52
DAFTAR PUSTAKA
Amir, 2004. Strategi Memasuki Pasar Ekspor. Penerbit PPM. Jakarta..
Anonymous. 2007 a. Cabai Merah ( capsicum annum L).
Badan Ketahanan Pangan Sumatera Utara, 2012. Surat Kesepakatan Harga Referensi Daerah Jagung Tahun 2012 di Provinsi Sumatera Utara. Medan.
Direktorat Jendral Bina Produksi Hortikultura. 2005. Statistik Tanaman Sayuran. Departemen Pertanian. Jakarata.
Ginting, P. 2006. Pemasaran Produk Pertanian. USU Press. Medan.
Hernanto, Fadholi. 1996. Ilmu Usahatani. Penebar swadaya. Jakarta.
Mei, Theresia. M.H. 2006. Analisis Pendapatan Usahatani dan Pemasaran Sayuran Organik Yayasan Bina Sarana Bhakti. Skripsi. Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Mubyarto. 1977. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES. Jakarta.
Nasir, M. 1999. Heritabilitas dan Kemajuan Genetik Harapan Karakter Agionomi Tanaman Lombak (capcum annuum L) Habitat. 11 (109) : 1 - 8.
Nurliah, Elly. 2002. Analisis Pendapatan Usahatani Dan Pemasaran Cabai Merah Keriting di Desa Sindangmekar Kecamatan Wanaraja Kabupaten Garut, Jawa Barat. Jurusan Ilmu- Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Pracaya, 2003. Bertanam Lombok Kanisius. Yogyakarta. P. 11 – 19.
Prajnanta, F. 2005. Agribis Cabai Hibrida. Peneban Swadaya. Jakarta.
Pusat Data dan Informasi Pertanian. Volume 5, Nomor 2. 2006. PDB Sektor Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Pusat Data dan Informasi Pertanian. Volume 5, Nomor 4. 2006. PDB Sektor Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Setiadi, 1990. Bertanam cabai. Penebar Swadaya. PP 182.
Soekartawi, 1993. Analisis Usahatani. UI Press. Jakarta.
Soekartawi, 2003. Prinsip Dasar Manajemen Pemasaran Hasil-Hasil Pertanian. RAJA Grafindo Persada. Jakarta.
Soekartawi. 2006. Analisis Usahatani. Penerbit Universitas Indonesia. UI Press.Jakarta.
26
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penentuan Daerah Sampel
Daerah penelitian adalah Sumatera Utara. Propinsi Sumatera Utara dipilih
sebagai daerah penelitian dikarenakan Propinsi Sumatera Utara merupakan salah satu
Propinsi yang akan menetapkan harga referensi daerah untuk komoditi Cabai.
3.2 Metode Pengumpulan Data
Adapun data yang dikumpulkan pada penelitian ini terdiri dari data primer dan
data sekunder. Data primer diperoleh dari data hasil wawancara langsung antara
peneliti dan responden yaitu pimpinan di Dinas Pertanian dan badan Ketahanan
Pangan Sumatera Utara. Sedangkan data sekunder merupakan data yang baru
diperoleh peneliti dari dinas terkait seperti Kantor Badan Ketahanan Pangan Sumut,
Dinas Pertanian Sumut,dan Balai Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara
3.3 Metode Analisis Data
Untuk tujuan pertama akan dianalisis secara diskriptif, yaitu diskripsi tentang
TC = FC+VC
Untuk tujuan kedua dianalisis dengan menggunakan tabulasi sederhana untuk
menghitung biaya produksi
Keterangan: TC = Total Cost (Total Biaya)
FC = Fixed Cost (Biaya Tetap)
VC = Variable Cost (Biaya Variabel)
Untuk tujuan ketiga digunakan analisis Pendapatan yang dibedakan
menjadi dua, pertama pendapatan atas biaya tunai (pendapatan tunai) yaitu biaya
yang benar- benar dikeluarkan secara tunai oleh petani (explicit cost). Kedua, pendapatan atas biaya total (pendapatan total) dimana semua input milik keluarga
juga diperhitungkan sebagai biaya.
Secara umum pendapatan diperhitungkan sebagai penerimaan dikurangi
dengan semua biaya yang telah dikeluarkan, baik biaya tunai maupun tidak tunai.
Secara matematis tingkat pendapatan usahatani dapat ditulis sebagai berikut
(soekartawi, 1993).
I tunai = NP – BT
I total = NP – (BT + BD)
28 I tunai = Pendapatan tunai
I total = Pendapatan total
NP = Nilai Produksi (jumlah produk x harga output) (Rp)
BT = Biaya Tunai (Rp)
BD = Biaya Diperhitungkan (Rp)
Biaya tunai terdiri dari sarana produksi, tenaga kerja luar keluarga,
dan pajak lahan. Biaya yang diperhitungkan meliputi sewa lahan, penyusutan
alat, dan tenaga kerja dalam keluarga, serta biaya bibit sendiri. Biaya
penyusutan alat- alat pertanian diperhitungkan dengan membagi selisih
antara nilai pembelian dengan nilai sisa yang ditafsirkan dengan lamanya modal
pakai. Metode yang digunakan ini adalah metode garis lurus. Metode ini
digunakan karena jumlah penyusutan alat tiap tahunnya dianggap sama
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 . Usaha Tani Cabe Merah 4.1.1. Pengolahan Lahan
Sebelum melakukan penanaman cabe biasanya petani di Sumatera Utara
akan melakukan pengolahan lahan . Kedalaman cangkul antara 20 - 30 cm,
agar akar tanaman dapat dengan leluasa memperoleh zat hara yang ada di
dalam tanah. Bila tanah sudah gembur bedengan dapat langsung dibuat.
Bedengan dibuat setinggi 30 - 40 cm, lebar bedengan ± 100 cm, serta jarak antar
bedengan ± 40 cm dengan tujuan agar bisa dilalui oleh petani. Selain itu,
perlu dibuatkan saluran air sebagai tempat untuk penampungan atau
pembuangan air yang berlebihan. Ini perlu dibuat agar pada waktu musim
kering, air pada saluran penampungan tersebut dapat dimanfaatkan. Biasanya
penanaman cabai di lahan tegalan dilakukan pada akhir musim hujan.
Dalam pengolahan lahan atau persiapan lahan petani yang memiliki
luasan rata-rata lahan 0,4 ha melakukan pengolahan lahan sendiri dan
dibantu oleh 1 orang tenaga kerja dalam keluarga dan 1 orang tenaga
kerja luar keluarga. Sedangkan petani yang memiliki lahan 1 ha mengolah
lahannya dibantu oleh 6 orang tenaga kerja, terdiri dari 1 orang tenaga kerja
dalam keluarga dan 5 orang tenaga kerja luar keluarga, dengan upah sebesar Rp.
30
waktu 10 hari dan pada lahan 0,4 ha dikerjakan selama 5 hari. Terdapat
perbedaan lamanya hari pada saat pengolahan lahan untuk sistem non
organik. Pada lahan 1 ha petani mengolah lahan selama 8 hari dengan
jumlah tenaga kerja sebanyak 6 orang dan pada lahan 0,2 ha yang dikerjakan
selama 2 hari dilakukan oleh 4 orang tenaga kerja.
4.1.2. Pembenihan Tanaman
Penyiapan benih dilakukan pada bedengan yang dibuat khusus untuk
pembenihan. Pada umumnya petani menyemai benih cabai dalam bedengan yang
ukurannya bervariasi. Petani responden umumnya berpedoman bahwa untuk
bedengan pembenihan cabai yang luasnya 2 m2 dapat membenihkan cabai
seluas 1.000 m2, jadi ukuran dan banyaknya bedengan yang akan dibuat
tergantung pada areal pertanaman yang dimiliki petani. Dengan demikian,
kebutuhan benih ± 500 g/ha. Setiap meter persegi luas bedengan diberi 5- 10
kg pupuk kandang dan kompos. Di atas bedengan diberi naungan yang
tingginya sekitar 1 m di bagian barat dan 1,5 m di bagian timur. Bila umur
calon bibit sudah 2 minggu, sebagian naungannya dibuang. Sisa naungannya
dapat dibuang setelah umur calon bibit tersebut sudah 3 minggu.
Buah yang memenuhi syarat dipotong menjadi tiga bagian yang setiap
bagiannya harus sama panjang antara 2 - 3 cm. Biji untuk benih diambil
dari potongan bagian tengah. Potongan bagian tengah ini umumnya memiliki biji
penyerbukan sempurna. Potogan yang dipilih dibelah, kemudian bijinya
dikeluarkan untuk dijemur sampai kering. Setelah biji cabai untuk
benih diperoleh, tahap berikutnya melakukan seleksi biji untuk
mendapatkan benih
cabai yang baik. Seleksi ini bertujuan agar diperoleh benih cabai dengan
daya tumbuh yang baik. Penyeleksian dilakukan dengan cara biji calon
benih dimasukkan ke dalam ember atau bak berisi air dan diaduk- aduk. Dengan
cara ini tampak adanya biji yang mengambang dan yang tenggelam. Biji
yang mengambang merupakan biji yang kurang baik untuk benih. Biji ini
merupakan biji yang tidak berisi (kosong). Sebaliknya, biji yang tenggelam
merupakan biji yang berisi.
Bila tidak langsung digunakan, benih yang terpilih dapat disimpan,
dengan cara benih ditebarkan merata di atas tampah dan dikeringkan dengan cara
dijemur, tetapi tidak langsung di bawah sinar matahari. Lamanya
penjemuran ini tergantung dari cuaca saat itu. Bila hari panas, lamanya
pengeringan 3 hari. Sebaliknya bila hari hujan, lamanya pengeringan
dapat dilakukan hingga seminggu. Benih yang sudah kering dimasukkan ke
dalam botol hingga ¾ tinggi botol, sedangkan ruang sisanya diisi abu
pembakaran. Dengan cara ini benih dapat disimpan hingga 2 - 3 bulan tanpa
mempengaruhi daya tumbuhnya.
32
Sebelum disemai, benih yang terpilih direndam selama 1 - 2 jam ke
dalam air hangat. Cara ini agar dapat mempercepat perkecambahan dan juga
dapat membantu menghilangkan sisa- sisa bakteri dan cendawan yang bisa
mengganggu. Setelah itu, benih dapat langsung ditebarkan ke persemaian.
Penyemaian benih di bedengan cukup dengan menebarkan benih di atas
tanah persemaian. Jarak tebaran antara 3 - 6 cm. Setelah benih ditebarkan di
bedengan, di atas benih tersebut ditaburkan pupuk kandang dan kompos.
Benih yang ditebarkan harus dilindungi dari terpaan sinar matahari langsung
ataupun air hujan.
Biasanya 1 - 2 minggu setelah penebaran, benih sudah mulai
bertunas. Untuk mendapatkan bibit yang siap tanam, tentunya semaian harus
dirawat dengan baik. Semaian siap tanam setelah berusia sekitar dua
minggu. Secara umum, perawatan yang dilakukan antara lain penyiraman serta
pengendalian serangan hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan dua kali
sehari, yaitu pagi dan sore bila di bedengan penyemaian sangat panas. Bila
udara dingin atau terjadi hujan, penyiraman dapat ditiadakan atau hanya sekali
penyiraman saja yaitu pada pagi hari saja. Persemaian perlu dijaga dari
kemungkinan serangan hama dan penyakit. Hama dan penyakit yang sering
mengganggu persemaian antara lain semut, cacing dan jamur. Biasanya
petani responden melakukan pengendalian hama dan penyakit dengan
menggunakan pengobatan secara alami, yaitu menggunakan daun sirsak, daun
4.1.3. Penanaman
Secara umum budidaya cabai merah organik dilakukan secara
polikultur atau tumpang sari dengan tanaman kol dan bisa juga dengan tanaman
sawi putih. Dalam budidaya tanaman cabai organik ini hanya dilakukan dalam
satu musim tanam, yaitu hanya satu tahun sekali sampai habis masa
pertumbuhannya. Penanaman ini dilakukan pada bedengan- bedengan yang
sudah disiapkan.
4.1.4. Penentuan Jarak Tanam
Berdasarkan pengalaman petani responden jarak tanam yang lebar akan
lebih baik untuk kesehatan tanaman. Jarak tanam yang umumnya
digunakan petani responden adalah 60 cm x 60 cm. Dengan jarak tanam yang
lebar, selain memberikan dampak positif terhadap kesehatan tanaman, juga
dapat memberikan keuntungan lain bagi tanaman, yaitu agar masing- masing
tanaman tidak saling berebut makanan, tidak berebut air, dan dapat
memperoleh sinar matahari atau cahaya yang cukup karena tanaman akan tidak
saling menaungi.
4.1.5. Penanaman Bibit
Bibit yang siap tanam merupakan bibit yang sudah berumur 1 - 1,5 bulan
setelah penyemaian benih. Sebelum penanaman, polibag tempat pembibitan harus
dibuang terlebih dahulu. Setelah itu, tanah dan bibitnya ditanam di lubang tanam
34
agar akar tanamannya tidak rusak. Untuk itu, perlakuan ini harus dilakukan
dengan hati- hati, maka sebaiknya hal ini dilakukan di dekat lubang tanam
agar bibitnya dapat langsung dimasukkan ke dalam lubang tanam.
Bila penanaman dilakukan dengan cara polikultur atau tumpang sari
jumlah tanaman yang akan ditanam berkisar 2.000 - 6.000 tanaman pada
luasan lahan 0,4 – 0,6 ha dengan jarak tanam 60 cm x 60 cm. Setelah
tanaman dimasukkan ke dalam lubang tanam, tanah bekas galiannya
dimasukkan menyusul ke dalam lubang tanam sambil diuruk hingga batas
pangkal batang atau menutupi tanah bekas pembibitan. Selanjutnya bagian
tanah di sekitar tanaman ditekan- tekan atau diinjak-injak yang arahnya ke
bagian akar agar tanah menjadi sedikit lebih padat. Cara ini bertujuan agar
tanaman tidak mudah goyang.
Waktu penanaman sebaiknya dilakukan pada pagi hari antara pukul
07.00 - 09.00 atau sore hari setelah pukul 15.00. Setelah penanaman,
penyiraman dapat langsung dilakukan. Pelindung tanaman juga diperlukan
untuk tanaman cabai merah ini, fungsinya untuk melindungi tanaman agar
tanaman tidak terkena sengatan sinar matahari secara langsung serta terhindar
dari terpaan air hujan dan angin kencang. Para petani membuat pelindung
atau naungan dari pelepah daun pisang kering ataupun daun kelapa. Pelindung
ini cukup ditopang dengan tiang bambu kecil atau ranting kayu asalkan cukup
35
kelembaban tanah terjaga, di atas tanah biasanya diberikan mulsa atau
penutup tanah, dan petani biasanya menggunakan daun kering, rumput
kering atau plastik perak sebagai mulsa.
4.1.6. Pemupukan Tanaman
Seminggu setelah penanaman, dapat dilakukan pemupukan awal. Tujuan
pemupukan ini adalah agar kol yang akan dipanen lebih dulu akan mendapat
makanan yang cukup tanpa terjadi perebutan makanan antara cabai dan
kol. Pupuk yang biasa digunakan petani responden adalah pupuk kandang dari
kotoran sapi, domba dan kambing. Aturan pemberian pupuk yang dilakukan
petani yaitu setiap satu lubang tanam diberi 1 kg pupuk kandang atau
kompos sebelum tanaman ditanam, diaduk dan didiamkan selama 2 hari.
Proses pemupukan awal ini dilakukan bersamaan saat proses pengolahan
lahan, sehingga jumlah tenaga kerja yang digunakan adalah sama saja.
Kemudian dilakukan pemupukan susulan,dilakukan pada saat awal
pertumbuhan, pembentukan bunga dan buah serta saat proses pematangan
buah. Waktu pemberiannya adalah saat tanaman berumur 1, 3, dan 5 minggu.
Pupuk yang biasa digunakan petani adalah pupuk cair organik yang terbuat
dari kotoran ternak (urine kambing, domba dan sapi) atau bisa juga terbuat
dari kulit udang, bulu ayam, ikan busuk (ikan teri, ikan peda dan lain- lain)
36
Proses pemupukan susulan pada lahan 1 ha dikerjakan oleh tiga
orang tenaga kerja yang terdiri dari dua orang tenaga kerja pria masing-masing
dari luar keluarga dan dalam keluarga mengerjakan kegiatan ini selama
lima hari dan dibantu oleh 1 orang tenaga kerja wanita dari dalam
keluarga dan dikerjakan selama 2 hari. Namun, pada proses pemupukan susulan
untuk lahan 0,4 ha hanya dibutuhkan 2 orang tenaga pria masing-masing dari
luar keluarga dan dalam keluarga, dan dikerjakan selama 2 hari.
4.1.7. Perawatan Tanaman
Penyulaman tanaman pada cabai merah diperlukan untuk
mengganti tanaman utama yang mengalami pelayuan tanaman atau mati. Proses
penyulaman ini dilakukan sejak satu hingga dua minggu setelah tanam. Caranya
adalah dengan mengganti tanaman yang mati dengan tanaman yang baru. Bibit
yang digunakan untuk penyulaman adalah sisa bibit yang masih ada di
polibag. Proses penyulaman pada lahan 1 ha dan 0,4 menggunakan tenaga
kerja wanita sebanyak 2 orang dan masing-masing lahan dikerjakan dalam
waktu 7 hari dan 3 hari.
4.1.7. Pengontrolan Tanaman
Dalam pengontrolan petani melakukan pengamatan terhadap hama
dan penyakit. Kegiatan ini dilakukan setiap hari dan biasanya yang mengerjakan
adalah tenaga kerja perempuan. Hama yang sering menyerang cabai merah
dari daunnya, tanpa menggunakan obat- obatan. Ketika melakukan
pengamatan hama dan penyakit, bisa juga dilakukan pembersihan gulma di
sekitar tanaman cabai.
4.1.8. Panen
Bila tidak ada hambatan dan perawatan cukup intensif, tanaman
cabai merah akan dapat dipanen pertama kalinya pada usia 70-75 hari.
Selanjutnya, cabai merah dapat dipanen secara terus- menerus dengan selang
waktu pemanenan 4 hari sekali, sampai maksimal umur tanaman 1,5 tahun.
Setelah umur 1,5 tahun tanaman sudah tidak dapat lagi menghasilkan buah.
Cara panen untuk perlu diperhatikan, pemetikan buah hendaknya dilakukan
dengan mengikutkan tangkai buahnya. Tujuannya agar buah bisa bertahan lama
setelah dipetik, dan tingkat kematangan buah sewaktu panen bisa
disesuaikan dengan kebutuhan, bila menghendaki cabai yang merah berarti
waktu panennya bisa lebih lama. Menurut petani, saat pemanenan perlu
diperhatikan pemilihan cabai yang sehat untuk dijadikan induk penghasil
benih pada penanaman berikutnya. Tanaman yang terpilih kemudian
dipelihara buahnya sampai benar- benar tua. Setelah tua, cabai tersebut dipetik,
dijemur, dan bijinya disortir untuk mendapatkan biji yang sehat.
Selama masa produktif tanaman yaitu 1,5 tahun cabai merah dapat
dipanen sebanyak 117 kali pada lahan 1 ha, sedangkan pada lahan 0,4 ha
38
pemanenan hanya membutuhkan 2 orang tenaga kerja dari dalam keluarga,
karena pemanenan ini tidak terlalu sulit dalam pelaksanaannya.
4.1.9. Pemasaran Hasil
Cabai merah yang telah dipanen langsung dijual oleh petani ke
konsumen, yaitu pemilik restoran- restoran dengan produk organik dan juga
pemilik kios/ toko sayuran organik yang ada di pusat pasar tradisional di
Sumatera Utara dengan harga yang diterima petani antara Rp 20.000,00
sampai Rp 35.000,00 per kilogram. Proses pemasaran yang terjadi yaitu
konsumen mengambil sendiri cabai merah organik tersebut ke tempat petani
sesuai jumlah yang diminta sebelumnya
4.2. Biaya Produksi
Sarana produksi merupakan faktor pengantar produksi usahatani.
Sarana produksi pada usahatani cabai merah organik dan non organik terdiri
dari bibit, lahan, tenaga kerja dan alat- alat pertanian yang digunakan pada
saat budidaya berlangsung. Berikut dijelaskan sarana produksi yang terdapat
dalam usahatani cabai merah.
4.3. Bibit
Cabai merah yang ditanam oleh petani biasanya adalah Hot Chilli atau petani lebih sering menggunakan bibit lokal yang dibuat sendiri. Bibit jenis
telah dipanen dimana dipilih yang bentuknya sempurna sehingga nantinya
menghasilkan bibit yang baik kualitasnya. Jarak tanam yang umum digunakan
petani adalah 60 x 60 cm, maka untuk luasan lahan 1 hektar bibit yang
dibutuhkan adalah 25.000 bibit cabai merah organik dengan hasil panen
sebanyak 10.000 kg, sedangkan untuk luasan lahan 1 hektar cabai merah
non organik bibit yang dibutuhkan sebanyak 25.000 dengan hasil panen
sebanyak 15.000 kg cabai merah non organik dan ditambah dengan bibit
cadangan yang digunakan untuk penyulaman sebanyak 20% dari bibit yang
dibutuhkan.
4.4. Lahan
Rata-rata kepemilikan lahan berkisar antara 0,1 ha sampai 1 , 2 ha. Lahan seluas
ini biasanya hanya ditanami dengan satu jenis tanaman utama dan satu jenis
tanaman sebagai tanaman pendamping untuk sistem polikultur.
4.5. Tenaga Kerja
Kebutuhan tenaga kerja untuk usahatani cabai merah, baik secara organik
maupun non organik dapat berupa tenaga kerja dalam keluarga yaitu
tenaga kerja yang berasal dari anggota keluarga petani dan tenaga kerja luar
keluarga yaitu tenaga kerja yang merupakan tenaga upahan.
Jadwal atau waktu kerja b i a s a n y a mulai pukul 07.00 sampai pukul
15.00 (8 jam kerja) untuk tenaga kerja laki- laki, sedangkan pukul 07.00 sampai
40
penggunaan tenaga kerja pada usahatani non organik pada lahan 1 hektar lebih
banyak menggunakan tenaga kerja pria yaitu sebesar 55 persen atau sebanyak
276 HKP, sedangkan wanita sebesar 45 persen atau sebanyak 227 HKP.
Perincian penggunaan tenaga kerja untuk kegiatan budidaya tanaman cabai
merah non organik untuk produksi satu tahun dapat dilihat pada Tabel 4.1
Tabel 4.1 Penggunaan Tenaga Kerja Usahatani Cabe Merah Non Organik Per Hektar Untuk Masa Produksi Satu Tahun d i S u m u t
Sumber : Dinas Pertanian Sumatera Utara, 213 (diolah)
Rata-rata yang dibayarkan untuk tenaga kerja laki- laki adalah Rp
20.000,-/ hari dan untuk perempuan adalah Rp 10.000,-20.000,-/ hari. Jumlah anggota keluarga
yang terlibat dalam usahatani cabai merah rata- rata sebanyak dua orang yaitu
istri dan anak petani. Kontribusi masing- masing tenaga kerja pada setiap proses
usahatani cabai merah organic. Tenaga kerja perempuan lebih banyak digunakan
pada kegiatan pemanenan dan perawatan. Kontribusi tenaga kerja perempuan
dalam usahatani ini sebesar 56 persen dari total pemakaian tenaga kerja
Total 92,5 111,0 183,5 116,0 503,0 -
Dalam kegiatan budidaya cabai merah non organik tenaga kerja yang
digunakan sebanyak 503 HKP dengan perincian jumlah tenaga kerja luar
keluarga sebanyak 203,5 HKP dan jumlah tenaga kerja dalam keluarga sebanyak
300 HKP. Penggunaan tenaga kerja paling banyak pada saat kegiatan
perawatan yaitu sebesar 44 persen dan pada kegiatan pemanenan sebesar 26
persen.
Dalam kegiatan budidaya cabai merah non organik pada luasan rata- rata
lahan (0,2 Ha) tenaga kerja yang digunakan sebanyak 163,2 HKP
dengan perincian jumlah tenaga kerja luar keluarga sebanyak 32,8 HKP dan
jumlah enaga kerja dalam keluarga sebanyak 130,4 HKP. Penggunaan
tenaga kerja paling banyak pada saat kegiatan perawatan yaitu sebesar 53
persen dan pada kegiatan pemanenan sebesar 32 persen ( Pusat Data dan
Informasi Pertanian. Volume 5, Nomor 4. 2006. PDB Sektor Pertanian).
Penggunaan tenaga kerja pada usahatani non organik ini lebih banyak
menggunakan tenaga kerja wanita yaitu sebesar 50,5 persen atau sebanyak
82,4 HKP, sedangkan wanita sebesar 49,50 persen atau sebanyak 81 HKP.
Perincian penggunaan tenaga kerja untuk kegiatan budidaya tanaman cabai
42
Nilai Tenaga 80 576 976 1.072 3.264
Sumber : Dinas Pertanian Sumatera Utara, 213 (diolah)
Terdapat perbedaan penggunaan tenaga kerja antara usahatani cabai
merah dengan budidaya secara organik dan non organik. Pada usahatani secara
organik penggunaan tenaga kerja lebih banyak daripada usahatani secara
non organik, yaitu sebesar 866,4 HKP dan non organik sebanyak 503 HKP
pada luasan lahan satu hektar. Penggunaan tenaga kerja perempuan pada
budidaya secara organik lebih banyak daripada non organik, yaitu sebesar
485,4 HKP dan 227 HKP (Pusat Data dan Informasi Pertanian. Volume 5,
Nomor 4. 2006. PDB Sektor Pertanian).
Hal ini karena budidaya secara organik membutuhkan perawatan yang
sangat teliti dan telaten agar tanaman yang dihasilkan memuaskan. Sehingga petani
yang menggunakan budidaya secara organik harus mengeluarkan biaya untuk
upah seluruh tenaga kerjanya lebih banyak dibandingkan dengan budidaya secara
4.6. Alat- Alat Pertanian
Dalam usahatani ini jenis alat- alat pertanian yang digunakan meliputi
cangkul, sprayer, kored, garpu, dan golok. Cangkul \digunakan untuk menggemburkan
tanah dan membuat selokan air. Kored dan golok digunakan petani untuk
membersihkan/ menyiangi gulma, dan rumput ataupun semak- semak yang
mengganggu tanaman. Garpu digunakan untuk menggemburkan tanah dan
membalik- balikkan tanah pada saat pengolahan dan pemberian pupuk. Sprayer
digunakan untuk menyemprotkan air dan untuk menyemprotkan pupuk cair
organik, atau untuk budidaya non organik digunakan untuk menyemprotkan
pestisida. Petani tidak selalu membeli alat- alat pertanian setiap kali musim
tanam, sebab setiap alat yang digunakan memiliki umur teknis lebih dari dua
tahun.
Tabel. 4 . 3 Penggunaan Peralatan Usahatani Cabai Merah untuk Satu MusimTanam di Sumut, 2012 per Rata-rata Luasan Lahan
Sumber : Dinas Pertanian Sumatera Utara, 213 (diolah)
44
Penggunaan alat- alat pertanian untuk setiap budidaya, baik secara organik
maupun non organik adalah sama, hanya jumlah yang dimiliki petani adalah sama,
tergantung kepemilikan luas lahan petani. Tabel 4 . 3 dan Tabel 4 . 4
Tabel. 4 . 4 Penggunaan Peralatan Usahatani Cabai Merah untuk Satu Musim Tanam di Sumut per Hektar
Sumber : Dinas Pertanian Sumatera Utara, 213 (diolah)
menunjukkan nilai penyusutan peralatan pertanian yang digunakan dalam
usahatani cabai merah baik yang digunakan secara organik maupun non organik
yaitu pada luasan lahan rata-rata nilai penyusutan sebesar Rp 159.998,00 per tahun.
Penyusutan dihitung dengan menggunakan metode garis lurus dengan asumsi
peralatan tersebut tidak dapat digunakan lagi setelah melewati umur teknis. Nilai
penyusutan untuk alat- alat yang digunakan pada lahan 1 ha sebesar Rp. 316.666,-
Biaya yang dikeluarkan petani terdiri atas biaya tunai dan biaya
diperhitungkan. Biaya tunai untuk usahatani cabai merah non organik ini terdiri
dari biaya sarana produksi seperti biaya benih, pupuk kandang, pestisida, tenaga
kerja luar keluarga, pembelian ajir (bambu) dan tali rafia. Sedangkan biaya yang
biaya penyusutan alat pertanian (cangkul, sprayer, kored, garpu dan golok) dan
biaya sewa lahan.
Alokasi biaya terbesar dalam saran produksi adalah untuk pupuk kandang.
Rata-rata penggunaan pupuk kandang per luasan rata - rata lahan per musim tanam
adalah 3.000 kg, sehingga biaya yang dikeluarkan untuk membeli pupuk kandang
adalah sebesar Rp 1.800.000,00. Rata-rata penggunaan pupuk kandang per hektar
per musim tanam sebesar 15.000 kg. Biaya yang dkeluarkan untuk pembelian pupuk
kandang sebesar Rp 9.000.000.00. Penggunaan pupuk kandang pada budidaya non
organik berbeda cara pemberiannya pada budidaya organik, dimana pemberian
pupuk pada budidaya non organik dilakukan dengan menyebar pupuk tersebut
secara merata di atas lubang tanam.
Pupuk kimia yang digunakan dalam usahatani cabai merah non organik
terdiri dari pupuk urea, SP36 dan KCL yang dibeli dengan harga masing- masing
Rp. 1.200,- per kilogram, Rp 1.550,00 per kilogram dan Rp 1.460,00 per
kilogram. Rata- rata penggunaan pupuk kimia per luasan 1 hektar lahan dalam 1
musim tanam adalah sebanyak pupuk urea 200 kg, SP36 150 kg dan KCL 100 kg.
Sedangkan pada luasan rata- rata lahan (0,2 ha) pupuk yang digunakan sebanyak
40 kg untuk penggunaan urea, 30 kg untuk penggunaan SP36 dan 20 kg untuk
penggunaan KCL.
Tenaga kerja dalam keluarga yang digunakan dalam usahatani cabai non
46
1 hektar sebesar 300 HKP. Tenaga kerja dalam keluarga ini terdiri dari isteri
atau anak- anak dari petani tersebut. Isteri atau anak- anak petani dianggap
sebagai buruh tani, sehingga isteri petani juga diberi upah seperti tenaga kerja luar
keluarga.
Biaya total yang dikeluarkan petani untuk usahatani cabai merah non
organik per luasan lahan rata-rata per musim tanam adalah sebesar Rp
6.503.698,00 sedangkan per hektar per musim tanam sebesar Rp 25.707.499,00.
Pada rata-rata luasan lahan, pendapatan yang diperoleh atas biaya tunai sebesar
Rp 11.960.000,00 sedangkan pendapatan atas biaya total per luasan rata-rata lahan
sebesar Rp. 9.096.302,00. Pada luasan lahan 1 hektar pendapatan yang diperoleh
atas biaya tunai sebesar Rp 59.172.500,00 sedangkan pendapatan atas biaya total
sebesar Rp 52.365.834,00 .
4.7. Analisis Pendapatan Usahatani Cabai Merah
Pada usahatani cabai merah non organik, penerimaan total diperoleh petani
dari produksi yang dihasilkan dikalikan dengan harga yang berlaku. Produksi rata-
rata cabai merah non organik per luasan rata-rata lahan per musim tanam adalah
3.000 kg, dengan luasan rata-rata lahan usahatani cabai merah non organik sebesar
0,2 hektar. Hasil panen ini selain dijual, juga dikonsumsi sendiri oleh petani rata-
rata sebanyak 1 persen (30 kg). Maka, produksi rata- rata cabai merah non organik
per rata-rata luasan lahan per musim tanam setelah dikurangi dengan tingkat
kegagalan panen sebesar 20 persen adalah 2.400 kg. Sehingga penerimaan petani
penerimaan yang diterima petani per hektar sebesar Rp. 78.000.000,- dengan
asumsi perhitungan yang sama.
4.8. Penentuan Harga Referensi Daerah Cabai Merah
Harga referensi daerah cabai adalah harga minimum pembelian cabai di
tingkat petani yang disepakati sebesar biaya produksi ditambah margin / keuntungan
petani sebesar 30 % (tiga puluh persen). Tujuan disepakatinya harga referensi daerah
cabai di Provinsi Sumatera Utara adalah untuk menjadi acuan bagi petani podusen
dan pelaku tata niaga cabai sehingga tidak merugikan petani. Yang menentukan harga
referensi daerah adalah seluruh organisasi atau himpunan petani/kelompok
tani/gabungan kelompok tani Cabai di Sumatera Utara, Badan Ketahanan Pangan
Provinsi Sumatera Utara, Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara, DInas Pertanian
dan Perindustrian Provinsi Sumatera Utara, Biro Perekonomian Setdaprovsu.
Sesungguhnya penentuan HRD (Harga Referensi Daerah) yang dilakukan
melalui diskusi seluruh stake holder merupakan dilema. Pada satu sisi jika HRD
(Harga Referensi Daerah) dianggap rendah oleh petani, maka petani akan enggan
menanam cabai dan Propinsi harus mengadakan impor dari luar Sumatera Utara
untuk mencukupi konsumsi, dan hal ini memberikan dampak pada semakin
melemahnya posisi petani.
Pada sisi yang lain tingginya harga referensi daerah akan dapat menyebabkan
48
sehingga akan terjadi kelebihan penawaran cabai di Sumatera Utara yang justru akan
melemahkan harga cabai pada tingkat harga yang merugikan petani.
Ketetapan HRD oleh pemerintah menjadi indikator penting dalam menambah
ketersediaan cabai di Sumatera Utara. Namun demikian, harga referensi daerah yang
tinggi juga akan dapat menyebabkan kenaikan produksi menjadi sia-sia jika tidak
dikonsumsi oleh perusahaan hilir cabai terutama industry makanan dan kuliner.
Tingginya harga actual akan menyebabkan serapan produksi cabai pada pasar industri
makanan dan kuliner menyebabkan akses supply yang membawa akibat pada
jatuhnya harga cabai.
Harga referensi daerah yang ditetapkan oleh pemerintah daerah Sumatera Utara
didasarkan pada besaran biaya produksi per hektar ditambah dengan besaran
keuntungan sebesar 30 persen. Namun demikian besaran HRD cabai juga menerima
masukan dari Gapoktan petani cabai.
Berdasarkan perhitunagan biaya total per hektar untuk komoditi padi adalah Rp.
25.707.499. Biaya total ini akan menghasilkan produksi cabai merah sebanyak
12.000 Kg . Dengan demikian harga pokok untuk cabai adalah Rp.
25.707.499/12.000/Kg atau Rp.2.142.292/Kg. Sehingga jika harga pokok ini
ditambahkan dengan 30 persen keuntungan maka harga referensi daerah untuk cabai
Harga referensi daerah untuk komoditi cabai merah di Sumatera Utara sebesar
Rp. . 2.784.979 /kg. ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan harga cabai merah di
tingkat petani yang mencapai Rp. 6.500,-. /Kg
Menentukan HRD dengan memberikan keuntungan pada petani 30 persen
atau lebih, dapat meningkatkan kesejahteraan petani cabai. Namun masalah yang
terjadi adalah harga actual di tingkat produsen bellum tentu akan lebih tinggi dari
HRD. Jika harga aktual melebihi 60 persen dari HRD maka harga ditingkat
konsumen akan meningkat tajam dan merugikan konsumen.
Konsekwensi logisnya adalah, dalam menetapkan kebijakan HRD seyogianya
pemerintah Sumatera Utara mengawal jalannya perkembangan harga aktual. Hal ini
penting mengingat harga yang liar akan menyebabkan kerugian petani yang
membawa dampat pada ketersediaan cabai di Sumatera Utara.
Beberapa rekomendasi dari hasil kajian adalah :
1. Menetapkan HRD 30 persen di atas harga pokok
2. Pemerintah mengontrol input produksi seperti pupuk agar tepat sasaran
3. Mengawal perkembangan harga aktual
4. Memberikan informasi harga actual cabai di Sentara produksi diluar Sumatera
Utara.
5. Mengawasi perkembangan jalur distribusi cabai di berbagai daerah di Sumatera
50
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini, diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Harga Referensi Daerah untuk komoditi cabe merah di Sumatera Utara
disusun berdasarkan kepada struktur biaya produksi dan besaran keuntungan
yang akan diperoleh oleh petani dengan tidak mengorbankan konsumen cabe
merah
2. Pembiayaan usahatani cabe di Sumatera Utara terdiri dari biaya sarana
produksi dan biaya tenaga kerja.
3. Recomendasi penetapan harga referensi daerah untuk cabai didasarkan kepada
persentasi atas harga pokok cabai merah. Harga referensi daerah untuk cabai
6.2. Saran
Dari hasil penelitian ini, penulis menyampaikan beberapa saran yaitu:
1. Kepada Petani
- Memperkecil biaya produksi, khususnya dalam penggunaan tenaga kerja dalam keluarga.
2. Kepada Pemerintah, khususnya Badan Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera
Utara.
- Agar menetapkan Harga Referensi Daerah cabai merah setiap setahun
sekali agar relevan karena setiap saat biaya saprodi usahatani selalu
10
ini berakar tunggang dengan banyak akar samping yang dangkal. Batangnya tidak
berbulu, tetapi banyak cabang. Daunnya panjang dengan ujung runcing (oblongus acutus). Cabai berbunga sempurna dengan benang sarinya tidak berlekatan
tersebut melekat pada placenta. Buah cabai mengandung zat capsicin yang pedas
runcing dan posisinya menggantung pada ketiak daun. Ketika muda warna
buahnya hijau, setelah tua berubah menjadi merah (Anonymous. 2007a).
Cabai dapat dengan mudah ditanam, baik di dataran rendah maupun
dataran tinggi. Syarat agar tanaman cabai tumbuh baik adalah tanah berhumus
(subur), gembur, bersarang, dan pH tanahnya antara 5 - 6. Tanaman cabai tidak
tahan hujan, terutama pada waktu berbunga, karena bunga - bunganya akan mudah
gugur. Jika tanahnya kebanyakan air atau becek, tanaman mudah terserang
penyakit layu. Oleh karena itu, waktu tanam cabai yang baik ialah pada awal
musim kemarau. Namun cabai juga dapat ditanam pada saat musim penghujan
asalkan drainasenya baik.
1. Cara Tanam
Cabai dikembangbiakkan dengan biji yang diambil dari buah tua atau
yang berwarna merah. Biji tersebut disemaikan terlebih dahulu. Tanah
persemaian ini sebaiknya dicampur dengan pupuk kandang supaya
bibitnya lekas besar. Biji akan tumbuh setelah empat sampai tujuh hari
kemudian. Untuk lahan seluas 1 hektar diperlukan 500 gram biji dengan daya
kecambah 75 persen.
Sebelum ditanam, tanah yang akan ditanami cabai dicangkul dan
diberi pupuk kandang. Pupuk kandang ini sebaiknya diletakkan di dalam lubang
kecil yang dibuat lurus dengan jarak antar lubang 50 - 60 cm dan jarak antar
baris 60 - 70 cm, tergantung kepada jenis yang akan ditanam. Setelah bibit
12
lubang tersedia. Satu bulan setelah tanam, tanaman diberi pupuk buatan. Pupuk
tersebut merupakan campuran urea, TSP, dan KCL dengan perbandingan 1 : 2 :
1 sebanyak 10 gram tiap tanaman. Oleh karena itu, diperlukan 150 kg urea,
300 kg TSP dan 150 kg KCL. Pada tanah tandus, pupuk urea dapat diberikan
sampai 200 kg per hektar. Pupuk buatan ini diberikan di sekeliling tanaman
sejauh 5 cm dari batangnya. Saat tanaman berumur dua bulan sebaiknya diberi
urea susulan 150 kg/ ha (Pracaya, 2003)
2. Pemeliharaan Tanaman
Pemeliharaan tanaman cabai tidak terlalu sulit, dengan cara
membersihkan rumput pengganggu, menjaga ketersediaan air, dan
memberantas hama serta penyakit. Hama yang sering menyerang tanaman
cabai ialah lalat buah (Dacus ferrugineus), kutu daun (Myzus persicae), dan tungu merah (Tetranycus sp.). Lalat buah merusak dengan menusuk buah cabai
hingga berguguran. Pemberantasan hama ini dengan penyemprotan Kelthane
0,1-0,2%.
Penyakit yang sering mengancam tanaman cabai adalah penyakit
busuk buah. Penyakit ini disebabkan cendawan Collectrichum nigrum.
Cendawan Oeidium sp. menyebabkan penyakit gugur daun, sedangkan cendawan
Phytophthora capsici penyebab terjadinya penyakit busuk daun. Penyakit busuk daun dan busuk buah tersebut dapat dicegah dengan disemprotkan Dithane M-45
besar ialah penyakit yang disebabkan virus daun keriting (TMV). Virus TMV
ditularkan kutu daun. Virus tersebut merusak daun muda sehingga menjadi
keriting atau menggulung dan mengecil. Penyakit ini sampai kini belum
dapat diberantas sehingga bila ada tanaman yang terserang lebih baik
dicabut dan dibuang agar tidak menular ke tanaman yang lain (setiadi, 1990).
3. Pemanenan
Pemungutan buah pertama dapat dilakukan setelah tanaman berumur
empat bulan. Tanaman yang baik dapat menghasilkan buah 4 - 10 ton buah per
hektar. Buah cabai mempunyai pasaran yang luas, baik dalam atau luar negeri.
Dalam bentuk olahan (sambal atau tepung) telah dipasarkan sampai Eropa dan
Amerika. Akan tetapi, harga cabai tidak stabil. Harga dapat berkisar antara
Rp.1.000, sampai Rp.15.000, per kilogram tergantung musim panen dan hari
besar (setiadi, 1990).
2.2 LANDASAN TEORI
Teori Produksi
Pengertian produksi adalah hasil akhir dari proses atau aktivitas ekonomi
dengan memanfaatkan beberapa masukan atau input. Dengan pengertian ini dapat
dipahami bahwa kegiatan produksi adalah mengkombinasi berbagai input atau
masukan untuk menghasilkan output. Hubungan teknis antara input dan output
14
fungsi produksi adalah suatu persamaan yang menunjukkan jumlah maksimum output
yang dihasilkan dengan kombinasi input tertentu (Nasir, M. 1999).
Hubungan antara jumlah output (Q) dengan sejumlah input yang digunakan
dalam proses produksi (X1, X2, X3, ……Xn) secara matematis dapat ditulis sebagai
berikut:
Q = f (X1 X2 X3... Xn) (2.1)
Keterangan:
Q = output
X = input
Berdasarkan fungsi produksi di atas maka akan dapat diketahui hubungan
antara input dengan output, dan juga akan dapat diketahui hubungan antar input itu
sendiri.
Apabila input yang dipergunakan dalam proses produksi hanya terdiri atas modal (K)
dan tenaga kerja (L) maka fungsi produksi yang dimaksud dapat diformulasikan
menjadi:
Fungsi produksi di atas menunjukkan maksimum output yang dapat
menggunakan kombinasi alternatif dari modal (K) dan tenaga kerja (L).
Dalam teori ekonomi, setiap proses produksi mempunyai landasan teknis yang
disebut fungsi produksi. Fungsi produksi adalah suatu fungsi atau persamaan yang
menunjukkan hubungan fisik atau teknis antara faktor-faktor yang dipergunakan
dengan jumlah produk yang dihasilkan per satuan waktu, tanpa memperhatikan harga,
baik harga faktor-faktor produksi maupun harga produk (Prajnanta, F. 2005) Secara
matematis fungsi produksi tersebut dapat dinyatakan:
Y = f (X1, X2, X3, ... , Xn)
Dimana
Y = tingkat produksi atau output yang dihasilkan, dan X1, X2, X3, ... , Xn adalah
berbagai faktor produksi atau input yang digunakan. Fungsi ini masih bersifat umum,
hanya bisa menjelaskan bahwa produk yng dihasilkan tergantung dari faktor-faktor
produksi yang dipergunakan, tetapi belum bisa memberikan penjelasan kuantitatif
mengenai hubungan antara produk dan faktor produksi tersebut. Untuk dapat
memberikan penjelasan kuantitatif, fungsi produksi tersebut harus dinyatakan dalam
bentuknya yang spesifik antara lain:
a) Y = a + bX (fungsi linear)
b) Y = a +bX – cX2 (fungsi kuadratis)
c) Y = aX1 bX2 c X3
d (fungsi Cobb-Douglas)
Menurut (Setiadi, 1990), sifat fungsi produksi diasumsikan tunduk pada suatu
16
berkurang. Hukum ini menyatakan bahwa jika penggunaan satu macam input
ditambah sedang input-input lain tetap maka tambahan output yang dihasilkan dari
setiap tambahan satu unit input yang ditambahkan tadi mula-mula naik tetapi
kemudian seterusnya menurun jika input tersebut terus ditambahkan. Hubungan
antara produk total, produk marginal dan produk rata-rata diperlihatkan dalam
gambar:
Gambar 1. Hubungan antara PT, PM dan PR
18
Hubungan produk dan faktor produksi yang diperlihatkan pada pada gambar 1.
mempunyai lima sifat (Epp & Malone, 1981) yaitu:
1. Mula-mula terdapat kenaikan hasil bertambah (garis 0B), di mana produk marginal
semakin besar; produk rata-rata naik tetapi di bawah produk marginal.
2. Pada titik balik atau inflection point B terjadi perubahan dari kenaikan hasil
bertambah menjadi kenaikan hasil berkurang, di mana produk marginal mencapai
maksimum (titik B’); produk rata-rata masih terus naik.
3. Setelah titik B, terdapat kenaikan hasil berkurang (garis BM), di mana produk
marginal menurun; produk rata-rata masih naiksebentar kemudian mencapai
maksimum pada titik C’, di mana pada titik ini produk rata-rata sama dengan
produk marginal. Setelah titik C’ produk ratarata menurun tetapi berada di atas
produk marginal.
4. Pada titik M tercapai tingkat produksi maksimum, di mana produk marginal sama
dengan nol; produk rata-rata menurun tetapi tetap positif.
5. Sesudah titik M, mengalami kenaikan hasil negatif, di mana produk marginal juga
negatif; produk rata-rata tetap positif. Dari sifat-sifat tersebut dapat disimpulkan
bahwa tahapan produksi seperti yang dinyatakan dalam The Law of Diminishing Return dapat dibagi ke dalam tiga tahap yaitu:
1. Produksi total dengan increasing returns,
2. Produksi total dengan decreasing returns, dan
Faktor produksi sering disebut dengan korbanan produksi untuk menghasilkan
produksi. Faktor produksi disebut dengan input. Faktor-faktor yang mempengaruhi
produksi dibedakan menjadi 2 kelompok (Soekartawi, 1990), antara lain: (1) Faktor
biologi, seperti lahan pertanian dengan macam dan tingkat kesuburannya, bibit,
varietas, pupuk, obat-obatan, gulma, dan sebagainya; (2) Faktor social ekonomi,
seperti biaya produksi, harga, tenaga kerja, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan,
resiko, dan ketidakpastian, kelembagaan, tersedianya kredit dan sebagainya.
Input merupakan hal yang mutlak, karena proses produksi untuk
menghasilkan produk tertentu dibutuhkan sejumlah faktor produksi tertentu.
Misalnya untuk menghasilkan jagung dibutuhkan lahan, tenaga kerja, tanaman,
pupuk, pestisida, tanaman pelindung dan umur tanaman. Proses produksi menuntut
seorang pengusaha mampu menganalisa teknologi tertentu dan mengkombinasikan
berbagai macam faktor produksi untuk menghasilkan sejumlah produk tertentu
seefisien mungkin.
Modal dalam arti luas dan umum adalah modal petani secara keseluruhan,
dengan memasukkan semua sumber ekonomi termasuk tanah di luar tenaga kerja.
Untuk menguji peran masing-masing faktor produksi, maka dari sejumlah faktor
produksi kita anggap variabel, sedangkan faktor produksi lainnya dianggap konstan
20 Teori Penetapan Harga
Menurut (Ginting, P. 2006) salah satu tujuan kebijakan harga pertanian adalah
menstabilkan harga produk pertanian untuk meningkatkan kegiatan usaha tani, serta
terciptanya harga pangan yang stabil bagi konsumen. Kebijakan harga pertanian dapat
dilakukan melalui berbagai instrumen yaitu kebijakan perdagangan, kebijakan nilai
tukar, pajak dan subsidi serta intervensi langsung. Secara tidak langsung stabilitas
harga dapat diterapkan melalui kebijakan pemasaran output dan kebijakan input.
Kebijakan input dapat dijalankan berupa subsidi harga sarana produksi yang
diberlakukan pemerintah terhadap pupuk, benih, pestisida dan kredit.
Harga jual adalah sejumlah biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk
memproduksi suatu barang atau jasa ditambah dengan persentase laba yang
diinginkan perusahaan, karena itu untuk mencapai laba yang diinginkan oleh
perusahaan salah satu cara yang dilakukan untuk menarik minat konsumen adalah
dengan cara menentukan harga yang tepat untuk produk yang terjual. Harga yang
tepat adalah harga yang sesuai dengan kualitas produk suatu barang, dan harga
tersebut dapat memberikan kepuasan kepada konsumen.
Salah satu keputusan yang sulit dihadapi suatu usahatani adalah menetapkan
harga. Meskipun cara penetapan harga yang dipakai sama bagi setiap usahatani yaitu
didasarkan pada biaya, persaingan, permintaan, dan laba. Tetapi kombinasi optimal
dari faktor-faktor tersebut berbeda sesuai dengan sifat produk, pasarnya, dan tujuan
Tidak semua produsen akan memperoleh keuntungan ekonomi karena hal ini
bergantung pada struktur dan biaya. Sekalipun harga sama untuk setiap produsen,
struktur beaya akan berbeda karena hal ini bergantung pada teknologi yang digunakan
dan manajemen dalam melakukan produksi. Dalam hal ini akan dijumpai produsen
yang hanya memperoleh keuntungan normal (di mana AC=P) sehingga TC=TR.
Dikatakan keuntungan normal karena produsen telah membebamkan keuntungan per
unit Q pada harga pasar yang terjadi. Dalam kasus ini P=AC (Amir, 2004).
P C AC
MC
P B AR=MR=P
0 Q
Q1
22 Keterangan Gambar 1:
a) Pada harga OP, output yang dihasilkan OQ1, biaya rata-rata Q1B.
b) Pada titik B, AC = MC = MR = P.
c) TR = Luas segi empat OQ1BP, TR = luas segi empat OQ1BP, TR = TC.
d) Keuntungan = TR = TC = 0, keuntungan normal.
Salah satu metode untuk menetapkan harga jual menurut (Mei, Theresia. M.H.
2006) adalah dengan metode fixed percentage margin. Di sini margin dihitung atau ditentukan berdasarkan suatu persentase di tingkat eceran. Secara aljabar adalah
sebagai berikut. Pr = Pf + M , di mana Pr adalah harga jual, Pf adalah harga di tingkat
petani, dan M adalah margin atau keuntungan.
` Pemerintah turut campur dalam perekonomian negara kita. Salah satu bentuk
turut campur tangan pemerintah dalam perekonomian yaitu dalam menentukan harga
agar dianggap adil baik produsen maupun konsumen. Patokan harga yang dibuat oleh
pemerintah itu tidak lain untuk mewujudkan pendekatan antara konsumen dan
produsen dalam pembentukan harga yang riil. (Soekartawi 2006)
Menurut (Nurliah, Elly. 2002) bentuk campur tangan pemerintah tersebut
adalah melalui penetapan harga eceran tertinggi, penetapan harga terendah, pajak atau
melalui subsidi. Beberapa macam harga yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu :
Harga eceran tertinggi (ceiling price), adalah harga tertinggi yang ditetapkan oleh pemerintah yang bertujuan untuk melindungi konsumen. Dimana pemerintah
menetapkan harga maksimum suatu barang. Penjual tidak diperbolehkan menetapkan
harga di atas harga maksimum tersebut.
Adanya penetapan harga eceran tertinggi menyebabkan kelebihan permintaan,
yang dapat diatasi dengan impor atau usaha-usaha lain terkait peningkatan produksi /
layanan jasa. Harga eceran tertinggi bertujuan untuk mencapai tingkat harga yang
tidak merugikan produsen maupun konsumen. Dari uraian tersebut penetapan harga
eceran tertinggi akan memberikan pengaruh pada menurunnya harga pasar, tercipta
kelebihan permintaan atau kekurangan penawaran, menurunkan kuantitas yang
diperjualbelikan, dan menurunkan penerimaan produsen.
Price
Demand Supply
Excess demand
Harga Batas Atas (ceiling price)
0 Q1 Q2 Quantity
Gambar 3. Kebijakan Harga Tertinggi (ceiling price)
Harga eceran terendah (floor price)
24
Harga eceran terendah (floor price) adalah harga terendah yan ditetapkan oleh pemerintah yang bertujuan untuk melindungi produsen. Dimana pemerintah
menetapan harga terendah khususnya pada komoditas-komoditas tertentu. Misalnya
pemerintah menetapkan harga terendah pembelian gabah kering dari para petani. Para
pembeli (umumnya para tengkulak) tidak diperbolehkan membeli gabah di bawah
Price excess supply Supply
Harga Batas Bawah ( floor price )
Demand
Q1 Q2 Quantity
Gambar 4. Kebijakan Harga Terendah ( floor price )
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tanaman hortikultura mempunyai fungsi dalam pemenuhan kebutuhan
vitamin, mineral, penyegar, pemenuhan kebutuhan akan serat dan kesehatan
lingkungan. Salah satu komoditi hortikultura yang sangat dibutuhkan manusia dan
merupakan salah satu pangan yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat hampir
setiap hari adalah sayuran. Banyaknya manfaat sayuran ini menyebabkan sayuran
menjadi bagian dari komoditas hortikultura yang terus diproduksi. Perkembangan
tanaman hortikultura terutama sayuran dari tahun ke tahun terus meningkat, baik
dari segi luasan lahan panen, produktivitas dan produksi setiap tahun di Indonesia
mengalami perkembangan yang cukup baik (Hermanto, Fadholi. 1996).
Cabai besar merupakan produk hortikultura yang memiliki harga yang sangat
berfluktuasi. Adanya fluktuasi harga ini merupakan suatu risiko yang dihadapi oleh
petani. Sewaktu–waktu harga sangat tinggi namun tidak berselang lama harga dapat
turun dengan drastis. Kesenjangan harga tertinggi dan terendah pada komoditi cabai
merah cukup besar. Sepanjang tahun 2006-2008 cabai merah keriting terendah berada
pada harga Rp 2800 per kilogram sedangkan harga tertinggi adalah Rp 26000 per
kilogram. Sementara itu untuk cabai merah besar harga terendah berada pada titik Rp
Di sisi lain wilayah sentra produksi pertanian hortikultura khususnya cabai
merah memiliki topografi yang beragam, ketersediaan sarana prasarana yang
mendukung sektor tersebut (produksi, pengolahan, penyimpanan) bervariasi dari satu
wilayah dengan wilayah lain, waktu panen yang tidak bersamaan di beberapa
wilayah, dan iklim yang kurang mendukung pada saat tanam maupun panen raya,
sehingga petani, kelompok tani (Poktan) maupun Gabungan Kelompoktani
(Gapoktan) selalu dihadapkan pada berbagai masalah:
(a) Keterbatasan modal usaha untuk melakukan kegiatan pengolahan, penyimpanan,
pendistibusian/pemasaran;
(b) Posisi tawar petani yang rendah pada saat panen raya yang bersamaan dengan
datangnya hujan, sehingga petani terpaksa menjual produknya dengan harga
rendah kepada para pelepas uang (pedagang perantara);
(c) Keterbatasan akses saat paceklik yang disebabkan karena tidak memiliki
cadangan yang cukup.
Dampak dari ketidakberdayaan petani, Poktan dan Gapoktan dalam mengolah,
menyimpan dan mendistribusikan/memasarkan hasil produksinya dapat
menyebabkan: (a) ketidakstabilan harga di wilayah sentra produksi pertanian pada
saat terjadi panen raya, dan (b) kekurangan pangan pada saat musim paceklik. Untuk
mengatasi permasalahan harga, kebiajakan yang dilakukan oleh pemerintah Sumatera
Utara adalah dengan menetapkan Harga Referensi Daerah (HRD). (Anonimous.
5
Dari tabel 1, kita dapat melihat produksi cabai dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan. Dalam kurun waktu tahun 2005 hingga tahun 2010, produksi tertinggi
tercapai pada tahun 2010 yaitu sebanyak 196.347 ton. Sedangkan produksi terendah
terdapat di tahun 2005 yaitu sebanyak 104.089 ton. Luas panen cabai di sumatera
utara juga meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan luas panen ini meningkat
sekitar 10 hingga 20 persen setiap tahun. Sedangkan untuk rata-rata produksi,
komoditi cabai di Sumatera Utara mengalami fluktuasi rata-rata produksi setiap
tahun. Pada tahun 2008, rata-rata produksi cabai tidak mengalami peningkatan yang
signifikan dibandingkan tahun sebelumnya yaitu tahun 2007. Rata-rata produksi cabai
tahun 2008 adalah sebesar 85,74 Kw/ha sedangkan rata-rata produksi cabai tahun
2007 adalah sebesar 85,30 Kw/ha. Rata-rata produksi cabai Sumatera Utara dari
tahun 2005 sampai tahun 2010 adalah sebesar 84,06 Kw/ha (Pusat Data dan
Informasi Pertanian. Volume 5, Nomor 2. 2006).
Tabel 1. Produksi Cabai Sumatera Utara Pada Tahun 2010
Tahun Luas Panen
Walaupun luas lahan, produksi, dan rata-rata produksi cabai di Sumatera
Utara cenderung mengalami kenaikan, namun kenaikan ini masih belum menjawab
masalah ketersediaannya dalam memenuhi seluruh kebutuhan akan cabai. Ketika
panen raya, harga cabai cenderung menurun signifikan. Sedangkan ketika hari-hari
besar, permintaan cabai akan meningkat harga cabai juga akan ikut meningkat tajam
hingga dua sampai tiga kali lipat.
Harga cabai yang rendah akibat panen raya, dirasakan sangat membebani
petani. Harga cabai yang dibeli oleh pedagang pengumpul bahkan terkadang tidak
sanggup menutupi biaya produksi. Sebaliknya, ketika hari besar dan permintaan cabai
meningkat, harga cabai akan meningkat tajam. Namun peningkatan harga cabai ini
tidak sepenuhnya dirasakan oleh petani. Petani hanya dapat merasakan sedikit porsi
dari kenaikan harga cabai di pasar. Hal ini terjadi akibat tidak efisiennya rantai
tataniaga cabai di Sumatera Utara sehingga margin share tidak terbagi secara adil sesuai dengan peran masing-masing pihak di dalam rantai tataniaga cabai ini.
Di lain pihak, konsumen akhir cabai di Sumatera Utara juga mengalami
peningkatan harga yang fluktuatif. Konsumen tidak selalu menikmati harga cabai
yang rendah ketika musim panen raya. Harga cabai biasanya tidak turun drastis sesuai
dan tidak terlalu berbeda jauh dengan harga di tingkat petani. Misalnya ketika harga
cabai di tingkat petani turun hingga 70% dari musim sebelumnya, harga cabai di
tingkat konsumen akhir hanya turun maksimal hingga 30%. Sedangkan ketika
permintaan cabai tinggi yang umumnya terjadi ketika hari-hari besar nasional,
7
Melihat kegiatan tataniaga cabai di Sumatera Utara yang masih cukup tidak
efisien, maka pemerintah hendaknya mengambil langkah kebijakan dan pelaksanaan
kebijakan yang bertujuan meningkatkan efisiensi tataniaga cabai di Sumatera Utara.
Bulog, sebagai salah satu lembaga yang bertugas menjaga stabilitas harga dan stok
pangan, dapat merumuskan kebijakan Harga Referensi Daerah (HRD) yang berguna
untuk stabilisasi harga.
Harga Referensi Daerah (HRD) bertujuan untuk melindungi petani dari
kerugian akibat penurunan harga cabai yang signifikan. Harga Referensi Daerah
(HRD) juga bertujuan untuk melindungi konsumen dari kerugian akibat kenaikan
harga cabai ketika permintaannya sangat tinggi. Harga Referensi Daerah (HRD)
umumnya dirumuskan berdasarkan besarnya biaya produksi yang dikeluarkan petani
cabai di Sumatera Utara dalam memproduksi cabai tersebut.
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara menyiapkan harga referensi daerah
(HRD) cabai sebagai standar pembelian dari petani dengan mencari masukan dari
berbagai pihak, termasuk kalangan pengusaha. Harga Referensi Daerah Cabai adalah
harga minimum pembelian cabai di tingkat petani yang disepakati sebesar biaya
produksi ditambah margin/keuntungan petani sebesar 30% (tiga puluh persen).
Landasan kesepakatan Harga Referensi Daerah Cabai tahun 2012 di Provinsi
Sumatera Utara adalah :
1) Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu daerah sentra produksi Cabai
2) Masyarakat Provinsi Sumatera Utara memiliki permintaan yang cukup tinggi akan
komoditi cabai.
3) Fluktuasi harga cabai terutama ketika harganya menigkat tajam, selama ini telah
terbukti menyebabkan inflasi dan terganggunya perekonomian secara keseluruhan.
Dengan demikian, kebijakan Harga Referensi Daerah (HRD) sangat penting
di dalam membantu produsen dan konsumen cabai di Sumatera Utara terhindar dari
fluktuasi tajam harga cabai (Badan Ketahanan Pangan Sumatera Uatara 2012).
1.2 Identifikasi Permasalahan
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan
beberapa permasalahan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimanakah proses awal perencanaan harga referensi daerah cabai di
Sumatera Utara.
2. Berapa besar biaya biaya produksi (cost price) cabe pada tingkat on-farm di Sumut.
3. Berapa rekomendasi Harga Referensi Daerah (HRD) yang tepat untuk komoditi
cabai di daerah penelitian.
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan penelitian sebagai berikut :
1. Mengetahui proses awal perencanaan harga referensi daerah cabai di Sumatera
9
2. Berapa besar biaya biaya produksi (cost price) cabe pada tingkat on-farm di Sumut.
3. Menganalisis berapa rekomendasi Harga Referensi Daerah (HRD) yang tepat untuk
komoditi cabai di daerah penelitian?
1.4 Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dilaksanakannya penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di fakultas
Pertanian Universutas Sumatera Utara.
2. Sebagai bahan informasi bagi para pengambil keputusan untuk menentukan
harga jual cabai dan Harga Referensi Daerah yang layak untuk komoditi cabai
ABSTRAK
IRWANDA AKHIRUDDIN LUBIS
: Biaya Usaha Tani Dan HargaReferensi Daerah Komoditas Cabe Merah Di Sumatera Utara, di bimbing oleh Dr. Ir. Salmiah, MS dan Dr. Ir. Satia Negara Lubis, MEc.
konsumen akhir cabai di Sumatera Utara juga mengalami peningkatan harga yang fluktuatif. Konsumen tidak selalu menikmati harga cabai yang rendah ketika musim panen raya. Harga cabai biasanya tidak turun drastis sesuai dan tidak terlalu berbeda jauh dengan harga di tingkat petani. Misalnya ketika harga cabai di tingkat petani turun hingga 70% dari musim sebelumnya, harga cabai di tingkat konsumen akhir hanya turun maksimal hingga 30%. Sedangkan ketika permintaan cabai tinggi yang umumnya terjadi ketika hari-hari besar nasional, konsumen harus menerima harga yang meningkat hingga 2 sampai 3 kali lipat. Penelitian dilakukan di Pasar – Pasar Tradsional di Sumatera Utara pada bulan Juni - Agustus 2013 dengan menggunakan metode penentuan daerah sampel, metode pengumpulan data dan metode analisis data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya usaha tani memberikan pengaruh yang signifikan terhadap harga referensi daerah komoditas cabe merah di Sumatera Utara.
Kata Kunci : Biaya usaha tani, harga refernsi daerah.
ABSTRACT
IRWANDA Akhiruddin LUBIS: Cost of Farm Commodities and Price Reference Regional Red Chili In North Sumatra, guided by Dr. Ir. Salmiah, MS and
Dr.Ir. Satia State Lubis, MEc. end customers in North Sumatra pepper also increased prices fluctuate. Consumers do not always enjoy a low price when the chili harvest season. Chilli prices usually do not fall dramatically appropriate and not too much different from the price at the farm level. For example, when the price of chili at farm level fell to 70% from the previous season, the price of pepper at the end consumer level fell only a maximum of up to 30%. When demand is high while the chili is generally the case when the national major holidays, consumers must accept the price increase to 2 to 3-fold. The study was conducted in the Market - The market traditionally in North Sumatra in June to August 2013 by using the method of determination of the sample area, the method of data collection and data analysis methods. The results showed that the costs of farming have a significant influence on the price of commodities cayenne referenc eareainNorthSumatra.
BIAYA USAHA TANI DAN HARGA REFERENSI DAERAH
KOMODITAS CABAI MERAH DI SUMATERA UTARA
SKRIPSI
OLEH:
IRWANDA AKHIRUDDIN LUBIS
070304009
AGRIBISNIS
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
BIAYA USAHA TANI DAN HARGA REFERENSI DAERAH
KOMODITAS CABAI MERAH DI SUMATERA UTARA
SKRIPSI
OLEH:
IRWANDA AKHIRUDDIN LUBIS
070304009 AGRIBISNIS
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian di Departemen Agribisnis, Fakultas Pertanian,
Universitas Sumatera Utara
Disetujui Oleh: Komisi Pembimbing
Ketua Anggota
(Dr. Ir. Salmiah, MS) (Dr. Ir. Satia Negara Lubis, MEc) NIP. 195702171986032001 NIP. 196304021997031001
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ABSTRAK
IRWANDA AKHIRUDDIN LUBIS
: Biaya Usaha Tani Dan HargaReferensi Daerah Komoditas Cabe Merah Di Sumatera Utara, di bimbing oleh Dr. Ir. Salmiah, MS dan Dr. Ir. Satia Negara Lubis, MEc.
konsumen akhir cabai di Sumatera Utara juga mengalami peningkatan harga yang fluktuatif. Konsumen tidak selalu menikmati harga cabai yang rendah ketika musim panen raya. Harga cabai biasanya tidak turun drastis sesuai dan tidak terlalu berbeda jauh dengan harga di tingkat petani. Misalnya ketika harga cabai di tingkat petani turun hingga 70% dari musim sebelumnya, harga cabai di tingkat konsumen akhir hanya turun maksimal hingga 30%. Sedangkan ketika permintaan cabai tinggi yang umumnya terjadi ketika hari-hari besar nasional, konsumen harus menerima harga yang meningkat hingga 2 sampai 3 kali lipat. Penelitian dilakukan di Pasar – Pasar Tradsional di Sumatera Utara pada bulan Juni - Agustus 2013 dengan menggunakan metode penentuan daerah sampel, metode pengumpulan data dan metode analisis data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya usaha tani memberikan pengaruh yang signifikan terhadap harga referensi daerah komoditas cabe merah di Sumatera Utara.
Kata Kunci : Biaya usaha tani, harga refernsi daerah.
ABSTRACT
IRWANDA Akhiruddin LUBIS: Cost of Farm Commodities and Price Reference Regional Red Chili In North Sumatra, guided by Dr. Ir. Salmiah, MS and
Dr.Ir. Satia State Lubis, MEc. end customers in North Sumatra pepper also increased prices fluctuate. Consumers do not always enjoy a low price when the chili harvest season. Chilli prices usually do not fall dramatically appropriate and not too much different from the price at the farm level. For example, when the price of chili at farm level fell to 70% from the previous season, the price of pepper at the end consumer level fell only a maximum of up to 30%. When demand is high while the chili is generally the case when the national major holidays, consumers must accept the price increase to 2 to 3-fold. The study was conducted in the Market - The market traditionally in North Sumatra in June to August 2013 by using the method of determination of the sample area, the method of data collection and data analysis methods. The results showed that the costs of farming have a significant influence on the price of commodities cayenne referenc eareainNorthSumatra.
RIWAYAT HIDUP
IRWANDA AKHIRUDDIN LUBIS (070304009) dilahirkan di Medan pada tanggal 08
Juni 1989 sebagai anak kedua dari 2 bersaudara, dari keluarga Bapak Imran Lubis dan Ibu Saidah Aryany Simanjuntak.
Pendidikan yang pernah ditempuh penulis adalah sebagai berikut:
1. Sekolah Dasar (SD) tahun 1994 – 2000 di SD Swasta Eria di Medan.
2. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Tahun 2001 – 2003 di SLTP Swasta Al – Ulum di Medan.
3. Sekolah Menengah Atas (SMA) Tahun 2004 – 2007 di SMA Negeri 2 Medan. 4. Melalui jalur PMP Tahun 2005 diterima di Program Studi Agribisnis,
Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.
5. Bulan Juni – Juli 2011, melaksanakan PKL di Desa Laut Tador, Kecamatan Sei Suka, Kabupaten Batubara.