• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Konflik Politik

3. Bentuk-Bentuk Konflik

Menurut Fisher dalam Adawiah (2013: 20) menyebutkan tiga bentuk konflik, diantaranya:

1. Konflik Laten yaitu konflik yang bersifat tersembunyi dan perlu diangkat kepermukaan agar dapat ditangani secara efektif. Setiap pihak harus disadarkan tentang keberadaan konflik laten ini dengan cara mengintensifkan konflik, sehingga tindakan penyelesaian yang tepat bisa dilakukan.

2. Konflik Manifest (terbuka) yaitu konflik yang berakar dalam dan nyata sehingga perlu adanya penyelesaian untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya.

3. Konflik Permukaan yaitu konflik yang sifatnya tersembunyi, memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalah pahaman mengenai sesuatu yang dapat diatasi dengan menggunakan komunikasi. Konflik pada umumnya tidak hanya menimbulkan konflik kekerasan, karena konflik ini timbul oleh adanya perbedaan pendapat untuk mempertahankan argumen masing-masing orang atau kelompok yang terlibat didalamnya. Mempertahankan argumen inilah biasanya orang atau kelompok dapat bersitegang agar argumennya tersebut disepakati atau disetujui oleh kelompok lain, sebab orang-orang atau kelompok-kelompok tersebut memiliki kepentingan yang kelak kepentingannya itu dapat mendatangkan keberuntungan bagi dirinya atau

24

bagi kelompoknya (http://silvaberlus.blogspot.com/2011/05/manajemen- konflik-pemanfaatan-ruang.html?m=1, diakses 8 mei 2014).

Menurut Duverger dalam Adawiah (2013: 20) menyebutkan tiga bentuk konflik yang terkait kekuasaan atau politik, diantaranya:

1. Konflik yang sama sekali tidak mempunyai alasan prisipil, konflik ini berhubungan langsung dengan masalah praktis bukan karena masalah ideologi yang dilakukan baik oleh individu maupun golongan/kelompok. 2. Konflik yang lebih menitik beratkan perbedaan pandangan baik individu

dengan kelompok yang menyangkut dengan masalah partai politik, masyarakat yang dianggap mewakili rakyat.

3. Konflik yang menitik beratkan kepada permasalahan perbedaan ideologi, masing-masing memperjuangkan ideologi partainya yang semuanya merasa benar.

Menurut Coser dalam Adawiah (2013: 20) ada dua bentuk dasar konflik yaitu konflik realitis dan non-realistis. Konflik realitis adalah konflik yang mempunyai sumber konkrit atau material. Konflik non-realistis adalah keinginan yang tidak rasional tetapi dipaksakan. Hal ini yang mempertegas atau menurunkan ketegangan suatu kelompok.

Konflik internal PAN yang ditandai dengan perbedaan pandangan antara DPW PAN dan DPP PAN Provinsi Lampung termasuk kedalam konflik permukaan karenaa DPP yang beranggapan tentang kinerja didalam tubuh

25

PAN yang dilakukan Abdurchman Sarbini kurang baik. Perbedaan pemikiran, pendapat, pandangan dan pilihan ini yang dikategorikan sebagai konflik permukaan karena konflik ini dimana masih-masih pribadi atau kelompok tidak tampak secara kasap mata tidak berhubungan dengan kekerasan fisik. Berdasarkan penjelasan ini konflik PAN juga masuk dalam konflik laten dan manifers.

`

4. Manajemen Konflik

Menurut Dahrendorf dalam Surbakti (1992: 160) dan Susan (2010: 136) konflik dibutuhkan upaya penyelesaian dengan cara pengaturan konflik dan tata kelola konflik itu sendiri, yang saat ini masih menjadi perdebatan. Pengaturan konflik dapat diuraikan ke dalam kriteria, diantaranya:

4.1Pengaturan Konflik

Menurut Dahrendorf dalam Surbakti (1992: 160) pengaturan konflik yang efektif sangat bergantung pada tiga faktor. Pertama, kedua pihak harus mengakui kenyatan dan situasi konflik yang terjadi diantara mereka (adanya pengakuan atas kepentingan yang diperjuangkan oleh pihak lain). Kedua, kepentingan-kepentingan yang ada kemudian diperjuangkan harus terorganisasikan secara rapi, tidak tercerai-berai dan terkotak-kotak sehingga masing-masing pihak memahami dengan jelas lingkup tuntutan pihak lain. Ketiga, kedua pihak menyepakati aturan main (rules of the game) yang menjadi landasan dan pegangan dalam hubungan dan

26

interaksi diantara mereka. Ketika ketiga syarat dipenuhi maka berbagai bentuk pengaturan konflik dapat dibuat dan dilaksanakan.

Lebih lanjut Dahrendorf dalam Surbakti (1992: 160) juga menyebutkan tiga bentuk pengaturan atau penyelesaian konflik. Pertama bentuk konsilisasi seperti parlemen dimana semua pihak berdiskusi dan berdebat secara terbuka dan mendalam untuk mencapai kesepakatan tanpa ada pihak-pihak yang memonopoli pembicaraan atau pemaksaan kehendak. Kebanyakan konflik politik disalurkan dan diatur dengan bentuk konsiliasi. Kedua, bentuk mediasi dimana kedua pihak sepakat mencari nasihat dari pihak ketiga (seorang mediator berupa tokoh, ahli lembaga tertentu yang dianggap memiliki pengetahuan dan keahlian yang mendalam mengenai hal yang dipertentangkan).

4.2Tata Kelola Konflik

Menurut Susan (2010: 136) salah satu kajian dalam menciptakan permainan, baik positif maupun negatif adalah bentuk pengelolahan konflik (conflict management) yang dijelaskan dalam pembahasannya mengenai tata kelola konflik sebagai kritik terhadap pendekatan conflict management, berikut uraiannya:

4.2.1 Wacana (conflict management)

Batos dalam Susan (2010: 137) Kajian mengenai konflik dan perdamaian kontemporer mempunyai tujuan dalam mencegah konflik yang menghasilkan bentuk kekerasan, baik secara langsung

27

maupun struktural. Manajemen konflik adalah masalah bagaimana menjadi orang yang ahli, yang kemudian melihat segi konflik dalam kategori perilaku nonkoersif (murni kerja sama) dan perilaku koersif (kekerasan) dalam meningkatkan pembelajaran mengenai pengelolaan konflik. Hal ini memperjelas mengenai definisi yang terbatas terkait manajemen konflik sebagai praktik strategi konflik dimana yang berkonflik mempunyai keahlian dan pengetahuan untuk menciptakan stategi dalam menangani konfliknya tersebut.

Lebih lanjut Susan (2010: 137) berpendapat bahwa manajemen konflik adalah seni intervensi yang dipergunakan untuk mencapai pembuatan politik yang stabil, yang dipergunakan oleh yang mempunyai kekuasaan dan sumber daya yang bersifat besar untuk menciptakan tekanan terhadap pihak berkonflik, agar tetap dalam keadaan yang normal/stabil. Hal ini cukup jelas menggambarkan pola hubungan yang tercipta pada kekuasaan.

4.2.2 Tata Kelola Konflik Demokrasi

Menurut Susan (2010: 139) suatu dinamisasi hubungan antara aktor dan lembaga dalam tata kelola unsur-unsur konflik dalam suatu kebijakan merupakan wujud dari musyawarah pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, kemudian diimplementasikan oleh seluruh pihak-pihak terlibat. Konsep pada tata kelola konflik demokrasi ini menjadi alternatif dalam melembagakan mekanisme yang

28

memungkinkan konflik produktif, berbeda dengan manajemen konflik dimana konsepnya yang mempelajari tanpa memerlukan adanya pemecahan masalah yang hanya melibatkan kekuasaan dan kekerasan. Hal ini berbeda dengan konsep yang ada pada tata kelola konflik demokrasi yang menciptakan konflik konstruktif, yang tidak menggunakan kekerasan dan menghasilkan pemecahan masalah dengan menggunakan mekanisme politik yang demokratis.

Dokumen terkait