• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2. Bentuk-bentuk Perceraian

Bentuk-bentuk perceraian yang mengakibatkan putusnya perkawinan yang diatur dalam hukum islam, yang dapat menjadi alasan- alasan hukum perceraiannya dan bermuara pada cerai talak dan cerai gugat yang telah diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975, dapat dijelaskan sebagai berikut :

a) Talak

Secara harfiah, talak berarti lepas dan bebas. Dihubungkannya kata talak dalam arti kata ini dengan putusnya perkawinan, karena antara suami dan istri sudah lepas hubungannya atau masing-masing sudah bebas. Dalam mengemukakan arti talak secara terminologis, ulama mengemukakan rumusan yang berbeda, namun esensinya sama, yakni melepaskan hubungan pernikahan dengan menggunakan lafaz talak dan sejenisnya (Anshori, 2011 : 105-106).

b) Syiqaq

Menurut Muhammad Syaifuddin (2013 : 128) konflik antara suami istri itu ada beberapa sebab dan macamnya. Sebelum konflik membuat suami mengalami keputusan berpisah yang berupa thalaq, maka konflik-konflik tersebut antara lain adalah syiqaq.

c) Khulu‟

Bentuk perceraian atas persetujuan suami istri dengan jatuhnya talak satu dari suami kepada istri dengan tebusan harta atau uang dari pihak istri yang menginginkan cerai dengan khulu‟ itu (Soemiyati, 1982 : 110).

d) Fasakh

Secara etimologi, fasakh berarti membatalkan. Apabila dihubungkan dengan perkawinan fasakh berarti membatalkan perkawinan atau merusakkan perkawinan. Kemudian, secara terminologis fasakh bermakna pembatalan ikatan pernikahan oleh Pengadilan Agama berdasarkan tuntutan istri atau suami yang dapat dibenarkan Pengadilan Agama atau karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum pernikahan (Anshori, 2011 : 141).

e) Fahisah

Fahisah menurut Alquran Surah An-Nisa‟ (4): 15 ialah perempuan yang melakukan perbuatan keji atau perbuatan yang

memalukan keluarga, seperti perbuatan mesum, homo seksual, lesbian dan sejenisnya.

Firman Allah QS An-Nisa‟ (4): 15

ْمُكْنِم ًةَعَ بْرَأ َّنِهْيَلَع اوُدِهْشَتْساَف ْمُكِئاَسِن ْنِم َةَشِحاَفْلا َنيِتْأَي يِت َّلَّلاَو

ۚ

ْنِإَف

ًلَّيِبَس َّنُهَل ُهَّللا َلَعْجَي ْوَأ ُتْوَمْلا َّنُهاَّفَوَ تَ ي َٰىَّتَح ِتوُيُ بْلا يِف َّنُهوُكِسْمَأَف اوُدِهَش

Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya. (An-Nisa' ayat 15)

f) Ta‟lik talak

Pada prinsipnya ta‟lik talak menurut penjelasan Sudarsono (1994 : 135) adalah suatu penggantungan terjadinya jatuhnya talak terhadap peristiwa tertentu sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat sebelumnya antara suami istri.

g) Ila‟

Ila‟ menurut bahasa berasal dari kata aala, yu‟lii, dan iilaa‟ (bersumpah). Sementara ila‟ menurut syara‟ adalah bersumpah untuk tidak menggauli istri. Dasar adanya ila‟ adalah firman Allah:

ٍرُهْشَأ ِةَعَ بْرَأ ُصُّبَرَ ت ْمِهِئاَسِن ْنِم َنوُلْؤُ ي َنيِذَّلِل

ۚ

ٌروُفَغ َهَّللا َّنِإَف اوُءاَف ْنِإَف

kepada orang-orang yang mengila‟ istrinya diberi tangguh 4 bulan (lamanya). (QS. Al Baqarah (2): 226).

Ayat ini turun untuk menggugurkan tradisi jahiliah yang memperlama masa ila‟ hingga satu atau dua tahun. Lalu, Allah menganulir dan menetapkan jangka waktu ila‟ yang paling lama adalah 4 bulan (Hasan Ayub, 2002 : 349).

h) Zhihar

Zhihar adalah prosedur talak, yang hampir sama dengan ila‟. Arti zhihar ialah seorang suami yang bersumpah bahwa istrinya itu baginya sama dengan punggung istrinya. Ibarat seperti ini erat kaitannya dengan kebiasaan masyarakat Arab, apabila masyarakat Arab marah, maka ibarat/penyamaan tadi sering terucap. Apabila ini terjadi berarti suami tidak akan menggauli istrinya (Sudarsono, 1994 : 141).

i) Li‟an

Perkawinan dapat putus karena li‟an. Li‟an diambil dari kata la‟n (melaknat), karena pada sumpah kelima, suami mengatakan bahwa ia menerima laknat Allah bila ia termasuk orang-orang yang berdusta. Perkara ini disebut li‟an, ilti‟an (melaknat diri sendiri) dan mula‟anah (saling melaknat) (Muhammad Syaifuddin, 2013 : 158).

j) Murtad (Riddah)

Syaikh Hasan Ayyub (2002 : 227) menjelaskan bahwa apabila salah seorang suami istri murtad sebelum terjadi persetubuhan, maka nikah terkena fasakh menurut pendapat mayoritas ulama.

Pasal 113 Kompilasi Hukum Islam memuat ketentuan klasifikasi bahwa perkawinan putus karena kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan. Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama, setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Macam-macam dan cara pemutusan hubungan perkawinan karena perceraian yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, adalah sebagai berikut.

1) Talak

Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan (vide Pasal 117). Macam-macam talak, yaitu sebagai berikut.

a) Talak raj‟I, adalah talak kesatu atau kedua, dalam talak ini suami berhak rujuk selama istri dalam masa iddah (vide Pasal 118). b) Talak ba‟in, adalah talak yang ketiga kalinya atau talak sebelum

c) Talak sunny, adalah talak yang dibolehkan, yaitu talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut (vide Pasal 121).

d) Talak bid‟I, adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid, atau istri dalam keadaan suci, tetapi sudah dicampuri pada waktu tersebut (vide Pasal 122).

Perceraian karena talak terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang Pengadilan.

2) Khuluk

Khuluk adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau iwadl kepada dan atas persetujuan suaminya (vide Pasal 1 huruf i). khuluk harus berdasarkan atas alasan perceraian sesuai dengan ketentuan Pasal 116, yaitu :

a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;

c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;

e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri;

f) Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;

g) Suami melanggar taklik talak;

h) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

3) Taklik talak

Taklik talak ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang (vide Pasal 1 huruf e). Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam. Apabila keadaan yang disyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, istri harus mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama. Perjanjian taklik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik

talak sudah diperjanjikan, tidak dapat dicabut kembali (vide Pasal 46).

4) Li‟an

Li‟an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami istri untuk selama-lamanya (vide Pasal 125). Li‟an terjadi karena suami menuduh istri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari istrinya, sedangkan istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut (vide Pasal 126). Menurut Pasal 127, tata cara li‟an adalah sebagai berikut.

a) Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau pengingkaran anak tersebut, diikuti sumpah kelima dengan kata- kata “laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut didusta”.

b) Istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dengan sumpah empat kali dengan kata “tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar”, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “murka Allah atas dirinya bila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar”.

Tatacara tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Apabila tatacara pertama tidak diikuti dengan tatacara kedua, maka dianggap tidak terjadi li‟an. Menurut Pasal 128, li‟an hanya sah apabila dilakukan di hadapan sidang Pengadilan Agama.

Selanjutnya menurut Pasal 162, bilamana li‟an terjadi, maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suami terbebas dari kewajiban memberi nafkah.

Dokumen terkait