TESIS
Oleh
RINA PERMATA PUTRI
117011006/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
RINA PERMATA PUTRI
117011006/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Nomor Pokok : 117011006 Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD)
Pembimbing Pembimbing
(Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Dr. Utary Maharany Barus, SH, MHum)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD Anggota : 1 Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : RINA PERMATA PUTRI
Nim : 117011006
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : HUKUM KHIYAR DALAM AKAD YANG
MENGANDUNG PENIPUAN DALAM
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
Nama :RINA PERMATA PUTRI
membatalkannya, membuat transaksi terasa tidak enak, menyesal atau pun merasa bersalah. Ditambah lagi keadaan yang seperti ini dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki posisi yang lebih kuat untuk membuat klausul-klausul tertentu dalam akad perjanjian yang menguntungkan pihak itu saja, ditambah lagi pemberian informasi tentang objek akad yang keliru bukan yang sebenarnya yang mengakibatkan penerimaan informasi mengenai akad tersebut pun menjadi keliru oleh mereka yang hendak mengikatkan dirinya dalam suatu akad terutama dalam akad/kontrak baku. Penelitian tentang Khiyar atau Hak Opsi ini menjadi penting untuk dilakukan agar dapat diketahui oleh mereka yang bertransaksi dalam akad yang mengandung penipuan dimana mereka memiliki Hak opsi untuk meneruskan atau membatalkan akad tersebut.
Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, dengan menganalisa hukum yang tertulis dari bahan pustaka atau data sekunder dan bahan acuan atau rujukan dalam bidang hukum yang berkaitan dengan khiyar yang dibahas dalam penelitian ini. Pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research)
yaitu studi dokumen/kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder sehingga dapat diperoleh data/perbandingan data yang aktual.
Akad yang mengandung unsur penipuan yang dapat menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak merupakan perbuatan penyesatan sebagai tindakan mengelabui dengan kesengajaan yang tidak diketahui oleh mitra akad baik dengan perkataan atau perbuatan, kemudian adanya tipu muslihat dan juga adanya kebohongan berupa perkataan dan juga menyembunyikan keterangan yang sebenarnya terkait dengan objek akad yang sengaja dilakukan untuk mendorong untuk menutup akad tersebut. Oleh karena itu, Islam memberikan suatu hak khiyar bagi mereka yang dirugikan dalam akad tersebut yaitu berupa hak pilih untuk membatalkan atau meneruskan akad tersebut. Pihak yang bersengketa karena akad yang mengandung penipuan dapat memilih jalan perdamaian berdasarkan kesepakatan para pihak, namun mereka dapat juga memilih untuk melakukan gugat ke pengadilan agar dilakukan pembatalan akad tersebut. Namun bagi akad yang telah memenuhi rukun dan syarat untuk terbentuknya akad tetaplah menjadi akad yang sah, tapi berdosa karena mengandung penipuan didalamnya.
sometimes used by those who have stronger position to make certain clauses in a contract which will be favorable for them. Besides that, giving wrong information about an object of a contract will cause the receiver of the information to be wrong in committing himself to a standard contract. Research on khiyar or optional right becomes very important for those who do transaction in a fraudulent contract since they have khiyar (Optional Right) to proceed or to cancel the contract.
The research used judicial normative approach which analyzed written laws from literature materials or secondary data and legal references related to khiyar discussed in the research. The data were gathered by conducting library research with documentary study of primary and secondary data so that actual data or comparative data were obtained.
A fraudulent contract which can harm one of the parties is a misleading action which intentionally deceives the ignorant partner, either orally or in action; there are also cunning tricks and lies orally and concealing information related to the object of a contract which is intentionally done to conceal the fact about the contract. Therefore, Islamic religion gives the right of akhyar to those who are harmed in the contract in the form of optional right to cancel or to proceed the contract. The parties in dispute because of the fraudulent contract can select reconciliation based on mutual agreement, but they can also select to file a claim to Court to cancel the contract. However, a contract which has fulfilled the requirement will be a valid contract although it is still sinful since it contains fraud in it.
Puji syukur dipanjatkan sampaikan kehadirat Allah SWT karena hanya
dengan berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini
dengan judul “HUKUM KHIYAR DALAM AKAD YANG MENGANDUNG PENIPUAN
DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM” . Penulisan tesis ini merupakan salah satu
persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan
dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang
mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan amat
terpelajar Bapak Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, Ph.D., Bapak Prof. Dr.
Muhammad Yamin, S.H., MS., CN dan Ibu Dr. Utary Maharany Barus, SH.,
M.Hum., selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan
bimbingan dan arahan kepada penulis untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.
Kemudian juga, semua pihak yang telah berkenan memberi masukan dan
arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil
sampai pada tahap ujian tertutup sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna
dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum, Program Studi Magister
Fakultas Hukum Kenotariatan Universitas Sumatera Utara
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada
Penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah
memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan
tesis ini.
4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah
memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan
tesis ini.
5. Bapak dan Ibu Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yang
telah memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu yang sangat bermanfaat
selama Penulis mengikuti proses kegiatan belajar mengajar di bangku kuliah.
6. Seluruh Staf/Pegawai di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan kepada Penulis selama
menyelesaikan tesis ini.
8. Tesis ini juga penulis persempbahkan kepada Motivator terbesar dalam hidup
Penulis yang telah memberikan cinta, kasih sayang, dukungan dan doa yang tak
putus-putusnya selama ini kedua orang tuaku Alm. H. Dasrul AR dan Almh.
Rani Astuti Silalahi. Begitu juga dengan Papi Aladin Poerba dan Mami Reni
Astuti Silalahi yang sudah bersedia melimpahkan kasih dan sayang, perhatian
dan dukungan kepada penulis.
Penulis menyadari sepenuhnya tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun
besar harapan penulis kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua
pihak, terutama para pemerhati hukum perdata pada umumnya dan ilmu kenotariaan
pada khususnya. Demikian pula atas bantuan dan kebaikan yang telah diberikan
kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu
dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah kepada
kita semua.Amien Ya Rabbal ‘Alamin
Medan, Agustus 2013
Penulis,
Nama : Rina Permata Putri
Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 9 Juni 1986
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
Alamat : Jln. Pembangunan Gg. Dame No.8 Helvetiah
Medan
Telepon/Hp : 082166969292
II. KELUARGA
Nama Ayah : Alm. H. Dasrul AR
Nama Ibu : Almh. Rani Astuti Silalahi
III. PENDIDIKAN FORMAL
SD 029 Pekanbaru lulus tahun 1998
SLTP Negeri 1 Pekanbaru lulus tahun 2001
SMA NEGERI 1 MEDAN lulus tahun 2004
S-1 Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara Medan lulus tahun 2009
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI... vii
DAFTAR ISTILAH ... ix
DAFTAR SINGKATAN ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Perumusan Masalah ... 11
C. Tujuan Penelitian ... 11
D. Manfaat Penelitian ... 12
E. Keaslian Penelitian ... 12
F. Kerangka teori dan Konsepsi... 14
1. Kerangka Teori ... 14
2. Konsepsi ... 21
G. Metode Penelitian ... 23
1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 24
2. Sumber Data ... 25
3. Analisis Data... 26
BAB II KRITERIA AKAD YANG MENGANDUNG UNSUR PENIPUAN DALAM KETENTUAN HUKUM PERJANJIAN ISLAM ... 27
A. Pengertian Hukum Perjanjian Islam ... 27
B. Rukun dan Syarat Suatu Akad ... 33
C. Macam-Macam Akad Perjanjian ... 41
A. Khiyar (Hak Opsi) ... 61
B. Perdamaian(Al Sulh)Di Antara Para Pihak ... 80
C. Menggugat Ke Pengadilan ... 85
BAB IV AKIBAT HUKUM YANG DITIMBULKAN JIKA TERDAPAT KHIYAR DALAM AKAD MENURUT HUKUM ISLAM... 99
A. Batal Dengan Putusan Pengadilan ... 99
B. Sah, Tapi Mengandung Unsur Penipuan ... 104
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 110
A. Kesimpulan ... 110
B. Saran ... 111
Akad fudhuli : Akad yang berlaku setelah disetujui pemilik harta
‘Aqd Al-Iz’am : Akad baku
Aqid : Orang yang berakad
Al-aqidain : Subjek akad
Al-gabn al-fahisy : Ketidakseimbangan prestasi yang menyolok
Ar-Ra’yu : Akal
Arbitration Clause : Klausula arbitrase
Ash-Sarf : Jual beli alat pembayaran ( mata uang,
emas,perak)
At-tagrir al-fi’li : Penipuan dengan perbuatan
At-tagrir al-qauli : Penipuan dengan perkataan
At-taradhi : Suka sama suka
Bai’ As-Salam : Jual beli dengan pesanan
Baligh : Dewasa
Batil : Tidak sah
Bedrog : Penipuan
Buyu’ al-amanah : Jual beli kepercayaan
Ceiling Price : Kebijakan harga tertinggi
Dharurriyat : Sesuatu yang kita tidak bisa hidup kecuali
dengannya
Disputes : Sengketa
Dwalig : Salah sangka
Eksplisit : Gamblang, tegas, terus terang
Fahisy : Tipuan yang buruk
Fasakh : Pembatalan Akad
Fuqaha : Para ahli hukum Islam
Ghara : Penipuan
Gyah : Tujuan akhir
Hakam : Lembaga sejenis Arbitrase
Idhafi : Syarat tambahan
Ius Curia Novit : Hakim dianggap mengetahui semua hukum
Jahalah : Ketidak jelasan
Jaiz : Boleh
Jariyah : Sedekah atau amal yang pahalanya mengalir
terus menerus
Kaffah : Secara menyeluruh
Khamar : Arak
Khiyar : Hak pilih
Khiyar a-rad : Hak pilih pengembalian
Khiyar ar-ru’yah : Hak pilih dalam melihat
Khiyar Syarath : Hak pilih menetapkan persyaratan
Kunstgrypen : Muslihat licik
Levering : Penyerahan
Litigasi : Penyelesaian sengketa melalui Proses peradilan
Mahallul ‘aqd : Objek akad
Mahjur ‘alaih : Orang yang diletakkan dibawah pengampunan
Majhul : Orang yang tidak diketahui jati dirinya
Masyaqqah : Memberatkan
Musyaqah : Kerja sama pemilik kebun dengan
penggarap/pengelola
Nafidz : Yang ditaati
Naqishah : Tidak sempurna
Nash : Jelas dan tidak mengandung makna lain
Nazir : Pengawas
Sahih : Sah
Sharih : Secara jelas
Sighat Al-‘aqd : Ijab dan kabul
Tafshiliy : Yang terima
Taradhin : Rela sama rela
Taufiq : Penyesuaian
Tauqit : Pembatasan Waktu
Tasharruf : Tindakan
Tasharruf ‘aqd : Perbuatan hukum akad
Unknown one party : Tidak diketahui oleh salah satu pihak
Urf : Adat (kebiasaan)
Wakalah : Menyerahkan, menjaga
KUHPerdata : KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM
PERDATA
KUHP : KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
KHES : KOMPILASI HUKUM EKONOMI SYARIAH
membatalkannya, membuat transaksi terasa tidak enak, menyesal atau pun merasa bersalah. Ditambah lagi keadaan yang seperti ini dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki posisi yang lebih kuat untuk membuat klausul-klausul tertentu dalam akad perjanjian yang menguntungkan pihak itu saja, ditambah lagi pemberian informasi tentang objek akad yang keliru bukan yang sebenarnya yang mengakibatkan penerimaan informasi mengenai akad tersebut pun menjadi keliru oleh mereka yang hendak mengikatkan dirinya dalam suatu akad terutama dalam akad/kontrak baku. Penelitian tentang Khiyar atau Hak Opsi ini menjadi penting untuk dilakukan agar dapat diketahui oleh mereka yang bertransaksi dalam akad yang mengandung penipuan dimana mereka memiliki Hak opsi untuk meneruskan atau membatalkan akad tersebut.
Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, dengan menganalisa hukum yang tertulis dari bahan pustaka atau data sekunder dan bahan acuan atau rujukan dalam bidang hukum yang berkaitan dengan khiyar yang dibahas dalam penelitian ini. Pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research)
yaitu studi dokumen/kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder sehingga dapat diperoleh data/perbandingan data yang aktual.
Akad yang mengandung unsur penipuan yang dapat menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak merupakan perbuatan penyesatan sebagai tindakan mengelabui dengan kesengajaan yang tidak diketahui oleh mitra akad baik dengan perkataan atau perbuatan, kemudian adanya tipu muslihat dan juga adanya kebohongan berupa perkataan dan juga menyembunyikan keterangan yang sebenarnya terkait dengan objek akad yang sengaja dilakukan untuk mendorong untuk menutup akad tersebut. Oleh karena itu, Islam memberikan suatu hak khiyar bagi mereka yang dirugikan dalam akad tersebut yaitu berupa hak pilih untuk membatalkan atau meneruskan akad tersebut. Pihak yang bersengketa karena akad yang mengandung penipuan dapat memilih jalan perdamaian berdasarkan kesepakatan para pihak, namun mereka dapat juga memilih untuk melakukan gugat ke pengadilan agar dilakukan pembatalan akad tersebut. Namun bagi akad yang telah memenuhi rukun dan syarat untuk terbentuknya akad tetaplah menjadi akad yang sah, tapi berdosa karena mengandung penipuan didalamnya.
sometimes used by those who have stronger position to make certain clauses in a contract which will be favorable for them. Besides that, giving wrong information about an object of a contract will cause the receiver of the information to be wrong in committing himself to a standard contract. Research on khiyar or optional right becomes very important for those who do transaction in a fraudulent contract since they have khiyar (Optional Right) to proceed or to cancel the contract.
The research used judicial normative approach which analyzed written laws from literature materials or secondary data and legal references related to khiyar discussed in the research. The data were gathered by conducting library research with documentary study of primary and secondary data so that actual data or comparative data were obtained.
A fraudulent contract which can harm one of the parties is a misleading action which intentionally deceives the ignorant partner, either orally or in action; there are also cunning tricks and lies orally and concealing information related to the object of a contract which is intentionally done to conceal the fact about the contract. Therefore, Islamic religion gives the right of akhyar to those who are harmed in the contract in the form of optional right to cancel or to proceed the contract. The parties in dispute because of the fraudulent contract can select reconciliation based on mutual agreement, but they can also select to file a claim to Court to cancel the contract. However, a contract which has fulfilled the requirement will be a valid contract although it is still sinful since it contains fraud in it.
Islam merupakan agama (ad din) yang rahmatanlil’alamin, artinya agama yang menjadi rahmat bagi alam semesta. Semua sisi dari kehidupan ini telah
mendapatkan pengaturannya menurut hukum Allah SWT, sehingga tepat jika
dikatakan bahwa Islam bersifat komprehensif dan universal. Pada dasarnya lingkup kehidupan manusia didunia ini bersandar pada dua macam hubungan yakni vertikal
kepada Allah SWT dan horizontal, yaitu hubungan dengan sesama manusia dan alam
sekitarnya. Hubungan vertikal dengan Rabb-nya terwujud didalam pelaksanaan
kegiatan amaliah ibadah. Namun inti dari penciptaan manusia adalah untuk senantiasa
beribadah kepada Allah SWT, sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Quran Surat
Al-Zuriyat ayat 561 yang intinya menyatakan bahwa “tidaklah aku menciptakan jin
dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku”.
Disisi lain manusia juga senantiasa berhubungan dengan manusia lainnya,
dalam bentuk muamalah. Baik di bidang harta kekayaan maupun dalam hubungan
kekeluargaan. Hubungan antar sesama manusia, khususnya dalam hal harta kekayaan,
biasanya diwujudkan dalam bentuk perjanjian (akad). Dalam konteks Indonesia,
terdapat tiga macam sistem hukum yang mengatur masalah perjanjian ini, yaitu
Hukum Adat, Hukum Perdata Barat (KUHPerdata), dan Hukum Islam.
Prinsip utama dari hukum perjanjian menurut KUHPerdata adalah prinsip
kebebasan berkontrak (freedom of contract principle). Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1338 Jo Pasal 1320 KUHPerdata. Pasal 1338 KUHPerdata
menyatakan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah mengikat seperti
undang-undang bagi pihak yang mengadakannya (asas pacta sun servanda). Sedangkan keabsahan dari perjanjian sebagaimana yang tertuang dalam ketentuan Pasal 1320
KUHPerdata yang intinya menyebutkan bahwa untuk sah nya suatu perjanjian
diperlukan adanya kesepakatan di antara para pihak, adanya kecakapan bertindak
secara hukum, adanya objek tertentu, dan sebab/kausa yang halal.
Perjanjian yang sah juga menimbulkan akibat hukum bagi para pihak berupa
kewajiban untuk melaksanakannya dengan itikad baik (in good faith). Sedangkan apabila ke empat syarat tersebut tidak dipenuhi maka konsekuensi yuridis dari
perjanjian tersebut adalah batal, batal baik demi hukum (null and void) dalam hal syarat obyektif tidak dipenuhi, maupun dapat dibatalkan (voidable) dalam hal syarat subyektif yang tidak dipenuhi.
Disisi lain, mengingat secara faktual masyarakat Indonesia mayoritas
memeluk agama Islam, maka berlaku pula hukum Islam yang menyangkut lapangan
ibadah dan muamalat. Dengan demikian sangat penting bagi kita untuk mengetahui
bagaimana konsep perjanjian yang diatur dalam syariat Islam. Hal ini sejalan juga
dengan adanya kewajiban bagi setiap umat Islam untuk menjalankan hukum Allah
Pemahaman yang utuh mengenai hukum perjanjian Islam sangat berguna,
khususnya bagi umat Islam di Indonesia yang saat ini sedang trend terkait dengan sistem ekonomi Islam, seperti yang terjadi dalam lapangan perbankan syariah,
asuransi syariah (takaful), dan pasar modal syariah. Dalam kegiatan-kegiatan perekonomian tersebut dilandasi oleh adanya hubungan antar subyek hukum yang
biasanya didasarkan pada perjanjian baik secara tertulis maupun lisan, yang lazim
disebut akad.
Secara konseptual atau dalam istilah syariah, akad menurut Wahbah Zuhaili mengartikan bahwa:
“akad adalah hubungan atau keterkaitan antara ijabdanqabul, yang dibenarkan oleh syariah dan memiliki implikasi hukum tertentu. Atau dalam pengertian lain, akad merupakan keterkaitan antara keinginan kedua belah pihak yang dibenarkan
olehsyariahdan menimbulkan implikasi hukum tertentu”.2
Pengertian akad sendiri di kalangan para fuqaha terbagi menjadi dua, yaitu secara khusus dan umum:
1. Pengertian umum yang dekat dengan pengertian bahasa berkembang dikalangan fuqaha Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, yaitu:
“Akad adalah segala sesuatu yang diniatkan oleh seseorang untuk dikerjakan, baik timbul karena satu kehendak, seperti wakaf, pembebasan, talak dan sumpah, maupun yang memerlukan kepada dua kehendak di dalam menimbulkannya, seperti jual beli, sewa-menyewa, pemberian kuasa dan gadai”.
2. Pendapat kedua yang mengartikan akad secara khusus dikemukakan oleh fuqaha Hanafiah yang mengatakan:
“Akad adalah pertalian antara ijab dan qabul menurut ketentuan syara’
yang menimbulkan akibat hukum pada objeknya atau dengan redaksi yang
lain: Keterkaitan antara pembicaraan salah seorang yang melakukan akad dengan yang lainnya menurut syara’ pada segi yang tampak pengaruhnya pada objek”.3
Tak jauh beda dari definisi diatas, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Islam mengatakan juga dalam Pasal 1034 bahwa, akad atau Al-Aqdu adalah perikatan diantara dua pihak dan berjanji untuk melaksanakannya, dan aqad itu
gabungan antaraijabdanqabul.
Sementara itu Ahmad Azhar Basyir, memberikan definisi akad yaitu suatu
perikatan antaraijabdanqabuldengan cara yang dibenarkansyara’yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada objeknya. Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan, sedangqabuladalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya.5
Pengertian akad juga dapat dijumpai dalam peraturan Bank Indonesia Nomor
7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Dalam ketentuan Pasal 1 ayat 3 dikemukakan bahwa akad adalah perjanjian tertulis yang memuat ijab
(penawaran) dan qabul (penerimaan) antara bank dengan pihak lain yang berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak sesuai dengan prinsipsyariah.
Rumusan akad tersebut diatas mengindikasikan bahwa akad harus merupakan
perjanjian kedua belah pihak yang bertujuan untuk saling mengikatkan diri tentang
3Ibid, hal: 111.
4
A. Djazuli,et. al.,Kitab Undang-undang Hukum Perdata Islam, ( Bandung: Kiblat Press, 2002), hal: 19
5Ahmad Azhar Basyir,Asas-asas Hukum Muamalat ( Hukum Perdata Islam), (Yogyakarta:
perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu hal yang khusus setelah akad secara
efektif mulai diberlakukan. Akad diwujudkan dalam ijab dan qabul yang menunjukkan adanya kesukarelaan secara timbal balik terhadap perikatan yang
dilakukan oleh kedua belah pihak yang harus sesuai dengan kehendak syariat.
Artinya, bahwa seluruh perikatan yang diperjanjikan oleh kedua belah pihak atau
lebih dianggap sah apabila secara keseluruhan tidak bertentangan dengan syariat
Islam. Dengan adanyaijab qabulyang didasarkan pada ketentuan syariat, maka suatu akad akan menimbulkan akibat hukum pada objek perikatan, yaitu terjadinya
pemindahan kepemilikan atau pengalihan kemanfaatan dan seterusnya.6
Suatu penawaran (ijab) adalah kondisi yang diperlukan dari sebuah kontrak (akad) yang sah. Ia didefinisikan sebagai pernyataan atau penawaran yang tegas yang
dibuat terlebih dahulu dengan tujuan menciptakan kewajiban, sementara pernyataan
yang menyusul kemudian disebut dengan penerimaan (qabul). Ijab menunjukkan kesediaan dari pihak untuk melakukan hal yang positif. Hukum Islam tidak
menyatakan apakah kesediaan suatu pihak untuk tidak melakukan suatu hal juga
termasuk dalam Ijab atau tidak.
Council of Islamic ideology di Pakistan memiliki pandangan bahwa hanya pelaksanaan suatu tindakan yang membentuk ijab. Pematangan dari suatu tindakan tidak dapat dianggap sebagai Ijab. Federal Shariat Court Pakistan berpendapat bahwa sebuah kontrak (Akad) dapat berisi untuk melakukan sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu. Definisi ini sesuai dengan pengertian ijab seperti yang tertera dalam Contract Act tahun 1872 dalam hukum Inggris yang menyatakan : “Ketika seseorang menyatakan kepada orang lain kesediaannya untuk melakukan sesuatu untuk tidak melakukan sesuatu dengan tujuan untuk mendapatkan persetujuan dari
6Abdul Ghofur Anshori,Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia, (Djogyakarta: Gajah Mada
orang lain tersebut atas suatu tindakan atau pematangannya, ia dikatakan telah membuat sebuah proposal”.7
Adapun format mengenai penawaran dan penerimaan adalah prosedur atau
cara sebuah kontrak (akad) dibuat. Peraturan hukum menuntut penawarannya
dinyatakan dalam bahasa yang jelas dan tidak bersyarat apa pun. Harus ada
kesesuaian penawaran dan penerimaan mengenai subjek dan pertimbangan serta
pengeluaran penawaran dan penerimaan pada sesi yang sama.
Penawaran dan penerimaan dapat disampaikan dalam beragam cara, yaitu
melalui kata–kata, isyarat, indikasi atau tingkah laku. Tidak ada perbedaan pendapat
di antara para ahli hukum berkenaan dengan kesimpulan mengenai akad yang melalui
kata-kata. Mereka belum menetapkan kata–kata yang pasti dalam pembentukan
kontrak akad tertentu. Apapun yang dapat menyampaikan pengertiannya dengan jelas
dianggap memadai untuk pembentukan akad. Entah kata–kata nya bersifat eksplisit
atau implisit tidak akan berbeda.
Hukum Islam sendiri menuntut bahwasanya penerimaan seharusnya sesuai
dengan penawaran dalam semua detailnya dan bahwa ia seharusnya diterima dalam
pertemuan yang sama jika penawarannya efektif sejak sesi pertemuan tersebut.
Kebutuhan akan kesatuan sesi untuk “penawaran dan penerimaan” telah
diinterpretasikan dalam cara berbeda–beda. Kebutuhan ini didasarkan oleh perkataan
Nabi Muhammad Saw: “Pihak–pihak yang terlibat dalam kontrak (akad) memiliki hak memilih atau khiyar (untuk menyelesaikan atau tidak) hingga sebelum mereka
7Muhammad Ayub,Understanding Islamic finance (A—Z Keuangan Syariah),( Jakarta:
berpisah”.8 Walaupun ada beberapa perbedaan minor dalam pendapat, para fuqaha
memiliki pandangan bahwa akad harus dilengkapi oleh penawaran dan penerimaan
dalam pertemuan yang sama hingga salah satu pihak mendapatkan hak untuk
memikirkan kembali, mengesahkan, atau membatalkan akadnya nanti. Pilihan
Stipulasi (Khiyar asy – Syart)adalah mekanisme yang disediakan oleh hukum Islam untuk menyelesaikan permasalahan yang disebabkan oleh hambatan–hambatan yang
mungkin ada dalam kesatuan sesi. Pilihan ini menjadikan akad tidak mengikat bagi
pihak yang telah mendapatkan hak tersebut untuk periode tertentu.
Seperti dalam halnya perjanjian jual beli yang merupakan jenis perjanjian
timbal balik yang melibatkan dua pihak yaitu penjual dan pembeli. Kedua belah pihak
yang membuat perjanjian jual-beli masing-masing memiliki hak dan kewajiban untuk
melaksanakan isi perjanjian yang mereka buat. Sebagaimana umumnya, perjanjian
merupakan suatu lembaga hukum yang berdasarkan asas kebebasan berkontrak
dimana para pihak bebas untuk menentukan bentuk dan isi jenis perjanjian yang
mereka buat.
Namun, banyak perbuatan curang juga berupa janji–janji yang sebenarnya
dihimpun ke dalam perjanjian. Dalam hal ini pihak yang diperdayakan itu biasanya
akan menggugat karena melanggar perjanjian daripada karena perbuatan curang
tersebut, sebab sekali pelanggaran perjanjian itu terbukti, ganti rugi secara otomatis
dibebankan. Apabila perbuatan curang semata–semata itu terbukti, orang yang
bertanggungjawab dapat mengajukan pembelaan terhadap gugatan ganti rugi jika dia
8
dapat membuktikan bahwa ia secara layak percaya sendiri untuk mengatakan yang
benar. Perbedaan antara perbuatan curang semata-mata dengan janji-janji yang
bersifat perjanjian dapat menjadi sulit, tetapi dalam perjanjian jual beli, pengadilan
biasanya akan menyatakan bahwa pernyataan-pernyataan penjual sebagai seorang
dealer adalah janji-janji yang bersifat perjanjian, sedangkan pernyataan-pernyataan
penjual yang bukan dealer adalah perbuatan curang semata- mata.
Tidak hanya itu saja, lazimnya dan yang sering terjadi dalam praktek di masyarakat pihak yang melakukan penawaran biasanya telah siap untuk segera mengikatkan diri dalam suatu persetujuan jika dibandingkan dengan pihak yang menerima penawaran dan karena kesiapannya lebih baik dari pihak yang menerima penawaran, maka biasanya pihak yang melakukan penawaran tersebut telah siap dengan konsep atau rancangan perjanjian berupa rancangan kontrak tertulis yang diharapkannya dapat diterima oleh pihak yang menerima penawaran.9
Kesepakatan yang telah dicapai dan dituangkan kedalam perjanjian tertulis itu selain berisikan subjek dan objek perjanjian, juga berisikan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat perjanjian ditambah syarat lain yang ditentukan oleh undang-undang. Seluruh substansi yang tertuang dalam kontrak itu sejak fase kontraktual telah mengikat di antara kedua belah pihak agar negoisasi tersebut berjalan mulus dan memuaskan kedua belah pihak. Namun tak jarang negoisasi saat berlangsung berjalan mulus akan tetapi ternyata dalam pelaksanaannya sudah tidak sesuai lagi dengan apa yang dikehendaki oleh pihak lainnya. Ketidaksesuaian ini terjadi karena terjadinya pemahaman yang keliru dari pihak yang menerima penawaran akibat penyampaian atau penyajian fakta yang keliru dari pihak yang memberi penawaran perihal informasi yang diberikan oleh pihak yang melakukan penawaran. Adakalanya informasi yang diberikan merupakan yang menyesatkan ataupun pernyataan palsu yang disajikan dengan sengaja oleh pihak yang memberikan penawaran atau mungkin juga terjadi dengan tidak sengaja dan keadaan ini terjadi apabila pihak calon pembeli menerima informasi mengenai objek barang yang menyesatkan itu percaya dan menerima saja apa yang disampaikan oleh pihak pemberi penawaran atau penjual. Jelaslah bahwa pernyataan palsu yang menyesatkan tersebut sudah memperdayakan pihak lain dan membujuk supaya membuat perjanjian, walaupun setidak-tidaknya keadaan setengah benar yang menyesatkan dapat menjadi palsu.10
9
Syahril Sofyan,Standar Perjanjian Misrepresentasi dalam Transaksi Bisnis, Disertasi (Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2011), hal: 4
Oleh karena itu maka ajaran Islam yang adil selalu memperhatikan hubungan
antar manusia, khususnya bila menyangkut permasalahan harta dan perpindahannya.
Sepertinya halnya dalam akad jual beli yang dilakukan, terkadang rasa sesal karena
tergesa-gesa dalam mengadakan transaksi atau membatalkannya, membuat transaksi
terasa tidak enak, menyesal atau pun merasa bersalah.11
Seperti dalam hal transaksi jual beli antara pembeli dan penjual, makasyari’at
Islam sebenarnya memberikan hak istimewa berupa hak khiyar, yaitu hak memilih untuk tetap melangsungkan jual beli atau membatalkannya, hal ini karena terjadi
sesuatu hal misalnya karena ada cacat pada barang yang dijual, atau ada perjanjian
pada waktu akad, atau karena sebab lain. Hal ini lah yang sebenarnya dalam hukum
Islam diatur mengenai masih adanya hak setiap pembeli atau pihak yang menyetujui
untuk terikat dalam suatu perikatan atau perjanjian untuk membatalkan perjanjian
atau perikatan itu ataupun jual beli tersebut apabila dari objek perjanjian atau jual beli
tersebut ternyata tidak sesuai dengan yang telah disepakati.
Khiyaritu sendiri ditetapkansyari’atIslam bagi orang-orang yang melakukan transaksi (akad) perdata agar tidak dirugikan dalam transaksi yang mereka lakukan,
sehingga kemashlahatan yang dituju dalam suatu transaksi tercapai dengan
sebaik-baiknya.
Sebagaimana berdasarkan sunnah Rasulullah Saw. salah satu yang
diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Ibnu Umar:
11
“ Dari Ibnu Umar, ia berkata: Telah bersabda Nabi Saw ”Penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar selagi keduanya belum berpisah, atau salah seorang mengatakan kepada temannya, Pilihlah. Dan kadang-kadang beliau bersabda: atau terjadi jual beli khiyar”12
Disamping itu terdapat hadis lain yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari
Abdullah bin Al-Harits:
“Dari Abdullah bin Al-Harits ia berkata: saya mendengar Hakim bin Hizam dari Nabi Saw beliau bersabda: ”Penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar selama mereka berdua belum berpisah. Apabila mereka berdua benar dan jelas, maka mereka berdua diberi keberkahan didalam jual beli mereka, dan apabila mereka berdua berbohong dan merahasiakan maka dihapuslah keberkahan jual beli mereka berdua”13
Adapun status khiyar, menurut ulama fiqh, adalah disyari’atkan atau dibolehkan karena suatu keperluan yang mendesak dalam mempertimbangkan
kemashlahatan masing-masing pihak yang melakukan transaksi.
Seperti halnya pada khiyar syarat yaitu dimana kedua belah pihak yang berakad atau salah satunya menetapkan syarat waktu untuk menunggu apakah ia akan
meneruskan akad atau membatalkannya ketika masih dalam tempo yag disepakati
oleh keduanya. Dimana orang yang menetapkan bagi dirinya syarat khiyar dia memiliki hak untuk meneruskan akad atau membatalkannya, dengan begitu setiap
akad yang ada khiyar di dalamnya adalah akad yang tidak lazim (wajib) dari sisi
12Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari,Shahih Al-Bukhari, Juz 2, Nomor hadis 2003, CD
Room, Maktabah Kutub Al-Mutun, Silsilah Al-‘ilm An-Nafi’, Seri , Al-Ishdar Al Awwal, 126, hlm 743 yang dikutip oleh Ahmad Wardi Muslich,Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), hal: 217
orang yang memiliki hak khiyar, dia boleh mengembalikan barang karena khiyar
menghalangi wajibnya akad jual beli.
Berdasarkan uraian diatas maka penelitian dengan judul “Hukum Khiyar
Dalam Akad Yang Mengandung Penipuan Dalam Perspektif Hukum Islam”, penting
untuk dilakukan.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan dibahas
dalam penulisan tesis ini adalah:
1. Bagaimana kriteria akad yang dikatakan mengandung unsur penipuan yang
dapat menimbulkan kerugian salah satu pihak dalam Hukum Perjanjian Islam?
2. Upaya hukum apakah yang dapat dilakukan oleh pihak yang dirugikan dalam
akad yang mengandung unsur penipuan?
3. Apakah akibat hukum yang dapat ditimbulkan jika terdapat Khiyar dalam akad?
C. Tujuan Penelitian
Berkaitan dengan rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan dalam
penulisan tesis ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis kriteria akad yang mengandung unsur
penipuan dalam ketentuan hukum perjanjian Islam.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis upaya hukum yang dilakukan oleh pihak
3. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum yang timbul jika terjadi
Khiyardalam suatu akad.
D. Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini saya berharap agar kiranya penelitian ini dapat memberikan
manfaat, yakni:
1. Secara teoritis.
Adapun hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat untuk menambah
pengetahuan dan wawasan mahasiswa program Magister Kenotariatan
Universitas Sumatera Utara terutama mengenai “Hukum Khiyar Dalam Akad
Yang Mengandung Penipuan Dalam Perspektif Hukum Islam”.
2. Secara praktis.
Manfaat secara praktis dari penelitian ini adalah memberikan pendapat atau
pun masukan pemikiran bagi kalangan akademisi, praktisi maupun
masyarakat umumnya dalam mengetahui tentang bagaimana bentuk suatu
akad dari sebuah akta maupun perjanjian baku yang dianggap sebagai suatu
penipuan yang dapat merugikan sebelah pihak.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran dan pemeriksaan yang telah penulis lakukan
baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum, maupun Magister
Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, ditemukan beberapa
1. Judul Penelitian “ STANDAR PERJANJIAN MISREPRESENTASI DALAM
TRANSAKSI BISNIS” oleh DR. Syahril Sofyan, SH, MKn.
Dengan permasalahan:
a. Mengapa timbul kontrak yang misrepresentation di antara para pihak yang membuat perjanjian.
b. Apakah transaksi bisnis yang lahir dari kontrak baku masih dapat
dimasukkan ke dalam kelompok perjanjian yang mengandung unsur
misrepresentation.
c. Bagaimana menentukan suatu kontrak itumisrepresentation.
2. Judul Penelitian “PERSINGGUNGAN ASAS-ASAS HUKUM PERJANJIAN
DALAM KUH PERDATA DENGAN HUKUM PERJANJIAN MENURUT
HUKUM ISLAM” oleh SAIDIN
Dengan permasalahan:
a. Bagaimana perjalanan sejarah keberadaan KUHPerdata dan Hukum Islam
(bidang hukum perdata) pada masa kolonial Belanda dan Pasca
kemerdekaan.
b. Bagaimana sikap kalangan praktisi maupun para hakim dalam
menempatkan hukum perjanjian KUH Perdata dalam praktek
penyelesaian sengketa serta dampaknya terhadap keberadaan hukum
rakyat (termasuk hukum perdata Islam)
d. Sejauh mana persinggungan asas-ass dalam Hukum Perjanjian menurut
KUH Perdata dengan asas-asas Hukum Perjanjian menurut Hukum
Islam?
e. Strategi apa yang ditempuh oleh pihak-pihak yang terlibat dalam
penegakan hukum dalam rangka pencapaian tujuan untuk membumikan
hukum rakyat sekaligus merumuskan hukum perikatan nasional?
Dari ketiga penelitian diatas sejauh yang diketahui tidak ada kesamaan dengan
penelitian ini. Dengan demikian penelitian tentang “HUKUM KHIYAR DALAM
AKAD YANG MENGANDUNG PENIPUAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM
ISLAM”, belum pernah dilakukan.Oleh karena itu, penelitian ini adalah asli adanya.
Artinya secara akademik penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kemurniannya,
karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama dengan judul penelitian ini.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Ilmu Hukum dalam perkembangannya tidak terlepas dari ketergantungan pada
berbagai bidang ilmu termasuk ketergantungannya pada metodologi, karena aktivitas
penelitian hukum dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori.
yang tersusun “sistematis, logis (rasional), empiris (kenyatannya), dan juga
simbolis”.14
“Teori adalah merupakan suatu prinsip yang dibangun dan dikembangan
melalui proses penelitian yang dimaksudkan untuk menggambarkan dan menjelaskan
suatu masalah”.15
Teori diartikan sebagai suatu sistem yang berisikan proporsisi-proporsisi yang
telah diuji kebenarannya. Suatu teori juga mungkin memberikan pengarahan pada
aktivitas penelitan yang dijalankan dan memberikan taraf pemahaman tertentu.16
Karena teori ini dapat dikatakan merupakan suatu pencapaian akan sesuatu secara
generalisasi, yang telah diuji dan hasilnya mempunyai ruang lingkup yang sangat luas
terhadap fakta-fakta yang bersangkutan, teori hukum akan senantiasa berkembang
sesuai dinamika masyarkat. Sedangkan kerangka teori adalah kerangka pemikiran
atau butir-butir pendapat, teori mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem)
yang menjadi bahan perbandingan, pegangan, teoritis17.
Gorys Keraf18mendefinisikan teori sebagai asas-asas umum dan abstrak yang
diterima secara ilmiah dan sekurang–kurangnya dapat dipercaya untuk menerangkan
fenomena–fenomena yang ada.
14 Soerjono Soekanto,Pengantar penelitian Hukum, ( Jakarta: Universitas Indonesia press,
1999), hal: 12.
15Ibid, hal: 15
16Soerjono Soekanto,Op Cit, hal :6.
Kerangka teori ini akan digunakan sebagai landasan berfikir untuk
menganalisa permasalahan yang dibahas dalam tesis ini yaitu mengenai “Hukum Khiyar Dalam Akad Yang Mengandung Penipuan Dalam Perspektif Hukum Islam”.
Penelitian ini menggunakan Teori Maqashid Al- Syari’ah sebagai grand theory (teori utama), yang memiliki arti tujuan-tujuan syariat. Maqasid al-Syari’ah
dikalangan ulama ushul fiqh disebut juga dengan asrar Al-Syari’ah, yaitu tujuan-tujuan dan rahasia-rahasia yang terdapat dibalik suatu hukum yang ditetapkan oleh
Srai’, berupa kemashlahatan bagi umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat.19
Maqashid Al-Syariah ini merupakan intisari utama dari hukum Islam, dimana tujuan Allah SWT menurunkan hukum-Nya bagi manusia adalah untuk
merealisasikan lima tujuan utama, sebagaimana yang dikemukakan oleh Al-Syatibi20:
1. Memelihara Agama; 2. Memelihara Jiwa;
3. Memelihara aqal Pikiran; 4. Memelihara Keturunan; 5. Dan memelihara harta benda.
Khiyar ini berkaitan dengan salah satu tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dalam hukum Islam yaitu untuk memelihara harta benda. Tentunya
memelihara harta benda dari perbuatan yang dilarang Syariat Islam yaitu melakukan
19Ar-Raysuni, Nadzariyyah al-Maqashid, (Herdon: IIIT, 2000), hal: 10 dalam Zamakhsyari,
Teori-Teori Hukum Islam Dalam Fiqh dan Ushul Fiqih, ( Bandung: Cita Pustaka Media Perintis, 2013), hal: 2
20 Hasballah Thaib, Tajdid, Reaktualisasi Dan Elastisitas Hukum Islam, (Medan: Sekolah
penipuan. Dalam hal memelihara harta benda, ajaran Islam memerintahkan hal-hal
berikut ini21:
1. Islam memerintahkan setiap muslim untuk bekerja keras dan mencari rezeki lewat jalan yang halal. Bahkan dalam banyak hadits disebutkan bahwa rezeki yang paling disukai Allah dari hamba-Nya adalah rezeki yang diusahakannya dengan tangannya sendiri.
2. Islam mengajarkan kepada ummatnya bahwa salah satu hal yang akan dimintai Allah pertanggung jawabannya dari manusia di akhirat kelak adalah terkait masalah harta, di mana ia dapatkan dan bagaimana ia menggunakannya. Hal ini mendorong setiap mukmin untuk bertanggung jawab terhadap setiap harta yang didapatkan dan digunakannya.
3. Islam mengajarkan bahwa harta adalah wasilah(sarana untuk mencapai ridha Allah) bukan gyah (tujuan akhir). Maka dari itu, setiap mukmin didorong untuk mengeluarkan dari hartanya yang merupakan hak-hak orang yang berada disekitarnya dari golongan tidak mampu, sebagai jalan mendapatkan ridha Allah.
4. Islam mengajarkan bahwa satu-satunya harta yang dapat menemani seseorang dalam perjalanannya mempertanggung jawabkan hidupnya kepada Allah adalah harta yang dinafkahkan untuk ibadah, apalagi sedekah jariyah, yang terus mengalirkan pahala kepada pemberinya walaupun ia sudah meninggal dunia selama barang itu masih dapat dimanfaatkan orang.
5. Islam memerintah umatnya untuk mempertahankan hartanya dari pihak-pihak yang ingin mengambil dengan cara paksa. Bahkan dalam hadist dikatakan:” siapa yang terbunuh karena mempertahankan hartanya, maka ia termasuk golongansyahid”.
Dilihat dari segi kepentingannya, memelihara harta dapat dibedakan menjadi
tiga tingkatan, yaitu:
1. Memelihara harta benda dalam tingkatan dharurriyat, seperti pensyari’atan aturan kepemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang ilegal. Apabila aturan ini dilanggar maka akan berakibat terancamnya eksistensi harta.
2. Memelihara harta dalam tingkatan hajiyyat, seperti disyari’atkannya jual beli dengan cara salam. Apabila cara ini tidak dipakai maka tidak akan mengancam eksistensi harta melainkan hanya akan mempersulit seseorang yang memerlukan modal.
3. Memelihara harta dalam tingkatan tahsiniyyat, seperti adanya ketentuan agar menghindarkan diri dari penipuan. Karena hal itu berkaitan dengan moral dan etika dalam bermuamalah atau etika bisnis. Hal ini juga akan berpengaruh kepada keabsahan jual beli tersebut, sebab pada tingkatan ketiga ini juga merupakan syarat adanya tingkatan kedua dan pertama.
Selain dari Teori Maqashid Al- Syari’ah sebagai Teori Utama yang dipergunakan sebagai pisau analisis, penelitian ini disertai juga dengan teori Keadilan
sebagai Teori Pendukung. Hal ini dipergunakan untuk memperoleh kepastian hukum
terhadap para pihak dalam melaksanakan suatu akad transaksi perjanjian yang
mengandung penipuan sehingga pihak yang mengalami kerugian atau kekecewaan
dapat melakukankhiyarsesuai dengan yang diatur dalam Hukum Islam.
Berlaku adil sangat terkait dengan hak dan kewajiban. Hak yang dimiliki oleh
seseorang, termasuk hak asasi harus diperlakukan secara adil. Hak dan kewajiban
terkait pula dengan amanah, sementara amanah wajib diberikan kepada yang berhak
menerimanya. Oleh karena itu hukum berdasarkan amanah harus ditetapkan secara
adil tanpa dibarengi rasa kebencian dan sifat negatif lainnya.22
Raghib Al-Asfahani menyatakan bahwa kata adil (‘adl) berarti memberi pembagian yang sama23. Sementara itu, pakar lain mendefinisikannya dengan
penempatan sesuatu pada tempat yang semestinya. Ada juga yang menyatakan bahwa
‘adl adalah memberikan hak kepada pemiliknya melalui jalan yang terdekat. Hal ini
22Zamaksyari, Op. Cit., hal: 95
23 Raghib Al-Asfahani, Mufradaat Al-Qur’an, Hal :154 selanjutnya dapat di lihat dalam
sejalan dengan pendapat al-Maraghi yang memberikan makna kata ‘adl dengan menyampaikan hak kepada pemiliknya secara efektif.24
Banyak ayat dalam Al-Qur’an yang memerintahkan manusia untuk berlaku
adil dalam segala hal, walaupun merugikan diri sendiri:
a. Allah SWT berfirman tentang perintah agar manusia berbuat adil dan berbuat kebaikan, serta menjauhkan diri dari perbuatan keji dan mungkar, hal ini terdapat dalam Surat An-Nahl ayat 90:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.
b. Allah berfirman tentang kewajiban menegakkan keadilan kepada siapa saja kendatipun kepada orang yang tidak seagama, terdapat dalam Surat As-Syura ayat 15:
“Maka karena itu serulah (mereka kepada agama ini) dan tetaplah sebaai mana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah:”Aku beriman kepada semua kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil diantara kamu. Allah-lah Tuhan Kami dan Tuhan Kamu. Bagi kami amal-amal Kami dan bagi kamu amal-amal kamu, tidak ada pertengkaran antara Kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kembali (kita).”
c. Allah berfirman tentang alasan apapun tidak dapat diterima untuk tidak berbuat adil, termasuk ketidaksenangan terhadap orang tertentu, terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 8 yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi yang adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.”
d. Allah berfirman tentang berlaku adil akan mendekatkan seseorang kepada Allah Swt seperti terdapat dalam Surat Al-Maidah ayat 8:
“Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
24Mustafa Al- maraghii,Tafsir al-Maraghi, jilid 3, hal:129 selanjutnya dapat di lihat dalam
Keadilan (‘adl) menurut Islam tidak hanya merupakan dasar dari masyarakat muslim yang sejati, sebagaimana di masa lampau dan seharusnya di masa datang.
Dalam Islam, antara keimanan dan keadilan tidak terpisah. Orang yang imannya
benar dan berfungsi dengan baik akan selalu berlaku adil terhadap sesamanya. Hal ini
tergambar dengan sangat jelas dalam surat di atas. Keadilan adalah perbuatan yang
paling takwa atau keinsyafan kebutuhan dalam diri manusia.25
Begitu juga dalam berekonomi, keadilan dalam Islam dapat diartikan sebagai26:
1. Persamaan Kompensasi.
Persamaan kompensasi adalah pengertian adil yang paling umum, yaitu bahwa seseorang harus memberikan kompensasi yang sepadan kepada pihak lain, sesuai dengan pengorbanan yang telah dilakukan. Pengorbanan yang telah dilakukan inilah yang menimbulkan hak pada seseorang yang telah melakukan pengorbanan untuk memperoleh balasan yang seimbang dengan pengorbanannya.
2. Persamaan Hukum.
Persamaan hukum disini memberikan makna bahwa setiap orang harus diperlakukan sama di depan hukum. Tidak boleh ada diskriminasi terhadap seseorang di depan hukum atas dasar apapun juga. Dalam konteks ekonomi, setiap orang harus diperlakukan sama dalam setiap aktivitas maupun transaksi ekonomi. Tidak ada alasan untuk melebihkan hak suatu golongan atas golongan yang lain hanya karena kondisi yang berbeda dari dua golongan tersebut.
3. Moderat.
Moderat disini dimaknai sebagai posisi tengah-tengah. Nilai adil disini dianggap telah diterapkan seseorang juga orang yang bersangkutan mampu memposisikan dirinya dalam posisi di tengah. Hal ini memberikan suatu implikasi bahwa seseorang harus mengambil posisi di tengah dalam arti tidak mengambil keputusan yang terlalu memperberat ataupun keputusan yang terlalu memperingan, misalnya dalam memberikan kompensasi.
4. Proporsional.
Adil tidak selalu diartikan sebagai kesamaan hak, namun kesesuaian ini disesuaikan dengan ukuran setiap individu atau proporsional, baik dari sisi tingkat kebutuhan, kemampuan, pengorbanan, tanggung jawab, ataupun
kontribusi yang diberikan oleh seseorang. Proporsional tidak hanya berkaitan dengan konsumsi, namun juga pada distribusi pendapatan. Suatu distribusi yang adil tidak harus selalu merata, namun perlu tetap memperhatikan ukuran dari masing-masing individu yang ada. Mereka yang ukurannya besar perlu memperoleh besar, dan yang kecil memperoleh jumlah kecil pula.
Dalam berekonomi, seluruh makna keadilan ini akan terwujud jika setiap
orang menjunjung tinggi nilai kebenaran, kejujuran, keberanian, kelurusan, dan
kejelasan. Secara singkat masing-masing nilai ini dijelaskan sebagai berikut:
1. Kebenaran
Kebenaran merupakan esensi dan dasar keadilan. Kebenaran dalam hal ini dimaknai sebagai kesesuaian dengan syari’ah Islam. Kebenaran empiris atau faktual hanya bisa diterima jika tidak bertentangan dengan kebenaran
syari’ah. Kebenaran dalam memberikan informasi, kebenaran dalam memberikan pertimbangan, dan kebenaran dalam memberikan jaminan kepada semua pihak atas hak-hak yang terkait. Keadilan hanya bermakna jika setiap orang berfikir, bersikap, dan berperilaku secara benar.
2. Kejujuran
Jujur artinya konsistensi antara kepercayaan, sikap, ungkapan, dan perilaku. Kejujuran merupakan aspek penting dan prasyarat dalam keadilan. Kejujuran merupakan tuntutan yang mutlak untuk bisa mencapai kebenaran dan keadilan. Bila seseorang tidak bisa berlaku jujur dalam suatu hal, maka keputusan yang diambil dalam urusan itu dipastikan tidak benar dan tidak adil. 3. Keberanian
Untuk mengambil suatu keputusan yang adil dan melakukan yang benar seringkali seseorang dihadang oleh suatu keadaan yang serba menyulitkan. Oleh karena itu, keberanian diperlukan untuk mengatasi keberanian hal ini keadilan tidak bisa diwujudkan.
4. Kelurusan.
Nilai kelurusan diartikan sebagai taat asas atau konsisten menuju tujuan. Taat asas disini merupakan suatu kondisi yang harus dipenuhi agar perilaku adil bisa terwujud. Jika seseorang tidak bisa berperilaku taat asas, maka akan sangat terbuka kemungkinan untuk melakukan kedzaliman.27
2. Konsepsi.
Untuk dapat menjawab permasalahan dalam penelitian tesis ini perlu
didefinisikan beberapa konsep dasar dalam rangka menyamakan persepsi agar secara
operasional dapat dibatasi ruang lingkup variabel dan dapat diperoleh hasil penelitian
yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditentukan. Konsep adalah suatu
konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan
dalam pikiran penelitian untuk keperluan analistis.28 Kerangka konsepsional
mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai
dasar penelitian hukum. Suatu konsep atau suatu kerangka konsepsional pada
hakikatnya merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit daripada
kerangka konsepsional belaka, kadang-kadang dirasakan masih juga abstrak,
sehingga diperlukan definisi-definisi operasional yang akan dapat menjadi pegangan
konkrit didalam proses penelitian.29
Oleh karena itu, untuk menghindarkan terjadinya perbedaan pengertian
terhadap istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka dipandang perlu untuk
mendefinisikan beberapa konsep penelitian yang sesuai dengan makna variabel yang
dipakai dalam penelitian ini:
a. Khiyar adalah hak pilih, atau dengan kata lain hak salah satu pihak yang bertransaksi untuk meneruskan atau membatalkan akad.30
b. Akad secara konseptual atau dalam istilah syariah adalah hubungan atau
keterkaitan antara ijab dan qabul yang dibenarkan olehsyariah agama Islam dan memiliki implikasi hukum tertentu. Atau dengan kata lain merupakan
28
Satjipto Rahardjo,Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hal: 307
29Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press,1986), hal: 133
30
keterkaitan antara keinginan kedua belah pihak yang dibenarkan oleh syariah
dan menimbulkan implikasi hukum tertentu.31
c. Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.32
d. Penipuan adalah proses, cara, perbuatan menipu; perkara menipu
(mengecoh)33.
e. Hukum Islam adalah kumpulan norma-norma atau hukum–hukum syarak
yang mengatur tingkah laku manusia dalam berbagai dimensi hubungannya,
baik hukum-hukum itu ditetapkan langsung di dalam Al-Quran dan Sunnah
Nabi Saw. Maupun yang merupakan hasil ijtihad, yaitu interpretasi dan penjabaran oleh para ahli hukum Islam(fukaha)terhadap kedua sumber tadi.34 f. Perspektif adalah cara melukiskan suatu benda dan lain-lain pada permukaan
yang mendatar sebagaimana yang terlihat oleh mata dengan tiga dimensi
(panjang, lebar, tingginya); sudut pandang35
G. Metode Penelitian
Metode Penelitian berasal dari kata “Metode dan Logos”. Metode yang artinya adalah cara yang tepat untuk melakukan sesuatu danlogos yang artinya ilmu atau pengetahuan. Jadi metodologi artinya cara melakukan sesuatu dengan
31Ibid, hal: 20
32Pasal 1313 KUHPerdata
33Departemen Pendidikan Nasional,Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2005), hal: 1199
34
Syamsul Anwar,Hukum Perjanjian Syariah., ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hal: 5
35
menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan. Penelitian adalah
suatu keinginan untuk mencari, mencatat, merumuskan dan menganalisis sampai
menyusun laporannya.36
Penelitian sebagai suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara
sistematis, metodologis dan konsisten karena melalui proses penelitian tersebut
dilakukan analisis dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.
1. Jenis dan Sifat Penelitian.
Spesifikasi penelitian dalam tesis ini merupakan penelitian hukum. Penelitian
hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika
dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala
hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya juga diadakan pelaksanaan yang
mendalam terhadap fakta hukum tersebut kemudian mengusahakan suatu pemecahan
atau permasalahan-permasalahan yang timbul didalam gejala yang bersangkutan.
Untuk tercapainya penelitian ini, sangat ditentukan dengan metode yang
dipergunakan dalam memberikan gambaran dan jawaban atas masalah yang dibahas.
Ditinjau dari segi sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif analitis37 yaitu
analisis data yang dilakukan tidak keluar dari lingkup permasalahan dan berdasarkan
36 Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT. Bumi Aksara,
2002), hal: 1
37 Deskriptif analitis, artinya penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan secara cermat
teori atau konsep yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang
seperangkat data, atau menunjukkan komparisi atau hubungan seperangkat data
dengan seperangkat data yang lain.38
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, dimana dilakukan
pendekatan terhadap permasalahan yang telah dirumuskan dengan cara menganalisa
hukum yang tertulis dari bahan pustaka atau data sekunder belaka yang lebih dikenal
dengan nama bahan sekunder dan bahan acuan dalam bidang hukum atau bahan
rujukan bidang hukum yang berkaitan dengan khiyar yang dibahas dalam penelitian ini.
2. Sumber Data
a. Penelitian kajian yuridis mengenai “Hukum Khiyar Dalam Akad Yang
Mengandung Penipuan Dalam Perspektif Hukum Islam” menggunakan bahan
dari hasil penelitian kepustakaan yakni dengan pengumpulan bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yaitu:
1. Bahan hukum primer, yaitu studi kepustakaan, berupa dokumen-dokumen,
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer misalnya buku-buku yang berhubungan dengan
permasalahan, tulisan para ahli, makalah, hasil penelitian, karya ilmiah atau
hasil–hasil seminar yang relevan dengan penelitian ini.
3. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan atau
petunjuk terhadap bahan hukum primer dan sekunder misal kamus hukum,
38Bambang Sunggono,Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raya Grafindo Persada,
kamus fiqih, majalah, surat kabar, kamus bahasa Indonesia, internet, jurnal-jurnal.
3. Analisis Data
Didalam penelitian hukum normatif, maka analisa data hakekatnya berarti
kegiatan sistematis terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematis berarti membuat
klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut. Untuk memudahkan
pekerjaan analisis dan konstruksi.39
Sebelum analisis dilakukan, terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang telah dikumpulkan (primer, sekunder, maupun tersier) untuk mengetahui validitasnya, setelah itu, keseluruhan data tersebut akan disistimatisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dengan tujuan untuk memperoleh jawaban yang baik pula.40
Berdasarkan sifat penelitian yang menggunakan metode penelitian bersifat
deskriptif analitis, analisis data yang dipergunakan adalah pendekatan kualitatif
terhadap data sekunder.41
Adapun tahap-tahap dalam melakukan analisis secara kualitatif adalah42
a. Mengumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan yang diteliti.
b. Memilih kaidah-kaidah hukum atau doktrin yang sesuai dengan penelitian. c. Mensistematisasikan kaidah-kaidah, asas atau doktrin
d. Menjelaskan hubungan-hubungan antara berbagai konsep, pasal atau doktrin yang ada.
e. Menarik kesimpulan dengan pendekatan deduktif.
39Soejono Soekanto,Op. Cit., hal: 251 40Bambang Sunggono,Op. Cit., hal: 106 41
Zainuddin Ali,Metode Penelitian Hukum Nasional, Ind-Hill, Jakarta hal: 105
42Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta; PT. Raja
BAB II
KRITERIA AKAD YANG MENGANDUNG UNSUR PENIPUAN DALAM KETENTUAN HUKUM PERJANJIAN ISLAM
A. Pengertian Hukum Perjanjian Islam
Secara etimologis perjanjian dalam Bahasa Arab diistilahkan dengan
Mu’ahadah Ittida, atau Akad. Dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan kontrak ataupun perjanjian, perbuatan dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap seseorang lain atau lebih”.43
Dalam Hukum Islam khususnya Al-Quran sendiri setidaknya ada dua istilah
yang berkaitan dengan perjanjian44 yaitu kata akad ( al-‘aqdu) dan kata ‘ahd (al-‘ahdu), Al-Quran memakai kata pertama dalam arti perikatan atau perjanjian45, sedangkan kata yang kedua dalam Al-Quran berarti masa, pesan, penyempurnaan,
dan janji atau perjanjian. Akad ataual-‘aqdu dalam bahasa Arab berarti ikatan, atau perjanjian dan kesepakatan. Kata‘aqdu(ataual’aqd) sendiri mengacu pada terjadinya dua perjanjian atau lebih, yaitu bila seseorang mengadakan janji kemudian ada orang
lain yang menyetujui janji tersebut, serta menyatakan suatu janji yang berhubungan
dengan janji yang pertama, sehingga terjadilah perikatan dua buah janji dari orang
yang mempunyai hubungan antara yang satu dan yang lain, yang kemudian disebut
perikatan(‘aqd).
43Chairuman Pasaribu dan Suhrawadi K, Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam,( Jakarta:
Sinar Grafika, 2004), hal: 1.
44 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya
bakti, 2001), hal: 247
Rumusan akad di atas mengindikasikan bahwa perjanjian harus merupakan
perjanjian kedua belah pihak yang bertujuan untuk saling mengikatkan diri tentang
perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu hal yang khusus setelah akad secara
efektif mulai diberlakukan. Dengan demikian akad diwujudkan dalamijabdan qabul
yang menunjukkan adanya kesukarelaan secara timbal balik terhadap perikatan yang
dilakukan oleh kedua belah pihak yang harus sesuai dengan kehendak syariat. Artinya
bahwa seluruh perikatan yang diperjanjikan oleh kedua belah pihak atau lebih baru
dianggap sah apabila secara keseluruhan tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Dengan adanya ijab qabul yang didasarkan pada ketentuan syariat, maka suatu akad akan menimbulkan akibat hukum pada objek perjanjian yaitu terjadinya pemindahan
kepemilikan atau pengalihan kemanfaatan dan seterusnya.
Sebagaimana Hukum Islam yang berasal dari tiga sumber hukum, yaitu
Al-Qur’an, Hadits (sebagai dua sumber utama), sertaar-ra’yu atau akal pikiran manusia yang terhimpun dalam ijtihad. Hal ini berdasarkan Hadits Nabi Muhammad Saw,
yang dikenal dengan Hadits Mu’az46 maka sumber hukum Perjanjian Islam sendiri
berasal juga dari Al-Qur’an, al- Hadits, dan Ijtihad.47
46 “Pada suatu ketika Nabi Muhammad mengirimkan seorang sahabatnya ke Yaman ( dari
1. Al-Quran
Sebagai salah satu sumber hukum Islam utama yang pertama, dalam Hukum Perjanjian Islam, sebagian besar Al-Qur’an hanya mengatur mengenai kaidah-kaidah umum. Hal tersebut antara lain dapat dilihat dari isi ayat-ayat Al-Qur’an dibawah ini:
a. Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 188 yang artinya:
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain ddiantara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”.
b. Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 275 yang artinya:
“Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”.
c. Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 282 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (diantaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhoi, supaya jika seorang lupa, maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu lebih adil disisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabilah kami berjual-beli, dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
d. Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 283 yang artinya:
yang telah menuntun utusan Rasul-Nya” lihat Mohammad Daud Ali,Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islan di Indonesia, cet 8, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000 hal:68
47