• Tidak ada hasil yang ditemukan

Objek Pertanggungjawaban Pidana

BAB III : FAKTOR-FAKTOR YANG MELANDASI PERTANGGUNG-

B. Objek Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungungjawaban pidana hanya dapat dilakukan jika sebelumnya telah terjadi suatu tindak pidana. Moeljatno menyatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana.113 Dengan demikian pertanggungjawaban pidana itu akan terjadi manakala perbuatan atau tindak pidana telah dilakukan oleh seseorang yang menurut Undang- undang bahwa perbuatan tersebut di larang, kepadanya layak dimintakan pertanggungjawaban.

Pada hakekatnya pertanggungjawaban pidana mengandung makna pencelaan pembuat/orang (subjek hukum) atas tindak pidana yang dilakukannya (objek hukum), secara objektif si pembuat/orang telah melakukan kejahatan atau pelanggaran sesuai dengan syarat yang ditentukan oleh Undang-undang, dengan demikian asas legalitas

112

Ali Yafie, Ahmad Sukarja, Muhammad Amin Suma, dkk, ibid., hal. 64

113

Moeljatno, Asas-asas hukum pidana dalam Chairul Huda, Dari tiada pidana tanpa kesalahan menuju kepada tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan, Op Cit. hal. 19

menjadi tolok ukur dan secara subjektif si pembuat/orang mempunyai kepatutan untuk dapat dimintai pertanggungjawaban berarti tolok ukurnya adalah kesalahan.

1. Manusia

Menurut teori tradisional, orang merupakan subjek hukum yang mempunyai kewajiban hukum atau suatu hak. Jika suatu hak itu dipahami bukan semata sebagai hak reflek melainkan kewenangan hukum untuk mendesak dipenuhinya kewajiban hukum untuk berpartisipasi dalam penciptaan keputusan pengadilan yang membentuk sebuah norma individual yang memberikan sanksi sebagai rekasi dari tidak terpenuhinya suatu kewajiban. Jika seseorang individu merupakan subjek kewajiban hukum atau memiliki kewajiban hukum maka hanya berarti bahwa perilaku tertentu dari individu itu yang merupakan isi dari kewajiban yang ditetapkan secara hukum.

Persyaratan terhadap pertanggungjawaban pidana yang ditentukan dalam hukum Islam adalah orang mukallaf,114 yang memiliki pengetahuan dan pilihan. Hal ini sangat alamiyah karena memang pada manusia memiliki kedua hal tersebut sedangkan pada makhluk lain seperti binatang atau hewan atau yang sejenis dengan itu tidak memiliki kedua hal tersebut. Dengan pengetahuan menunjukkan bahwa

114

Mukallaf adalah muslim yang dikenai kewajiban atau perintah dan menjauhi larangan agama (pribadi muslim yang sudah dapat dikenai hukum). Seseorang berstatus mukallaf bila ia telah dewasa dan tidak mengalami gangguan jiwa maupun akal. (www://Google.co.id//wikipedia.org/wiki/ agama/Rabu, 9 Juli 2008, 20.15 WIB)

manusia bisa melakukan sesuatu perbuatan dengan mengetahui akan maksud dan tujuan dari perbuatan itu.

Untuk dapat menjalankan kewajiban agama seseorang harus mempunyai pengetahuan, karena dengan pengetahuan dia akan mengarahkan manusia pada hal- hal yang baik meskipun tidak jarang bahwa dengan pengetahuan seseorang itu melakukan yang tidak baik. Pengetahuan akan menentukan pada perbuatan yang dilakukan. Pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilakukan pada anak-anak yang belum dewasa, orang gila, ataupun pada hewan dan orang yang telah mati.

Dalam pandangan hukum positif dengan munculnya aliran/mazhab wad'i yang menggunakan falsafah jabar menetapkan bahwa seseorang melakukan tindak pidana tidak dengan kehendak sendiri akan tetapi adanya dorongan dari faktor-faktor yang bukan berada dalam kekuasaannya, seperti genetik, lingkungan dan budaya, maka pelaku tindak pidana tidak dapat dimintai pertanggungjawaban dalam arti pelaku tidak dapat dikenai hukuman.

2. Badan Hukum

Esensi dari apa yang dinamakan badan hukum yang dipersamakan oleh ilmu hukum tradisional dengan orang secara fisik, digambarkan secara jelas dalam analisis terhadap kasus-kasus tertentu dari badan hukum. Ia biasanya didefinisikan sebagai komunitas individu yang terhadap mereka tatanan hukum menetapkan kewajiban dan memberikan hak untuk tidak dianggap sebagai kewajiban dan hak individu-individu yang membentuk

badan usaha sebagai anggotanya. Karena kewajiban dan hak dalam beberapa hal berkaitan dengan kepentingan individu dan tetap bukan merupakan kewajiban dan hak mereka, maka keduanya diinterpretasikan sebagai kewajiban dan hak badan usaha, dengan demikian badan usaha itu dianggap sebagai person.115

Pada abad pertengahan sebelum revolusi Perancis, hukum telah menentukan bahwa manusia, hewan, orang yang telah mati bahkan benda matipun dapat dimintai pertanggungjawaban jika menimbulkan sesuatu yang membahayakan orang lain atau bagi masyarakat. Timbul pertanyaan, 'apakah suatu badan hukum publik dapat dimintai pertanggungjawaban dan dikenai sanksi'. Suatu pertanyaan yang harus kita temukan jawaban dengan bijak, yang mana hukum Islam awal-awal kelahirannya telah mengenal badan- badan hukum yang memiliki hak-hak milik dan dapat mengadakan tindakan tertentu, namun badan hukum tersebut dalam Islam tidak dapat dimintai pertanggungjawaban karena badan hukum tidak memiliki pengetahuan dan pilihan. Kalaupun kemudian ada orang-orang yang melakukan tindakan terlarang dengan mengatas-namakan badan hukum atau koorporasi maka badan hukum atau koorporasi tersebut tidak dapat dimintai pertanggungjawaban, hanya kepada orang tersebut atau pengurus dari badan hukum itu yang dapat dibebani pertanggungjawaban

115

Hans Kelsen, Teori Hukum Murni Dasar-dasar ilmu hukum normatif (Pure Theory of Law), penerjemah, Raisul Muttaqien, Cet. II, (Bandung: Nusamedia dan Nuansa, 2007), hal. 196

Akan tetapi pada tahun 1950 ditemukan bahwa sejumlah 'gemeenten' dianggap telah melakukan pelanggaran terhadap Undang-undang Pembangunan kembali (wederopbouwwet) yaitu membangun tanpa memiliki izin membangun dan dapat dikenai sanksi pidana denda.116 Disinggung di dalam sejarah perundang-undangan (Memorie van Toelichting/MvT) bahwa di dalam kasus tersebut jika dilakukan penuntutan maka dianggap tidak menguntungkan dan dapat dilakukan pembatalan dengan melakukan koreksi administratif sehingga tidak dapat dimintai pertanggungjawaban.117 Dapat dilakukan pengecualian bahwa jika muncul situasi yang berbeda dimana suatu oraganisasi atau badan hukum secara administratif melibatkan diri dalam hal tersebut. Namun demikian harus menjadi perhitungan kita terhadap koorporasi yang berkemungkinan dapat melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang oleh Undang-undang, dengan demikian dapat diandaikan bahwa perilaku koorporasi akan selalu merupakan tindakan fungsional.

Dokumen terkait