TESIS
Oleh
CUT LIKA ALIA
117011047/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
CUT LIKA ALIA
117011047/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD)
Pembimbing Pembimbing
(Prof. Dr. Abdullah Syah, MA) (Dr. Utary Maharani Barus, SH, MHum)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD Anggota : 1. Prof. Dr. Abdullah Syah, MA
Nama : CUT LIKA ALIA
Nim : 117011047
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : AKAD YANG CACAT DALAM HUKUM PERJANJIAN
ISLAM
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
Nama : CUT LIKA ALIA
melaui hukum perjanjian Islam. Perjanjian dalam Islam pada dasarnya dapat dilakukan dalam segala perbuatan yang dapt menimbulkan akibat hukumbagi pihak-pihak yang terkait. Setiap akad (kontrak) mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk terus dilaksanakan. Namun ada kontrak-kontrak tertentu yang dapat dilakukan pembatalan, hal ini disebabkan adanya beberapa cacat yang mungkin menghilangkan keridhaan (kerelaan) atau kehendak sebagian pihak. Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai unsur-unsur yang terdapat dalam suatu akad sehingga akad tersebut dapat dikatakan akad yang cacat, akibat hukum akad yang cacat dalam hukum perjanjian Islam dan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak yang dirugikan disebabkan akad yang cacat menurut hukum perjanjian Islam.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori maqashid syari’ah dan keadilan, sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu yuridis normatif. Dalam metode penelitian yuridis normatif tersebut akan menelaah secara mendalam terhadap peraturan perundang-undangan, yurisprudensi dan pendapat ahli hukum. Teknik pengumpulan data dalam tesis ini dilakukan secara studi kepustakaan dan wawancara.
Unsur-unsur suatu akad dikatakan akad yang cacat adalah tidak terpenuhinya rukun dan syarat akad pada akad tersebut seperti adanya ikrah (paksaan), ghalath (kesalahan), gabhn (penyamaran harga), tadlis (penipuan), jahalah (ketidakjelasan) dangharar(pertaruhan). Akibat hukum akad yang cacat dalam perjanjian Islam yaitu batal demi hukum dan dapat dibatalkan, akad akan menjadi batal apabila tidak memenuhi rukun dan syarat akad sedangkan akad dapat dibatalkan apabila mengandung unsur paksaan dan kekeliruan. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak yang dirugikan karena akad yang cacat adalah dengan melakukan khiyar(hak pilih), upaya perdamaian atau untuk transaksi yang lebih besar dapat melakukan media arbitrase melalui Basyarnas dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara para pihak, atau melalui peradilan agama.
which can cause legal consequence for the parties concerned. Every contract has binding law enforcement which must be conducted. However, there are certain contracts which can be revoked because there are some defects which can delete the willingness or desire of another party. The problems which were going to be analyzed in the research were about the elements found in a contract which made it defect, the legal consequence of a defect contract in the Islamic law of obligations, and the legal remedy by the losers caused by a defect contract, according to the Islamic law of obligations.
The theory used in the research was the theory of maqashid syari’ah and justice, while the method used in the research was judicial normative method in which legal provisions, jurisprudence, and experts’ opinion were profoundly analyzed. The data were gathered by conducting library research and interviews.
The elements of a contract are considered defect when basic principles and requirements of the contract, such as ikrah (coercion), ghalath (error), gabhn (price concealing), tadlis (fraud), jahalah (vagueness), and gharar (bet) are not fulfilled. The legal consequences of a defect contract in the Islamic agreement are as follows: the contract is revoked by law, and it can also be revoked, the contract will be invalid when basic principles and requirements are not fulfilled, while the contract can be revoked when it contains coercion and error. The legal remedy by the losers because of a defect contract is by conducting khiyar (voting rights), reconciliation, or for more transactions, arbitration can be done through Basyarnas in settling the dispute among the parties or through the Religious Court.
atas segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis akhirnya dapat menyelesaikan
penulisan ini yang merupakan syarat guna mencapai gelar Magister Kenotariatan.
Berkat rahmat dan karuniaNya yang diberikan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan studi dan penulisan tesis ini dengan judul “AKAD YANG CACAT DALAM HUKUM PERJANJIAN ISLAM). Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) pada
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Shalawat beriring salam teruntuk Nabi
Muhammad SAW yang telah menyampaikan ajaran Islam sehingga kita keluar dari
zaman kebodohan.
Harapan penulis, semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bukan hanya
pada penulis sendiri, tetapi juga bagi masyarakat pada umumnya, dan bagi mahasiswa
khususnya yang berada, di lingkungan pendidikan hukum. Penulis sangat menyadari
bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, karena penulis adalah
manusia biasa dan tak luput dari kesalahan dan kekurangan.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
mendalam kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan baik moralmaupun
materil. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada
Penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.
3. Bapak Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD selaku Ketua Komisi Pembimbing
yang telah memberikan arahan, bimbingan, saran dan masukan dalam penulisan
tesis ini hingga selesai.
4. Bapak Prof. Dr. Abdullah Syah, MA, yang telah memberikan bimbingan, arahan,
petunjuk hingga selesainya penulisan tesis ini.
5. Ibu Dr. Utary Maharani Barus, SH, M.Hum selaku anggota Komisi Pembimbing
atas segala waktu, masukan, bimbingan serta sarannya dalam penyelesaian
penulisan tesis ini.
6. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program
Studi Magister Kenotariatan dan Dosen Penguji atas kritik dan sarannya dalam
penulisan tesis ini.
7. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku Dosen Penguji dan
Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan, atas segala waktu serta kritik
9. Seluruh Staf Biro Pendidikan Magister Kenotariatan yang telah banyak
memberikan bantuan kepada penulis selama ini.
10. Kedua orang tua penulis, Bapak T. Suwandi dan Ibu Cut Haide, yang telah
membesarkan dan mendidik penulis dari kecil hingga dewasa yang senantiasa
memberikan doa dan dukungan hingga saat ini. Mereka memiliki peran yang
sangat penting dan tak terhingga, rasanya ucapan terima kasih saja tidak akan
pernah cukup untuk menggambarkan wujud penghargaan penulis.
11. Sahabat-sahabatku di Magister Kenotariatan dan seluruh kawan-kawan Angkatan
2011 khususnya Group B.
Hanya Allah yang dapat membalas segala kebaikan dan jasa-jasa yang
diberikan mereka semua. Dengan penuh kerendahan hati, penulis mengharapkan
kritik dan saran dari semua pihak atas segala kekurangan yang penulis sadari
sepenuhnya terdapat dalam tesis ini guna perbaikan dikemudian hari.
Medan, Pebruari 2014 Penulis,
1. Nama : Cut Lika Alia
2. Tempat, Tanggal Lahir : Banda Aceh, 27 Juli 1988
3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Status : Belum Menikah
5. Agama : Islam
6. Alamat : Jl. Peurada Utama Lr. Flamboyan No. 9,
Banda Aceh
II. KELUARGA
1. Nama Ayah : T. Suwandi
2. Nama Ibu : Cut Haide
3. Nama Saudara : T. Fahmi
T. Egi Braldi 5. Perguruan Tinggi (S1) : Universitas Syiah Kuala
Tahun 2006-2010
6. Perguruan Tinggi (S2) : Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR ISTILAH ... ix
DAFTAR SINGKATAN ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 10
C. Tujuan Penelitian ... 10
D. Manfaat Penelitian ... 10
E. Keaslian Penelitian ... 11
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 11
1. Kerangka Teori ... 11
2. Konsepsi ... 21
G. Metode Penelitian ... 22
BAB II UNSUR-UNSUR YANG TERDAPAT DALAM SUATU AKAD SEHINGGA AKAD TERSEBUT DIKATAKAN AKAD YANG CACAT ... 26
A. Pengertian Akad ... 26
B. Rukun dan Syarat Akad ... 28
C. Unsur-unsur Akad Yang Cacat Dalam Hukum Perjanjian Islam ... 54
BAB IV UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH PIHAK YANG DIRUGIKAN DISEBABKAN AKAD YANG
CACAT MENURUT HUKUM PERJANJIAN ISLAM ... 82
A. Khiyar dan Hubungannya dengan Akad Cacat ... 82
B. Perdamaian `... 94
C. Penyelesaian Sengketa Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) ... 96
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 108
A. Kesimpulan ... 108
B. Saran ... 109
Aqid : orang yang melakukan akad/perjanjian
Baligh : dewasa
Fasakh : merusakkan atau membatalkan
Fasid : rusak/cacat
Ghalath : kekeliruan/kesalahan
Hazl : terucap diluar keinginannya
Jumhur : mayoritas
Ijaroh : persewaan
Khiyar : hak pilih
Masyrut : sesuatu yang disyaratkan
Mauquf : terhenti
Muawazhot : tukar-menukar
Mumayyiz : anak yang belum dewasa
Nafidz : terlaksana
Ridha : kerelaan
Shahih : sah/benar
Tasharruf : aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan akad, misalnya
jual beli
Tawaffuq : kesesuaian
SWT : Subhanahu wa ta’ala
UU : Undang-undang
Q.S : Qur’an Surah
melaui hukum perjanjian Islam. Perjanjian dalam Islam pada dasarnya dapat dilakukan dalam segala perbuatan yang dapt menimbulkan akibat hukumbagi pihak-pihak yang terkait. Setiap akad (kontrak) mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk terus dilaksanakan. Namun ada kontrak-kontrak tertentu yang dapat dilakukan pembatalan, hal ini disebabkan adanya beberapa cacat yang mungkin menghilangkan keridhaan (kerelaan) atau kehendak sebagian pihak. Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai unsur-unsur yang terdapat dalam suatu akad sehingga akad tersebut dapat dikatakan akad yang cacat, akibat hukum akad yang cacat dalam hukum perjanjian Islam dan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak yang dirugikan disebabkan akad yang cacat menurut hukum perjanjian Islam.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori maqashid syari’ah dan keadilan, sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu yuridis normatif. Dalam metode penelitian yuridis normatif tersebut akan menelaah secara mendalam terhadap peraturan perundang-undangan, yurisprudensi dan pendapat ahli hukum. Teknik pengumpulan data dalam tesis ini dilakukan secara studi kepustakaan dan wawancara.
Unsur-unsur suatu akad dikatakan akad yang cacat adalah tidak terpenuhinya rukun dan syarat akad pada akad tersebut seperti adanya ikrah (paksaan), ghalath (kesalahan), gabhn (penyamaran harga), tadlis (penipuan), jahalah (ketidakjelasan) dangharar(pertaruhan). Akibat hukum akad yang cacat dalam perjanjian Islam yaitu batal demi hukum dan dapat dibatalkan, akad akan menjadi batal apabila tidak memenuhi rukun dan syarat akad sedangkan akad dapat dibatalkan apabila mengandung unsur paksaan dan kekeliruan. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak yang dirugikan karena akad yang cacat adalah dengan melakukan khiyar(hak pilih), upaya perdamaian atau untuk transaksi yang lebih besar dapat melakukan media arbitrase melalui Basyarnas dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara para pihak, atau melalui peradilan agama.
which can cause legal consequence for the parties concerned. Every contract has binding law enforcement which must be conducted. However, there are certain contracts which can be revoked because there are some defects which can delete the willingness or desire of another party. The problems which were going to be analyzed in the research were about the elements found in a contract which made it defect, the legal consequence of a defect contract in the Islamic law of obligations, and the legal remedy by the losers caused by a defect contract, according to the Islamic law of obligations.
The theory used in the research was the theory of maqashid syari’ah and justice, while the method used in the research was judicial normative method in which legal provisions, jurisprudence, and experts’ opinion were profoundly analyzed. The data were gathered by conducting library research and interviews.
The elements of a contract are considered defect when basic principles and requirements of the contract, such as ikrah (coercion), ghalath (error), gabhn (price concealing), tadlis (fraud), jahalah (vagueness), and gharar (bet) are not fulfilled. The legal consequences of a defect contract in the Islamic agreement are as follows: the contract is revoked by law, and it can also be revoked, the contract will be invalid when basic principles and requirements are not fulfilled, while the contract can be revoked when it contains coercion and error. The legal remedy by the losers because of a defect contract is by conducting khiyar (voting rights), reconciliation, or for more transactions, arbitration can be done through Basyarnas in settling the dispute among the parties or through the Religious Court.
A. Pengertian Akad.
Istilah akad dalam hukum Islam dikenal dalam hukum Indonesia dengan
istilah “perjanjian”. Kata akad berasal dari kataal ‘aqdyang berartimengikat,
menyambungataumenghubungkan, bermaknaafirmasi atau pengukuhan.
Adapun secara terminologi, ulama fiqih memberikan dua makna; makna khusus dan
makna umum. Adapun akad dalam arti khusus adalah pernyataan dari dua pihak atau
lebih (ijabdanqabul) yang menghasilkan hukum syar’i yang melazimkan salah satu
pihak atau kedua belah pihak. Sedangkan akad dalam arti umum adalah tindakan atau
kehendak sepihak yang melahirkan hukum syar’i yang melazimkan dirinya.
Cakupan akad menurut definisi kedua jauh lebih luas dibandingkan definisi
pertama, karena ia tidak mengharuskan adanya dua belah pihak dalam suatu akad.
Seperti janji memberi hadiah, wasiat, wakaf, pelepasan hak dan berbagai bentuk
komitmen yang datang dari satu pihak, tanpa harus melibatkan orang lain. Sedangkan
cakupan akad menurut definisi pertama terbatas hanya pada tindakan-tindakan yang
melibatkan dua pihak atau lebih, seperti jual beli, sewa menyewa dan lainnya. Kedua
definsi ini akan kita temukan dalam buku fiqih, namun definisi pertama lebih
mendominasi.32
32Teungku Muhammad Hasb Ash-Shiddieqy, Memahami syariat Islam, Cet I, (Semarang:
Akad bisa berakhir disebabkan karena fasakh, kematian atau karena tidak
adanya izin pihak lain dalam akad yang mauquf:33.
a. Berakhirnya akad karena fasakh yang menyebabkan timbulnya fasakhnya akad yakni:
1. Fasakh karena fasadnya akad jika suatu akad berlangsung secara fasid maka akad harus difasakhkan baik oleh pihak yang berakad maupun oleh putusan pengadilan atau dengan kata lain sebab ia fasakh, karena adanya hal-hal yang tidak dibenarkan syara’ seperti akad rusak.
2. Fasakh karena khiyar, baik khiyar rukyat, cacat, syarat atau majlis, yang berhak khiyar, berhak memfasakh bila menghendakinya,kecuali dengan kerelaan pihak lainnya atau berdasarkan keputusan pengadilan.
3. Fasakh berdasarkan iqalah. Iqalah ialah memfasahkan akad berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Atau salah satu pihak dengan persetujuan pihak lain membatalkan karena merasa menyesal.
4. Fasakh karena tiada realisasi. Karena kewajiban yang ditimbulkan oleh adanya akad tidak dipenuhi oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Fasakh ini berlaku pada khiyar naqd (pembayaran) yakni pembeli tidak melunasi pembayaran, atau jika pihak penjual tidak menyerahkan barang dalam batas waktu tertentu.
5. Fasakh karena jatuh tempo atau karena tujuan akad telah terealisir. Jika batas waktu yang ditetapkan dalam akad telah berakhir atau tujuan akad telah terealisir maka akad dengan sendirinya menjadi fasakh (berakhir) seperti sewa menyewa.
b. Berakhirnya Akad karena kematian. Kematian menjadi penyebab berakhirnya sejumlah akad adalah sebagai berikut;
1. Ijarah. Menurut Fuqaha Hanafiyah kematian seseorang menyebabkan berakhirnya akad ijarah. Menurut jumhur fuqaha selain Hanafiah, kematian tidak menyebabkan berakhirnya akad ijarah.
2. Al-Rahn (gadai) dan Kafalah (penjaminan hutang). Jika pihak penggadai meninggal maka barang gadai harus dijual untuk melunasi hutangnya. Dalam hal kafalah (penjamin) hutang, maka kematian orang yang berhutang tidak mengakibatkan berakhirnya kafalah, dilakukan pelunasan hutangnya. 3. Syirkah dan wakalah. Keduanya tergolong akad yang tidak lazim atas dua
pihak. Oleh karena itu, kematian seorang dari sejumlah orang yang berserikat menyebabkan berakhir syarikah. Demikian juga berlaku pada wakalah.
c. Berakhirnya Akad karena tidak adanya izin pihak lain. Akad mauquf berakhir apabila pihak yang mempunyai wewenang tidak mengijinkannya dan atau meninggal.
33
B. Rukun dan Syarat Akad. 1. Rukun Akad
Perjanjian dalam Islam pada dasarnya dapat dilakukan dalam segala perbuatan
yang dapat menimbulkan akibat hukum (penyebab munculnya hak dan kewajiban)
bagi pihak-pihak yang terkait. Bentuk perjanjian yang terjadi antara kedua belah
pihak yang melakukan perjanjian adalah tergantung pada bentuk atau jenis obyek
perjanjian yang dilakukan. Sebagai misal, perjanjian dalam transaksi jual-beli (bai’),
sewa-menyewa (ijarah), bagi hasil (mudharabah), penitipan barang (wadi’ah),
perseroan (syirkah), pinjam meminjam (ariyah), pemberian (hibah), penangguhan
utang (kafalah), wakaf, wasiat, kerja, gadai atau perjanjian perdamaian dan lain
sebagainya.
Dalam melaksanakan suatu perikatan, terdapat syarat yang harus dipenuhi.
Secara bahasa, rukun adalah “yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan”
sedangkan syarat adalah “ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus diindahkan dan
dilakukan”. Dalam syari’ah, rukun dan syarat sama-sama menentukan sah atau
tidaknya suatu transaksi. Secara definisi, rukun adalah “suatu unsur yang merupakan
bagian tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau
tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya sesuatu itu. Definisi syarat
adalah “sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukumsyar’i dan ia berada di
luar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada.
Perbedaan antara rukun dan syarat menurut Ulama Ushul Fiqih, bahwa rukun
dalam hukum itu sendiri, sedangkan syarat merupakan sifat yang kepadanya
tergantung keberadaan hukum, tetapi ia berada diluar hukum itu sendiri.
Pendapat mengenai rukun perikatan atau sering disebut juga dengan rukun
akad dalam Hukum Islam beraneka ragam dikalangan para ahli fiqih. Dikalangan
mazhab Hanafi berpendapat, bahwa rukun akad hanya sighat al-aqd yaitu ijab dan
kabul. Sedangkan syarat akad adalah al-‘aqidain (subjek akad) dan mahallul ‘aqd
(objek akad). Alasannya adalah al-‘aqidain dan mahallul ‘aqd bukan merupakan
bagian daritasharruf aqad(perbuatan hukum akad). Kedua hal tersebut berada diluar
perbuatan akad. Berbeda halnya dengan pendapat dari kalangan mazhab Syafi’i
termasuk Imam Ghazali dan kalangan mazhab Maliki termasuk Syihab al-Karakhi,
bahwaal-‘aqidaindanmahallul ‘aqdtermasuk rukun akad karena adanya hal tersebut
merupakan salah satu pilar utama dalam tegaknya akad34.
Jumhur ulama berpendapat, bahwa rukun akad adalah al-‘aqidain, mahallul
‘aqddan sighat al-‘aqd. Selain ketiga rukun tersebut, Musthafa az-Zarqa menambah
maudhu’ul ‘aqd(tujuan akad). Ia tidak menyebut keempat hal tersebut dengan rukun,
tetapi denganmuqawimat ‘aqd(unsur-unsur penegak akad).
Menurut jumhur fuqaha, rukun perjanjian terdiri atas:
a. Al-‘Aqidain, yakni para pihak yang terlibat langsung dengan akad
b. Mahallul Akad, yakni objek akad, yakni sesuatu yang hendak diakadkan
c. Sighat Akad, pernyataan kalimat akad yang lazimnya dilaksanakan melalui
pernyataanijabdanqabul35.
Menurut Fuqaha Hanafiyah, rukun akad hanya satu yaitu Shigatal’aqd atau
pernyataanIjab Qabul. Sedangkan Al-‘aqidaindan Ma’qud’alaih bukan merupakan
rukun akad melainkan lebih tepat sebagai syarat akad. Pendirian seperti ini
didasarkan pada pengertian rukun sebagai sesuatu yang menjadi tegaknya dan adanya
sesuatu, sedangkan ia bersifat internal (dakhiliy) dari sesuatu yang ditegakkannya.36
Berdasarkan pengertian ini, maka jika dihubungkan dengan pembahasan rukun akad,
dapat dijelaskan bahwa rukun akad adalah kesepakatan dua kehendak, yakni ijab dan
qabul. Seorang pelaku tidak dapat dipandang sebagai rukun dari perbuatannya karena
pelaku bukan merupakan bagian internal dari perbuatannya. Dengan demikian para
pihak dan objek akad adalah unsur yang berada di luar akad, tidak merupakan esensi
akad, karenanya ia bukan merupakan rukun akad. Hal ini dapat dikiyaskan kepada
perbuatan sholat, di mana pelaku solat tidak dapat dipandang sebagai rukun dari
perbuatan shalat. Oleh karena itu, berdasarkan argumen ini maka alaqid (orang/pihak
yang melakukan akad) tidak dapat dipandang sebagai rukun akad.37
Al-‘aqidain adalah para pihak yang melakukan akad. Sedangkan pelaku dari
suatu tindakan hukum tertentu, yang dalam hal ini tindakan hukum akad (perikatan),
dari sudut hukum adalah sebagai subjek hukum. Subjek hukum sebagai pelaku
35Wahbah Zuhaili,Al-Fiqh Al Islam wa adillatuhu, Dar al fikr al Mu’ashir, Damaskus,Jilid
4,1997,hal;3089-3095 dalam Abdul Manan,Hukum Ekonomi Syariah Dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama,(Jakarta:Kencana, 2012), juz v, hal.299.
36
Mustafa Ahmad az-Zarqa. t.t,al-Madkhal al-Fiqh al’Am, (Beirut: Dar al-Fikr.I), hal. 300.
perbuatan hukum sering kali diartikan sebagai pihak pengemban hak dan kewajiban.
Subjek hukum ini terdiri dari dua macam yaitu manusia dan badan hukum. Berikut
penjelasan mengenai manusia dan badan hukum dalam kaitannya dengan ketentuan
dalam hukum Islam.
a. Manusia
Manusia sebagai subjek Hukum Perikatan adalah pihak yang sudah dapat
dibebani hukum yang disebut denganmukallaf. Mukallafadalah orang yang telah
mampu bertindak secara hukum, baik yang berhubungan dengan Tuhan maupun
dalam kehidupan sosial. Kata “Mukallaf” berasal dari bahasa Arab yang berarti
“yang dibebani hukum” yang dalam hal ini adalah orang-orang yang telah dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Allah SWT, baik yang
terkait dengan perintah maupun larangan-larangan-Nya.
Pada kehidupan seseorang ada tahapan untuk dapat melihat apakah seseorang
telah dapat dibebani hukum. Dalam Hukum Islam, kapasitas hukum seseorang
dapat dilihat dari tahapan-tahapan dalam kehidupannya (the stages of legal
capacity). Menurut Abdurahman Raden Aji Haqqi, para ahli Ushul Fiqih telah
membagi kapasitas hukum seseorang ke dalam 4 (empat) tahap Subjek Hukum
(Stages of Legal Capacity)38.
1. Marhalah al-Janin (Embryonic Stage)
38Gemala Dewi, Wirdaningsih dan Yeni Salma Barlini,Hukum Perikatan Islam di Indonesia,
Tahap ini dimulai sejak masa janin sudah berada dalam kandungan hingga
lahir dalam keadaan hidup. Sebagai hukum, janin disebut“Ahliyyah Al-Wujub
Al-Naqisah”. Dalam tahap ini, janin dapat memperoleh hak, namun tidak
mengemban kewajiban hukum. Misalnya janin dapat hak waris pada saat
orang tuanya meninggal dunia, dapat menerima hibah, dan sebagainya.
2. Marahalah al-Saba (Childhood Stage)
Tahap ini dimulai sejak manusia lahir dalam keadaan hidup hingga ia berusia
7 (tujuh) tahun. Pada tahap ini seseorang disebut “Sabiy Gahyr
Al-Mumayyiz”. Hak dan kewajiban yang menyangkut harta miliknya
dilaksanakan melalui walinya (Guardian). Misalnya mengenai pengelolaan
harta tersebut dan pembayaranzakatnya39.
3. Marhalah al-Tamyiz (Discernment Stage)
Tahapan ini dimulai sejak seorang berusia 7 (tujuh) tahun hingga masa
pubertas (Aqil Baligh). Pada tahap ini seseorang disebut “Sabiy
Al-Mumayyiz” (telah bisa membedakan yang baik dan buruk). Seseorang yang
mencapai tahap ini dapat memperoleh separuh kapasitasnya sebagai subjek
hukum (tanpa izin dari walinya).
4. Marhalah al-Bulugh (Stage of Puberty)
Pada tahap ini seseorang telah mencapai Aqil Baligh dan dalam keadaan
normal dia dianggap telah menjadi Mukallaf. Kapan seseorang dianggap telah
baligh ini terdapat perbedaan pendapat dari para ulama. Mayoritas ulama
menyebutkan usia 15 tahun sedangkan sebagian kecil ulama mazhab Maliki
menyebutkan 18 tahun. Namun ada yang memudahkan perkiraan baligh ini
dengan melihat tanda-tanda fisik, yaitu ketia seorang perempuan telah datang
bulan (haid) dan laki-laki telah mengalami perubahan-perubahan suara dan
fisiknya. Seseorang yang sudah pada tahap ini disebut “Ahliyyah Ada
Al-Kamilah”. Orang tersebut telah memperoleh kapsitas penuh sebagai subjek
hukum. Intelektualiasnya telah matang dan dianggap cakap, kecuali terbukti
sebaliknya40.
Mengenai tahap cakapnya seseorang dalam bertransaksi, sebagian ulama
kontemporer, menambahkan persyaratan satu tahapan atau kondisi seseorang
lagi sebagai tahapan ke – 5 yaitu:
5. Daur al-Rushd (Stage of Prudence)
Pada tahap ini kapasitas seseorang telah sempurna sebagai subjek hukum
dikarenakan telah mampu bersikap tindak demi keamanan dalam mengelola
dan mengontrol harta dan usaha/bisnisnya dengan bijaksana. Pada dasarnya
kebijakan (rushd/prudence) seseorang dapat dicapai secara bersamaan,
sebelum atau sesudah baligh. Bila telah memiliki sifat-sifat kecakapan
bedasarkan pendidikan atau persiapan tertentu untuk kepentingan bisnis,
usaha atau transaksi yang akan dilakukannya tersebut. Orang yang telah
mencapai tahapanDaur ar Rushdini disebut orang yangRasyid. Diperkirakan
tahapan ini dapat diperoleh setelah seseorang mencapai usia 19, 20 atau 21
tahun.41
Jadi dari segi kecakapan untuk melakukan akad, manusia dapat terbagi atas
tiga bentuk.
a) Manusia yang tidak dapat melakukan akad apa pun, seperti manusia yang
cacat jiwa, cacat mental, anak kecil yang belummumayyiz.
b) Manusia yang dapat melakukan akad tertentu, seperti anak yang sudah
mumayyiz, tetapi belum mencapaibaligh.
c) Manusia yang dapat melakukan seluruh akad, yaitu untuk yang telah
memenuhi syarat-syaratmukallaf.
Selain hal tersebut diatas, dalam kaitannya denganal-aqidainterdapat tiga hal
yang harus diperhatikan yaitu ahliyah (kecakapan), wilayah (kewenangan) dan
wakalah(perwakilan).kedua belah pihak harus layak dalam membuat akad42.
1)Ahliyah (kecakapan), yaitu kecakapan seseorang untuk memiliki hak dan
dikenal kewajiban atasnya dan kecakapan melakukan tasharruf. Ahliyah
terbagi atas dua macam:
a) Ahliyah wujub adalah kecakapan untuk memiliki suatu hak kebendaan.
Manusia dapat memiliki hak sejalan dalam kandungan untuk hak tertentu,
yaitu hak waris. Hak ini akan selalu ada selama manusia hidup.
41Ibid, hal, 121
b) Ahliyah ada’ adalah kecakapan memilikitasharruf dan dikenal tanggung
jawab atau kewajiban, baik berupa hak Allah SWT, atau hak manusia.
Ahliyahada’ terbagi atas dua macam berikut ini:
(1) Ahliyah ada’ al naqishah yaitu kecakapan bertindak yang tidak
sempurna yang terdapat pada mu-mayyiz dan berakal sehat. Ia dapat
ber-tasharruftetapi tidak cakap melakukan akad.
(2) Ahliyah ada’al kamilah, yaitu kecakapan bertindak yang sempurna
yang terdapat pada aqil baligh dan berakal sehat. Ia dapat
ber-tasharrufdan cakap untuk melakukan akad.
2) Wilayah (kewenangan), yaitu kekuasaan hukum yang pemiliknya dapat
ber-tasharruf dan melakukan akad dan menunaikan segala akibat hukum yang
ditimbulkan. Syarat seseorang untuk mendapatkan wilayah akad adalah orang
yang cakap ber-tasharruf secara sempurna. Sedangkan orang yang kecakapan
bertindaknya tidak sempurna tidak memiliki wilayah, baik untuk dirinya
sendiri maupun orang lain untuk melakukantasharruf.
a) Niyabahashliyah, yaitu seseorang yang mempunyai kecakapan sempurna
dan melakukan tindakan hukum untuk kepentingan dirinya sendiri.
b) Niyabahal-Syar’iyyah atau wilayah niyabiyah, yaitu kewenangan atau
kekuasaan yang diberikan kepada pihak lain yang mempunyai kecakapan
sempurna untuk melakukan tasharruf atas nama orang lain (biasanya
disebut dengan wali). Biasanya hal ini terjadi karena maula’alaih tidak
perempuan dalam melakukan pernikahan. Kewenangan ini dapat
didasarkan pada ihtiyariyah (memilih menentukan sendiri) atau pda
ijbariyah (keputusan hakim). Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh wali
dalam mendapatkan wilayah ini adalah sebagai berikut:
(1) Mempunyai kecakapan yang sempurna dalam melakukantasharruf.
(2) Memiliki agama yang sama (Islam) antara wali dan maula’alaihi
(yang diwakili).
(3) Mempunyai sifat adil, yaitu istikamah dalam menjalankan ajaran
agama dan berakhlak mulia.
(4) Mempunyai sifat amanah, dapat dipercaya.
(5) Menjaga kepentingan orang yang ada dalam perwaliannya.
3)Wakalah (perwakilan), yaitu pengalihan kewenangan perihal harta dan
perbuatan tertentu dari seseorang kepada orang lain untuk mengambil
tindakan tertentu dalam hidupnya. Dalam wakalah ini, wakil dan muwakil
(yang diwakili) harus memiliki kecakapan ber-tasharruf yang sempurna dan
dilaksanakan dalam bentuk akad berupa ijab dan Kabul. Dengan demikian,
harus jelas objek dan tujuan akad tersebut.
b. Badan Hukum
Badan hukum adalah badan yang di anggap dapat bertindak dalam hukum dan
yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban dan perhubungan hukum terhadap
orang lain atau badan lain. Badan hukum ini memiliki kekayaan yang terpisah dari
tetap memiliki kekayaan tersendiri. Yang dapat menjadi badan hukum menurut
R.Wirjono Prodjodikoro adalah dapat berupa negara, daerah otonom, perkumpulan
orang-orang, perusahaan atau yayasan.
Dalam Islam, badan hukum tidak diatur secara khusus. Namun, terlihat pada
beberapa dalil menunjukkan adanya badan hukum dengan menggunakan istilah
al-syirkah, seperti yang tercantum dalam QS, An-Nisa (4): 12, QS. Shaad (38):24 dan
Hadist Qudsi. Pada QS, An-Nisa (4): 12, disebutkan “Tetapi jika saudara-saudara
seribu itu lebih dari seorang, maka mreka bersekutu dalam yang sepertiga itu…”.
Pada QS. Shaad (38):24 bahwa “Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang bersifat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman…” Pada Hadist Qudsi riwayat Abu Dawud dan al-Hakim dari Abu Harairah, bahwa Nabi Muhammad SAW. bersabda; “Aku (Allah) adalah pihak ketiga dari dua orang yang berserikat, sepanjang salah seorang dari keduanya tidak berkhianat terhadap lainnya. Apabila seseorang berkhianat terhadap lainnya, maka Aku keluar dari keduanya.
Adanya kerja sama di antara beberapa orang menimbulkan kepentingan –
kepentingan dari syirkah tersebut terhadap pihak ketiga. Dalam hubunganya dengan
pihak ketiga inilah timbul bentuk baru dari subjek hukum yang disebut dengan badan
hukum. TM. Hasbi Ash Shiddieqy, menyatakan bahwa badan hukum berbeda dengan
manusia sebagai subjek hukum dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Hak-hak badan hukum berbeda dengan hak-hak yang dimiliki manusia, seperti hak berkeluarga, hak pusaka dan lain-lain.
2. Badan hukum tidak hilang dengan meninggalnya pengurus badan hukum. Badan hukum akan hilang apabila syarat-syaratnya tidak terpenuhi lagi. 3. Badan hukum diperlukan adanya pengakuan hukum.
4. Ruang gerak badan hukum dalam bertindak hukum dibatasi oleh ketentuan-ketentuan hukum dan dibatasi dalam bidang-bidang tertentu.
6. Badan hukum tidak dapat dijatuhi hukuman pidana tetapi hanya dapat dijatuhi hukuman perdata.
Kedudukan negara, menurut TM Hasbi Ash Shiddieqy dapat menjadi subjek
hukum pula, disebut dengan istilah syakhshisyah daulah. Dalam hal negara sebagai
badan hukum, kepala negara atau pegawai-pegawai pemerintah dapat melakukan
tindakan hukum atas nama negara sesuai dengan peraturan yang sudah ditentukan.
Menurut T.M. Hasbi Ash-Shiddiqy, empat hal yang merupakan komponen-komponen
yang harus dipenuhi untuk terbentuknya suatu akad43.
6. Subjek akad (al-‘aqidain)
Sujek akad disni adalah dua pihak atau lebih yang melakukan akad. Kedua belah
pihak dipersyaratkan harus memiliki kelayakan untuk melakukan akad sehingga
akad tersebut dianggap sah. Kelayakan tersebut terbentuk dengan beberapa hal
berikut:44
d. Kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk. Yakni apabila
pihak-pihak tersebut sudah berakal lagi baligh dan tidak dalam keadaan tercekal.
Orang yang tercekal karena dianggap idiot atau bangkrit total, tidak sah
melakukan perjanjian.
e. Bebas memilih. Tidak sah akad yang dilakukan orang dibawah paksaan,
kalau paksaan itu terbukti. Misalnya orang yang berhutang dan perlu
43 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi hukum Islam, jilid5, (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve,19960, hal:1510 selanjutnya lihat juga dalam Gemala Dewi, et, al,Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,2005), hal.50.
44Shalah ash-Shawi dan Abdullah al-mushlih,Fikih Ekonomi Keuangan Islam,(Terjemahan),
pengalihan hutangnya, atau orang yang bangkrut, lalu dipaksa untuk menjual
barangnya untuk menutupi hutangnya.
f. Akad itu dianggap berlaku bila tidak terdapat khiyar (hak pilih). Seperti
khiyar syarath (hak pilih menetapkan persyaratan), khiyar ar-ru’yah (hak
pilih dalam melihat) dan sejenisnya.
7. Obyek akad (Mahallul ‘Aqd)
Mahallul ‘aqdadalah sesuatu yang dijadikan objek akad dan dikenakan padanya
akibat hukum yang ditimbulkan. Bentuk objek akad dapat berupa benda
berwujud seperti mobil dan rumah, maupun benda tak berwujud seperti manfaat.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam mahallul ‘aqd adalah sebagai berikut:45
a. Objek perikatan telah ada ketika akad dilangsungkan.
Suatu perikatan yang objeknya tidak ada adalah batal, seperti menjual anak
hewan yang masih didalam perut induknya atau menjual tanaman sebelum
tumbuh. Alasannya, bahwa sebab hukum dan akibat akad tidak mungkin
bergantung pada sesuatu yang belum ada. Namun demikian pengecualian
terhadap bentuk akad-akad tertentu, seperti salam, istishna, dan musyaqah
yang objek akadnya diperkirakan akan ada di masa yang akan datang.
Pengecualian ini didasarkan pada istishna untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya dalam kegiatan muamalat.
b. Objek perikatan dibenarkan oleh syariah.
Pada dasarnya, benda-benda yang menjadi objek perikatan haruslah memiliki
nilai dan manfaat bagi manusia. Benda-benda yang sifatnya tidak suci seperti
bangkai, minuman keras, babi, atau darah dianggap tidak memiliki manfaat
bagi manusia. Menurut kalangan Hanafiyah, dalam tasharruf akad tidak
mensyaratkan adanya kesucian objek akad. Dengan demikian jual beli kulit
bangkai dibolehkan sepanjang memiliki manfaat. Selain itu jika objek
perikatan itu dalam bentuk manfaat yang bertentangan dengan ketentuan
syariah, seperti pelacuran, pembunuhan adalah tidak dibenarkan pula, batal.
c. Objek akad harus jelas dan dikenali.
Suatu benda yang menjadi objek perikatan harus memiliki kejelasan dan
diketahui oleh ‘aqid. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi kesalahpahaman
diantara para pihak yang dapat menimbulkan sengketa. Jika objek tersebut
berupa benda, maka benda tersebut harus jelas bentuk, fungsi dan keadaannya.
Jika terdapat cacat pada benda tersebutpun harus diberitahukan. Jika objek
tersebut berupa jasa, harus jelas bahwa pihak yang memiliki keahlian sejauh
mana kemampuan, keterampilan dan kepandaian dalam bidang tersebut. Jika
pihak tersebut belum atau kurang ahli terampil, mampu maupun pandai, tetap
harus diberitahukan agar masing-masing pihak memahaminya. Dalam hadis
riwayat Imam Lima dari Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad SAW
melarang jual beli gharar (penipuan) dan jual beli hassah (jual beli dengan
syarat tertentu, seperti penjual akan menjual bajunya apabila lemparan batu
d. Objek dapat diserahterimakan.
Benda yang menjadi objek perikatan dapat diserahkan pada saat akad terjadi,
atau pada waktu yang telah disepakati. Oleh karena itu disarankan bahwa
objek perikatan berada dalam kekuasaan pihak pertama agar mudah untuk
menyerahkannya kepada pihak kedua. Burung diudara, ikan dilaut tidaklah
dapat diserahkan karena tidak ada dalam kekuasaannya. Untuk objek
perikatan yang berupa manfaat maka pihak pertama harus melaksanakan
tindakan (jasa) yang manfaatnya dapat dirasakan oleh pihak kedua, sesuai
dengan kesepakatan.
8. Ijab dan Qabul (Sighat al-‘Aqd)
Sighat al-‘aqd adalah suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad berupa
ijab dan qabul. Ijab adalah suatu pernyataan janji atau penawaran dari pihak
pertama untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Qabul adalah suatu
pernyataan menerima dari pihak kedua atas penawaran yang dilakukan oleh
pihak pertama.
Ijab dan qabul sendiri dapat dilakukan dengan cara-cara berikut ini:
a. Lisan. Para pihak mengungkapkan kehendaknya dalam bentuk perkataan
secara jelas. Dalam hal ini akan sangat jelas bentuk ijab dan qabul yang
dilakukan oleh para pihak.
b. Tulisan. Adakalanya, suatu perikatan dilakukan secara tertulis. Hal ini dapat
dilakukan oleh para pihak yang tidak dapat bertemu langsung dalam
seperti perikatan yang dilakukan oleh suatu badan hukum. Akan ditemui
kesulitan apabila suatu badan hukum melakukan perikatan tidak dalam bentuk
tertulis, karena diperlukan alat bukti dan tanggung jawab terhadap
orang-orang yang bergabung dalam satu badan hukum tersebut.
c. Isyarat. Suatu perikatan tidaklah hanya dilakukan oleh orang normal, orang
cacat pun dapat melakukan suatu perikatan (akad). Apabila cacatnya adalah
berupa tuna wicara, maka dimungkinkan akad dilakukan dengan isyarat,
asalkan para pihak yang melakukan perikatan tersebut memiliki pemahaman
yang sama.
d. Perbuatan. Seiring dengan perkembangan kebutuhan masyara’at, kini
perikatan dapat pula dilakukan dengan cara perbuatan saja, tanpa secara lisan,
tertulis, ataupun isyarat. Hal ini dapat disebut dengan ta’athi atau mu’athah
(saling memberi dan menerima). Adanya perbuatan memberi dan menerima
dari para pihak yang telah saling memahami perbuatan perikatan tersebut dan
segala akibat hukumnya. Hal ini sering terjadi pada proses jual-beli di
supermarket yang tidak ada proses tawar menawar. Pihak pembeli telah
mengetahui harga barang yang secara tertulis dicantumkan pada barang
tersebut. Pada saat pembeli datang ke meja kasir, menunjukkan bahwa
diantara mereka akan melakukan perikatan jual beli.
4. Tujuan Akad (Maudhu’ul ‘Aqd)
Maudhu’ul ‘aqd adalah tujuan dan hukum suatu akad disyari’atkan untuk tujuan
al-Qur’an dan Nabi Muhammad SAW dalam Hadist. Menurut ulama fiqih , tujua
akad dapat dilakukan apabila sesuai dengan ketentuan syari’ah tersebut. Apabila
tidak sesuai, maka hukumnya tidak sah.
Sebagai contoh A dan B melakukan perikatan kerja sama untuk melakukan
pembunuhan atau perampokan, maka perikatan tersebut haram hukumnya.
Apabila para pihak melakukan perikatan dengan tujuan berbeda, namun salah
satu pihak memiliki tujuan yang bertentangan dengan Hukum Islam dengan
diketahui pihak lainnya, maka perikatan itu pun haram hukumnya. Sebagai
contoh, A menjual anggur kepada B. A mengetahui bahwa tujuan B membeli
anggur tersebut untuk diolah menjadi minuman keras dan dijual untuk
dikonsumsi. Jual beli tersebut tidak boleh dilakukan karena minuman keras
haram untuk dikonsumsi manusia. Apabila A tetap menjual anggur tersebut
kepada B berarti B turut andil dalam membuat barang haram tersebut. Dengan
demikian jual beli tersebut haram hukumnya. Sesuai dengan dasar hukum yang
terdapat dalam QS, Al-Maidah (5):2, bahwa “dan jangan tolong menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran”. Namun apabila A benar-benar tidak mengetahui
tujuan B membeli anggur tersebut maka perikatan tersebut tidak haram, tetapi
dapat dibatalkan.46
46
Menurut ulama hanafiyah Ijab adalah penetapan perbuatan tertentu yang
menunjukan keridhaan yang diucapkan oleh orang pertama, baik yang menyerahkan
maupun yang menerima.
Qabuladalah orang yang berkata setelah orang yang mengucapkan ijab, yang
menunjukan keridhaan atas ucapan orang pertama. Menurut fuqaha hanafiah, rukun
akad hanya satu, yaituShighat al’aqd,menurut merekaal-‘aqidain dan mahallul’aqd
bukan sebagai rukun akad melainkan lebih tepat sebagai syarat akad.
Ijab Qobulakan dinyatakan batal apabila47:
a. Penjual menarik kembali ucapannya sebelum terdapat qabul dari si pembeli
b. Adanya penolakanijabdari si pembeli
c. Berakhirnya majlis akad. Jika kedua belah pihak belum ada kesepakatan, namun
keduanya telah pisah dari majlis akad.Ijabdanqabuldianggap batal.
d. Kedua pihak atau salah satu, hilangahliyah-nya seebelum terjadi kesepakatan.
e. Rusaknya objek transaksi sebelum terjadinyaqabulatau kesepakatan.
Adapun syarat-syaratsighatakad ini adalah:
g. Harus jelas atau terang pengertiannya, dalam artian bahwa lafaz yang dipakai
dalam ijab dan qabul harus jelas maksud dan tujuannya menurut kebiasaan (‘urf)
yang berlaku.
47http://mathedu-unila.blogspot.com/2010/06/rukun-akad.html, diakses tanggal 15 Nopember
h. Harus ada kesesuaian (tawaffuq) antara ijab dan qabul dalam semua segi
perjanjian, untuk menghindari terjadinya kesalah-pahaman di antara para pihak
yang melakukan perjanjian di kemudian hari.
i. Harus memperlihatkan kesungguhan dan keridhaan (tidak ada paksaan) dari para
pihak yang terkait untuk melaksanakan isi perjanjian yang telah dibuat, sehingga
mempunyai kekuatan hukum yang penuh.
Sementara bentuk-bentukshigat akad itu sendiri dapat dilakukan secara lisan
(dengan kata-kata), tulisan (catatan), isyarat (khusus bagi mereka yang tidak dapat
melakukannya dengan dua cara sebelumnya, seperti karena bisu dan buta huruf)
ataupun dengan perbuatan (seperti dalam akad sewa-menyewa dan sebagainya).
Apapun bentukshigatakad itu tidak menjadi masalah, namun yang terpenting adalah
dapat menyatakan kehendak dari kedua belah pihak yang melakukan perjanjian.
1. Syarat Sahnya Perjanjian (Akad)
Sebagai salah satu asas dari akad dalam Islam adalah bahwa dari suatu
perjanjian yang dipegangi adalah pernyataan lahir, bukan kehendak batin. Ijab dan
qabul adalah merupakan manifestasi eksternal atau pernyataan lahir dari kehendak
batin tersebut, yang mana kehendak batin tersebut tidak dapat diketahui oleh orang
lain melainkan melalui manifestasi eksternal berupa kata-kata atau cara lain yang
dapat menyatakan kehendak batin tersebut.48 Kehendak nyata inilah yang menjadi
pegangan dalam berakad, kecuali dalam keadaan kehendak nyata tidak jelas, barulah
48
kehendak batin dijadikan sebagai pegangan. Perkataan atau hal lain yang digunakan
untuk menyatakan kehendak batin inilah yang disebut sebagaisighatakad.
Perlu ditegaskan bahwa, meskipun secara praktis yang dinyatakan sebagai
rukun akad adalah ijab dan qabul yang merupakan manifestasi eksternal dari
kehendak batin, akan tetapi yang dituju dan yang dimaksudkan adalah substansi yang
terkandung di balikijab dan qabultersebut, yaitu perizinan (ridhadan persetujuan).
Oleh karena itu, antara perizinan dan ungkapannya yang berupa ijab dan qabul
hendaknya tidak dipisahkan, karena keduanya merupakan satu kesatuan. Perizinan
adalah substansinya dan ijab dan qabul adalah penandanya. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa substansi ijab dan qabul adalah perizinan. Inilah yang disebut
sebagai teori kepercayaan (kehendak nyata) dalam hukum perjanjian barat, sebagai
lawan dari teori kemauan (kehendak batin).49
Ijabdanqabulyang tidak ada substansinya, hampa dari perizinan, tidak dapat
menciptakan perjanjian yang sah secara hukum. Perizinan sendiri mengandaikan
adanya kehendak. Orang yang tidak mempunyai kehendak tidak memiliki perizinan,
seperti orang gila, hilang akal, anak yang belum muamayyiz. Akad pada dasarnya
merupakan tindakan hukum yang berlandaskan pada kehendak untuk melahirkan
akibat hukum.
Setelah diketahui bahwa akad suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua
orang atau lebih berdasarkan keridhaan masing-masing, maka timbul bagi kedua
belah pihak haq dan iltijam yang diwujudkan oleh aqad. Setiap pmbentukan aqad
atau akad mempunyai syarat yang ditentukan syara’ yang wajib disempurnakan,
syarat-syarat terjadi akad ada dua macam. Syarat-syarat yang bersifat umum, yaitu
syarat-syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai akad. Syarat-syarat
yang bersifat khusus, yaitu syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian
akad. Syarat khusus ini bisa juga disebut syaratidhafi (tambahan) yang harus ada di
samping syarat-syarat yang umum, seperti syarat adanya saksi dalam pernikahan.
Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam berbagai macam akad:
1. Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli). Tidak sah akad
orang yang tidak cakap bertindak, seperti orang gila, orang yang berada di
bawah pengampuan (mahjur) kerena boros atau yang lainnya.
2. Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya.
3. Akad itu diizinkan oleh syara’ dilakukan oleh orang yang mempunyai hak
melakukannya walaupun dia bukan aqid yang memiliki barang.
4. Janganlah akad itu akad yang dilarang oleh syara’ seperti jual beli
mulasamah.
5. Akad dapat memberikan faedah sehingga tidaklah sah bila rahn dianggap
sebagai imbanganamanah.
6. Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi kabul. Maka bila orang
yang berijab menarik kembaliijabnyasebelumkabul, maka batallah ijabnya.
7. Ijabdan qabulmesti bersambung sehingga bila seseorang yangberijabsudah
Dalam pelaksanaan akad, ada dua syarat, yaitu kepemilikan dan kekuasaan.
Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang sehingga ia bebas
beraktivitas dengan apa-apa yang dimilkinya sesuai dengan aturan syara’. Adapun
kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalamber-tasharuf sesuai dengan ketetapan
syara’, baik secara asli, yakni dilakukan oleh dirinya, maupun sebagai pengganti
(menjadi wakil seseorang).
Dalam hal ini disyaratkan antara lain:
1. Barang yang dijadikan akad harus kepunyaan orang yang akad, jika dijadikan,
maka sangat bergantung kepada izin pemiliknya yang asli.
2. Barang yang dijadikan tidak berkaitan dengan kepemilikan orang lain.
Dasar dalam akad adalah kepastian. Seperti contoh dalam jual beli, seperti khiyar
syarat, khiyar aib, dan lain-lain. Jika luzum nampak maka akad batal atau
dikembalikan50.
Adapun syarat menurut pengertian istilah fuqaha dan ahli usul adalah: “segala
sesuatu yang dikaitkan pada tiadanya sesuatu yang lain, tidak pada adanya sesuatu
yang lain, sedang ia bersifat eksternal (kharijiy). Maksudnya adalah, tiadanya syarat
mengharuskan tiadanyamasyrut (sesuatu yang disyaratkan), sedang adanya syarat
tidak mengharuskan adanyamasyrut. Misalnya kecakapan pihak yang berakad
merupakan syarat yang berlaku pada setiap akad sehingga tiada kecakapan
menjadikan tidak berlangsungnya akad.
50 http://hitsuke.blogspot.com/2009/11/akad-fiqih-muamalah.html Referensi utama Fiqih
Menurut Ahmad Azhar Basyir menentukan bahwa syarat-syarat yang harus
dipenuhi agar suatu tujuan akad dipandang sah dan mempunyai akibat hukum, yaitu
sebagai berikut:51
1) Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak
yang bersangkutan tanpa akad yang diadakan;
2) Tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan akad;
dan
3) Tujuan akad harus dibenarkan syara’.
Adapun syarat-syaratsighatakad ini adalah:
a. Harus jelas atau terang pengertiannya, dalam artian bahwa lafaz yang
dipakai dalam ijab dan qabul harus jelas maksud dan tujuannya menurut
kebiasaan (‘urf) yang berlaku.
b. Harus ada kesesuaian (tawaffuq) antara ijab dan qabul dalam semua segi
perjanjian, untuk menghindari terjadinya kesalah-pahaman di antara para
pihak yang melakukan perjanjian di kemudian hari.
c. Harus memperlihatkan kesungguhan dan keridhaan (tidak ada paksaan)
dari para pihak yang terkait untuk melaksanakan isi perjanjian yang telah
dibuat, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang penuh.
Sementara bentuk-bentukshigat akad itu sendiri dapat dilakukan secara lisan
(dengan kata-kata), tulisan (catatan), isyarat (khusus bagi mereka yang tidak dapat
melakukannya dengan dua cara sebelumnya, seperti karena bisu dan buta huruf)
ataupun dengan perbuatan (seperti dalam akad sewa-menyewa dan sebagainya).
Apapun bentukshigatakad itu tidak menjadi masalah, namun yang terpenting adalah
dapat menyatakan kehendak dari kedua belah pihak yang melakukan perjanjian.
Menurut Mazhab Hanafi bahwa syarat yang ada dalam akad dapat
dikategorikan menjadi syarat sah (shahih), rusak (fasid), dan syarat yang batal
(batil), yaitu sebagai berikut:52
1. Syaratshahihadalah syarat yang sesuai dengan substansi akad, mendukung dan
memperkuat substansi akad dan dibenarkan oleh syara’, sesuai dengan kebiasaan
masyarakat (‘urf). Misalnya harga barang yang diajukan oleh penjual dalam jual
beli, adanya hak pilih (khiyar) dan syarat sesuai dengan ‘urf, dan adanya garansi.
2. Syaratfasid, adalah syarat yang tidak sesuai dengan salah satu kriteria yang ada
dalam syarat shahih. Misalnya, membeli mobil dengan uji coba dulu selama satu
tahun.
3. Syaratbatiladalah syarat yang tidak mempunyai kriteria syarat shahih dan tidak
memberi nilai manfaat bagi salah satu pihak atau lainnya , akan tetapi malah
menimbulkan dampak negatif. Misalnya, penjual mobil mensyaratkan pembeli
tidak boleh mengendarai mobil yang telah membelinya.
Syarat pembentukan akad yang akan dibahas ada empat macam, yaitu:53
1. Syaratin’iqad(terjadinya akad);
52
Wahbah Az-Zuhaili,Fiqih Islam Waa Adillatuhu Jilid 4, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hal. 517.
Syarat in’iqad adalah sesuatu yang disyaratkan terwujudnya untuk
menjadikan sesuatu akad dalam zatnya sah menurut syara’. Apabila syarat
tidak terwujud maka akan menjadi batal.
Syarat ini ada 2 macam:
a. Syarat umum, yaitu syarat yang harus dipenuhi dalam setiap akad . syarat
ini meliputi:
1) Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak
2) Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya
3) Akad itu diizinkan oleh syara’ selama dilakukan oleh orang yang
mempunyai hak melakukan walaupun ia bukan aqid yang memiliki
barang
4) Tidak boleh melakukan aqad yang dilarang oleh syara’, seperti jual beli,
mulasamah
5) Akad dapat memberikan faedah sehingga tidak sah bila rahn dianggap
sebagai imbangan amanah
6) Ijab tidak boleh dicabut sebelum terjadinya qabul. Maka, bila orang
yang berijab menarik kembali ijabnya sebelum qabul maka ijabnya
batal
7) Ijab dan qabul harus bersambung sehingga bila orang yang berijab
sudah berpisah sebelum adanyaqabul, makaijabtersebut menjadi batal
b. Syarat khusus adalah akad yang harus ada pada sebagian akad dan tidak
tambahan (idhafi) yang harus ada disamping syarat-syarat umum, seperti
adanya saksi dalam pernikahan
2. Syarat sah;
Syarat sah adalah syarat yang ditetapkan oleh syara’ untuk timbulnya
akibat-akibat hukum dari suatu akad. Apabila syarat tersebut tidak ada maka akadnya
menjadi fasid, tetapi tetap sah dan eksis. Contohnya seperti dalam jual
beli disyariatkan oleh Hanafiah , terbebas dari salah satu ‘aib (cacat) yang
enam yaitu:
a. Jahalah(ketidakjelasan)
b. Ikhrah(paksaan)
c. Tauqit(pembatasan waktu)
d. Gharar
e. Syarat yang fasid
3. Syaratnafadz(kelangsungan aqad)
Untuk melangsungkan akad diperlukan dua syarat:54
a. Adanya kepemilikan dan kekuasaan. Artinya orang yang melakukan akad
harus pemilik barang yang menjual objek akad, atau mempunyai
kekuasaan (perwakilan). Apabila tidak ada kepemilikan dan tidak ada
kekuasaan (perwakilan), maka akad tidak bisa dilangsungkan, melainkan
mauquf (ditangguhkan), bahkan menurut Asy-syafi’i dan ahmad, akadnya
batal.
b. Di dalam objek akad tidak ada hak orang lain. Apabila di dalam barang
yang menjadi objek akad terdapat hak orang lain, maka akadnya mauquf,
tidaknafidz.
4. Syaratluzum
Pada dasarnya setiap akad itu sifatnya mengikat (lazim). Untuk mengikatnya
(lazim-nya) suatu akad, seperti jual beli dan ijarah, disyaratkan tidak adanya
kesempatan khiyar (pilihan), yang memungkinkan di-fasakh-nya akad oleh
salah satu pihak. Apabila di dalam akad tersebut terdapat khiyar, seperti
khiyar syarat, khiyar ‘aib atau khiyar ru’yat, maka akad tersebut tidak
mengikat (lazim) bagi orang yang memiliki hak khiyar tersebut. Dalam
kondisi seperti itu ia boleh membatalkan akad atau menerimanya.
Dalam pelaksanaan akad, ada dua syarat, yaitu kepemilikan dan kekuasaan.
Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang sehingga ia bebas
beraktivitas dengan apa-apa yang dimilkinya sesuai dengan aturan syara’. Adapun
kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalamber-tasharuf sesuai dengan ketetapan
syara’, baik secara asli, yakni dilakukan oleh dirinya, maupun sebagai pengganti
(menjadi wakil seseorang).
Dalam hal ini disyaratkan antara lain:
1. Barang yang dijadikan akad harus kepunyaan orang yang akad, jika dijadikan,
maka sangat bergantung kepada izin pemiliknya yang asli.
Dasar dalam akad adalah kepastian. Seperti contoh dalam jual beli, seperti
khiyar syarat, khiyar aib, dan lain-lain. Jika luzum Nampak maka akad batal atau
dikembalikan55.
Adapun macam-macam akad dapat dibagi sesuai dengan tinjauan-tinjauannya.
Adapun macam-macam akad adalah:56.
a. Aqad Munjizyaitu akad yang dilaksanakan langsung pada waktu selesainya akad.
Pernyataan akad yang diikuti dengan pelaksanaan akad adalah pernyataan yang
tidak sesuai dengan syarat-syarat dan tidak pula ditentukan waktu pelaksanaan
setelah adanya akad.
b. Aqad Mu’alaq ialah akad yang di dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat
yang telah ditentukan dalam akad, misalnya penentuan penyerahan
barang-barang yang diakadkan setelah adanya pembayaran.
c. Aqad Mudhaf ialah yang dalam pelaksanaanya terdapat syarat-syarat mengenai
pengulangan pelaksanaan akad, pernyataan yang pelaksanaannya ditangguhkan
hingga waktu yang ditentukan. Perkataan ini sah dilakukan pada waktu akad,
tetapi belum mempunyai akibat hukum sebelum tibanya waktu yang telah
ditentukan.
C. Unsur-unsur Akad Yang Cacat Dalam Hukum Perjanjian Islam
Sistem ekonomi yang paling dikenal di dunia ada dua jenis, yaitu sistem
ekonomi kapitalis yang lebih mementingkan individu dan sistem ekonomi sosialis
yang lebih memprioritaskan kepentingan negara daripada kepentingan individu. Hal
55 http://hitsuke.blogspot.com/2009/11/akad-fiqih-muamalah.html Referensi utama Fiqih
Muammalah Hendi Suhendi, diakses tanggal 17 juli 2013
ini sama sekali berbeda dengan kondisi perekonomian Islam. Islam menerapkan
keseimbangan antara seluruh kepentingan.
Islam menerapkan sistem ekonominya dengan mempergunakan moral dan hukum bersama untuk menegakkan bangunan suatu sistem yang praktis. Berkenaan dengan prioritas, Islam mengetengahkan konsep keseimbangan antara kepentingan individu (khusus) dan kepentingan negara (umum) yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Sunnah”.57
Sistem Ekonomi Islam adalah ilmu ekonomi yang dilaksanakan dalam praktek (penerapan ilmu ekonomi) sehari-harinya bagi individu, keluarga, kelompok masyarakat maupun pemerintah/penguasa dalam rangka mengorganisi faktor produksi, distribusi, dan mamfaat barang dan jasa yang dihasilkan tunduk dalam peraturan/perundang-undangan Islam (Sunnatullah).58
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang heterogen, artinya terdiri dari
berbagai macam suku bangsa dan agama. Dewasa ini ada dua sistem ekonomi yang
dianut oleh umat manusia di dunia, yakni sistem ekonomi kapitalis dan sistem
ekonomi sosialis.
Multilevel marketingsesungguhnya adalah strategi dan taktik pemasaran yang diterapkan oleh perusahaan distribusi produk, untuk membangun mata rantai distribusi yang produktif (omzet penjualan yang pasti), permanen (memiliki pelanggan tetap) dan terkendali, lewat upaya memposisikan calon pelanggan (customer) sekaligus sebagai tenaga pemasar (marketer) sistem kerja (konsep kemitraan multilevel marketing) dan komoditi usahanya (produk barang atau jasa yang diakui hukum untuk dipasarkan).59
Strategi dan taktik ini betujuan untuk mengaktifkan tugas-tugas pemasaran di
lapangan (membangun opini pasar dan menjamin kontinuitas), dengan pola
57A. Djazuli. dan Yadi Anwari. Lembaga-lembaga Perekonomian Umat (Sebuah
Pengenalan).( Jakarta: Raja Grafindo Persada.2002). hal. 20.
58
Suhrawardi.K. Lubis,Hukum Ekonomi Islam. ( Jakarta: Sinar Grafika. 2000). hal.7
59Ashari Akmal Tarigan. dkk.Ekonomi dan Bank Syariah. (IAIN Press bekerja sama dengan
memindahkan atau membagi jalur periklanan dari media umum seperti televisi, radio,
koran, majalah, tabloid, papan reklame dan sebagainya kepada manusia yang direkrut
lewat pensponsoran.
Salah satu gerakan ekonomi syariah di Indonesia adalah dengan menggunakan sistem dengan bisnis Islami. Bisnis Islami merupakan: “Serangkaian aktivitas bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak dibatasi jumlah (kuantitas) kepemilikan hartanya (barang/jasa) termasuk profitnya, namun dibatasi dalam cara perolehan dan pendayagunaan hartanya (ada aturam halal dan haram)”.60
Pada proses perjanjian tidak selamanya menguntungkan kedua belah pihak
yang melakukan akad. Ada kalanya akad yang dilakukan itu mengandung
kekurangan. Hal ini mengakibatkan akad tidak lagi sempurna. Akad ini disebut
dengan akad yang cacat.
Pada akad yang cacat, kekeliruan atau kesalahan (ghalath). Kekeliruan yang
dimaksud adalah kekeliruan pada obyek akad atau kontrak. Kekeliruan bisa terjadi
pada zat (jenis) obyek, seperti orang membeli cincin emas tetapi ternyata cincin itu
terbuat dari tembaga, dan juga dikaji pada sifat obyek kontrak, seperti orang membeli
baju warna ungu, tetapi ternyata warnanya abu-abu.
Bila kekeliruan pada jenis obyek, akad itu dipandang batal sejak awal atau
batal demi hukum. Bila kekeliruan terjadi pada sifatnya akad dipandang sah, tetapi
pihak yang merasa dirugikan berhak memfasakh atau bisa mengajukan pembatalan ke
pengadilan.
60 M. Ismail Yusanto dan M. Karebet Widjajakusuma. Menggagas Bisnis Islami. (Jakarta:
Hukum Perjanjian Islam adalah hukum yang memandang suatu
persoalan/akad sebagai sesuatu yang sangat penting tanpa perjanjian yang benar dan
shahih sebuah perjanjian (kontrak)/akad tidak menjadi sah dan tidak halal dalam mata
agama, karena pentingnya maka akad dijelaskan di dalam Al Qur’an seperti tertuang
di dalam Surah An Nisa’ ayat 29. Yang menjadi dasar hukum dari akad/perjanjian itu
sendiri di dalam agama Islam. yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.
Maksud dari akad cacat adalah hal-hal yang merusak terjadinya akad karena
tidak terpenuhinya unsur sukarela antara pihak-pihak yang bersangkutan.61
Pada hakikatnya, suatu akad itu dipicu oleh kehendak, pilihan dan atas
kerelaan diri sendiri. Namun unsur-unsur yang demikian letaknya di hati, maka
dijadikanlahijab qabulsebagai penerjemah bahasa hati.
Dalamsighahharus selaras antara ijab dan qabul. Apabila suatu pihak
menawarkan (ijab) benda A dengan harga seratus rupiah, pihak lain harus menerima
(qabul) dengan menyebutkan benda A senilai seratus rupiah pula, bukan dengan
benda B yang harganya seratus lima puluh rupiah. Dan dalamsighahpula, kedua
belah pihak harus jelas meyatakan penawarannya dan pihak yang lain harus dengan
jelas menerima tawarannya (transparansi), qabul harus langsung diucapkan setelah
ijab diucapkan. Ijab dan qabul haruslah terkoneksi satu dengan yang lain tanpa
adanya halangan waktu dan tempat, misalnya ijab ditawarkan hari ini dan dijawab
dua hari kemudian itu tidaklah sah,ijabdanqabuljuga harus dilakukan di dalam satu
ruangan yang sama oleh kedua belah pihak atau istilahnya harus di dalam satu majelis
yang sama.
Salah satu rukun dari akad adalahaqidainatau pihak-pihak yang akan
melakukan akad. Kriteria pelaku akadadalahahliyah(kecakapan),wilayah(kuasa)
danridha(kerelaan). Ahliyah (kecakapan) memiliki dua kriteria yaituahliyatul
wujubdanahliyatul ada’; ahliyatul wujub adalah kelayakan seseorang untuk
menerima hak dan kewajiban, adapun ahliyatul ada’ adalah saat perkataan seseorang
dan perbuatannya dianggap sah secara hukum syariah. Ahliyah ini terbagi menjadi
dua; sempurna dan tidak sempurna.
Periode sempurna adalah bagi mereka yang sudah baligh dan tidak lagi
terbatasi untuk melakukan segala sesuatu sesuai kehendak. Adapun tidak sempurna
adalah mereka yang sudah tamyiz tapi belum mencapai baligh, atau karena hal lain
yang menyebabkan daya akalnya tidak sempurna, seperti idiot. Jika tidak
mempunyaiahliyahmaupun wilayah,maka akad tersebut tidak bisa dilangsungkan.
Adapun saat transaksi dilakukan oleh orang yang mempunyai kelayakan namun tidak
mempunyai kuasa, seperti menjual milik orang lain, maka keabsahannya tergantung
kepada izin pemilik barang.
Jumhur ulama selain Hanafiah berpendapat bahwa suatu akad tidaklah sah
apabila mengandung unsur riba. Ada beberapa hal yang dapat menghilangkan riba
keinginannya),ghalath(keliru),tadlis(menyembunyikan aib) danghabn
(penipuan)62. Legalitas dari akad di dalam hukum Islam ada dua. Yang
pertamashahihatau sah yang artinya semua rukun akad beserta semua kondisinya
sudah terpenuhi, yang kedua,batilyaitu apabila salah satu dari rukun akad tidak
terpenuhi maka akad tersebut menjadi batal atau tidak sah, apalagi kalau ada
unsurMaisir,GharardanRibadi dalamnya. Ketiga unsur tersebut sebaiknya
dihindari dalam transaksi yang menggunakan akad syariah.
Maisiradalah segala permainan yang mengandung unsur taruhan, dimana
pihak yang menang mengambil harta atau materi dari pihak yang
kalah.Gharardiibaratkan dengan suatu keadaan yang tidak menyajikan informasi
memadai tentang subjek atau objek akad. SedangkanRibaadalah setiap kelebihan
yang tidak syar’i antara nilai barang yang diberikan dan nilai yang diterima. Sebagai
contoh aplikatif ulasan Wahbah Az-Zuhaili tentang jual beli yang dilarang dalam
beberapa kategori63.
Pertama; karena kecacatan dan ketidaksempurnaan dari aqidan. Seperti jual
beli yang dilakukan oleh orang gila, anak kecil, orang yang diancam atau dipaksa,
dan seorangmahjur ‘alaih.
Kedua; karena kecacatan dan ketidaksempurnaan syarat dari sighah. Seperti
jual beli dengan syarat yang dilarang, tidak ada kesesuaian antaraijabdanqabul, dan
jual beli dengan kata atau isyarat yang tidak difahami.
62Ibid, hal.134
63 Wahbah az-Zuhaili hafizhahullah Muhaqqiq, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Penerbit:
Ketiga; karena kecacatan dan ketidaksempurnaan syarat darimahallul ‘aqd.
Seperti jual beli barang yang haram dan najis, jual belima’dum, jual beli barang yang
tidak bisa diterima langsung, termasuk di dalamnya jual beli yang mengandung
unsurgharar.
Keempat; karena ada sifat atau syarat yang dilarang, misalnyabai’ ‘inah, riba,
jual beli orang kota dengan harga mahal untuk orang desa yang belum mengetahui
harga, jual beli saat panggilan shalat jumat dan sebagainya.64
Dengan demikian yang menjadi unsur-usur dari akad yang cacat adalah:
1. Paksaan/Intimidasi (Ikrah).
Ikrah yakni memaksa pihak lain secara melanggar hukum untuk melakukan
atau tidak melakukan suatu ucapan atau perbuatan yangtidak disukainya
dengan gertakan atau ancaman sehingga menyebabkan terhalangnya hak
seseorang untuk bebas berbuat dan hilangnya kerelaan.
2. Kekeliruan atau kesalahan (Ghalath).
Kekeliruan yang dimaksud adalah kekeliruan pada obyek akad atau
kontrak.Kekeliruan bisa terjadi pada dua hal yaitu pada zat (jenis) obyek,
seperti orang membeli cincin emas tetapiternyata cincin itu terbuat dari
tembaga dan pada sifat obyek kontrak, seperti orang membeli baju warna
ungu, tetapi ternyata warna abu-abu. Bila kekeliruan pada jenis obyek, akad
itu dipandang batal sejak awal atau batal demi hukum. Bila kekeliruan terjadi
64Jumal Ahmad, “Teori Akad Transaksi dalam Hukum Islam”,