akan dapat diketahui hubungan antar input itu

sendiri.

Apabila input yang dipergunakan dalam proses produksi hanya terdiri atas modal (K)

dan tenaga kerja (L) maka fungsi produksi yang dimaksud dapat diformulasikan

menjadi:

Fungsi produksi di atas menunjukkan maksimum output yang dapat

(34)

menggunakan kombinasi alternatif dari modal (K) dan tenaga kerja (L).

Dalam teori ekonomi, setiap proses produksi mempunyai landasan teknis yang

disebut fungsi produksi. Fungsi produksi adalah suatu fungsi atau persamaan yang

menunjukkan hubungan fisik atau teknis antara faktor-faktor yang dipergunakan

dengan jumlah produk yang dihasilkan per satuan waktu, tanpa memperhatikan harga,

baik harga faktor-faktor produksi maupun harga produk (Prajnanta, F. 2005) Secara

matematis fungsi produksi tersebut dapat dinyatakan:

Y = f (X1, X2, X3, ... , Xn)

Dimana

Y = tingkat produksi atau output yang dihasilkan, dan X1, X2, X3, ... , Xn adalah

berbagai faktor produksi atau input yang digunakan. Fungsi ini masih bersifat umum,

hanya bisa menjelaskan bahwa produk yng dihasilkan tergantung dari faktor-faktor

produksi yang dipergunakan, tetapi belum bisa memberikan penjelasan kuantitatif

mengenai hubungan antara produk dan faktor produksi tersebut. Untuk dapat

memberikan penjelasan kuantitatif, fungsi produksi tersebut harus dinyatakan dalam

bentuknya yang spesifik antara lain:

a) Y = a + bX (fungsi linear)

b) Y = a +bX – cX2 (fungsi kuadratis)

c) Y = aX1 bX2 c X3

d (fungsi Cobb-Douglas)

Menurut (Setiadi, 1990), sifat fungsi produksi diasumsikan tunduk pada suatu

(35)

16

berkurang. Hukum ini menyatakan bahwa jika penggunaan satu macam input

ditambah sedang input-input lain tetap maka tambahan output yang dihasilkan dari

setiap tambahan satu unit input yang ditambahkan tadi mula-mula naik tetapi

kemudian seterusnya menurun jika input tersebut terus ditambahkan. Hubungan

antara produk total, produk marginal dan produk rata-rata diperlihatkan dalam

gambar:

(36)

Gambar 1. Hubungan antara PT, PM dan PR

(37)

18

Hubungan produk dan faktor produksi yang diperlihatkan pada pada gambar 1.

mempunyai lima sifat (Epp & Malone, 1981) yaitu:

1. Mula-mula terdapat kenaikan hasil bertambah (garis 0B), di mana produk marginal

semakin besar; produk rata-rata naik tetapi di bawah produk marginal.

2. Pada titik balik atau inflection point B terjadi perubahan dari kenaikan hasil

bertambah menjadi kenaikan hasil berkurang, di mana produk marginal mencapai

maksimum (titik B’); produk rata-rata masih terus naik.

3. Setelah titik B, terdapat kenaikan hasil berkurang (garis BM), di mana produk

marginal menurun; produk rata-rata masih naiksebentar kemudian mencapai

maksimum pada titik C’, di mana pada titik ini produk rata-rata sama dengan

produk marginal. Setelah titik C’ produk ratarata menurun tetapi berada di atas

produk marginal.

4. Pada titik M tercapai tingkat produksi maksimum, di mana produk marginal sama

dengan nol; produk rata-rata menurun tetapi tetap positif.

5. Sesudah titik M, mengalami kenaikan hasil negatif, di mana produk marginal juga

negatif; produk rata-rata tetap positif. Dari sifat-sifat tersebut dapat disimpulkan

bahwa tahapan produksi seperti yang dinyatakan dalam The Law of Diminishing Return dapat dibagi ke dalam tiga tahap yaitu:

1. Produksi total dengan increasing returns,

2. Produksi total dengan decreasing returns, dan

(38)

Faktor produksi sering disebut dengan korbanan produksi untuk menghasilkan

produksi. Faktor produksi disebut dengan input. Faktor-faktor yang mempengaruhi

produksi dibedakan menjadi 2 kelompok (Soekartawi, 1990), antara lain: (1) Faktor

biologi, seperti lahan pertanian dengan macam dan tingkat kesuburannya, bibit,

varietas, pupuk, obat-obatan, gulma, dan sebagainya; (2) Faktor social ekonomi,

seperti biaya produksi, harga, tenaga kerja, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan,

resiko, dan ketidakpastian, kelembagaan, tersedianya kredit dan sebagainya.

Input merupakan hal yang mutlak, karena proses produksi untuk

menghasilkan produk tertentu dibutuhkan sejumlah faktor produksi tertentu.

Misalnya untuk menghasilkan jagung dibutuhkan lahan, tenaga kerja, tanaman,

pupuk, pestisida, tanaman pelindung dan umur tanaman. Proses produksi menuntut

seorang pengusaha mampu menganalisa teknologi tertentu dan mengkombinasikan

berbagai macam faktor produksi untuk menghasilkan sejumlah produk tertentu

seefisien mungkin.

Modal dalam arti luas dan umum adalah modal petani secara keseluruhan,

dengan memasukkan semua sumber ekonomi termasuk tanah di luar tenaga kerja.

Untuk menguji peran masing-masing faktor produksi, maka dari sejumlah faktor

produksi kita anggap variabel, sedangkan faktor produksi lainnya dianggap konstan

(39)

20 Teori Penetapan Harga

Menurut (Ginting, P. 2006) salah satu tujuan kebijakan harga pertanian adalah

menstabilkan harga produk pertanian untuk meningkatkan kegiatan usaha tani, serta

terciptanya harga pangan yang stabil bagi konsumen. Kebijakan harga pertanian dapat

dilakukan melalui berbagai instrumen yaitu kebijakan perdagangan, kebijakan nilai

tukar, pajak dan subsidi serta intervensi langsung. Secara tidak langsung stabilitas

harga dapat diterapkan melalui kebijakan pemasaran output dan kebijakan input.

Kebijakan input dapat dijalankan berupa subsidi harga sarana produksi yang

diberlakukan pemerintah terhadap pupuk, benih, pestisida dan kredit.

Harga jual adalah sejumlah biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk

memproduksi suatu barang atau jasa ditambah dengan persentase laba yang

diinginkan perusahaan, karena itu untuk mencapai laba yang diinginkan oleh

perusahaan salah satu cara yang dilakukan untuk menarik minat konsumen adalah

dengan cara menentukan harga yang tepat untuk produk yang terjual. Harga yang

tepat adalah harga yang sesuai dengan kualitas produk suatu barang, dan harga

tersebut dapat memberikan kepuasan kepada konsumen.

Salah satu keputusan yang sulit dihadapi suatu usahatani adalah menetapkan

harga. Meskipun cara penetapan harga yang dipakai sama bagi setiap usahatani yaitu

didasarkan pada biaya, persaingan, permintaan, dan laba. Tetapi kombinasi optimal

dari faktor-faktor tersebut berbeda sesuai dengan sifat produk, pasarnya, dan tujuan

(40)

Tidak semua produsen akan memperoleh keuntungan ekonomi karena hal ini

bergantung pada struktur dan biaya. Sekalipun harga sama untuk setiap produsen,

struktur beaya akan berbeda karena hal ini bergantung pada teknologi yang digunakan

dan manajemen dalam melakukan produksi. Dalam hal ini akan dijumpai produsen

yang hanya memperoleh keuntungan normal (di mana AC=P) sehingga TC=TR.

Dikatakan keuntungan normal karena produsen telah membebamkan keuntungan per

unit Q pada harga pasar yang terjadi. Dalam kasus ini P=AC (Amir, 2004).

P C AC

MC

P B AR=MR=P

0 Q

Q1

(41)

22 Keterangan Gambar 1:

a) Pada harga OP, output yang dihasilkan OQ1, biaya rata-rata Q1B.

b) Pada titik B, AC = MC = MR = P.

c) TR = Luas segi empat OQ1BP, TR = luas segi empat OQ1BP, TR = TC.

d) Keuntungan = TR = TC = 0, keuntungan normal.

Salah satu metode untuk menetapkan harga jual menurut (Mei, Theresia. M.H.

2006) adalah dengan metode fixed percentage margin. Di sini margin dihitung atau ditentukan berdasarkan suatu persentase di tingkat eceran. Secara aljabar adalah

sebagai berikut. Pr = Pf + M , di mana Pr adalah harga jual, Pf adalah harga di tingkat

petani, dan M adalah margin atau keuntungan.

` Pemerintah turut campur dalam perekonomian negara kita. Salah satu bentuk

turut campur tangan pemerintah dalam perekonomian yaitu dalam menentukan harga

agar dianggap adil baik produsen maupun konsumen. Patokan harga yang dibuat oleh

pemerintah itu tidak lain untuk mewujudkan pendekatan antara konsumen dan

produsen dalam pembentukan harga yang riil. (Soekartawi 2006)

Menurut (Nurliah, Elly. 2002) bentuk campur tangan pemerintah tersebut

adalah melalui penetapan harga eceran tertinggi, penetapan harga terendah, pajak atau

melalui subsidi. Beberapa macam harga yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu :

(42)

Harga eceran tertinggi (ceiling price), adalah harga tertinggi yang ditetapkan oleh pemerintah yang bertujuan untuk melindungi konsumen. Dimana pemerintah

menetapkan harga maksimum suatu barang. Penjual tidak diperbolehkan menetapkan

harga di atas harga maksimum tersebut.

Adanya penetapan harga eceran tertinggi menyebabkan kelebihan permintaan,

yang dapat diatasi dengan impor atau usaha-usaha lain terkait peningkatan produksi /

layanan jasa. Harga eceran tertinggi bertujuan untuk mencapai tingkat harga yang

tidak merugikan produsen maupun konsumen. Dari uraian tersebut penetapan harga

eceran tertinggi akan memberikan pengaruh pada menurunnya harga pasar, tercipta

kelebihan permintaan atau kekurangan penawaran, menurunkan kuantitas yang

diperjualbelikan, dan menurunkan penerimaan produsen.

Price

Demand Supply

Excess demand

Harga Batas Atas (ceiling price)

0 Q1 Q2 Quantity

Gambar 3. Kebijakan Harga Tertinggi (ceiling price)

Harga eceran terendah (floor price)

(43)

24

Harga eceran terendah (floor price) adalah harga terendah yan ditetapkan oleh pemerintah yang bertujuan untuk melindungi produsen. Dimana pemerintah

menetapan harga terendah khususnya pada komoditas-komoditas tertentu. Misalnya

pemerintah menetapkan harga terendah pembelian gabah kering dari para petani. Para

pembeli (umumnya para tengkulak) tidak diperbolehkan membeli gabah di bawah

(44)

Price excess supply Supply

Harga Batas Bawah ( floor price )

Demand

Q1 Q2 Quantity

Gambar 4. Kebijakan Harga Terendah ( floor price )

(45)

3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tanaman hortikultura mempunyai fungsi dalam pemenuhan kebutuhan

vitamin, mineral, penyegar, pemenuhan kebutuhan akan serat dan kesehatan

lingkungan. Salah satu komoditi hortikultura yang sangat dibutuhkan manusia dan

merupakan salah satu pangan yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat hampir

setiap hari adalah sayuran. Banyaknya manfaat sayuran ini menyebabkan sayuran

menjadi bagian dari komoditas hortikultura yang terus diproduksi. Perkembangan

tanaman hortikultura terutama sayuran dari tahun ke tahun terus meningkat, baik

dari segi luasan lahan panen, produktivitas dan produksi setiap tahun di Indonesia

mengalami perkembangan yang cukup baik (Hermanto, Fadholi. 1996).

Cabai besar merupakan produk hortikultura yang memiliki harga yang sangat

berfluktuasi. Adanya fluktuasi harga ini merupakan suatu risiko yang dihadapi oleh

petani. Sewaktu–waktu harga sangat tinggi namun tidak berselang lama harga dapat

turun dengan drastis. Kesenjangan harga tertinggi dan terendah pada komoditi cabai

merah cukup besar. Sepanjang tahun 2006-2008 cabai merah keriting terendah berada

pada harga Rp 2800 per kilogram sedangkan harga tertinggi adalah Rp 26000 per

kilogram. Sementara itu untuk cabai merah besar harga terendah berada pada titik Rp

(46)

Di sisi lain wilayah sentra produksi pertanian hortikultura khususnya cabai

merah memiliki topografi yang beragam, ketersediaan sarana prasarana yang

mendukung sektor tersebut (produksi, pengolahan, penyimpanan) bervariasi dari satu

wilayah dengan wilayah lain, waktu panen yang tidak bersamaan di beberapa

wilayah, dan iklim yang kurang mendukung pada saat tanam maupun panen raya,

sehingga petani, kelompok tani (Poktan) maupun Gabungan Kelompoktani

(Gapoktan) selalu dihadapkan pada berbagai masalah:

(a) Keterbatasan modal usaha untuk melakukan kegiatan pengolahan, penyimpanan,

pendistibusian/pemasaran;

(b) Posisi tawar petani yang rendah pada saat panen raya yang bersamaan dengan

datangnya hujan, sehingga petani terpaksa menjual produknya dengan harga

rendah kepada para pelepas uang (pedagang perantara);

(c) Keterbatasan akses saat paceklik yang disebabkan karena tidak memiliki

cadangan yang cukup.

Dampak dari ketidakberdayaan petani, Poktan dan Gapoktan dalam mengolah,

menyimpan dan mendistribusikan/memasarkan hasil produksinya dapat

menyebabkan: (a) ketidakstabilan harga di wilayah sentra produksi pertanian pada

saat terjadi panen raya, dan (b) kekurangan pangan pada saat musim paceklik. Untuk

mengatasi permasalahan harga, kebiajakan yang dilakukan oleh pemerintah Sumatera

Utara adalah dengan menetapkan Harga Referensi Daerah (HRD). (Anonimous.

(47)

5

Dari tabel 1, kita dapat melihat produksi cabai dari tahun ke tahun mengalami

peningkatan. Dalam kurun waktu tahun 2005 hingga tahun 2010, produksi tertinggi

tercapai pada tahun 2010 yaitu sebanyak 196.347 ton. Sedangkan produksi terendah

terdapat di tahun 2005 yaitu sebanyak 104.089 ton. Luas panen cabai di sumatera

utara juga meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan luas panen ini meningkat

sekitar 10 hingga 20 persen setiap tahun. Sedangkan untuk rata-rata produksi,

komoditi cabai di Sumatera Utara mengalami fluktuasi rata-rata produksi setiap

tahun. Pada tahun 2008, rata-rata produksi cabai tidak mengalami peningkatan yang

signifikan dibandingkan tahun sebelumnya yaitu tahun 2007. Rata-rata produksi cabai

tahun 2008 adalah sebesar 85,74 Kw/ha sedangkan rata-rata produksi cabai tahun

2007 adalah sebesar 85,30 Kw/ha. Rata-rata produksi cabai Sumatera Utara dari

tahun 2005 sampai tahun 2010 adalah sebesar 84,06 Kw/ha (Pusat Data dan

Informasi Pertanian. Volume 5, Nomor 2. 2006).

Tabel 1. Produksi Cabai Sumatera Utara Pada Tahun 2010

Tahun Luas Panen

(48)

Walaupun luas lahan, produksi, dan rata-rata produksi cabai di Sumatera

Utara cenderung mengalami kenaikan, namun kenaikan ini masih belum menjawab

masalah ketersediaannya dalam memenuhi seluruh kebutuhan akan cabai. Ketika

panen raya, harga cabai cenderung menurun signifikan. Sedangkan ketika hari-hari

besar, permintaan cabai akan meningkat harga cabai juga akan ikut meningkat tajam

hingga dua sampai tiga kali lipat.

Harga cabai yang rendah akibat panen raya, dirasakan sangat membebani

petani. Harga cabai yang dibeli oleh pedagang pengumpul bahkan terkadang tidak

sanggup menutupi biaya produksi. Sebaliknya, ketika hari besar dan permintaan cabai

meningkat, harga cabai akan meningkat tajam. Namun peningkatan harga cabai ini

tidak sepenuhnya dirasakan oleh petani. Petani hanya dapat merasakan sedikit porsi

dari kenaikan harga cabai di pasar. Hal ini terjadi akibat tidak efisiennya rantai

tataniaga cabai di Sumatera Utara sehingga margin share tidak terbagi secara adil sesuai dengan peran masing-masing pihak di dalam rantai tataniaga cabai ini.

Di lain pihak, konsumen akhir cabai di Sumatera Utara juga mengalami

peningkatan harga yang fluktuatif. Konsumen tidak selalu menikmati harga cabai

yang rendah ketika musim panen raya. Harga cabai biasanya tidak turun drastis sesuai

dan tidak terlalu berbeda jauh dengan harga di tingkat petani. Misalnya ketika harga

cabai di tingkat petani turun hingga 70% dari musim sebelumnya, harga cabai di

tingkat konsumen akhir hanya turun maksimal hingga 30%. Sedangkan ketika

permintaan cabai tinggi yang umumnya terjadi ketika hari-hari besar nasional,

(49)

7

Melihat kegiatan tataniaga cabai di Sumatera Utara yang masih cukup tidak

efisien, maka pemerintah hendaknya mengambil langkah kebijakan dan pelaksanaan

kebijakan yang bertujuan meningkatkan efisiensi tataniaga cabai di Sumatera Utara.

Bulog, sebagai salah satu lembaga yang bertugas menjaga stabilitas harga dan stok

pangan, dapat merumuskan kebijakan Harga Referensi Daerah (HRD) yang berguna

untuk stabilisasi harga.

Harga Referensi Daerah (HRD) bertujuan untuk melindungi petani dari

kerugian akibat penurunan harga cabai yang signifikan. Harga Referensi Daerah

(HRD) juga bertujuan untuk melindungi konsumen dari kerugian akibat kenaikan

harga cabai ketika permintaannya sangat tinggi. Harga Referensi Daerah (HRD)

umumnya dirumuskan berdasarkan besarnya biaya produksi yang dikeluarkan petani

cabai di Sumatera Utara dalam memproduksi cabai tersebut.

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara menyiapkan harga referensi daerah

(HRD) cabai sebagai standar pembelian dari petani dengan mencari masukan dari

berbagai pihak, termasuk kalangan pengusaha. Harga Referensi Daerah Cabai adalah

harga minimum pembelian cabai di tingkat petani yang disepakati sebesar biaya

produksi ditambah margin/keuntungan petani sebesar 30% (tiga puluh persen).

Landasan kesepakatan Harga Referensi Daerah Cabai tahun 2012 di Provinsi

Sumatera Utara adalah :

1) Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu daerah sentra produksi Cabai

(50)

2) Masyarakat Provinsi Sumatera Utara memiliki permintaan yang cukup tinggi akan

komoditi cabai.

3) Fluktuasi harga cabai terutama ketika harganya menigkat tajam, selama ini telah

terbukti menyebabkan inflasi dan terganggunya perekonomian secara keseluruhan.

Dengan demikian, kebijakan Harga Referensi Daerah (HRD) sangat penting

di dalam membantu produsen dan konsumen cabai di Sumatera Utara terhindar dari

fluktuasi tajam harga cabai (Badan Ketahanan Pangan Sumatera Uatara 2012).

1.2 Identifikasi Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan

beberapa permasalahan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimanakah proses awal perencanaan harga referensi daerah cabai di

Sumatera Utara.

2. Berapa besar biaya biaya produksi (cost price) cabe pada tingkat on-farm di Sumut.

3. Berapa rekomendasi Harga Referensi Daerah (HRD) yang tepat untuk komoditi

cabai di daerah penelitian.

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa

permasalahan penelitian sebagai berikut :

1. Mengetahui proses awal perencanaan harga referensi daerah cabai di Sumatera

(51)

9

2. Berapa besar biaya biaya produksi (cost price) cabe pada tingkat on-farm di Sumut.

3. Menganalisis berapa rekomendasi Harga Referensi Daerah (HRD) yang tepat untuk

komoditi cabai di daerah penelitian?

1.4 Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dilaksanakannya penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di fakultas

Pertanian Universutas Sumatera Utara.

2. Sebagai bahan informasi bagi para pengambil keputusan untuk menentukan

harga jual cabai dan Harga Referensi Daerah yang layak untuk komoditi cabai

(52)

ABSTRAK

IRWANDA AKHIRUDDIN LUBIS

: Biaya Usaha Tani Dan Harga

Referensi Daerah Komoditas Cabe Merah Di Sumatera Utara, di bimbing oleh Dr. Ir. Salmiah, MS dan Dr. Ir. Satia Negara Lubis, MEc.

konsumen akhir cabai di Sumatera Utara juga mengalami peningkatan harga yang fluktuatif. Konsumen tidak selalu menikmati harga cabai yang rendah ketika musim panen raya. Harga cabai biasanya tidak turun drastis sesuai dan tidak terlalu berbeda jauh dengan harga di tingkat petani. Misalnya ketika harga cabai di tingkat petani turun hingga 70% dari musim sebelumnya, harga cabai di tingkat konsumen akhir hanya turun maksimal hingga 30%. Sedangkan ketika permintaan cabai tinggi yang umumnya terjadi ketika hari-hari besar nasional, konsumen harus menerima harga yang meningkat hingga 2 sampai 3 kali lipat. Penelitian dilakukan di Pasar – Pasar Tradsional di Sumatera Utara pada bulan Juni - Agustus 2013 dengan menggunakan metode penentuan daerah sampel, metode pengumpulan data dan metode analisis data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya usaha tani memberikan pengaruh yang signifikan terhadap harga referensi daerah komoditas cabe merah di Sumatera Utara.

Kata Kunci : Biaya usaha tani, harga refernsi daerah.

ABSTRACT

IRWANDA Akhiruddin LUBIS: Cost of Farm Commodities and Price Reference Regional Red Chili In North Sumatra, guided by Dr. Ir. Salmiah, MS and

Dr.Ir. Satia State Lubis, MEc. end customers in North Sumatra pepper also increased prices fluctuate. Consumers do not always enjoy a low price when the chili harvest season. Chilli prices usually do not fall dramatically appropriate and not too much different from the price at the farm level. For example, when the price of chili at farm level fell to 70% from the previous season, the price of pepper at the end consumer level fell only a maximum of up to 30%. When demand is high while the chili is generally the case when the national major holidays, consumers must accept the price increase to 2 to 3-fold. The study was conducted in the Market - The market traditionally in North Sumatra in June to August 2013 by using the method of determination of the sample area, the method of data collection and data analysis methods. The results showed that the costs of farming have a significant influence on the price of commodities cayenne referenc eareainNorthSumatra.

(53)

BIAYA USAHA TANI DAN HARGA REFERENSI DAERAH

KOMODITAS CABAI MERAH DI SUMATERA UTARA

SKRIPSI

OLEH:

IRWANDA AKHIRUDDIN LUBIS

070304009

AGRIBISNIS

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(54)

BIAYA USAHA TANI DAN HARGA REFERENSI DAERAH

KOMODITAS CABAI MERAH DI SUMATERA UTARA

SKRIPSI

OLEH:

IRWANDA AKHIRUDDIN LUBIS

070304009 AGRIBISNIS

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian di Departemen Agribisnis, Fakultas Pertanian,

Universitas Sumatera Utara

Disetujui Oleh: Komisi Pembimbing

Ketua Anggota

(Dr. Ir. Salmiah, MS) (Dr. Ir. Satia Negara Lubis, MEc) NIP. 195702171986032001 NIP. 196304021997031001

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(55)

ABSTRAK

IRWANDA AKHIRUDDIN LUBIS

: Biaya Usaha Tani Dan Harga

Referensi Daerah Komoditas Cabe Merah Di Sumatera Utara, di bimbing oleh Dr. Ir. Salmiah, MS dan Dr. Ir. Satia Negara Lubis, MEc.

konsumen akhir cabai di Sumatera Utara juga mengalami peningkatan harga yang fluktuatif. Konsumen tidak selalu menikmati harga cabai yang rendah ketika musim panen raya. Harga cabai biasanya tidak turun drastis sesuai dan tidak terlalu berbeda jauh dengan harga di tingkat petani. Misalnya ketika harga cabai di tingkat petani turun hingga 70% dari musim sebelumnya, harga cabai di tingkat konsumen akhir hanya turun maksimal hingga 30%. Sedangkan ketika permintaan cabai tinggi yang umumnya terjadi ketika hari-hari besar nasional, konsumen harus menerima harga yang meningkat hingga 2 sampai 3 kali lipat. Penelitian dilakukan di Pasar – Pasar Tradsional di Sumatera Utara pada bulan Juni - Agustus 2013 dengan menggunakan metode penentuan daerah sampel, metode pengumpulan data dan metode analisis data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya usaha tani memberikan pengaruh yang signifikan terhadap harga referensi daerah komoditas cabe merah di Sumatera Utara.

Kata Kunci : Biaya usaha tani, harga refernsi daerah.

ABSTRACT

IRWANDA Akhiruddin LUBIS: Cost of Farm Commodities and Price Reference Regional Red Chili In North Sumatra, guided by Dr. Ir. Salmiah, MS and

Dr.Ir. Satia State Lubis, MEc. end customers in North Sumatra pepper also increased prices fluctuate. Consumers do not always enjoy a low price when the chili harvest season. Chilli prices usually do not fall dramatically appropriate and not too much different from the price at the farm level. For example, when the price of chili at farm level fell to 70% from the previous season, the price of pepper at the end consumer level fell only a maximum of up to 30%. When demand is high while the chili is generally the case when the national major holidays, consumers must accept the price increase to 2 to 3-fold. The study was conducted in the Market - The market traditionally in North Sumatra in June to August 2013 by using the method of determination of the sample area, the method of data collection and data analysis methods. The results showed that the costs of farming have a significant influence on the price of commodities cayenne referenc eareainNorthSumatra.

(56)

RIWAYAT HIDUP

IRWANDA AKHIRUDDIN LUBIS (070304009) dilahirkan di Medan pada tanggal 08

Juni 1989 sebagai anak kedua dari 2 bersaudara, dari keluarga Bapak Imran Lubis dan Ibu Saidah Aryany Simanjuntak.

Pendidikan yang pernah ditempuh penulis adalah sebagai berikut:

1. Sekolah Dasar (SD) tahun 1994 – 2000 di SD Swasta Eria di Medan.

2. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Tahun 2001 – 2003 di SLTP Swasta Al – Ulum di Medan.

3. Sekolah Menengah Atas (SMA) Tahun 2004 – 2007 di SMA Negeri 2 Medan. 4. Melalui jalur PMP Tahun 2005 diterima di Program Studi Agribisnis,

Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

5. Bulan Juni – Juli 2011, melaksanakan PKL di Desa Laut Tador, Kecamatan Sei Suka, Kabupaten Batubara.

Gambar

Tabel 4.1 Penggunaan  Tenaga  Kerja Usahatani  Cabe Merah  Non Organik  Per Hektar Untuk Masa Produksi Satu Tahun di Sumut
Tabel.  4.3  Penggunaan  Peralatan  Usahatani  Cabai  Merah  untuk  Satu  MusimTanam di Sumut, 2012   per Rata-rata Luasan Lahan
Tabel.  4.4  Penggunaan  Peralatan  Usahatani  Cabai  Merah  untuk  Satu  Musim Tanam di Sumut  per Hektar
Gambar 1. Hubungan antara PT, PM dan PR
+3

Referensi

Dokumen terkait

Walaupun kelima kelompok organisme tersebut dapat digunakan sebagai indikator biologik perairan, tetapi indikator biologik sebaiknya dipilih dari kelompok

Pemahaman orang tua mengenai dampak playgroup dalam pendidikan anak usia dini Kota Palangka Raya keseluruhannya berpengetahuan baik hal ini dilihat dari cara orang tua

Data dianalisis dengan meng- gunakan analisis keragaman pola RAL dan perbedaaan antar perlakuan diuji dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) menurut Steel and

Perlu ditegaskan, bahwa berdasarkan Pasal 11 Peraturan Daerah Kabupaten Bengkayang Nomor 6 Tahun 2012 Tentang Bangunan Gedung, Setiap bangunan gedung di Kabupaten

Diberitahukan dengan hormat, setelah kami melakukan verifikasi berkas calon oeserta Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) Tahun 2017,kami menemukan..

Metode CPM merupakan suatu metode perencanaan dan penjadwalan proyek yang dapat menunjukkan aktivitas-aktivitas kritis, serta dapat digunakan untuk merencanakan, mengontrol

terletak di kawasan strategis di wilayah Asia Tenggara, yang menyebabkan penumpang pesawat udara di Indonesia terus menerus meningkat hingga mencapai 22% per

Banyak dari pihak sekolah yang memang menggratiskan mengenai buku pelajaran bagi murid-murid, namun murid-murid masih harus menanggung biaya-biaya yang lain misalnya biaya