• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Latar Belakang

Pada dasarnya semua perusahaan didirikan untuk menghasilkan profit yang sebesar – besarnya namun dalam mencapai tujuannya tersebut seringkali perusahaan – perusahaan ini mengabaikan dampak sosial dan dampak lingkungan yang timbul dari aktivitas ekonominya. Suryawijaya dan Setiawan (1998) mengatakan bahwa sebagai suatu instrumen ekonomi, perusahaan tidak lepas dari berbagai pengaruh lingkungan, terutama lingkungan ekonomi dan lingkungan politik.

Seiring dengan meningkatnya kesadaran dan kepekaan dari stakeholders perusahaan maka konsep tanggung jawab sosial muncul dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan kelangsungan hidup perusahaan di masa yang akan datang. Stakeholder yang dimaksud diantaranya adalah para shareholder, karyawan (buruh), pelanggan, komunitas lokal, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan lain sebagainya. (Lusa, 2007). Hal ini menjadi tantangan yang serius bagi perusahaan untuk bisa selalu berpikir secara inovatif demi mencapai suatu pembangunan yang berkelanjutan (sustainable).

Pembangunan berkelanjutan ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan pemenuhan kebutuhan bagi generasi yang akan datang (Commission on Environment and Development (dalam GRI, 2006)).

Di era globalisasi ekonomi saat ini maka kesempatan baru untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran pun akan semakin terbuka, hal ini dapat dicapai melalui perdagangan, berbagi pengetahuan lewat informasi, maupun kelancaran dalam mengakses teknologi canggih. Namun, pertumbuhan positif dan peningkatan mutu kualitas hidup ternyata diimbangi dengan munculnya informasi yang mengkhawatirkan mengenai kondisi lingkungan yang kualitasnya semakin hari semakin memburuk. Isu – isu kerusakan alam seperti polusi udara, pembuangan limbah cair, penggundulan hutan, sistem pembangunan yang tidak ramah lingkungan, sampai pada perubahan iklim, fenomena-fenomena ini yang kemudian mengingatkan masyarakat akan pentingnya pengelolaan sumber daya alam yang ada yang jumlahnya terbatas sehingga perusahaan dituntut agar mampu menggunakannya secara efisien terutama dalam memenuhi kebutuhan operasinya.

Di Indonesia saja, kasus-kasus seperti banjir lumpur panas Lapindo Brantas Inc. di Sidoarjo, Jawa Timur, pencemaran Teluk Buyat di Minahasa Selatan oleh PT. Newmont Minahasa Raya, pembakaran hutan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit di Sumatera dan Kalimantan, masalah pemberdayaan masyarakat suku di wilayah pertambangan Freeport di Papua, dan konflik masyarakat Aceh dengan Exxon mobil yang mengelola gas bumi di Arun membuat masyarakat selalu berpandangan negatif akan kegiatan operasional suatu entitas bisnis (www.csrindonesia.com, 2008).

Sementara di dunia internasional ada contoh kasus seperti Enron yang menyebabkan berkurangnya kepercayaan masyarakat kepada perusahaan. Owen

(2005) mengatakan bahwa kasus Enron di Amerika telah menyebabkan perusahaan – perusahaan lebih memberikan perhatian yang besar terhadap pelaporan sustainabilitas dan pertanggungjawaban sosial perusahaan. Hal tersebut semakin menguatkan pendapat Wallman (1995) yang mengatakan bahwa informasi yang dikenal selama ini, yaitu laporan laba rugi, neraca, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan kemanfaatannya semakin berkurang.

Pentingnya dan besarnya desakan akan risiko terkait dengan sustainability mendorong perlu ditemukannya pilihan metode – metode pengendalian baru, terutama untuk menciptakan transparansi mengenai dampak ekonomi, lingkungan, dan sosial bagi para pemangku kepentingan (GRI, 2006). Dalam mendukung harapan ini, diperlukan sebuah kerangka konsep global dengan bahasa yang konsisten dan dapat diukur dengan tujuan agar lebih jelas dan mudah dipahami. Konsep inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report (SR)).

Sustainability Reports menurut World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) bisa didefinisikan sebagai laporan publik dimana perusahaan memberikan gambaran posisi dan aktivitas perusahaan pada aspek ekonomi, lingkungan dan sosial kepada stakeholder internal dan eksternalnya (WBCSD 2002:7).

Elkington (1997) menyatakan:

“At its narrowest, the term “triple-bottom-line” is used as a framework from measuring and reporting corporate performance against economic, social,

and environmental parameters. At its broadest, the term is used to capture the whole set of value, issue and proccesses that companies must address in order to minimize any harm resulting from their activities and to create ecomonic, social and environmental value. The three lines represent society, the economic and the environment. Society depends on the economic – and the economy depends on the global ecosystem, whose health represents the ultimate bottom line”

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Sustainability Reporting memuat tidak saja informasi kinerja keuangan tetapi juga informasi non keuangan yang terdiri dari informasi aktivitas sosial dan lingkungan yang memungkinkan perusahaan bisa bertumbuh secara berkesinambungan (sustainable performance). Sustainability (keberlanjutan) adalah keseimbangan antara people-planet-profit, yang dikenal dengan konsep Triple Bottom Line (TBL). Sustainability terletak pada pertemuan antara tiga aspek, people-sosial; planet-lingkungan; dan profit-ekonomi. Idealnya SR mengintegrasikan tiga bentuk laporan sebelumnya (keuangan, sosial dan lingkungan). Maka menurut Elkington, perusahan harus bertanggungjawab atas dampak positif maupun negatif yang ditimbulkan terhadap aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup.

Beralihnya orientasi kepada ketiga hal tersebut merupakan usaha yang digunakan oleh manajer perusahaan untuk mencapai pertumbuhan secara berkesinambungan melalui aktivitas – aktivitas operasi yang dilakukan secara bertanggungjawab dengan mempertimbangkan keuntungan (profit), bumi (planet), dan komunitas (people). Manajemen perusahaan berharap dengan adanya pencantuman laporan berkelanjutan tersebut, dapat digunakan sebagai alat yang

paling penting yang digunakan perusahaan untuk berkomunikasi dengan stakeholder perusahaan (Branco dan Rodrigues, 2006).

Seiring dengan meningkatnya kesadaran global akan isu – isu keberlanjutan tersebut, permintaan akan laporan keberlanjutan oleh para investor termasuk investor dalam negeri juga semakin meningkat, terutama para investor yang berminat untuk mendanai usaha yang berwawasan sosial dan ramah lingkungan. Di Indonesia, implementasi pelaporan berkelanjutan didukung oleh sejumlah aturan seperti UU No 23/1997 tentang manajemen lingkungan, aturan yang dikeluarkan Bursa Efek Indonesia mengenai prosedur dan persyaratan listing dan PSAK ( Budiman, 2009).

Sanksi pidana mengenai pelanggaran CSR pun terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) Pasal 41 ayat (1) yang menyatakan: “Barangsiapa yang melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak lima ratus juta rupiah”. Selanjutnya, Pasal 42 ayat (1) menyatakan: “Barangsiapa yang karena kealpaannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak seratus juta rupiah” (Sutopoyudo, 2009).

Meskipun telah didukung oleh peraturan, dan undang – undang, akan tetapi praktek penerapan sustainability reporting di Indonesia dinilai masih rendah. Hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Global Reporting Initiative (2004)

menunjukan bahwa selama tahun 2001 – 2003, pelaporan mengenai informasi tentang lingkungan dan sosial baru sebesar 1% dari seluruh negara di benua Asia dan Australia. Praktiknya sendiri secara nyata baru dilakukan pada tahun 2000 dengan pedoman GRI digunakan sebagai referensi bagi pelaporan perusahaan. Perusahaan yang pertama kali mengungkapkan SR sebagai laporan yang terpisah adalah PT Kaltim Prima Coal pada tahun 2005.

Masih banyak perusahaan di Indonesia yang hanya berfokus untuk mengungkapkan laporan keuangan yang berkaitan dengan kinerja keuangan saja. Padahal kinerja keuangan saja sudah tidak relevan lagi, harus ada informasi tambahan yang dilaporkan oleh manajemen perusahaan agar bisa menarik minat para investor. Seperti yang diungkapkan Eipstein dan Freedman (1994), bahwa investor tertarik terhadap informasi tambahan yang dilaporkan dalam laporan tahunan. Selain itu juga menurut Anke (2009), saat ini banyak perusahaan di Indonesia yang mulai berkembang dan kebanyakan perusahaan masih berfokus pada pencarian keuntungan belaka. Perusahaan menganggap sumbangannya kepada masyarakat hanya berasal dari penyediaan lapangan pekerjaan, pemenuhan kebutuhan melalui produknya, dan pembayaran pajak kepada negara sudahlah cukup.

Untuk memberikan apresiasi terhadap perusahaan yang telah menyelenggarakan laporan berkelanjutan (sustainability report), baik yang diterbitkan secara terpisah maupun terintegrasi dalam laporan tahunan (annual report). Pada tahun 2005 Ikatan Akuntan Indonesia dan National Center for Sustainability Reporting (NCSR), yang beranggotakan Indonesian – Netherlands

Association (INA), Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI), Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG), Ikatan Akuntan Manajemen Indonesia (IAMI), dan Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) mengadakan sebuah event penghargaan Indonesia Sustainability Reporting Award (ISRA). ISRA adalah penghargaan yang diberikan kepada perusahaan – perusahaan yang telah membuat pelaporan atas kegiatan yang menyangkut aspek lingkungan dan sosial disamping aspek ekonomi untuk memelihara keberlanjutan (sustainability) perusahaan itu sendiri, dengan indikator penelitian yang meliputi kelengkapan (40%), kredibilitas (35%), dan komunikasi (25%). Dengan diadakannya ISRA diharapkan mampu untuk memotivasi perusahaan – perusahaan untuk menerapkan Sustainability Reporting, sebagai bentuk pelaporan pertanggungjawaban sosial perusahaan sehingga dapat berbentuk good corporate governance.

Pemerintah juga melakukan suatu tindakan yang nyata untuk meningkatkan pelaksanaan corporate social responsibility dan pelaporan sustainability report di Indonesia dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UU PT), yang disahkan pada 20 Juli 2007. Pasal 74 Undang-Undang Perseroan Terbatas menyatakan : (1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL), (2) TJSL merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran, (3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban dikenai sanksi sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang – undangan (www.hukumonline.com). Sejak beberapa tahun terakhir Bapepam-LK telah pula mengeluarkan aturan yang mengharuskan emiten mengungkapkan pelaksanaan kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) di dalam laporan tahunan perusahaan.

Sehingga dalam beberapa tahun terakhir laporan keberlanjutan (Sustainability Report) kian menjadi tren dan kebutuhan bagi perusahaan progresif untuk menginformasikan perihal kinerja ekonomi, sosial dan lingkungannya sekaligus kepada seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) perusahaan (Chariri dan Firman, 2009). Hal tersebut juga dapat kita lihat dari data statistik dari National Center for Sustainability Reporting (NCSR).

Gambar 1.1

Grafik Pertumbuhan Perusahaan yang Memakai Sustainability Report di Indonesia

(Sumber : www.ncsr-id.org)

Sustainability report mempunyai beragam fungsi. Bagi perusahaan, sustainability report merupakan alat ukur pencapaian target kerja dalam isu Triple Bottom Line. Bagi investor, sustainability report berfungsi sebagai alat kontrol atas capaian kinerja perusahaan sekaligus sebagai media pertimbangan investor dalam

mengalokasikan sumberdaya finansialnya terutama dalam lingkup sustainable and responsible investment (SRI). Sementara bagi pemangku kepentingan lainnya (media, pemerintah, konsumen, akademis dan lain-lain). Sustainability report menjadi tolak ukur untuk menilai kesungguhan komitmen perusahaan terhadap pembangunan berkelanjutan.

Meskipun sama – sama berkaitan dengan pengungkapan sosial, pengungkapan corporate social responsibility berbeda dengan pengungkapan sustainability report. Pengertian corporate social responsibility ialah sebuah upaya yang dilakukan oleh perusahaan dalam bentuk nyata dan dikemas menjadi laporan untuk mengintegrasikan kepedulian sosial didalam operasi bisnis mereka dan dalam interaksi dengan pemangku kepentingan perusahaan berdasarkan prinsip kemitraan dan kesukarelaan (Nuryana, 2005). Sedangkan sustainability report merupakan sebuah laporan yang dikeluarkan perusahaan berisi tentang informasi kinerja keuangan dan informasi non keuangan yang terdiri dari informasi aktivitas sosial dan lingkungan yang lebih menekankan pada prinsip dan standar pengungkapan yang mampu mencerminkan tingkat aktivitas perusahaan secara menyeluruh sehingga memungkinkan perusahaan bisa tumbuh secara berkesinambungan.

Penelitian tentang informasi sosial yang dilakukan oleh Anggraini (2006) menyebutkan terdapat hubungan signifikan antara persentase kepemilikan manajemen dengan pengungkapan informasi sosial, namun tidak berhasil membuktikan pengaruh ukuran perusahaan, leverage dan profitabilitas terhadap kebijakan pengungkapan informasi sosial oleh perusahaan. Hackston & Milne

(1996) mengungkapkan bahwa ukuran perusahaan dan tipe industri memiliki hubungan signifikan dengan pengungkapan informasi sosial, sebaliknya tidak ditemukan hubungan antara laba dengan pengungkapan informasi sosial. Sitepu dan Siregar (2007) menemukan bahwa ukuran dewan komisaris, tingkat leverage, ukuran perusahaan dan profitabilitas secara bersama – sama atau simultan memiliki kemampuan mempengaruhi jumlah informasi sosial yang diungkapkan dalam laporan tahunan perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Saputra dan Maksum (2007) menyebutkan bahwa kinerja lingkungan dan pengungkapan informasi lingkungan secara bersama-sama atau simultan memiliki kemampuan mempengaruhi kinerja ekonomi perusahaan, penemuan ini diperkuat dengan adanya penemuan dari Heru Sulistyo (2008) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan positif signifikan antara kinerja sosial dengan kinerja perusahaan.

Penelitian mengenai sustainability report sebagai wujud pengungkapan sosial terus berkembang dan menjadi topik yang menarik untuk diteliti di Indonesia. Saat ini banyak penelitian tentang sustainability report yang hanya melihat faktor –faktor yang mempengaruhi luas pengungkapan sustainability report. Masih jarang penelitian yang meneliti tentang dampak pengungkapan sustainability report terhadap kinerja perusahaan. Selain itu hasil penelitian yang sudah ada juga memberikan hasil yang belum konsisten. Penelitian tentang SR yang dilakukan oleh Guidry dan Patten (2010) menyebutkan bahwa secara keseluruhan pengungkapan SR tidak berpengaruh terhadap reaksi pasar, sementara Alewine dan Stone (2010) meneliti bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara pengungkapan informasi

sosial dengan perhatian (attention) stakeholder Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Anggraini (2006), Sitepu dan Siregar (2007), dan Hackston & Milne menitikberatkan pengaruh karakteristik perusahaan terhadap pengungkapan informasi sosial (CSR). Sedangkan Guidry & Patten (2010), dan Alewine & Stone (2010) menitikberatkan penelitian mereka pada pengaruh pengungkapan SR terhadap reaksi pasar dan stakeholder. Saputra dan Maksum (2007) dan Heru Sulistyo (2008) meneliti tentang pengaruh kinerja sosial dan pengungkapan informasi sosial terhadap kinerja perusahaan. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tersebut. Selain itu, dalam penelitian ini menggunakan data terbaru, yaitu perusahaan yang mengungkapkan laporan berkelanjutan (Sustainability Report) antara tahun 2012 - 2014. Pemilihan data antara tahun 2012 - 2014 dikarenakan periode waktu tersebut adalah data terbaru pada saat penelitian ini dilakukan. Dan juga, dalam penelitian ini tidak menggunakan Global Reporting Initiative (GRI) versi 3 lagi untuk mengukur SR yang mana sudah tidak relevan lagi di zaman sekarang ini karena sudah ada versi yang lebih mutakhir yakni GRI versi 3.1 dan versi 4.0.

Berdasar latar belakang di atas dan beberapa peneliti terdahulu, penyusun akan melakukan penelitian yang lebih spesifik mengenai pengungkapan laporan berkelanjutan (Sustainability Report) dengan judul “PENGARUH PENGUNGKAPAN SUSTAINABILITY REPORT TERHADAP KINERJA PERUSAHAAN STUDI KASUS PERUSAHAAN YANG TERDAFTAR DALAM BURSA EFEK INDONESIA (BEI) TAHUN 2012 - 2014”

Dokumen terkait