KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI
A. KAJIAN PUSTAKA
2. Sengketa Lahan Sebagai Penyebab Konflik di Masyarakat
Usmadi Murad (1991) menjelaskan bahwa kasus
pertanahan terdiri dari masalah pertanahan dan sengketa pertanahan.
Masalah pertanahan adalah lebih bersifat teknis yang penyelesaiannya
kebijaksanaan maupun peraturan-peraturan yang berlaku, sedangkan
sengketa pertanahan adalah perselisihan yang terjadi antara dua pihak
atau lebih karena merasa diganggu hak dan penguasaan tanahnya yang
diselesaikan melalui musyawarah atau pengadilan. Adapun sengketa
merupakan kelanjutan dari konflik. Sebuah konflik akan berkembang
menjadi sengketa bilamana pihak yang merasa dirugikan telah
menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinanya. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa sengketa merupakan kelanjutan dari konflik,
atau sebuah konflik akan berubah menjadi sengketa apabila tidak
dapat diselesaikan (Sembiring, 2009).
Konflik lahan atau sengketa lahan yang terjadi dalam
masyarakat seringkali menyebabkan retaknya hubungan antara lapisan
masyarakat yang membuat mereka tidak harmonis. Adapun konflik
tersebut dapat terjadi antara individu dengan individu, idividu dengan
kelompok, dan kelompok dengan kelompok. Namun berbeda dengan
Coser (dalam bukunya Poloma: 2004), bahwa konflik itu mempunyai
nilai positif yang dapat meningkatkan solidaritas in-groupnya atau
ikatan anggota kelompoknya di dalam masyarakat. Selain itu konflik
juga dapat memperkuat dan mempertegas kembali identitas para
anggota kelompok dengan tujuan melindunginya dari ancaman luar
(Poloma, 2004, hal. 107-108). Ketika terjadi konflik maka akan
adanya kewaspadaan-kewaspadaan yang muncul akibat kecurigaan
Ketika terjadi konflik maka antara pihak-pihak yang
berkonflik mempunyai tingkat emosional yang tinggi. Sehingga antara
anggota kelompok saling menguatkan satu sama lainya. Adapun dapat
lebih diperinci lagi seperti berikut: (1) semakin besar solidaritas di
antara pihak-pihak yang berkonflik, semakin besar pula tingkat
keterlibatan emosional, dan (2) semakin besar tingkat keharmonisan di
kalangan anggota-anggota pihak yang berkonflik, semakin besar
pulaketerlibatan emosionalnya (Lumintang, 2012). Hal tersebut yang
menjadi perhatian Coser ketika menganalisis konflik sosial yang
terjadi di dalam masyarakat, bahwa kedekatan hubungan sosial
berkaitan erat dengan emosional setiap anggota kelompoknya.
Integritas sosial dan stabilitas sosial di dalam masyarakat
tercipta bukan hanya terjadi karena adanya konsensus dan kerjasama
di dalam masyarakat, akan tetapi justru Coser melihat bahwa konflik
sosialah yang menciptakan keadaan masyarakat dalam kestabilan di
dalam struktur sosial. Dalam hal ini Coser memperlihatkan bagaimana
konflik memiliki fungsi terhadap sistem sosial, yang pertama yaitu
bagaimana konflik sosial sebagai suatu hasil dari faktor-faktor lain
daripada perlawanan kelompok kepentingan; yang kedua konflik
memperlihatkan atau mempunyai konsekuensi dalam stabilitas dan
perubahan sosial. Coser melihat konflik sebagai mekanisme
perubahan sosial dan penyesuaian, dapat memberi peran positif, atau
kata lain bahwa konflik sosial yang muncul di dalam masyarakat
sebagai bentuk atau upaya menciptakan dan menemukan
aturan-aturan, nilai baru yang nantinya menghasilkan konsensus bersama di
dalam masyarakat yang berkonflik. Sehingga kita perlu melihat ketika
terjadi konflik tidak selamanya membawa dampak negatif akan tetapi
juga dampak positif di dalam struktur masyarakat.
Sementara itu Coser membedakan konflik yang ada dalam
masyarakat menjadi dua. Pertama konflik realistis berkaitan dengan
konflik yang muncul dari rasa kekecewaan masyarakat terhadap
tuntutan-tuntutan yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan
kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditunjukan pada
obyek yang dianggap mengecewakan. Kedua konflik non-realistis
yaitu konflik yang bukan berasal dari tujuan-tujuan saingan yang
antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan
biasanya dari salah satu pihak yang berkonflik mengkambinghitamkan
orang lain (Poloma, 2004, hal. 110). Ketika Coser membedakan
konflik menjadi dua seperti yang telah diuraikan di atas, maka dalam
masyarakat bisa saja konflik realistis dan non-realistis terjadi secara
bersamaan, sehingga hal tersebut menjadi semakin kompleks konflik
yang ditimbulkanya.
Konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari oleh
manusia sebagai makhluk sosial di dalam berkehidupan
merupakan hal dasar yang menyebabkan timbulnya konflik di dalam
masyarakat. Perbedaan kepentingan adalah salah satu faktor utama
yang dapat menimbulkan konflik sosial. Kepentingan setiap individu
didasarkan pada kebutuhan dan keinginan yang melekat dalam diri
individu tersebut. Konflik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
konflik berarti percekcokan, perselisihan, pertentangan di dalam
masyarakat yang disebabkan oleh adanya dua gagasan atau keinginan
yang saling bertentangan untuk saling menguasai dan mempengaruhi
orang lain.
Di dalam bukunya Dean G. Pruit, (2011: 10)
mendefinisikan konflik sosial berarti persepsi mengenai perbedaan
kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu
kepercayaan bahwa aspirasi-aspirasi pihak-pihak yang berkonflik
tidak dapat dicapai secara simultan. Artinya bahwa terjadinya suatu
konflik sosial disebabkan oleh banyak faktor sehingga konflik tersebut
bersifat kompleks yang melibatkan berbagai unsur masyarakat di
dalamnya.
Karl Marx (dalam Raditya, 2002) seorang Sosiolog, yang
mengenalkan teori konflik antar kelas menjelaskan bahwa latar
belakang munculnya konflik sosial di dalam masyarakat adalah
adanya kesenjangan sosial pada masyarakat. Pernyataan Karl Marx
mengenai kenyataan sosial antara lain; adanya struktur kelas dalam
orang-orang dalam kelas berbeda, pengaruh yang besar dari posisi
kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang serta bentuk kesadaran,
dan pelbagai pengaruh dari konflik kelas dalam menimbulkan
perubahan struktur sosial, yang kiranya sangatlah penting. Terbalik
dengan Karl Marx, menurut Dahrendorf (dalam Raditya, 2002)
konflik terjadi bukan karena adanya pertentangan antara mereka yang
memiliki modal produksi dan yang memiliki tenaga kerjanya,
melainkan karena derajat otoritas dan dominasi di dalam asosiasi
(Raditya, 2002, hal. 25). Dominasi kelompok yang mempunyai
otoritas atau kedudukan tertinggi dalam masyarakat memunculkan
ketimpangan berupa hak dan kewajiban dalam memainkan peran dan
status sosialnya. Biasanya kelompok lemahlah yang menjadi sasaran
pemegang otoritas tertinggi dalam pembuatan kebijakan misalnya
penggusuran rumah di dekat sungai yang akan didirikan kanal banjir,
dan sebgaianya. Selain itu Dahrendorf juga menyatakan bahwa
sebenarnya masyarakat tidak lagi terbagi ke dalam kelas atas dan kelas
bawah namun sekarang ini terdapat adanya kelas menengah yang
dikategorikan berdasarkan spesialisasi masyarakat. Spesialisasi
merupakan pembagian pekerjaan berdasarkan pada kemampuan dan
keahlianya.
George Simmel, salah satu tokoh dari aliran fungsionalisme
menganalisis dari sisi fungsinya. Dia mengatakan bahwa struktur
disosiatifyang tidak mungkin dipisahkan, tetapi bisa dibedakan dalam
analisis (Raditya, 2002, hal. 18). Prosesasosiatif lebih menekankan
pada aspek saling hubungan satu sama lain di dalam masyarakat
dalam bentuk kerja sama. Masyarakat yang merupakan satu kesatuan
tentunya saling berinteraksi sehingga terbentuklah hubungan di antara
mereka. Sedangakan prosesdisosiatif melihat masyarakat mengalami
retaknya hubungan sosial atau perpecahan. Hal itu bisa disebabkan
oleh beberapa faktor di antaranya yaitu; perbedaan ideologi,
perbedaan tujuan atau pandangan hidup, perbedaan pendapat, dan
masih banyak lagi faktor yang menyebabakan perpecahan di dalam
masyarakat. Lewis Coser (dalam Raditya, 2001), Coser mempertegas
argumen Simmel bahwa konflik dapat menjadi media integratif,
persemaian yang subur bagi terjadinya perubahan sosial, serta
penguatan identitas kelompoknya (Raditya, 2002, hal. 19).
Konflik di dalam masyarakat baik itu konflik horizontal
maupun vertikal tidak selamanya membawa dampak buruk bagi
masyarakat yang berkonflik. Ketika adanya ancaman dari luar maka
kelompok tersebut hubunganya akan semakin kuat. Emosianal antar
anggota kelompok yang terlibat konflik akan meningkat, begitu juga
rasa solidaritas diantara mereka.
Mereka merasa senasib dan sepenanggungan dalam
mengahadapi ancaman dari luar. Namun hal itu tidak menjamin bahwa
terjadinya kekerasan. Luapan emosional yang berlebihan kadangkala
diluapkan dengan menggunakan kekerasan fisik.