• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Latar Belakang

Entitas pemerintah bertujuan untuk melayani masyarakat seperti peningkatan kesejahteraan, peningkatan mutu kesehatan, peningkatan kualitas pendidikan, dan lain-lain, entitas pemerintah adalah suatu organisasi nirlaba yang tujuannya tidak mencari keuntungan. Meskipun begitu, entitas pemerintah juga memerlukan lembaga ekonomi untuk mengatur perekonomian pemerintah yang bertujuan untuk membiayai kegiatan- kegiatan yang dilakukan pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan masyarakat.

Entitas pemerintah terdiri atas pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pada masa pemerintahan orde baru sentralisasi pemerintah pusat dirasakan sangat besar. Segala bentuk kebijakan sangat sentralistik dan bergantung kepada pemerintah pusat, sehingga pemerintah daerah tidak perlu berupaya untuk mendapatkan penghasilan guna membiayai seluruh kegiatan daerah. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1996-1997 merupakan bukti dari kegagalan sistem sentralisasi ini. Pemerintah akhirnya menyadari bahwa reformasi total diperlukan. Salah satu pelaksanaan reformasi yang dilakukan pemerintah adalah diberlakukannya otonomi daerah.

Dalam merealisasikan otonomi daerah, pemerintah pusat mengeluarkan dua peraturan, yaitu UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah

Pusat dan Daerah. Kebijakan ini kemudian diperbaharui dengan disahkannya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Di dalam UU Nomor 22 Tahun1999 disebutkan bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (pasal 1 huruf h). Sedangkan UU Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusa pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (pasal 1 angka 5). Pada dasarnya kedua pengertian ini adalah sama, hanya saja otonomi daerah tidak terbatas pada wewenang pemerintahan daerah saja tetapi juga merupakan hak dan kewajiban pemerintah daerah.

Pelaksanaan otonomi daerah merupakan titik penting dalam proses perbaikan kesejahteraan rakyat. Pemerintah daerah dapat menyesuaikan perkembangan daerah dengan potensi dan kekhasan daerah masing-masing. Maju atau tidaknya suatu daerah sangat ditentukan oleh kemampuan pemerintah daerah itu sendiri. Pemerintah daerah bebas berkreasi dan berekspresi dalam rangka membangun daerahnya, tentu saja tetap tunduk pada ketentuan perundang-undangan.

Otonomi daerah pada satu sisi dapat menumbuhkan kesadaran untuk membangun daerah secara merata dan optimal, tidak lagi bersifat sentral. Namun

di sisi lain, otonomi daerah dikhawatirkan dapat menyebabkan munculnya desentralisasi masalah dan kemiskinan, yaitu pelimpahan wewenang dari pusat kemungkinan disertai pelimpahan masalah dan kemiskinan yang selama ini tidak dapat ditangani dan diselesaikan oleh pemerintah pusat.

Seiring diberlakukannya otonomi daerah di seluruh daerah di Indonesia, muncul pernyataan apakah otonomi daerah akan berjalan lancar sehingga membawa dampak positif bagi daerah tersebut atau apakah pelaksanaan otonomi daerah berantakan dan malah menambah keterpurukan terhadap daerah tersebut.

Kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangannya tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Wajong (dalam Halim, 2008: 20) menyatakan bahwaAPBD adalah rencana pekerjaan keuangan (financial workplan) yang dibuat untuk suatu jangka waktu ketika badan legislatif (DPRD) memberikan kredit kepada badan eksekutif (kepala daerah) untuk melakukan pembiayaan guna kebutuhan rumah tangga daerah sesuai dengan rancangan yang menjadi dasar penetapan anggaran, dan yang menunjukkan semua penghasilan untuk menutup pengeluaran tadi. Yuliati (2001, dalam Sakti, 2007) menyatakan bahwa salah satu ciri utama kemampuan daerah dalam rangka penerapan otonomi daerah terletak pada kemampuan keuangan daerah untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya dengan tingkat ketergantungan pada pemerintah pusat memiliki proporsi yang semakin mengecil dan diharapkan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus menjadi bagian terbesar dalam memobilisasi dana penyelenggaraan pemerintah daerah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah salah satu unsur terpenting dalam Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah. Oleh karena itu pemerintah daerah sudah sepantasnya berupaya sebisa mungkin untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Semakin besar suati daerah memperoleh dan menghimpun Pendapatan Asli Daerah (PAD), maka akan semakin besar pula jumlah keuangan daerah yang dapat digunakan untuk membiayai seluruh kegiatan pemerintah daerah (Sakti, 2007).

Pelaksanaan otonomi daerah mengharuskan pemerintah daerah untuk membiayai sendiri penyelenggaraan pembangunan daerah serta melayani masyarakat. Untuk memenuhi hal tersebut tentu dibutuhkan anggaran yang lebih besar setiap tahunnya. Hal ini menjadi alasan utama pemerintah daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang mencerminkan keberhasilan suatu daerah atau sebaliknya. Semakin besar Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) berarti semakin kecil pula ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. Untuk mengetahui besar kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Anggaran Pendapatan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Karo selama periode tahun anggaran 2010 sampai dengan tahun 2014 dapat dilihat pada Tabel 1.1 berikut ini:

Tabel 1.1

Kontribusi PAD terhadap Anggaran Pendapatan dalam APBD Kabupaten Karo T.A. 2010 s/d 2014 Tahun Anggaran Anggaran Pendapatan (Rp) PAD (Rp) Persentase Kontribusi 2010 576.432.082.877,00 26.446.000.000,00 4,59% 2011 636.522.327.384,00 31.150.000.000,00 4,89% 2012 764.588.259.351,00 46.826.174.146,00 6,12% 2013 924.640.726.331,00 49.208.823.587,00 5,32% 2014 1.003.360.964.571,00 67.343.577.486,00 6,71 Sumber: LKPD Kabupaten Karo

Dari Tabel 1.1 diatas dapat dilihat bahwa besarnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Karo selama tahun anggaran 2010 sampai dengan tahun anggaran 2014 cenderung naik, kecuali pada tahun anggaran 2013, menurun dari 6,12% menjadi 5,32% tetapi mengalami kenaikan pada tahun anggaran berikutnya. Namun demikian dapat dikatakan kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Karo terhadap Anggaran Pendapatan masih tergolong kecil, bahkan masih dibawah 10%. Angka-angka ini mengindikasikan bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Karo belum mampu secara maksimal menghasilkan prediksi pendapatan daerah yang akurat. Mardiasmo (2000) menyatakan bahwa masalah yang sering muncul dalam upaya untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah rendahnya kemampuan pemerintah daerah untuk menghasilkan prediksi pendapatan daerah yang akurat, sehingga pendapatan daerah belum dapat dipungut secara optimal.

Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan kewajiban pemerintah daerah dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Karena jumlah Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah salah satu faktor yang menentukan suksesnya pemerintah daerah dalam menyelenggarakan otonomi daerah. Meskipun demikian pemerintah daerah tetap mendapatkan dana bantuan dari pusat berupa Dana Perimbangan, yang terdiri atas Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH). Dana ini sepenuhnya dilimpahkan wewenangnya kepada pemerintah daerah untuk dimanfaatkan secara efektif dan efisien sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, tidak jarang terdapat daerah yang mengalami kesulitan keuangan. Kesulitan keuangan yang berlangsung secara terus menerus dapat mengakibatkan kebangkrutan suatu daerah, untuk mencegah hal ini pemerintah daerah diharapkan dapat mengeksplorasi seluruh kemampuan dan potensi daerah. Pendapatan Asli Daerah diharapkan naik setiap tahunnya untuk menjauhkan kemungkinan terjadinya kebangkrutan suatu daerah. Keown (2001, dalam Fauziana, 2009) mengungkapkan bahwa secara umum kesulitan keuangan dapat dinilai dari tingginya risiko yang ditanggung dalam mengelola dan mengatur struktur keuangan, dan rendahnya tingkat protabilitas karena ketidakefektifan dan ketidakefisienan entitas dalam memanfaatkan serta mengelola sumber daya yang dimiliki. Menurut Fauziana (2009) kondisi kesulitan keuangan sebuah entitas dapat dijelaskan diantara dua titik ekstrem, yaitu kesulitan keuangan jangka pendek atau yang paling ringan disebut kesulitan

likuiditas, serta kesulitan keuangan yang paling parah yang biasa disebut dengan kesulitan tidak solvabel (insolvency). Kesulitan keuangan jangka pendek bersifat sementara namun, apabila tidak segera diatasi, berpotensi menjadi parah.

Pemerintah daerah perlu mengenali tanda-tanda kebangkrutan ini dan segera melakukan tindak cepat guna mencegah terjadinya kebangkrutan. Dengan menggunakan rasio keuangan dapat dilihat gambaran kesehatan keuangan daerah, apakah terdapat tanda-tanda kebangkrutan atau tidak.

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian untuk mengetahui kondisi kesehatan keuangan daerah di Kabupaten Karo dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, sehingga skripsi ini berjudul:

“Analisis Kesehatan Keuangan Pemerintah Daerah dalam Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah (Studi Kasus pada Pemerintah Daerah Kabupaten Karo)”.

Dokumen terkait