• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM PERSPEKTIF

HUKUM ISLAM

T E S I S

Oleh

USAMMAH

037005027/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM PERSPEKTIF

HUKUM ISLAM

T E S I S

Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

USAMMAH

037005027/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Nama Mahasiswa : Usammah Nomor Pokok : 037005027 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui: Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. H. Abdullah Syah, MA) K e t u a

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S) (Prof. Muhammad Daud, S.H) A n g g o t a A n g g o t a

Ketua Program Studi D i r e k t u r

(Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal 24 Nopember 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua

: Prof. Dr. H. Abdullah Syah, MA

Anggota : 1. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., MS

2.

Prof. Muhammad Daud, SH (Alm)

3.

Prof. Chainur Arrasyid, SH

(5)

ABSTRAK

Pertanggungjawaban pidana hanya akan terjadi jika sebelumnya telah ada seseorang yang melakukan tindak pidana, sebaliknya eksistensi tindak pidana tidak tergantung pada apakah ada orang-orang yang pada kenyataannya melakukan tindak pidana tersebut. Terdapat sejumlah perbuatan yang tetap menjadi tindak pidana sekalipun tidak ada orang yang dipertanggungjawabkan karena telah melakukannya, dengan demikian tidak mungkin seseorang dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana jika yang bersangkutan tidak melakukan tindak pidana. Demikian juga di dalam hukum pidana Islam, seseorang itu belum dapat dipertanggungjawabkan manakala tidak ada perbuatan yang dilanggar. Atas dasar pemikiran tersebut maka menjadi fokus penelitian ini yaitu; Bagaimanakah eksistensi Asas dalam hukum pidana ditinjau dari perspektif hukum Islam, Faktor apakah yang melandasi pertanggungjawaban pidana dan Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana Nasional di lihat dari perspektif hukum Islam. Tujuan dari penelitian ini tidak lain untuk mengetahui eksistensi asas, faktor yang melandasinya dan untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana dalam perspektif hukum pidana Islam. Bentuk Penelitian ini normatif yang hanya menggunakan data sekunder, sifatnya deskriptif yang bertujuan untuk melukiskan tentang sesuatu hal pada tempat dan saat tertentu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Asas dalam hukum pidana baik pidana positif maupun hukum pidana Islam sama-sama memiliki sifat mengikat terhadap tindakan atau perbuatan yang dikategorikan dalam pidana, meskipun dalam hukum pidana positif asas legalitas telah diperlonggar. Faktor yang sangat utama adanya pertanggungjawaban pidana adalah tergantung pada terjadinya pelanggaran yaitu perbuatan melawan hukum atau kemaksiatan, term ini digunakan sebagai istilah yang sama baik dalam hukum pidana Islam maupun hukum pidana positif. Di samping itu pertanggungjawaban dapat ditegakkan atas tiga dasar; (1) Adanya perbuatan yang dilarang, (2) Dikerjakan dengan kemauan sendiri dan (3) Mengetahui akibat yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut. Pertanggungjawaban pidana dalam hukum Islam adalah pembebanan seseorang dengan hasil (akibat) perbuatan yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana ia mengetahui maksud-maksud dan akibat-akibat dari perbuatannya itu. Pembebanan tersebut dikarenakan perbuatan yang dilakukan itu adalah telah menimbulkan sesuatu yang bertentangan dengan hukum, dalam arti perbuatan yang dilarang secara syar’i, baik dilarang melakukan atau dilarang meninggalkan. Pembebanan juga dikarenakan perbuatan itu sendiri dikerjakan berdasarkan keinginan dan kehendak yang timbul dalam dirinya bukan dorongan yang ditimbulkan oleh orang lain secara paksa (dipaksakan).

(6)

ABSTRACT

Criminal responsibility will not be required until someone performs a criminal act, but the existence of criminal act does not depend on whether or not there is someone who in reality does the criminal act. There are the number of actions which become criminal acts even though there is no body to be responsible for having done them, therefore, in criminal law, it is impossible to ask someone to be responsible if he/she never does a criminal act. That someone cannot be asked for his/her responsibility if he/she does not anything against the law is also stated in Islamic criminal law. Based on this principle, the purpose of this descriptive normative study is to analyze (1) the existence of principle in criminal law according to the perspective of Islamic law, (2) the factor that base the criminal responsibility, and (3) the national criminal responsibility according to the perspective of Islamic law. The data for this study were obtained from the secondary data showing the issues which occurred in a certain place and in a certain time. The result of this study shaws that the principle in criminal law, either in positive criminal law or in Islamic criminal law, has a binding nature for anything categorized as criminal act although in the positive criminal law the principle of legality has become loose. The main factor that causes the existence of criminal responsibility depends on the incident of offence such as breaking the law immoral acts and this term is also used in both the Islamic criminal law and the positive criminal law. In addition, this criminal responsibility can be maintained based on 3 (there) basis such as (1) performing illegal act, (2) on own will, and (3) realizing its consequences. In Islamic criminal law, criminal responsibility is a burden imposed on someone as the result of the illegal act(s) he/she did on his/her own will while he/she knew, understood and realized what the consequences would be. This burden not only resulted from performing the act which is prohibited by Islamic law (syar’i) either it is an act which is prohibited to do it or the one which is prohibited to leave it, but also because the doer deliberately did the illegal act not because he/she was made to do it by somebody else.

(7)

KATA PENGANTAR

Pertama dan yang paling utama saya panjatkan puji dan syukur ke hadhirat

Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, atas segala rahmat serta

karunia-Nya sehingga segala proses menjadi mudah dan tesis ini dapat saya

selesaikan.

Saya menyadari bahwa dalam menyelesaikan tesis ini tidak luput dari bantuan

berbagai pihak, baik yang bersifat bantuan materil maupun bantuan moril. Oleh

karena itu, saya ingin mengucapan terimakasih yang terdalam kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H,

Sp.A(K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada saya untuk

mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister;

2. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Ir. T.

Chairun Nisa B, M.Sc, atas kesempatan bagi saya menjadi mahasiswa Program

Magister pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Ketua Program Studi ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera

Utara, Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, atas segala pelayanan, pengarahan

serta masukan yang diberikan kepada saya selama menuntut ilmu pengetahuan di

Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera

Utara.

4. Terimakasih yang sedalam-dalamnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya

(8)

Pembimbing dan Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS serta Prof. Muhammad Daud,

SH, (Alhm) selaku Anggota Komisi Pembimbing yang dengan penuh perhatian

telah memberikan bimbingan, arahan, petunjuk dan ide yang terbaik serta kritik

dan saran yang konstruktif demi tercapainya hasil yang terbaik dalam penulisan

tesis ini.

5. Prof. Chainur Arrasyid, SH dan Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum, selaku

penguji tesis penulis.

6. Seluruh Dosen penulis Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang

telah banyak memberikan ilmu serta motivasi dalam setiap perkuliahan.

7. Orang tua tercinta, Ayahanda Abdul Hamid, Ibunda Zahirah yang telah

mencurahkan semua kasih sayang kepada ananda serta tidak pernah henti

memberikan dukungan baik itu materil maupun moril serta do’anya yang terus

terucap demi kesuksesan ananda.

8. Isteri yang tercinta yang telah memberi dukungan sepenuhnya baik moril maupun

materil serta anak-anak yang menjadi kebanggaan dan harapan penulis

9. Terimakasih pada bapak Drs. H. Hafifuddin, M.Ag dan juga teman-teman mitra

kerja di Jurusan Syari’ah STAIN Malikussaleh Lhokseumawe; Malahayati,

Taufiq, Bastiar, Zamri, Abrar, Mahdi, Danial, Husnaini dan banyak lagi juga

menjadi semangat/motivator dalam penyelesaian tesis ini.

10.Seluruh Staf Pegawai di Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara atas segala bantuannya serta kemudahan yang

(9)

Akhirnya penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah

turut membantu dalam penyelesaian tesis ini. Semoga segala bantuan dan bimbingan

yang penulis terima dibalas oleh Allah SWT dan penulis berharap semoga tesis ini

dapat bermanfaat bagi semua pihak, terutama bagi penulis dan pihak-pihak yang

memerlukan dan mengembangkannya.

Medan, 24 Nopember 2008

Penulis

(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap : U s a m m a h

Tempat/Tanggal Lahir : Lhokseumawe / 14 Maret 1969

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

S t a t u s : Kawin

Pendidikan : - SD Negeri Uteun Bayi Lhokseumawe, 1982

- MTsN Lhokseumawe, 1985

- PGA Negeri Lhokseumawe, 1988

- Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Darussalam

Banda Aceh, 1994

- Program Magister Ilmu Hukum Sekolah

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ……… i

ABSTRACT ……… ii

KATA PENGANTAR ……… iii

RIWAYAT HIDUP ……….….……..………….…..…..….….… vi

DAFTAR ISI ………..……….………. vii

DAFTAR TABEL .……….………...……….……….… x

DAFTAR GAMBAR ....….……….. xi

BAB I : PENDAHULUAN ……….….. 1

A. Latar Belakang Masalah ……….…..….….……... 1

B. Perumusan Masalah ….……… 12

C. Tujuan Penelitian ………. 12

D. Manfaat Penelitian ….……….. 12

E. Keaslian Penelitian ….……….. 13

F. Metode Penelitian ….………. 13

1. Metode Pendekatan, Sifat dan Bentuk Penelitian ……...…. 13

2. Data dan Sumber Data ………..……. 14

3. Pengumpulan dan Pengolahan Data ………..….. 15

4. Analisis Data ………... 16

G. Kerangka Teoretis dan Kerangka Konsepsional ……...………… 16

a. Kerangka Teoritis ………... 16

b. Kerangka Konsepsional ………. 21

BAB II : EKSISTENSI ASAS DALAM HUKUM PIDANA ISLAM …. 33 A. Asas Hukum Pidana Nasional………. 33

(12)

1. Asas legalitas ……….. 43

2. Asas tidak berlaku surut ……… 48

3. Asas praduga tak bersalah ……….. 52

4. Tidak sahnya hukuman karena keraguan ……… 53

C. Eksistensi Hukum Islam ………. 54

BAB III : FAKTOR-FAKTOR YANG MELANDASI PERTANGGUNG- JAWABAN PIDANA ……….…….…..…..……... 61

A. Arti dan Dasar Pertanggungjawaban Pidana ..…….……….…….. 61

B. Objek Pertanggungjawaban Pidana ……….... 66

1. Manusia ……….………. 67

2. Badan Hukum ………... 68

C. Faktor-Faktor Pertanggungjawaban pidana dan Tingkatannya ….. 71

1. Adakalanya sengaja (al-‘Amdu) .….….……….…...….…… 73

2. Adakalanya menyerupai sengaja (syibhul ‘amdi) ………….. 74

3. Adakalanya keliru (al Khata’) ……… 75

4. Adakalanya menyerupai kekeliruan ……… 75

BAB IV : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM HUKUM - ISLAM ………..…….……… 77

A. Kemampuan Bertanggungjawab ……..…….….….……….. 77

B. Unsur-unsur Pertanggungjawaban Pidana ….….………... 82

1. Adanya unsur melawan hukum ……….. 83

2. Adanya kesalahan ………..………….. 85

C. Hapusnya Pertanggungjawaban Pidana ….…..………. 87

1. Disebabkan perbuatan mubah (asbab al ibahah) ……… 90

(13)

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ………. 106

A. Kesimpulan ……….. 106

B. Saran-saran ………. 109

(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara yang berdasarkan kepada hukum (rechtstaat),

sebagaimana yang disebutkan dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara

Indonesia (UUD 1945) yaitu Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat),

tidak berdasarkan kekuasaan belaka (macht staat).1 Dengan tujuan sebagaimana

disebutkan di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu melindungi

segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan

ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial berdasarkan

Pancasila.

Oemar Seno Adji berpendapat bahwa Negara Hukum Indonesia memiliki ciri

khas Indonesia, karena mempunyai pandangan hidup bernegara yaitu Pancasila dan

Pancasila harus diangkat sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka Negara

Hukum Indonesia dapat pula dinamakan Negara Hukum Pancasila.2 Sebagai Negara

Hukum yang bersumber dari Pancasila maka sudah barang tentu produk hukum yang

1

Lihat, penjelasan umum tentang Undang-Undang Dasar Negara Indonesia (pasca Amandemen)

2

Oemar Senoadji, "Peradilan Bebas Negara Hukum" dalam Muhammad Tahir Azhary,

(17)

dilahirkan merupakan suatu cita-cita atau nilai yang diserap dari norma-norma

kehidupan masyarakat serta budayanya.

Timbul pertanyaan, apakah penggunaan kata-kata rechtsstaat tersebut,

Indonesia merupakan negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental

ataukah sistem pemerintahan Anglosaxon. Walaupun Negara Indonesia menggunakan

kata rechtsstaat di dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia,

namun sistem hukum yang digunakan bukan kedua-duanya. Karena konsep negera

hukum Pancasila sendiri mempunyai ciri-ciri antara lain3 :

1. Ada hubungan yang erat antara Agama dengan negara 2. Bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa

3. Kebebasan beragama dalam arti positif

4. Ateisme tidak dibenarkan dan Komunisme dilarang 5. Azas kekeluargaan dan kerukunan.

Selain ciri-ciri tersebut di atas, Oemar Seno Adji menyebutkan bahwa adanya

perlindungan tentang hak asasi manusia yang dijunjung tinggi, suatu kekuasaan

kehakiman yang bebas, adanya asas legalitas, substansial dan formal, juga diterima

sebagai Negara hukum Pancasila baik secara sistem Common Law maupun Civil Law

dan Social Legality.4

Dengan melihat pada ciri-ciri negara hukum Indonesia, maka hukum yang

digunakan tidak saja hukum tertulis akan tetapi hukum tak tertulis juga dapat

3

Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum:Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya dilihat dari segi Hukum Islam, Implementasinya pada periode Negara Madinah dan masa kini, Muhammad Tahir Azhary, ed. 2, Cet. I, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hal. 97

4

(18)

dijadikan sebagai hukum. Hukum yang menjadi rambu pengendali dapat diwujudkan

dalam beberapa bentuk peraturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang,

Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan sebagainya. Di samping itu sudah

menjadi asas umum dalam sistem hukum di Indonesia bahwa Undang-Undang lebih

tinggi kedudukannya dari peraturan lainnya.

Hukum pidana yang kini berlaku di Indonesia yang dikenal dengan Kitab

Undang-undang Hukum Pidana, selanjutnya disingkat dengan KUHP, merupakan

Kitab Undang-Undang peninggalan penjajahan Belanda yang dilandasi oleh falsafah

yang berbeda dengan falsafah yang dianut oleh bangsa Indonesia. Walaupun

demikian KUHP tersebut sudah dilakukan perubahan sejak tahun 1981 dan selesai

pada awal tahun 19935 yang seterusnya sampai dengan tahun 2000 telah dihasilkan

sebuah Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia.

Hukum pidana merupakan hukum tentang penjatuhan sanksi, ikhwal

penegakan norma-norma (aturan-aturan) oleh alat kekuasaan (negara) yang ditujukan

untuk melawan dan memberantas perilaku yang mengancam keberlakuan norma

tersebut lebih tampak di sini dibandingkan dalam bidang-bidang hukum lainnya,

hukum pidana karena itu pertama-tama adalah hukum (tentang) sanksi.

5

(19)

"Hukum pidana merupakan lingkaran terluar dari hukum" demikian pernah

dikatakan oleh G.E. Mulder, Guru Besar Emeritus Hukum Pidana dari Universitas

Nijmegen.6 Bila dibandingkan dengan hukum Sipil yang menyoalkan tentang

pentaatan kepada hukum dan persoalan ganti rugi. Hukum pidana tidak menawarkan

tentang perlindungan menyeluruh atas kepentingan dan kebendaan hukum akan tetapi

hukum pidana mengupayakan melawan sebagian kecil dari bentuk-bentuk

pelanggaran hukum. Hukum pidana juga menjaga dan mempertahankan norma-norma

materil secara 'fragmentaris'.7

Di dalam KUHP diatur batas-batas berlakunya aturan pidana, dasar

penghapus, pemberat dan peringan pidana, penyertaan melakukan tindak pidana, serta

gabungan tindak pidana dan sebagainya.8 Masalah pidana atau pemidanaan dalam

sejarahnya selalu mengalami perubahan, hal mana merupakan suatu yang wajar

dalam perkembangan manusia, karena itu manusia selalu berupaya untuk

memperbaharui tentang suatu hal demi meningkatkan kesejahteraannya dengan

mendasarkan diri pada pengalamannya di masa yang lalu. Pidana dan pemidanaan

terkait erat dengan filosofi pemidanaan, sebagai filsafat sudah barang tentu akan

selalu mengalami ketidakpuasan. Karena itu Guru besar hukum pidana di Universitas

Leiden, Van der Hoeven menyatakan dengan nada kecewa bahwa ahli-ahli hukum

6

Jan Remmelink, Hukum Pidana…, Ibid., hal. 7

7

Jan Remmelink, Hukum Pidana…, Ibid.., hal. 8

8

(20)

pidana tidak dapat menjelaskan tentang dasar-dasar dari hak memidana dan juga

sebab apa kita memidana.9

Sistem pidana dan pemidanaan yang dikembangkan dalam aliran klasik pada

abad ke XVIII dengan paham indeterminisme, yaitu dengan menekankan pada

perbuatannya, bukan pada pelakunya. Namun aliran ini ditentang oleh aliran modern

yang lahir pada abad ke XIX yang mencari sebab kejahatan dengan memakai metode

ilmu alam dan bermaksud untuk langsung mendekati atau mempengaruhi penjahat

secara posistif sejauh dia masih dapat diperbaiki. Dalam perkembangannya aliran

neo-klasik mulai mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan terhadap pelaku

tindak pidana, aliran ini dipengaruhi oleh aliran modern dengan prinsip

individualisasi pidana adalah modifikasi dari doktrin kebebasan berkehendak dan

doktrin pertanggungjawaban pidana. Akibat dari pengaruh aliran tersebut

diperkenankannya adanya kesaksian ahli (expert testimony) untuk menentukan derajat

pertanggungjawaban pidana.10 Dari itu muncullah ide individualisasi pidana dengan

karakteristik antara lain:11

1. Pertanggungjawaban pidana bersifat pribadi/perorangan (asas personal); 2. Pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (asas culpabilitas; 'tiada

pidana tanpa kesalahan')

3. Pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si pelaku, ini berarti harus ada kelonggaran/fleksibelitas bagi hakim dalam memilih sanksi

9

M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, Cet. I, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 2

10

Muladi dan Barda Nawawi Arief dalam Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, M. Sholehuddin, Cet. I, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 27

11

(21)

pidana (jenis maupun berat ringannya sanksi) dan harus ada kemungkinan modifikasi pidana (perubahan/penyesuaian) dalam pelaksanaannya

Di dalam konsep hukum pidana Indonesia didasarkan kepada perbuatan dan

pembuatannya, dua hal ini harus menjadi sokoguru dari hukum pidana yang

kemudian menjadi azas pokok yaitu azas legalitas dan azas kesalahan yang ditetapkan

dalam pasal tersendiri yaitu Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 28, maka tentang tindak pidana

dan pertanggungjawaban pidana diberi keterangan yang lebih jelas, masing-masing

dalam Pasal 12 dan Pasal 27.12 Pada Pasal 27 konsep KUHP 1982/1983 menyatakan

pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang obyektif ada pada

tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku secara obyektif kepada pembuat

yang memenuhi syarat-syarat undang-undang untuk dapat dikenai pidana karena

perbuataanya.13 Dasar adanya tindak pidana merupakan azas legalitas sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1). Orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan

dijatuhi pidana jika ia tidak melakukan tindak pidana.

Pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, terutama dibatasi pada

perbuatan yang dilakukan dengan sengaja (dolus), dapat dipidananya delik culpa

hanya bersifat pengecualian (eksepsional) apabila secara tegas oleh Undang-undang

mengaturnya. Sedangkan pertanggungjawaban terhadap akibat-akibat tertentu dari

suatu tindak pidana yang oleh Undang-undang diperberat ancaman pidananya, hanya

12

Djoko Prakoso, Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, Edisi Pertama, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1987), hal. 67

13

(22)

dikenakan kepada terdakwa apabila ia sepatutnya telah dapat menduga kemungkinan

terjadinya akibat itu atau apabila sekurang-kurangnya ada kealpaan.14

Di samping hukum pidana dari civil law15 dan dari common law16, semestinya

para ahli hukum pidana juga menerima keberadaan hukum pidana Islam, sayangnya

di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam tidak digagas untuk

penerapan hukum pidana Islam. Barangkali hukum pidana Islam dianggap sebuah

hukum yang kejam.17 Pada hal penerapan sanksi hukumannya tidak bisa dilakukan

jika tidak terdapat bukti-bukti dan saksi-saksi yang kuat dan akurat.

Hukum modern seperti KUHP di Indonesia, dalam penerapannya dikenal

dengan beberapa asas, sementara dalam hukum pidana Islam juga telah dikenal asas

yang sama sebagaimana dikenal dalam hukum modern. Seperti asas legalitas yaitu

Nullum Deliktum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali (tiada delik tiada hukuman

sebelum ada ketentuan terlebih dahulu), hukum pidana Islam juga mengenal hal

seperti itu sebagaimana disebutkan dalam Al~Qur`an18 dan sebagainya.

14

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Edisi Kedua Edisi Revisi, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 86

15

Dianut di Negara-negara Eropa Kontinental dan bekas jajahannya seperti India, Perancis, Jerman, Belanda, Mesir, Indonesia dan sebagainnya

16

Dianut di Negara-negara Anglosaxon (Inggris) dan bekas jajahannya seperti Ingris, Malaysia, Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Kanada dan sebagainnya

17

Hukum Islam dianggap kejam hanya dilihat dari segi penerapan sanksi hukumannya saja seperti potong tangan bagi para pencuri, cambuk 80 kali bagi perampok dan pemabuk, cambuk 100 kali atau rajam sampai mati bagi penzina laki-laki ataupun perempuan, dan sebagainya. Namun tidak di lihat kenapa sanksi hukuman yang seperti itu diterapkan tidak lain adalah untuk melindungi hak-hak yang ada pada ummatnya.

18

(23)

Terjadi perselisihan dan perbedaan pendapat tentang baik atau tidak baik,

cocok atau tidak cocok penerapan hukum pidana Islam di Indonesia, manakala

muncul persoalan tentang sanksi hukumannya yang dianggap sangat kejam dan tidak

berperikemanusiaan. Pada hal apabila diteliti dari sudut pandang Islam itu sendiri,

maka akan terlihat jauh lebih baik dan bahkan hukum pidana Islam juga telah

memenuhi prinsip-prinsip hukum pidana modern bahkan telah mendahuluinya.19

Pertanggungjawaban pidana di dalam hukum Islam merupakan pembebanan

kepada seseorang sebagai akibat perbuatannya (atau tidak berbuat dalam delik

omisi20) yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana ia mengetahui

maksud-maksud dan akibat-akibat dari perbuatannya itu.21 Pertanggungjawaban pidana

tersebut ditegakkan atas tiga hal,22 yaitu :

1. Adanya perbuatan yang dilarang 2. Dikerjakan dengan kemauan sendiri

3. Pembuatnya mengetahui terhadap akibat perbuatan tersebut.

Kalau ketiga aspek tersebut dimiliki oleh seseorang dalam suatu perbuatan, maka

akan terdapat pertanggungjawaban pidana namun apabila aspek tersebut tidak

19

Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam…, Op Cit, hal. 10

20

Kata omisi atau ommision berarti tidak melakukan perbuatan yang menjadi lawan dari kata komisi atau komission yang berarti melakukan perbuatan yang berakibat kepada adanya hukuman atau ancaman hukuman. Lihat juga E.Utrecht dalma Hukum Pidana I, yang menyebutkan bahwa delik omissionis adalah pelanggaran sesuatu yang diperintah dengan kata lain delicta ommisionis adalah tidak membuat sesuatu yang oleh undang-undang pidana diperintahkan sedangkan delik commissionis adalah pelanggaran sesuatu yang dilarang, dengan kata lain delicta commissionis adalah membuat seseuatu yang oleh undang-undang pidana dilarang.

21

Hanafi dalam Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam:Penegakan Syari'at dalam wacana dan agenda, Cet. II, (Jakarta: Asy Syaamil Press dan Grafika, 2001), hal. 166

22

(24)

terpenuhi maka kepada seseorang tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban

pidana.

Dengan adanya syarat tersebut terlihat bahwa yang dapat dibebani

pertanggungjawaban pidana hanyalah orang dewasa, mempunyai akal pikiran yang

sehat serta mempunyai kemauan sendiri. Apabila tidak, maka tidak ada

pertanggungjawaban pidana padanya, sehingga dia punya akal pikiran yang bisa

memahami dan mengetahui serta mempunyai pilihan terhadap apa yang akan

dilakukannya. Karenanya pertanggungjawaban pidana tidak bisa dimintakan kepada

orang gila, anak-anak, orang dungu, dan orang yang sudah hilang kemauan serta

orang yang dipaksa dan terpaksa. Dengan kata lain bahwa pelaku tindak pidana yang

dapat dimintakan pertanggungjawaban adalah ia mukallaf, yaitu yang dapat

dipertanggungjawabkan perbuatan pidana.

Berdasarkan hal ini, syari'at Islam tidak mengenal tempat tanggungjawab

pidana kecuali manusia hidup, mukallaf yang menikmati kebebasan memilih pada

saat berbuat. Nash-nash syari'at menegaskan makna ini dengan jelas malalui sabda

Rasulullah SAW, yang menyatakan :23

"Pena diangkat dari tiga hal: dari anak-anak sampai dia mimpi, dari orang tidur sampai terjaga dan dari orang gila sampai ia waras"

"Tidak dituntut dari ummatku kesalahan, kelupaan dan apa yang dipaksakan kepada mereka"

23

(25)

dan Allah berfirman:24

"....tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pila) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya….."

Karena itu konsep pertanggungjawaban pidana dalam al Qur`an adalah bahwa

seseorang mukallaf telah melakukan perbuatan yang haram atau yang dilarang oleh

agama.

Syari'at Islam berpendapat bahwa pertanggungjawaban atas suatu tindakan

kejahatan dipikul oleh si penjahat itu sendiri. Dengan demikian dibatalkan sistem

pertanggungjawaban yang berlaku di zaman jahiliyah dalam masalah kejahatan

pembunuhan, dimana suatu suku harus memikul tanggungjawab atas perbuatan yang

dilakukan oleh salah seorang anggota suku tersebut.25 Dalam kaitan itu al-qur`an

menyatakannya dalam surat al-Baqarah; 178, yang artinya:

"Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita, maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula, yang demikian itu suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat, barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih"

24

Al Qur`an Surat al Baqarah: 173

25

(26)

Di dalam Fiqh Jinayat, pertanggungjawaban pidana didasarkan kepada tiga

prinsip,26 Pertama; Melakukan perbuatan yang dilarang dan atau meninggalkan

perbuatan yang diwajibkan, Kedua; Perbuatan tersebut dikerjakan atas kemauan

sendiri, artinya si pelaku memiliki pilihan yang bebas untuk melaksanakan atau tidak

melakukan perbuatan tersebut, Ketiga; si pelaku mengetahui akan akibat perbuatan

yang dilakukan.

Hukuman yang merupakan cara pembebanan pertanggungjawaban pidana

dimaksudkan untuk memelihara ketertiban dan keamanan masyarakat, dengan kata

lain sebagai alat menegakkan kepentingan masyarakat, karenanya besarnya hukuman

harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kesadaran masyarakat.

Pada dasarnya pengertian pertanggungjawaban pidana dalam hukum positif

dengan pertanggungjawaban pidana dalam hukum Islam (syari'at Islam) tidak jauh

beda, hanya saja beberapa bentuk hukum positif yang menegakkan

pertanggungjawaban pidana atas filsafat jabar (determinisme, fatalisme)27

Berkaitan dengan uraian di atas, maka menarik untuk diteliti tentang asas-asas

dalam pertanggungjawaban pidana dan faktor-faktor serta pertanggungjawaban

pidana di lihat dari perspektif hukum Islam, dengan harapan ditemukannya konsep

yang tepat dalam perspektif hukum Islam.

26

A. Djazuli, Fiqh Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, Edisi Revisi, Cet. Ketiga, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 242

27

(27)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka yang menjadi pokok

permasalahannya adalah :

1. Bagaimanakah eksistensi Asas dalam hukum pidana ditinjau dari perspektif

hukum Islam ?

2. Faktor apakah yang melandasi pertanggungjawaban pidana ?

3. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana nasional di lihat dari perspektif

hukum Islam ?

C. Tujuan Penelitian

Berpedoman pada uraian yang terdapat dalam perumusan masalah, maka

tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan asas dalam konsep pertanggungjawaban

pidana menurut hukum Islam

2. Untuk mengetahui dan menjelaskan faktor-faktor yang melandasi

pertanggungjawaban pidana

3. Untuk mengetahui dan menjelaskan pertanggungjawaban pidana Nasional di lihat

dari perspektif hukum Islam.

D. Manfaat Penelitian

Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi

(28)

hukum pidana Islam dalam kajian tentang pertanggungjawaban pidana. Penelitian ini

juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat

perundang-undangan khususnya hukum pidana Indonesia.

Secara praktis, penelitian ini ditujukan kepada para kalangan praktisi hukum

positif ataupun para pakar hukum Islam di dalam penerapannya di Indonesia. Di

samping itu juga sebagai bahan penelitian lanjutan, yang diharapkan dapat memberi

andil bagi perkembangan hukum pidana baik hukum pidana positif maupun hukum

pidana Islam di Indonesia.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran yang penulis lakukan di Perpustakaan Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, bahwa belum ada tesis yang membahas

tentang Pertanggungjawaban Pidana dalam Perspektif Hukum Islam, jadi penulisan

tesis ini dapat dikatakan "asli dan jauh dari unsur plagiat" yang bertentangan dengan

azas-azas keilmuan yang jujur, rasional, obyektif dan terbuka, sehingga dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan, Sifat dan Bentuk Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian hukum normatif yang

(29)

terdapat di dalam perundang-undangan. Sifat penelitian ini adalah deskriptif, yang

bertujuan untuk melukiskan tentang sesuatu hal pada tempat dan pada saat tertentu

dengan menuturkan dan menafsirkan data (bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder, serta bahan hukum tertier) untuk pemecahan masalah. Sedangkan bentuk

penelitian adalah preskriptif, yaitu memberikan gambaran atau merumuskan

permasalahan sesuai dengan keadaan/fakta yang ada.28

2. Data dan Sumber Data

Oleh karena penelitian ini tergolong penelitian hukum normatif, maka data

yang diperlukan hanya data sekunder. Data sekunder yang diperlukan itu adalah

bahan hukum29 primer yang bersumber dari sumber primer, yaitu

perundang-undangan yang relevan dengan rumusan masalah. Selain bahan hukum primer juga

diperlukan bahan hukum sekunder yang bersumber dari sumber sekunder, yaitu

buku-buku literatur ilmu hukum dan tulisan-tulisan hukum lainnnya yang relevan dengan

rumusan masalah. Diperlukan juga bahan hukum tertier, seperti Rancangan

28

Alvi Syahrin, Penelitian Hukum Normatif, Kuliah Kedua pada Program Magister Bidang Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan tanggal 2 Maret 2004

29

(30)

Undang, Undang-Undang, Kamus Hukum dan Kamus Bahasa Indonesia bahkan

Ensiklopedi baik hukum maupun umum

3. Pengumpulan dan Pengolahan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka30 yang meliputi sumber

primer, yaitu perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan. Sumber

sekunder, yaitu buku-buku literatur ilmu hukum terutama tentang hukum Pidana serta

tulisan-tulisan hukum lainnya termasuk media Internet untuk mengakses bahan-bahan

hukum yang relevan dengan permasalahan. Sumber tertier, yaitu Rancangan

Undang-undang, Undang-Undang, Kamus Hukum dan Kamus Bahasa Indonesia serta

ensiklopedi. Studi pustaka dilakukan melalui tahap-tahap identifikasi sumber data,

identifikasi bahan hukum yang diperlukan dan inventarisasi bahan hukum (data) yang

diperlukan tersebut. Data yang sudah terkumpul kemudian diolah melalui tahap

pemeriksaan (editing), penandaan (coding), penyusunan (reconstructing),

sistematisasi berdasarkan pokok bahasan dan sub pokok bahasan yang diidentifikasi

dari rumusan masalah (systematizing).31

30

Studi pustaka adalah pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas serta dibutuhkan dalam penelitian hukum normatif. Lihat: Abdulkadir Muhammad. Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hlm. 81

31

(31)

4. Analisis Data

Data yang berupa dari berbagai sumber baik bahan hukum (data) hasil

pengolahan tersebut dianalisis secara kualitatif, komprehensif dan lengkap,32

kemudian dilakukan pembahasan. Berdasarkan hasil pembahasan kemudian diambil

kesimpulan sebagai jawaban terhadap permasalahan yang diteliti.

G. Kerangka Teoretis dan Kerangka Konsepsional

a. Kerangka Teoritis

Islam adalah agama para Rasul dan Nabi seluruhnya, dari sejak Nabi Adam.as

sampai kepada Nabi Muhammad SAW yang menjadi pemungkas risalah-risalah

Allah SAW.33 Islam merupakan agama penyempurnaan terhadap ajaran-ajaran agama

yang dibawakan oleh Nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad SAW, dimana Islam

memberikan tuntunan aqidah, syari'ah dan mu'amalat, kesemuanya itu tidak lain

adalah untuk kemaslahatan ummat. Islam tidak saja berkisar antara ibadah-ibadah

yaitu menyusun ulang data secara teratur, berurutan, logis, sehingga mudah dipahami dan diinterpretasikan; dan sistematisasi berdasarkan pokok bahasan dan sub-pokok bahasan yang diidentifikasi dari rumusan malasah (systematizing), Ibid, hal. 126

32

Analisis kualitatif artinya menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih, dan selektif, sehngga memudahkan interpretasi data dan pemahaman hasil analisis. Konprehensif artinya analisis data secara mendalam dari berbagai aspek sesuai dengan lingkup penelitian. Lengkap artinya tidak ada bagian yang terlupakan, semuanya sudah masuk dalam analisis. Analisis data dan interpretasi seperti ini akan menghasilkan produk penelitian hukum normatif yang bermutu dan sempurna. Ibid. hlm.127

33

(32)

yang rutinitas tetapi Islam membawa dan mengajarkan kepada ummatnya seluruh

persoalan yang dihadapi dalam kehidupan dunia.

Dengan demikian Islam adalah aqidah, ibadah, manhaj kehidupan dan

dukungan-dukungan penguatnya, seperti tergambar dalam tabel berikut ini.34

Jihad, amar makruf, zakat, puasa dan haji, dan aqidah yaitu dua syahadat,

Gambar 1. Bangunan Islam dalam kehidupan

Islam memiliki pandangan yang unik tentang kejahatan dan hukuman diantara

semua sistem yang ada di permukaan bumi ini. Islam memiliki komitmen teguh

terhadap keadilan absolut yang sedapat mungkin untuk diwujudkan dalam

kemaslahatan kehidupan masyarakatnya. Karena itu semua kejahatan yang dilarang

34

(33)

dalam Islam merupakan perbuatan yang melahirkan kekacauan dan merusak

keamanan serta ketertiban dalam masyarakat.

Bila dikaji lebih mendalam posisi hukum di Indonesia, khususnya hukum

Islam ternyata masih belum dapat diterapkan secara sempurna, ini mengingat bukan

saja karena penduduknya yang notabene pemeluk agama Islam akan tetapi karena

negara Indonesia bukan negara Islam. Namun demikian kedudukan hukum Islam di

bidang keperdataan di Indonesia mendapat tempat yang sangat bagus dalam hukum

positif yang merupakan modifikasi norma-norma agama yang kemudian dirumuskan

dalam bentuk peraturan perundang-undangan, maka lahirlah Undang-Undang No. 7

Tahun 1998 tentang Peradilan Agama. Lalu bagaimana dengan hukum Islam di

bidang pidana, ternyata belum mendapat tempat yang bagus, buktinya hukum pidana

Islam dianggap hukum yang mempunyai sifat yang sangat kejam dan tidak selaras

dengan perkembangan zaman modern35. Pada hal hukum Islam secara spesifik lebih

dari semua hukum manusia dan dapat dipertahankan disetiap zaman.36

Hukum pidana positif merupakan hukum publik, dimana hukum pidana

tersebut memberikan dan menetapkan sanksi pada perlanggaran norma lainnya.

Norma hukum itu adalah norma hukum yang dianggap sangat penting bagi

35

ada dua kelompok besar yang berbeda memegang pendapat bahwa sistem hukum Islam tidak selaras dengan perkembangan zaman. Kelompok pertama, mereka yang tidak punya pengetahuan baik hukum Islam maupun hukum modern sementara kelompok yang kedua, mengenal hukum modern tetapi tidak tahu apa-apa tentang hukum Islam, lihat Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam: penerapan syari'at Islam dalam konteks modernitas, hal. 16

36

(34)

kelangsungan hidup masyarakat yang aman dan tertib. Oleh sebab itu hukum pidana

pada umumnya memuat aturan-aturan hukum yang mengikat kepada

perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat tertentu, suatu akibat yang berupa pidana. Maka

dengan syarat tersebut melahirkan suatu perbuatan pidana yang dapat

dipertanggungjawabkan.

Sejalan dengan itu maka KUHP Indonesia memuat dua hal pokok yaitu;

Pertama, memuat pelukisan dari perbuatan-perbuatan orang yang diancam pidana,

yaitu syarat yang harus dipenuhi yang memungkinkan Pengadilan menjatuhi

hukuman kepada si pelanggar. Kedua, menetapkan dan mengumumkan reaksi apa

yang akan diterima orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu.37

Aturan hukum pidana karena itu menjaga dan mempertahankan

kepentingan-kepentingan. Memberikan sanksi untuk pencuri, karena menjaga kepentingan harta

benda seseorang dari memiliki barang yang tidak sah, memberi sanksi terhadap

penghinaan agar menjaga dan mempertahankan ketertiban dalam masyarakat dan

sebagainya. Semua itu diatur dalam hukum pidana dengan mengedepankan asas

bahwa tiada di pidana seseorang jika tidak ada aturannya, di samping itu asas dalam

hukum pidana tidak berlaku surut terhadap perbuatan pidana yang belum ada

aturannya. Asas ini yang terdapat dalam Al-Qur`an, yang menekankan bahwa hukum

baru berlaku kalau risalahnya telah sampai kepada ummat atau masyarakat yang

bersangkutan.

37

(35)

Adapun yang menjadi teori, yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori

tentang tindak pidana yang berkaitan dengan kesalahan, karena kesalahan dan

pertanggungjawaban pidana erat kaitannya. Karena adanya kesalahan menyebabkan

terjadinya pertanggungjawaban, akan tetapi yang terlihat menunjukkan pada sebuah

kenyataan di lapangan, yang mana terjadi perbedaan dalam praktek hukum yaitu tidak

ada satu kesamaan dalam memahami satu bentuk kesalahan dan pertanggunjawaban.

Salah satu pandangan yang dikemukakan oleh Schaffmeister menyebutkan bahwa

penggunaan kesalahan sebagai dasar pemidanaan bukan suatu keharusan menurut

perundang-undangan empiris akan tetapi asas normatif.38 Pendapat yang hampir

sama juga dikemukakan oleh Curzon, yang menyatakan bahwa untuk dapat

mempertanggungjawabkan seseorang dan karenannya mengenakan pidana

terhadapnya.39

Schaffmeister menyatakan bahwa istilah kesalahan mempunyai arti yang

berbeda jangkauan dan isinya, yaitu kesalahan dipakai sebagai syarat umum untuk

dapat dipidananya perbuatan di samping sifat melawan hukum, dan juga kesalahan

dipakai untuk bagian khusus rumusan delik yaitu sebagai sinonim dari sifat tidak

berhati-hati.40 Kesalahan dalam hukum pidana adalah suatu ikhwal yang tidak dapat

dihindari, kesalahan selalu mempunyai kaitannya dengan tindak pidana yang

38

Chairul Huda, Dari Tiada Pidana tanpa Kesalahan menuju kepada Tiada Pertanggungajawaban Pidana tanpa Kesalahan, Cet. I, (Jakarta: Predana Media, 2006), hal. 2

39

Chairul Huda, Ibid. 40

(36)

dilakukan oleh setiap orang. Setiap orang tidak ingin terlibat dalam perbuatan

terlarang, hanya saja memang patut dan diyakini bahwa orang dapat dipersalahkan

karena tindakannya. Suatu perbuatan harus memiliki sifat layak dipidana, dengan kata

lain mempunyai relevansi dari sudut pandang hukum pidana.

Sifat kesalahan mempunyai tingkatan yang berkenaan dengan kesengajaan

(dolus) dan kesalahan dikarenankan kelelaian (culpa). Dollus dapat di mengerti

sebagai berbuat dengan kehendak dan maksud untuk memenuhi unsur-unsur delik

sebagaimaan dirumuskan dalam kejahatan. Sedangkan culpa dalam perbuatan kurang

mendapat perhitungan terhadap munculnya akibat fatal yang tidak dikehendaki oleh

sipelaku tindak pidana.

b. Kerangka Konsepsional

Konsep jinayah atau dalam istilah Indonesia disebut pidana, membicarakan

tentang masalah larangan, karena setiap perbuatan yang dilakukan berkaitan dengan

larangan selalu terangkum dalam konsep jinayah yang merupakan perbuatan tersebut

dilarang oleh syara'. Lahirnya larangan karena perbuatan tersebut mengancam

kehidupan sosial masyarakat atau sendi-sendi kehidupan masyarakat.

Kata jinayaat berasal dari bahasa Arab, ia merupakan bentuk jamak dari kata

jinayah yang diambil dari kata janaaya yang berarti memetik. Adapun kata jinayah

(37)

dilakukan.41 Berkaitan dengan kejahatan, kata al-jinayat dalam bentuk jama’ jinâyah

berakar dari kata Janaz-Zanba–Jinayatan, yang berarti melakukan kejahatan, hal ini

disebut dalam bentuk jamak karena modusnya beragam, adakalanya menyangkut jiwa

dan anggota tubuh, adaklalanya dengan sengaja dan tidak sengaja (tersalah).42

Kata jinayat atau disebut dengan Fiqh Jinayah merupakan satu bagian dari

bahasan fiqh (Fikih), kalau pemahaman fiqh itu adalah ketentuan yang berdasarkan

wahyu Allah dan bersifat amaliah (operasional) yang mangatur tentang kehidupan

manusia dalam sistem hubungannya dengan Allah dan manusia, maka fiqh jinayah

secara khusus mengatur tentang pencegahan tindak kejahatan yang dilakukan oleh

manusia dan akan diberikan sanksi hukuman sesuai dengan tingkat kejahatan,

karenanya tujuan dari ketentuan itu tidak lain diciptakan Allah adalah untuk

mendatangkan kemaslahatan ummat. Hal ini dipertegas oleh hadits Nabi SAW, yang

mengatakan "tidak boleh terjadi kerusakan terhadap manusia dan tidak boleh

manusia melakukan perusakan terhadap orang lain"43.

Segala bentuk tindakan pengrusakan terhadap orang ataupun makhluk lainnya

di larang oleh agama dan tindakan tersebut merupakan kejahatan atau disebut dengan

jinayah atau istilah yang lebih tepat untuk itu disebut dengan jarimah. Fiqh jinayah

41

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah jilid 3, diterjemahkan oleh Nur Hasanuddin, Cet. I, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), hal. 399

42

Abd. Rasyid Salim, Meraih Jalan Petunjuk Syarah Bulugul Maram (Hidayatul anam Bisyarhi Bulughul Maram min Adillati al Ahkam), penerj. Bahrun Abubakar Ihsan, Lc, Cet. 1, (Bandung: Nuansa Aulia, 2007), hal. 20

43

(38)

sendiri berbicara tentang tindak kejahatan yang dilarang Allah pada manusia untuk

melakukannya dan oleh karenanya ia berdosa kepada Allah dan akan mendapat sanksi

hukuman di akhirat.

Ali ‘Audah menyebutkan, Jinayat dalam pengertian istilah adalah perbuatan

yang diharamkan secara syariat, apakah perbuatan itu terjadi terhadap jiwa manusia,

hartanya atau selain keduanya.44 Sedangkan dalam kebanyakan ahli fiqih memberikan

pengertian secara mutlak terhadap perbuatan yang terjadi pada manusia saja, seperti

pembunuhan, melukai dan memukul, namun sebagian fuqaha yang lainnya

mengkhususkan penggunaan kata jinayat pada jarimah huduud dan qishash.45

Dalam banyak kesempatan para fuqaha sering menggunakan kata jinayah

dengan maksud jarimah, penggunaan kata jarimah ini dimaksudkan pada pembatasan

perbuatan yang dilarang saja. Dengan mengenyampingkan perbedaan pemakaian

kata-kata jinayah di kalangan fuqaha, dapat disimpulkan bahwa kata jinayah dalam

istilah fiqih adalah sinonim (muradif) dengan kata jarimah.

Di dalam hukum Islam, setiap tindakan jarimah disebut juga sebagai tindakan

jinayah, baik itu hukuman yang dijatuhkan berupa kurungan, denda atau hukuman

yang lebih berat. Di samping itu yang menjadi perhatian tentang jarimah ini dalam

hukum Islam adalah sifat kepidanaan dari suatu tindak pidana, sementara dalam

44

Abdul Qadir ‘Audah, Al-Tasyri’ al-Janaiy al-Islamiy, Muqaranan bil-Qanunil Wadh’iy, Juz Awal, (Beirut: Muasasah Risalah, 1996), hal. 67

45

(39)

hukum positif yang menjadi perhatian adalah berat ringannya hukuman yang

dijatuhkan kepada si pelaku tindak pidana.

Ada beberapa bentuk pidana atau jinayah dengan istilah jarimah yang

disebutkan dalam pidana Islam, di lihat dari segi mengerjakannya, yaitu :46

1. Dengan cara berbuat atau melakukan tindak pidana, disebut dengan jarimah

ijabiyah/delict commisionis.

2. Dengan cara tidak melakukan/melaksanakan hal yang diperintahkan, disebut

dengan jarimah salabiyah/delict ommisonis.

3. Jarimah ijabiyah taqa'u bithariq al-salab/delict commisionis per

ommisionem commisa. Jenis jarimah yang ketiga ini adalah menahan

seseorang tahanan dengan tidak memberi makan dan tidak memberi minum

sehingga tawanan tersebut meninggal. Hal inilah sebagaimana dicontohkan

oleh mazhab Maliki, Syafi'i dan Hanbali.

Terlepas dari perbedaan pandangan mengenai tentang bentuk atau istilah yang

tepat terhadap perbuatan itu disebut jinayat atau jarimah, dalam hal ini jarimah dibagi

ke dalam tiga golongan :

1. Golongan jarimah hudud, yang terdiri dari perzinahan, menuduh orang lain

berzina, meminum minuman khamar (memabukkan), merampok, merusak,

membuat onar, murtad dan memberontak.

46

(40)

2. Golongan jarimah qishash atau diyat, yang terdiri atas pembunuhan sengaja,

pembunuhan mirip sengaja dan pembunuhan tidak sengaja

3. Golongan jarimah ta'zir, yaitu larangan/perintah tentang sesuatu hal yang tidak

dirumuskan secara pasti, termasuk sanksinya dan pelaksanaan hukumannya

diserahkan kepada pihak penguasa.

Pada hakekatnya, di lihat dari karakter atau sifat dari pelanggaran dan

perbuatan pada ketiga golongan di atas, maka hanya jarimah ta'zir yang dapat

dianggap sesuai dengan delik-delik hukum pidana. Sementara itu jarimah hudud dan

jarimah qishash/diyat lebih dogmatis dan menjadi hak Allah yang tidak mungkin

diubah atau dikurangi oleh manusia. Hal ini sangat berbeda dengan delik hukum

pidana yang sifatnya dapat diubah, dikurangi, dihapuskan dan diperbaharui sesuai

dengan kepentingan hukum atau masyarakat yang senantiasa tumbuh dan

berkembang.

Suatu perbandingan bila di lihat dalam Kitab Undang-Undang Pidana Mesir,

terdapat tiga macam penggolongan tindak pidana yang didasarkan kepada berat

ringannya hukuman, yaitu; (1) Jinayah (kejahatan); suatu tindak pidana yang

diancamkan hukuman mati, hukuman kerja berat seumur hidup, hukuman kerja berat

sementara dan hukuman penjara (Pasal 10), (2) Janhah (kejahatan ringan); suatu

tindak pidana yang dijatuhi hukuman kurungan lebih dari satu minggu atau hukuman

(41)

tindak pidana yang dijatuhi hukuman tidak lebih dari satu minggu atau hukuman

denda ynag jumlahnya tidak lebih dari 100 qirasy (Pasal 12).47

Islam menetapkan bentuk-bentuk hukuman untuk suatu tindakan kejahatan

atau jinayah berdasarkan apa yang ditetapkan sendiri oleh Allah SWT dalam

wahyu-wahyu-Nya dan penjelasannya diberikan oleh Nabi dalam haditsnya. Al-Qur`an telah

memaparkan beberapa kejahatan tertentu yang mempunyai dampak negatif terhadap

kehidupan umumnya dan ketertiban khususnya dalam masyarakat. Al-Qur`an juga

mewajibkan dijatuhi hukuman terhadap kejahatan dalam upaya mencegah dan

mengurangi kejahatan dalam masyarakat.

Kejahatan-kejahatan tersebut berupa kejatahan/pelanggaran terhadap jiwa, hal

ini bisa berupa pembunuhan atau perusakan anggota tubuh, Kejahatan terhadap harta

benda dalam bentuk pencurian, kejahatan terhadap kehormatan dalam bentuk

penuduhan zina, kejahatan terhadap keturunan dalam bentuk perzinahan, akal dalam

bentuk meminum minuman keras (khamar), kejahatan terhadap agama dalam bentuk

kemurtadan (keluar dari agama Islam) dan terhadap perundang-undangan umum

kemasyarakatan dalam bentuk menyamun dan membuat kerusakan di muka bumi

ini.48

47

Ali Yafie, Ahmad Sukarja, Muhammad Amin Suma, dkk, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Edisi Indonesia, Jilid I, (Jakarta: Kharisma Ilmu, 2008), hal. 88

48

(42)

Di dalam al-Qur`an ditegaskan bahwa yang termasuk dalam tindak pidana

adalah:49

1. Pembunuhan, (al-Baqarah; 178) 2. Pencurian (sirqah), al-Maidah; 38-39) 3. Penzinahan, (an-Nur; 3-5)

4. Tuduhan penzinahan, (4-5)

5. Perusuhan dan pengacau keamanan 6. pemberontakan

7. Kemurtadan

8. Minum Khamar, (al-Maidah; 90-91)

9. Keengganan melaksanakan hukum Allah, (al-Maidah; 44, 45 dan 47)

10. Pelanggaran terhadap aturan Allah yang menyebabkan seseorang harus membayar kafarah ataupun fidiyah, (al-Maidah; 89, 95-96)

Secara tradisional, bentuk-bentuk pidana Islam itu meliputi :50

1. Pidana qishash atas jiwa 2. Pidana qishash atas badan 3. Pidana diyat (denda ganti rugi) 4. Pidana Mati

5. Pidana Penyaliban (salib)

6. Pidana pelemparan batu sampai mati (rajam) 7. Pidana potong kaki atau tangan

8. Pidana pengusiran atau pembuangan 9. Pidana cambuk atau dera dan sebagainya

Selain bentuk-bentuk pidana yang tersebut di atas, baik bentuk yang

ditegaskan dalam al-qur`an maupun secara tradisional, ada pidana yang dihukum

dengan hukuman hadd. Para fuqaha menyebutnya dengan istilah kejahatan huduud,

dimana hukuman dari kejahatan atau tindak pidana tersebut sudah merupakan

49

Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op Cit., hal. 132

50

(43)

ketetapan/ditetapkan oleh Allah SWT. Syari'at Islam telah membatasi kejahatan ini

dalam tujuh macam, yaitu 51:

1. Zina

2. Menuduh (orang lain) berzina 3. Meminum khamar

4. Mencuri 5. Merampok 6. Menganiaya 7. Murtad

Pengertian hukum Islam diterjemahkan sebagai al~fiqh al Islamy atau dalam

kontek tertentu disebut al syar'iah al Islamy, dan yang penekanannya lebih besar

adalah al fiqh al Islamy.52 Hasbi Ash Shiddieqi, mendefinisikan hukum Islam itu

adalah koleksi daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan syari'at atas kebutuhan

masyarakat.

Dalam kajian hukum Islam terdapat istilah yaitu; fiqh, syari'ah dan tasyri'

Islam, ketiga istilah ini memiliki keterkaitan tetapi mempunyai makna yang berbeda.

Kata Fiqh secara etimologi berarti pemahaman yang mendalam yang membutuhkan

pengerahan potensi akal.53 Karena norma-norma dasar yang terdapat dalam al-qur`an

dan hadits banyak yang bersifat global atau umum, perlu dilakukan perumusan secara

mendetil terhadap pemahaman yang umum itu untuk direalisasikan dalam kehidupan

51

Said Hawwa, Op Cit., hal. 658

52

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Cet. IV, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 7

53

(44)

sehari-hari yaitu melalui ilmu Fiqh. Karena itu di dalam fiqh membutuhkan aktualita

pemikiran untuk merespon perkembangan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Secara definitif Ibnu Subkiy dalam kitabnya Jam'u al-Jawami' menyatakan

bahwa fiqh berarti; "ilmu tentang hukum-hukum syar'i yang bersifat amaliyah yang

digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang tafsili"54

Secara leksikal kata Syari'ah berarti "jalan ke tempat pengairan" atau "jalan

yang harus diikuti" atau "tempat lalu air di sungai"55 di antara pakar hukum Islam

memberikan definisi kepada syari'ah itu dengan "segala titah Allah yang berhubungan

dengan tingkah laku manusia di luar yang mengenai akhlak".56

Di samping istilah syari'ah diterjemahkan oleh Abdullah Yusuf Ali sebagai

jalan yang betul yang lebih luas dari sekedar ibadah formal dan ayat-ayat hukum yang

diwahyukan kepada Nabi Muhammad.57 Namun demikian Pengertian syari'ah di sini

mempunyai dua makna; pertama, makna yang umum yaitu keseluruhan tata

kehidupan dalam Islam, termasuk pengetahuan tentang ketuhanan, dan yang kedua,

dalam makna yang khusus yang berkonotasi fiqih yaitu ketetapan hukum yang

dihasilkan dari pemahaman muslim yang memenuhi syarat tertentu tentang Al Qur`an

dan Sunnah dengan menggunakan metode tertentu.

54

Ibnu Subkiy, Jam'u al-Jawami' dalam Amir Syarifuddin, Garis-garis besar Fiqh, Op. Cit., hal 5

(45)

Antara Fiqh dan Syari'ah menunjukkan hubungan yang sangat erat, karena

Fiqh adalah formula yang dipahami dari syari'ah dan syari'ah tidak dapat dijalankan

dengan baik tanpa dipahami melalui fiqh. Hukum secara etimologi berarti man'u yaitu

mencegah, hukum juga berarti qadha' yang memiliki arti putusan.

Dalam khazanah ilmu hukum di Indonesia, istilah hukum Islam dipahami

sebagai penggabungan dua kata yaitu hukum dan Islam. Hukum adalah seperangkat

perundang-undangan yang mengatur tingkah laku yang diakui oleh suatu Negara atau

masyarakat yang berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya.

Pidana (jinayah) adalah segala bentuk perbuatan yang dilakukan oleh seorang

mukallaf yang melanggar perintah atau larangan Allah yang dikhitbahkan kepada

orang-orang mukallaf, dikarenakan ancaman hukuman, baik sanksi (hukuman) itu

harus dilaksanakan sendiri maupun dilaksanakan oleh para penguasa ataupun Allah

sendiri akan menghukumnya baik di dunia maupun di akhirat.58

Istilah jinayah mengacu kepada hasil perbuatan seseorang, biasanya

pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang. Di kalangan fuqaha',

perkataan jinayah berarti perbuatan-perbuatan yang terlarang menurut syara'. Istilah

lain yang sepadan dengan istilah jinayah adalah jarimah, yaitu larangan-larangan

syara' yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta'zir.59 Istilah jarimah oleh

Imam al-Mawardi mendefinisikannya sebagai berikut60 :

58

Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op Cit, hal. 125

59

A. Djazuli, Op Cit, hal. 1

60

(46)

"Segala larangan syara' (melakukan hal-hal yang dilarang dan atau

meninggalkan hal-hal yang diwajibkan) yang diancam dengan hukuman had atau

ta'zir"

Dalam hukum Islam (syari'at Islam), pertanggungjawaban pidana diartikan

pembebenan seseorang dengan hasil (akibat) perbuatan (atau tidak ada perbuatan)

yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana ia mengetahui maksud-maksud

dan akibat-akibat dari perbuatannya itu.61

Pertanggungjawaban pidana tersebut ditegakkan atas 3 (tiga) dasar yaitu:62

a. Adanya perbuatan yang dilarang b. Dikerjakan dengan kemauan sendiri

c. Pembuatnya mengetahui terhadap akibat perbuatan tersebut

Menurut Djazuli, dalam bukunya Fiqh Jinayah, menyebutkan bahwa

pertanggungjawaban pidana didasarkan kepada tiga prinsip, yaitu:

1. Melakukan perbuatan yang dilarang dan atau meninggalkan perbuatan

yang diwajibkan,

2. Perbuatan tersebut dikerjakan atas kemauan sendiri, artinya si pelaku

memiliki pilihan yang bebas untuk melaksanakan atau tidak melakukan

perbuatan tersebut,

3. Si pelaku mengetahui akan akibat perbuatan yang dilakukan.63

61

Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Op Cit., hal. 154

62

Ahmad Hanafi, Ibid.

63

(47)

Hukuman yang merupakan cara pembebanan pertanggungjawaban pidana

dimaksudkan untuk memelihara ketertiban dan keamanan masyarakat, dengan kata

lain sebagai alat menegakkan kepentingan masyarakat, karenanya besarnya hukuman

masyarakat harus disesuaikan dengan seberapa besar kejahatan atau tindak pidana

yang dilakukan oleh masyarakat, di samping itu bahwa hukuman tersebut merupakan

sesuatu yang diperlukan di tengah-tengah masyarakat sebagai alat untuk mengurangi

(48)

BAB II

EKSISTENSI ASAS DALAM HUKUM PIDANA ISLAM

A. Asas Hukum Pidana Nasional

Dalam setiap Negara hukum dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam

segala bentuknya, yaitu segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas

perarturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan

tertulis tersebut harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan atau

perbuatan administrasi yang dilakukan.

Hukum pidana yang berlaku di Indonesia sampai saat ini, merupakan hukum

pidana yang telah dikodifikasikan, yaitu sebagian besar aturannya telah disusun

dalam suatu Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Secara umum hukum

pidana mengatur dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar dapat tercipta

dan terpelihara ketertiban umum. Kebutuhan akan kepentingan masyarakat tersebut

satu sama lain tidak akan dapat terpenuhi secara merata dan satu sama lainnya tetap

akan berbeda. Tentu saja dalam memenuhi kebutuhan tersebut masyarakat akan

bersikap dan berbuat menurut kebutuhan yang didapatkan. Untuk itu hukum akan

memberikan rambu-rambu sebagai batasan tertentu sehingga sikap dan perbuatan

masyarakat tersebut tidak semena-mena dan tidak sebebas-bebasnya, hal ini

(49)

Di samping itu secara khusus hukum pidana berfungsi, yaitu:64

1. Melindungi kepentingan hukum dari perbuatan yang menyerang dan

memperkosa kepentingan hukum tersebut

2. Memberi dasar legitimasi bagi Negara

3. Mengatur dan membatasi kekuasaaan Negara

Kepentingan hukum (rechtsbelang) adalah segala kepentingan yang

diperlukan dalam berbagai segi kehidupan manusia, baik manusia sebagai pribadi,

manusia sebagai kelompok masyarakat atau manusia sebagai anggota suatu Negara,

yang wajib dijaga, dipelihara dan dipertahankan agar tidak dilanggar atau

disewenang-wenangkan oleh sikap atau perilaku maupun perbuatan manusia lainnya.

Memberikan dasar legitimasi bagi Negara dimaksudkan adalah berupa hak

untuk menjalankan hukum dengan menjatuhkan pidana, hak untuk menyerang

kepentingan hukum manusia atau warganya adalah berupa kekuasaan Negara yang

sangat besar, sehingga Negara dapat menjalankan fungsi dari hukum pidana itu

sendiri yaitu mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi dengan

sebaik-baiknya. Akan tetapi sebaliknya perlindungan hukum itu tidak berakibat kepada

terganggunya perlindungan hukum masyarakat lainnya, setidaknya mengurangi atau

mengeliminir dari kesewenang-wenangan kekuasaan Negara dalam menjalankan

fungsi hukum itu.

64

(50)

Hukum pidana dibentuk dan disusun dengan maksud dapat mempertahankan

kepentingan hukum masyarakat dengan cara dilindungi dan dijaminnya kedamaian

dan ketertiban. Hukum itu sendiri berisikan nilai-nilai dan asas-asas yang dapat

dipahami dari aspirasi hukum yang optimal dan dapat dipahami sebagai ukuran untuk

teori hukum dan praktek hukum. Asas hukum merupakan ungkapan-ungkapan hukum

yang sangat umum, sebagian merupakan sebagai kesadaran hukum serta keyakinan

kesusilaan kelompok manusia,65 sebagian yang lain merupakan dasar pemikiran

dibalik Undang-undang dan Yurisprudensi. Apabila ada peraturan

perundang-undangan yang tidak didukung oleh suatu asas hukum, maka peraturan itu kehilangan

diri dari sifat hukum.66

Dalam hukum pidana (positif) dikenal beberapa asas yang penting untuk

diketahui, karena dengan adanya suatu asas dapat membuat suatu hubungan dan

susunan agar hukum pidana yang berlaku dapat dipergunakan secara sistimatis, kritis

dan harmonis.

Pada hakekatnya asas dari pada hukum pidana itu dapat digolongkan kepada 2

(dua) macam, yaitu; asas yang dirumuskan di dalam Kitab Undang-undang Hukum

Pidana atau perundang-undangan lainnya dan asas hukum yang tidak dirumuskan dan

menjadi asas hukum yang tidak tertulis dan di anut di dalam yurisprudensi.67

65

Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, terbitan kelima, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hal. 14

66

Bambang Poernomo, Ibid.

67

(51)

Berkaitan dengan kedua asas tersebut di atas, menjadi hal pokok dalam

menjatuhi hukuman (pidana) pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana.

Tercantumnya asas "Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat di pidana selain

berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya" dalam

Pasal 1 ayat (1) KUHP adalah asas yang disebut dengan asas legalitas, sering juga

dipakai istilah bahasa Latin, yaitu Nullum delictum nulla poena sine praevia lege.68

Ucapan ini berasal dari Paul Johann Anselm Von Feuerbach (1775 – 1833), seorang

sarjana hukum pidana Jerman, dialah yang merumuskannya dalam pepatah Latin,

dalam bukunya "Lehrbuch des peinlichen Recht" pada tahun 1801.69 Sering juga

dipakai istilah Latin: ”Nullum crimen sine lege stricta" yang dapat disalin istilah

tersebut dengan "tiada delik tanpa ketentuan yang tegas".70 Hazewinkel–Suringa

memakai kata-kata dalam bahasa Belanda "Geen delict, geen straf zonder een

voorafgaande strafbepaling" sebagai rumusan pertama dan "Geen delict zoonder een

precieze wettelijke bepaling" sebagai rumusan yang kedua.71

68

Andi Hamzah, Azas-azas Hokum Pidana, edisi revisi, cet. kedua, (Jakarta: Renika Cipta, 1994), hal. 39

69

Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, cet. Keempat, (Jakarta: Bina Aksara, 1983), hal. 23

70

Andi Hamzah, Op Cit., hal 40

71

(52)

Ada dua hal yang dapat dirumuskan dari asas tersebut:72

1. Jika suatu perbuatan yang dilarang atau pengabaian sesuatu yang

diharuskan dan diancam dengan pidana, maka perbuatan atau pengabaian

tersebut harus tercantum di dalam undang-undang pidana.

2. Ketentuan tersebut tidak boleh berlaku surut, dengan satu kekecualian

yang tercantum di dalam Pasal 1 ayat 2 KUHP.

Menurut beberapa pengarang dalam ilmu hukum pidana, menyebutkan bahwa

rumusan Nullun delictum berasal dari ajaran Montesquieu yang umumnya terkenal

dengan ajaran Trias politika. Kita tahu bahwa maksud ajaran trias politika itu

melindungi kemerdekaan pribadi individu terhadap tindakan sewenang-wenangan

dari pihak pemerintah Negara. Di samping itu ajaran Montesquieulah yang

malakukan pertentangan yang hebat terhadap peradilan Arbitrer,73 tidak saja

Montesquieu, John Locke juga memperjuangkannya sebagai suatu keinginan untuk

mewujudkan kepastian hukum bagi perorangan. Dari perjuangannya itu John Locke

mendapatkan penghargaan Neersslag dalam Constitusi Amerika dan revolusi

Perancis

Bagi Indonesia kiranya semua peraturan dapat dirumuskan secara sederhana

dan terang, sehingga dapat dirasakan dan dimengerti oleh rakyat dan berurat berakar

di bumi Indonesia. Hal ini tidak lain dimaksudkan baahwa asas legalitas kiranya

72

Andi Hamzah, Ibid. 73

(53)

dapat diperlonggar. Dengan tidak mengenyampingkan asas dalam hukum pidana

Indonesia bahwa dalam Pasal 16 Ugolowny Kodex Uni Soviet 1922, menetapkan

antara lain bahwa suatu perbuatan yang kendatipun tidak Tatbestandmassig (tidak

tercantum dengan tegas dalam Undang-undang), juga diancam pidana pembuatnya,

bila dipandang membahayakan keutuhan masyarakat (socially dangerous).74

Di tinjau dari sisi lain bahwa rumusan Nullum delictum nulla poena sine

praevia lege tersebut di atas agak lebih sempit karena menggunakan istilah perbuatan,

sedangkan hukum pidana tidak saja menyangkut perbuatan aktif yang dalam istilah

bahasa Indonesia dinamakan perbuatan tetapi juga perbuatan pasif (pengabaian),

bahkan dalam hukum pidana ekonomi mengenal adanya peristiwa pidana yang

ditimbulkan oleh pembuat yang sudah mati.75

Perwujudan asas lagalitas hukum dalam lapangan hukum pidana oleh para

ahli sering diwujudkan menjadi beberapa masalah yaitu dalam hubungannya antara

The rule of law dengan perlindungan Hak Asasi Manusia, The rule of law dengan

proses kriminal, The rule of law dengan pengadilan yang bebas dari pengaruh

kekuatan luar masih banyak lagi permasalahan yang serupa, dan juga bahwa the rule

of law kaitannya dengan asas lagalitas yaitu Nullum delictum nulla poena sine

praevia lege poenali tetap tegak dalam bentuknya di tengah-tengah perubahan dan

pergolakan masyarakat, dengan pengaruh dan effeknya terhadap kehidupan hukum

sebagai suatu palladium dari kepastian hukum dan persamaan dalam hukum. Roelan

74

Zainal Abidin Farid, Hukum Pidna I, Cet. II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal. 36

75

Gambar

Gambar 1.  Bangunan Islam dalam kehidupan

Referensi

Dokumen terkait

Didalam hukum islam perbuatan kebakaran hutan merupakan perbuatan yang dilarang oleh syara’ sehingga aturan mengenai sanksi hukuman terhadap pelakunya sudah diatur

“ Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum.Jadi meskipun perbuatan tersebut

Ditinjau dari aspek hukum, prostitusi dipandang sebagai perbuatan yang bertentangan dengan kaidah hukum pidana. Tindak pidana yang terkait dengan prostitusi

Hukum pidana Islam (fiqh jinayah) merupakan syariat Allah SWT yang mengatur ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang

melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Penjatuhan pidana terhadap pelaku kejahatan dapat dilakukan apabila pada perbuatan pelaku

Perbuatan aborsi dilarang dilakukan dan bahkan perbuatan Aborsi dikategorikan sebagai tindak pidana dan secara tegas dilarang dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Hukum pidana Islam (fiqh jinayah) merupakan syariat Allah SWT yang mengatur ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang

Baik hukum pidana positif maupun hukum pidana Islam memiliki pandangan yang serupa mengenai perbuatan langsung dan tidak langsung, serta mengenai hubungan sebab-akibat antara perbuatan