PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
B. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4. Bentuk-bentuk Konflik yang Terjadi di Dalam Pembangunan Bandara Baru di Kulon Progo
Konflik yang terjadi di masyarakat dapat dikategorikan ke
dalam beberapa jenis atau bentuk konflik. seperti halnya konflik yang
terjadi di masyakarakat Kulon Progo yang menolak atau menerima
pembangunan bandara baru. Bentuk-bentuk konflik yang muncul pada
masyarakat terdampak pembangunan bandara di antaranya yaitu:
a. Konflik Kepentingan
Dahrendof dalam bukunya (Poloma, 2013, hal.
134-135)menyatakan; secara emperis, pertentangan kelompok mungkin
paling mudah dianalisis bila dilihat sebagai pertentangan mengenai
kepentingan kelompok penguasa merupakan nilai-nilai yang
merupakan ideologi keabsahan kekuasaannya, sementara
kepentingan-kepentingan kelompok bawah melahirkan ancaman bagi
ideologi ini serta hubungan-hubungan sosial yang terkandung di
dalamnya.
Kepentingan tersebut bisa berupa kepentingan yang bersifat
manifes (disadari) atau laten (kepentingan potensial). Munculnya
paguyuban Wahana Tri Tunggal (WTT) sebagai kelompok penolak
bandara, menunjukan bahwa keberadaan mereka secara formal atau
legal tidak mempunyai struktur organisasi yang jelas, akan tetapi
keberadaan mereka diakui oleh pemerintah dan masyarakat. Adapun
paguyuban WTT ini mempunyai kepentingan mempertahankan hak
mereka yaitu lahan terdampak bandara, yang selama ini mereka
menggantungkan hidupnya dari pertanian. Seperti hasil wawancara
dengan pak Agus Widodo (30), salah satu anggota WTT yang
bertindak selaku PAL;
“Kalau saya tidak setuju soalnya lahan saya yang
menjadi sumber penghasilan saya akan hilang mas, nanti kalau lahan saya dijadikan bandara keluarga
anak istri saya mau makan apa, dan kerja apa”,
ungkap Agus Widodo (30), (20/01/2016).
Perbedaan kepentingan diantara pemangku kebijakan dengan
masyarakat menjadi faktor utama kenapa konflik lahan dalam
pembangunan bandara tersebut muncul. Penolakan yang dilakukan
menjadi tumpuan dan mata pencaharian hidup akan beralih fungsi
menjadi bandara.
Alih fungsi lahan untuk suatu pembangunan untuk
kepentingan umum. Memang hal itu sudah diatur di dalam UU No. 2
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum, jadi pada dasarnya prosedur ataupun
tahapan-tahapan dalam alih fungsi lahan sudah diatur sedemkian rupa di
dalam UU. Meskipun demikian yang perlu diperhatikan adalah
faktor sosial atau dampak sosialnya, seperti yang dialami oleh
masyarakat terdampak pembangunan bandara di Kulon Progo, dari
mulai masalah relokasi tempat tinggal, ketenagakerjaan, dan
kelangsungan hidup lainya.
b. Konflik Antar Kelas Sosial
Konflik yang terjadi antar kelas sosial biasanya berupa
konflik yang bersifat vertikal, konflik antara kelas sosial atas dan
kelas sosial bawah yaitu antara masyarakat petani yang tergabung
dalam paguyuban Wahana Tri Tunggal dengan Pemerintah Kulon
Progo. Konflik ini terjadi karena kepentingan yang berbeda antara
dua golongan atau kelas sosial yang ada (Setiadi & Kolip, 2011, hal.
355). Konflik antar kelas yang terjadi di daerah Kulon Progo,
tepatnya di kecamatan Temon yang meliputi 5 desa yaitu; Desa
Glagah, Palihan, Jangkaran, Kebonrejo, dan Sindutan, bersifat
Yang pertama konflik lahan pertanian dalam pembangunan
bandara di Kulon Progo melibatkan antara masyarakat petani dengan
Pemda dan BPN Kulon Progo. Selain itu juga pihak yang
pemrakarsa pembangunan bandara yaitu P.T Angkasa Pura I. Ini bisa
kita lihat dari beberapa kasus, misalnya pada tanggal 16 Januari
2014, dimana terjadi penghadangan dan pemblokiran jalan ketika
akan dilakukan pemasangan patok oleh BPN. Pada tanggal 16
Februari 2016 saat peneliti sedang melakukan penelitian di lapangan
hal serupa juga terjadi lagi, yaitu penghadangan pemasangan patok
titik kordinat bandara. Aksi saling dorong antara aparat atau petugas
dengan warga tidak dapat terhindarkan. Beruntungnya tidak
menimbulkan korban jiwa atau kerusakan yang berarti, hanya saja
beberapa petugas (BPN, Polisi) yang mengalami luka ringan, begitu
juga dengan beberapa warga yang mengalami luka ringan karena
saling dorong.
Selain konflik antar kelas yang melibatkan antara warga
terdampak dengan pemerintah, konflik lahan dalam pembangunan
bandara ini juga terjadi antara masyarakat itu sendiri, yaitu antara
masyarakat yang pro bandara dengan masyarakat yang kontra
(WTT). Munculnya konflik yang sifatnya horizontal ini lebih
disebabkan oleh perbedaan sikap, pendirian, dan pandangan antar
masyarakat terdampak. Adapun konflik yang sifatnya horizontal ini
harmonis, terjadinyagap-gapantar warga, lunturnya budaya gotong
royong dan masih banyak lagi. Untuk lebih lengkapnya peneliti
mencoba membahasnya nanti di sub tema lainya, mengenai dampak
konflik lahan dalam pembangunan bandara ini.
Sikap masyarakat yang pro bandara lebih karena pada
mentaati kebijakan yang dibuat pemerintah, mempunyai persepsi
bahwa dengan pembangunan bandara ini masyarakat terdampak akan
lebih sejahtera. Akan tetapi sikap yang berbeda ditunjukan oleh
masyarakat yang kontra (WTT), bahwa mereka mempunyai persepsi
bahwa dengan adanya pembangunan bandara ini akan membuat
lebih sengsara, dan akan menghilangkan sumber mata pencaharian
mereka sebagai petani. Sehingga mereka yang kontra (WTT),
menganggap tidak ada jaminan dari pemerintah nantinya setelah
jadinya bandara, dalam artian masyarakat yang kontra (WTT) masih
meragukan apa yang selama ini diutarakan oleh pemerintah atau
pihak terkait dalam pembangunan bandara. Misalnya saja masalah
ganti rugi, relokasi yang belum jelas. Seperti yang diutarakan oleh
Pak Agus (30) salah satu warga WTT;
“Sampai detik ini saya belum tahu, bahkan yang pro juga belum tahu berapa ganti ruginya. Dari mulai tahap sosialisasi, konsultasi publik, dan pendataan sampai saat ini belum ada pemberitahuan”
(20/01/2016).
Belum adanya kejelasan mengenai ganti rugi bagi warga
menaruh sikap kurang percaya pada pemerintah selaku pemangku
kebijakan.
5. Peluang Munculnya Konflik antara Masyarakat Pro Bandara