• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bentuk-Bentuk Akad Yang Cacat Dalam Hukum Perjanjian Islam

Akad yang cacat merupakan akad yang dapat dimintakan pembatalannya. Untuk lebih jelasnya bentuk-bentuk akad yang termasuk ke dalam kategori akad yang cacat adalah sebagai berikut:

1. Al-Ikrah(Paksaan)

Ikrah berasal dari kata akraha-yukrihu-ikraahan. Jika dikatakan: akraha fulanan ‘ala al-amri; hamalahu ‘alaihi qahran (memaksa fulan atas satu perkara; memaksanya untuk melaksanakan urusan tersebut)65.

Adapun menurut istilah parafuqaha, Ikrah adalah memaksa pihak lain untuk melakukan sesuatu yang dibencinya baik berupa ucapan ataupun perbuatan dengan gertakan dan ancaman. Dalam kamus al-Musthalahat al-Iqtishadiyyah disebutkan66, Ikrah adalah paksaan dari seseorang yang memiliki kekuasaan terhadap orang lain untuk melakukan sesuatu yang dipaksakan, hingga paksaan tersebut meniadakan kerelaannya.

Paksaan merupakan cacat kehendak yang paling fatal dalam hukum Islam karena sifatnya sangat kongkrit, mangekang kehendak dan memaksanya dengan seketika. Paksaan secara etimologi adalah menyuruh orang lain pada perkara yang

65My Rayhan, “Cacat-cacat Akad (‘Uyub al-’ Aqdi), http://myrayhan .blogspot.com/ 2012/01 /cacat-cacat-akad-uyub-al-aqdi_19.html, diakses tanggal 20 Juli 2013.

tidak dikehendakinya, sementara menurut para Fuqaha’ paksaan adalah menyuruh seseorang untuk mengerjakan suatu perbuatan yang tiada.

Para fuqaha membedakan dua macam paksaan, paksaan sempurna (penuh) dan paksaan tidak sempurna. Paksaan dikatakan penuh apabila hal yang dipaksanakan melakukan oleh pihak dipaksa dengan adanya ancaman yang menyangkut keselamatan jiwa atau hilangnya sebagian anggota badan, paksaan dikatakan tidak sempurna.67

Ikrahdianggap berlaku jika mengandung dua hal, yaitu pihak yang memaksa hendaknya mampu melaksanakan ancamannya, dan pihak yang dipaksa hendaknya memiliki perasangka yang kuat bahwa ancaman tersebut akan dilakukan padanya. Kalau salah satu dari dua hal tersebut apalagi kedua-duanya tidak ada, maka ikrah itu dianggap hanya main-main dan tidak berpengaruh sama sekali.

Ikrah itu ada dua:

a. Ikrah mulji’ yaitu paksaan (ikrah) yang dapat merusak kerelaan dan hak pilih. Dalam hal ini, pihak yang dipaksa (mukrah) seperti sebuah alat yang berada di tangan si pemaksa (mukrih). Paksaan ini biasanya dalam bentuk ancaman pembunuhan, ancaman membuat cacat anggota tubuh atau pemukulan berat yang dikhawatirkan dapat menghilangkan nyawa atau anggota badan, atau melenyapkan seluruh harta. Ikrah mulji’ seperti ikrah yang disertai dengan ancaman penghilangan nyawa atau anggota badan, maka ikrah tersebut membatalkan akad jual beli dan juga akad-akad lainnya.

b. Ikrah ghair mulji’ yaitu paksaan (ikrah) yang merusak kerelaan namun tidak merusak hak pilih, dan ini bisa dalam bentuk ancaman berupa gangguan yang lebih rendah dari ancaman yang disebutkan di atas, seperti ancaman dengan pukulan yang tidak menghilangkan nyawa atau anggota badan, atau melenyapkan sebagian harta.

Adapun apabila gangguan itu ringan (yasir), maka ia tidak ada pengaruhnya sama sekali, bahkan ia tidak dianggap sebagai sebuah paksaan. Dan untuk membedakan antara gangguan yang tidak perlu dipedulikan dengan gangguan yang akan meningkat menjadi ikrah (paksaan) adalah kembali kepada keputusan hakim.

Karena dalam hal itu tidak ada batasan yang pasti, sedangkan membuat batasan dengan akal jelas tidak mungkin, maka keputusannya dikembalikan kepada hakim, karena bisa berbeda-beda tergantung dari kondisi manusia. Ada orang yang tidak merasa terancam kecuali bila dipukul dengan keras atau dipenjara dalam waktu lama. Namun ada juga yang merasa terancam hanya dengan dimarahi atau digertak.

Para fuqaha telah sepakat bahwa berbagai kegiatan keuangan yang didasari oleh kerelaan, seperti jual beli dan sejenisnya tidak dianggap sah apabila dilakukan dengan paksaan. Namun, apakah semua kegiatan itu dibolehkan setelah hilangnya paksaan atau tidak.Yakni apabila muncul kerelaan setelah sebelumnya dipaksa, apakah bisa dibenarkan atau tidak, ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Jumhur ulama melarangnya, sedangkan Abu Hanifah membolehkannya68. Seperti

yang diungkapkan oleh ulama fikih bahwa akad yang disertai paksaan (ikrah) adalah akad yangfasidtapi sahnya akad dengan keridhaan69.

2. Al-Ghalath(Kesalahan)

Kesalahan disebut juga dengan kekeliruan. Kekeliruan yang dimaksud di sini adalah kekeliruan yang terjadi pada objek akad, bukan pada subjeknya. Ghalath berasal dari kataghalitha-yaghlathu-ghalathan, yang menurut bahasa berartial-khata (kesalahan). Cacat ini berkaitan dengan objek akad tertentu, yaitu dengan menyebutkan satu gambaran tertentu tentang objek akad, namun ternyata yang tampak adalah kebalikannya. Seperti orang yang membeli perhiasan berlian, ternyata berlian tersebut hanya terbuat dari kaca, atau orang yang membeli pakaian dari sutera, namun ternyata hanya terbuat dari kapas.

Ghalathitu ada dua macam:

a) Ghalath yang mengakibatkan batalnya akad, yaitu yang perbedaannya kembali kepada perbedaan jenis, atau perbedaan yang signifikan pada manfaatnya, seperti perbedaan antara emas dengan tembaga, atau antara hewan sembelihan dengan bangkai pada akad jual beli daging.

b)Ghalath yang perbedaan jenis atau perbedaan manfaatnya tidak signifikan, seperti orang yang membeli hewan jantan, dan ternyata hewannya betina, atau sebaliknya.Ghalathseperti ini tidaklah membatalkan akad, namun pihak yang dirugikan berhak untuk membatalkannya.

69 Buchari Alma. Donni Juni Priansa, Manajemen Bisnis Syariah, (Penerbit Alfabeta, Bandung 2010), hal 251.

3. Al-Ghabn(Penyamaran Harga)

Ghabn menurut bahasa adalah al-khida’ (penipuan). Jika dikatakan: ghabanahu ghabnan fi al-bai’ wa asy-syira’; khada’ahu wa ghalabahu (dia benar-benar menipunya dalam jual beli; yaitu menipunya dan mengalahkannya), ghabana fulanan; naqashahu fi ats-tsaman wa ghayyarahu (dia menipu fulan; yaitu mengurangi dan merubah harganya)70.

Adapun menurut istilah, ghabn adalah pengurangan pada salah satu alat kompensasi, atau tukar menukar antara dua alat kompensasi yang tidak adil karena tidak adanya kesamaan antara yang diambilnya dengan yang diberikannya. Seperti orang yang menjual rumah seharga sepuluh padahal harganya hanya delapan. Maka dari pihak orang yang melakukan penyamaran harga, berarti memindahkan kepemilikan barang dengan kompensasi lebih dari harga barangnya. Sementara dari pihak yang disamarkan harga barangnya, berarti ia memiliki barang dengan harga lebih mahal dari harga yang sebenarnya.

Ghabnmenurut para fuqaha ada dua macam, yaitu: ghabn yasir(penyamaran ringan) dan Ghabn fahisy (penyamaran berat).Ghabn yasir (penyamaran ringan) adalah: penyamaran harga yang tidak sampai keluar dari harga pasaran (taqwim al-muqawwimin), yaitu harga yang diperkirakan oleh orang-orang yang berpengalaman di pasar71.

70Hasballlah Thaib 3,Op. Cit,hal.136

Dalam kegiatanmuamalahhampir tidak bisa terlepas dari adanyaghabn yasir seperti ini. Oleh karena itu, dalam semua jenis akad, ghabn seperti itu dapat dimaklumi, dan tidak ada pengaruhnya.Ghabn fahisy (penyamaran berat) adalah penyamaran harga yang sampai mengeluarkan barang dari harga pasarannya.Ghabn seperti ini membatalkan akad yang subjeknya adalah harta waqaf atau harta orang yang dicekal (mahjur ‘alaihim), atau harta Baitul Mal, karena pengoperasian harta-harta semacam ini harus berada dalam lingkaran kemaslahatan harta-harta tersebut.

Adapun pengaruh ghabn fakhisy pada akad-akad lainnya, terjadi perbedaan pendapat antar para ulama:

1. Ghabn semacam itu tidak ada pengaruhnya, demi menjaga kemaslahatan berlangsungnya akad juga menjaganya agar tidak batal. Karena orang yang menjadi korban penyamaran harga tidak lepas dari sikap lalai dan terburu-buru. Maka ia juga harus menanggung akibat perbuatannya itu.

2. Orang yang menjadi korban penyamaran harga memiliki hak untuk membatalkan akad agar dia dapat terlepas dari perbuatan semena-mena terhadap dirinya

3. Ghabn seperti ini jika tujuannya adalah penipuan dari Ghabin (pihak yang menyamarkan harga), maka pihak yang menjadi korban (maghbun) memiliki hak untuk membatalkannya. Dan jika tujuannya bukan untuk menipu pembeli, maka tidak ada pengaruhnya. Kemungkinan pendapat inilah yang paling pas dari semua pendapat di atas.

Pembedaan antara ghabn yasir (penyamaran ringan) dengan Ghabn fahisy (penyamaran berat) adalah kembali pada ‘urf (kebiasaan). Karena tidak ada batasan kongkrit dalam masalah ini. Adapun berbagai perkiraan tentang batasan penyamaran harga yang diungkapkan sebagian fuqaha tidak dianggap sebagai syariat yang pasti. Namun semua itu didasari oleh berbagai kebiasaan (al-a’raf) yang tersebar pada masa mereka.

4. At-Tadlis/at-Taghrir(Penipuan)

Pemalsuan atau penipuan adalah menyembunyikan cacat pada objek akad agar tampak tidak seperti sebenarnya atau perbuatan pihak penjual terhadap barang yang dijual dengan maksud untuk memperoleh harga yang lebih besar. Misalnya, orang menjual kambing perahan, beberapa hari sebelumnya tidak diperah agar kiranya bahwa air susunya amat deras karena susunya pada waktu kambing itu dijual tampak amat penuh.72Penipuan itu bila tidak sesuai faktanya untuk tujuan akad.73

Tadlis berasal dari kata dallasa-yudallisu-tadlisan. Menurut bahasa ad-dalas berartiadz-dzulmah(kegelapan)74dan ad-dalsberartial-khadi’ah(penipuan). Tadlisadalah ikhfa al-‘aib (menyembunyikan cacat). Sedangkan tadlisdalam jual beli adalah menjual suatu barang yang mengandung cacat dengan tanpa menjelaskan (cacatnya) tersebut pada pihak pembeli.

Menurut Abdul Halim Mahmud al-Ba’li, yang dimaksud dengan tadlisadalah suatu upaya untuk menyembunyikan cacat pada obyek akad dan menjelaskan dengan gambaran yang tidak sesuai dengan kenyataannya untuk menyesatkan pihak yang berakad dan mengakibatkan kerugian salah satu pihak yang berakad, juga dikatakan Tadlis adalah penipuan.75

72Ibid,hal. 138.

73Harlien Budiono, Kumpulan tulisan Hukum perdata di Bidang kenotariatan, (Bandung:PT.Citra Aditya Bakti, 2008), hal.373.

74

Abdul Manan,Hukum Ekonomi Syariah Dalam Perspektif Kewenangan Peradilan agama, (Jakarta;Kencana, 2012),hal. 94-95.

75

Tadlisitu terbagi dua:

a) Tadlis perkataan (qauli) seperti seseorang yang menjual suatu barang dengan mengatakan bahwa barang tersebut terbebas dari cacat dan lain-lain

b) Tadlis perbuatan (fi’li) seperti dalam kasus tashriyyah yaitu membiarkan susu ternak tidak diperah agar dianggap selalu bersusu banyak dan lain-lain.

Jika terjadi tadlis maka orang yang tertipu (mudallas) memiliki khiyar. Ia boleh tetap melanjutkannya dan mempertahankan barang yang diperjual belikan, yang artinya ia ridha/rela dengan barang tersebut. Ia juga boleh memfasakh (membatalkan) akad jual-beli, yakni ia kembalikan barang tersebut dan meminta kembali secara penuh harga yang telah ia bayarkan. Tadlisyang menetapkankhiyarada dua bentuk:

1) Tadlisyang meningkatkan harga meski tidak ada aib,

Seperti memerahi wajah hamba sahaya perempuan, menghitamkan rambutnya dan semacamnya, juga seperti membiarkan susu tetap di kambingnya, dengan tidak diperah

2) Tadlisdengan menutupi ‘aib (cacat)

Dalam tadlis bentuk pertama adalah adanya perlakuan terhadap barang yang bisa mengaburkan/mengelabui pembeli sehingga menduga atau menganggap barang tersebut memiliki kualitas, fungsi, spesifikasi atau

lainnya, lebih dari yang sebenarnya. Tujuannya tentu saja agar harga barang itu lebih tinggi.

Contoh tadlis bentuk ini untuk saat sekarang: merekondisi barang sehingga tampak seolah-olah baru atau belum lama dipakai, mematikan speedometer dan baru dihidupkan lagi saat mau dijual, mengecat ulang bodi mobil, mengganti chasing HP dengan chasing baru, dan lain sebagainya. Semua itu akan bisa membuat pembeli mengganggap kondisi barang lebih dari yang sebenarnya.

Dalam tadlisbentuk kedua yaitu tadlis dengan menutupi ‘aib (cacat), ada sebuah hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam: “Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain, tidak halal seorang muslim menjual sesuatu yang mengandung cacat kepada saudaranya kecuali ia menjelaskan jualannya itu kepada saudaranya, Bukhari Muslim76.

Hadis ini dengan jelas menyatakan bahwa seseorang yang menjual barang cacat, tidak halal baginya kecuali ia menjelaskan cacat yang ada itu. Ini sekaligus menjelaskan bahwa menjual tanpa menjelaskan cacat itu merupakan tata cara memperoleh harta secara haram.

Namun, kadang barang cacat itu tidak mungkin dikembalikan, misalnya mobil sudah bertabrakan atau bahan baku sudah terlanjur diproses. Padahal pembeli tidak rela dengannya karena cacat atau kurang, tetapi

harganya sudah dibayar. Jika tidak rela, secara syar’i pembeli itu memiliki khiyar untuk mengembalikan barang, tetapi hal itu tidak mungkin karena kondisi yang terjadi. Untuk menghilangkan dharar dari pembeli itu maka ia bisa merujuk kepada penjual agar membayar nilai cacat tersebut.

5. Al-Jahalah

Jahalah menurut bahasa berasal dari jahiltu asy-syai’ (saya tidak tahu suatu hal) lawan dari ‘alimtuhu (saya mengetahuinya). Dan jahalah adalah melakukan suatu perbuatan tanpa ilmu.77

Adapun jahalahmenurut istilah, para fuqaha menggunakan katajahalahbaik untuk manusia yang tidak diketahui keyakinannya, perkataannya, ataupun perbuatannya, juga mereka menggunakan kata jahalahpada aspek-aspek lain di luar manusia seperti barang dagangan dan lain-lain. Sehingga sesuatu yang majhul, mereka mensifatinya denganjahalah.

Jahalahitu ada tiga tingkatan:

1) Jahalah fahisyah, yaitujahalahyang dapat mengakibatkan persengketaan. Jahalah ini menjadikan akad tidak sah, karena diantara syarat sah akad adalah agar objek akad itu ma’lum (diketahui) dengan pengetahuan yang meniadakan persengketaan.

2) Jahalah yasirah, yaitu jahalah yang tidak mengakibatkan persengketaan. Jahalah seperti ini dibolehkan dan akad dengan adanya jahalah ini juga sah, sepertijahalahpondasi rumah dan lain-lain.

3) Jahalah mutawassithah, yaitu jahalah antarafakhisyah dan yasirah. Para fuqaha berbeda pendapat dalam jahalah ini. Sebagian mereka menganggap bahwa hukumnya sama dengan jahalahfakhisyah. Namun sebagian yang lain menganggapnya sama dengan jahalah yasirah. Setiap jahalah yang bisa mengakibatkan persengketaan berarti merusak akad.

Seperti seseorang yang menjual seekor kambing yang tidak tertentu dari segerombolan kambing yang ada. Maka pihak penjual, kadang ingin memberikan kambing yang kualitasnya jelek dengan alasan tidak adanya ta’yin (penentuan barang). Pihak pembeli juga kadang ingin mengambilkambing yang kualitasnya bagus dengan alasan yang sama, maka akad sepertiini menjadi rusak (fasad) menurut ulama Hanafiyah78.

Gambaranjahalahfahisyah itu ada empat:

1 Jahalah yang berkaitan dengan objek akad, seperti seseorang yang membeli seekor sapi dengan syarat sapi tersebut menghasilkan susu sekian liter, maka syarat tersebut mengandung gharardan jahalah, hingga syarat tersebut tidak berlaku dan dianggap rusak.

2 Jahalah dalam hal waktu, karena dalam jual beli disyaratkan agar waktunya jelas diketahui, dan jika waktunya tidak diketahui (majhul) maka rusaklah jual beli tersebut, seperti ketika bertiupnya angin, turun hujan, waktu datangnya fulan, waktu panen, waktu datangnya para jemaah haji, dan lain sebagainya.

3 Jahalah dalam hal harga, karena jual beli dengan harga yang tidak jelas (majhul) adalah fasid. Misalnya pihak pembeli berkata, aku beli barang ini dari anda dengan harga seperti orang-orang membelinya, maka jual beli tersebutfasid.

4 Jahalah dalam hal jaminan barang atau seseorang, seperti jika pihak penjual mensyaratkan pada pihak pembeli agar mendatangkan seorang penjamin (kafil), padahal kafil tersebut tidak ada di tempat berlangsungnya akad, maka akad tersebut rusak (fasid), karena dia tidak tahu apakah kafil tersebut mau memberikan jaminan atau tidak, juga karena bolehnya akad ini berkaitan dengan adanya persetujuan kafil untuk memberikan kafalah, ketika persetujuan kafil itu menjadi syarat padahal kafil tersebut tidak ada di lokasi akad, maka akad itupun tidak dibolehkan.

Jika pihak penjual mensyaratkan pada pihak pembeli agar menyerahkan barang jaminan, jika barang jaminannyamajhul, maka akad itu pun fasid, karena diterimanya akad tersebut berkaitan dengan barang jaminan, dan jika akad itu harus diketahui, maka yang berkaitan dengan akad (barang jaminan) juga harus diketahui.

6. Al-Gharar

Menurut bahasa, al-gharar adalah, al-khathr (pertaruhan). Syaikh As-Sa’di menyatakan, al-gharar adalah al-mukhatharah (pertaruhan) dan al-jahalah (ketidak jelasan). Perihal ini masuk dalam kategori perjudian. Dari penjelasan ini dapat

diambil pengertian bahwa yang dimaksud jual beli gharar adalah, semua jual beli yang mengandung ketidakjelasan, pertaruhan, atau perjudian79.

Dalam syari’at Islam, jual beli gharar dilarang berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah yang berbunyi:

“Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallammelarang jual beli al-hashahdan jual beli gharar80.

Dalam sistem jual beli gharar ini terdapat unsur memakan harta orang lain dengan cara batil. Padahal Allah melarang memakan harta orang lain dengan cara batil sebagaimana tersebut dalam firmanNya:

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” Al- Baqarah 188.

Pelarangan ini juga dikuatkan dengan pengharaman judi, sebagaimana dalam firmanNya:

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”Al-Maidah 90.81

Jual-beli yang mengandunggharar, menurut hukumnya ada tiga macam: 1. Gharar yang disepakati larangannya dalam jual-beli, seperti jual-beli

yang belum ada wujudnya (bai’ al-ma’dum).

79Hasballah Thaib 3,Op. Cit, hal. 150.

80Hadits Abu Hurairah,hal 231

2. Gharar yang disepakati kebolehannya, seperti jual-beli rumah dengan pondasinya, padahal jenis dan ukuran serta hakikat sebenarnya tidak diketahui. Hal ini dibolehkan karena kebutuhan dan karena merupakan satu kesatuan, tidak mungkin lepas darinya.

Ibnul Qayyim juga mengatakan: “Tidak semua gharar menjadi sebab pengharaman. Gharar, apabila ringan (sedikit) atau tidak mungkin dipisah darinya, maka tidak menjadi penghalang keabsahan akad jual beli. Karena, gharar (ketidak jelasan) yang ada pada pondasi rumah, dalam perut hewan yang mengandung, atau buah terakhir yang tampak menjadi bagus sebagiannya saja, tidak mungkin lepas darinya. Demikian juga gharar yang ada dalam hammam (pemandian) dan minuman dari bejana dan sejenisnya, adalah gharar yang ringan. Sehingga keduanya tidak mencegah jual beli. Hal ini tentunya tidak sama dengan gharar yang banyak, yang mungkin dapat dilepas darinya”.

3. Gharar yang masih diperselisihkan, apakah diikutkan pada bagian yang pertama atau kedua. Misalnya menjual sesuatu yang terpendam di tanah dan lain-lain82.

Pada permasalahan ini Ibnul Qayyim menyatakan, gharar objek yang tidak bisa dipastikan83 dan jual-beli yang tidak tampak di permukaan tanah tidak memiliki dua perkara tersebut, karena ghararnya ringan, dan tidak mungkin di lepas. Dari

82Hasballah Thaib 3,Op. Cit,hal. 144.

penjelasan tersebut diatas dapat ditarik suatu pandangan bahwa tidak semua jual-beli yang mengandung unsur gharar dilarang, jadi jual beli yang ada mengandung akan unsurghararyang masih menjadi perselisihan pendapat dari para ulama-ulama maka belum pasti dapat diambil suatu kesimpulan bahwa benda-benda yang termasuk didalam unsurgharardilarang.