• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bentuk-Bentuk Perceraian Perspektif Mazhab Syafi’i

Adapun bentuk-bentuk perceraian menurut perspektif Mazhab Syafi’i yaitu sebagai berikut :

a. Talak

Hukum Islam menentukan bahwa hak talak adalah pada suami dengan alasan bahwa seorang laki-laki itu pada umumnya lebih mengutamakan pemikiran dalam mempertimbangkan sesuatu daripada wanita yang biasanya bertindak atas dasar emosi. Dengan pertimbangan yang demikian, diharapkan kejadian perceraian akan lebih kecil kemungkinannya apabila hak talak diberikan kepada istri.

Disamping alasan diatas ada babarapa alasan lain yang memberikan wewenang atau hak talak kepada suami:

1) Akad nikah dipegang oleh suami. Suamilah yang menerima ijab dari pihak istri waktu dilaksanakannya akad nikah.

2) Suami membayar mahar kepada istrinya diwaktu akad dan dilanjutkan membayar “mut’ah” (pembarian sukarela dari suami kepada istrinya) setelah suami mentalak istrinya.

3) Suami wajib membayar nafkah istri dalam masa perkawinannya dan pada masa iddah apabila ia mentalaknya.

4) Perintah-perintah mentalak dalam al-Qur’an dan Hadits banyak yang ditujukan kepada suami.

Talak akan jatuh apabila talak terpenuhi syarat-syaratnya. adapun syarat-syarat tersebut ada yang berhubungan dengan suami, ada yang

berhubungan dengan istri dan ada pula yang berhubungan dengan shighat talak. Syarat-syarat seorang suami yang sah menjatuhkan talak ialah Berakal sehat, telah baligh, serta tidak karena paksaan Sepakat para ahli fiqih bahwa sahnya seorang suami menjatuhkan talak ialah telah dewasa atau baligh dan atas kehendak sendiri, bukan karena terpaksa atau paksaan dari pihak ketiga. Sedangkan syarat-syarat seorang istri yang sah ditalak suaminya adalah :

a) Istri telah terikat dengan perkawinan yang sah dengan suaminya.

Apabila akad nikahnya diragukan keabsahannya maka istri itu tidak dapat ditalak oleh suaminya.

b) Istri harus dalam keadaan suci yang belum dikumpuli oleh suami yang dalam waktu suci itu.

Adapun macam-macam talak sebagai berikut:

a. Talâk Sunni dan Talâk Bid’i

Ditinjau dari segi apakah talak itu sesuai dengan yang disunnahkan Rasulullah SAW, atau tidak sesuai dengan yang disunnahkan beliau, maka talak itu terbagi kepada talak sunni dan talak bid’i. Talak sunni ialah talak yang sesuai dengan talak yang diajarkan Rasulullah SAW. Dan talak bid’i adalah talak yang tidak sesuai dengan ajaran atau sunnah Rasulullah SAW.

Yang termasuk talak sunni ialah talak yang dijatuhkan kepada istri yang suci dan belum dicampuri dalam masa suci itu dan talak yang dijatuhkan kepada istri yang sedang hamil. Yang termasuk talak bid’i ialah talak yang dijatuhkan kepada istri yang sedang haid, talak yang dijatuhkan

kepada istri waktu suci tetapi telah dicampuri dan talak yang berbilang sekaligus, seperti dua kali sekaligus, tiga kali sekaligus, atau talak yang dijatuhkan kepada istri untuk selama-lamanya. Menurut kesepakatan ahli fiqih bahwa talak sunni adalah talak yang halal, sedangkan talak bid’i adalah talak yang haram. Berbeda pendapat para ahli fiqih tentang talak bid’i talak yang sah atau talak yang batal. Imam Syafi’i berpendapat bahwa talak bid’i itu sekalipun talak haram, tetapi hukumnya adalah sah dan talaknya jatuh. Sunnah bagi suami yang menjatuhkan talak bid’i merujuk istrinya.

b. Khulu’

Kata khulu’ berasal dari kata khal’un artinya menanggalkan atau melepaskan. Ungkapan khala’ats tsauba berarti seseorang telah melepas dan mananggalkan pakaiannya.38 Khulu ini adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh istri berupa mengembalikan maskawin kepada suami agar dengan demikian perkawinan dihentikan. Didaerah-daerah seperti ditanah Batak dengan corak kebapaan, dimana maskawin sering merupakan jumlah uang yang sangat besar atau barang-barang yang amat tinggi harganya, bagi istri sukar sekali untuk melakukan khulu’. Tetapi dilain-lain daerah seperti jawa tengah dengan kebiasaan membayar maskawin hanya dua ringgit saja, yang bahkan sering kali masih dipinjam, sebelumnya adalah mudah bagi si istri untuk menghentikan perkawinan dengan cara demikian.

38 Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-husaini, Terjemahan Kifayatul Akhyar (Surabaya: Bina Ilmu, 1997), hal. 455.

Khulu’ ini dalam praktek sekiranya tidak pernah dilakukan, seringkali oleh karena dianggap sebagai syarat, bahwa penyerahan kembali maskawin harus diterima oleh suami, jadi artinya suami harus menyetujui penghentian perkawinan secara ini. kalau demikian ini maka khuluk sama saja dengan permintaan istri supaya ia diberi talak oleh suami. dan tergantung pada suami lagi apakah perkawinan akan dihentikan atau tidak.

Dasar diperbolehkan khuluk adalah ijma’ para Ulama dan memang telah

Artinya : Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim."(QS. Al-Baqoroh:

229)39

Hadits dari Ibnu Abbas r.a:

39 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemah. hal. 37.

نا

lalu berkata: “ Saya tidak mencela akhlak dan agama Tsabit bin Qois, tetapi saya membenci kekufuran setelah berada dalam agama Islam.” kemudian Nabi SAW bertanya kepada perempuan itu: “ Sanggupkah engkau mengembalikan kepada Qois kebunnya?” Perempuan itu menjawab: “Ya.” Maka Rasulullah berkata kepada Tsabit bin Qois: “Terimalah kebun itu dan talaklah dia (istrimu) sekali talak”(HR. Bukhari)40. Tidak ada pendapat dikalangan para Ulama’ mengenai bolehnya khulu baik yang dikembalikan itu berupa harta maskawin, maupun berasal dari harta lain, baik lebih sedikit dari maskawin ataupun lebih banyak.

Mengenai hal ini Imam Syafi’i berpendapat bahwa seorang istri boleh melakukan khulu dengan memberikan harta yang lebih banyak dari mahar yang diterima dari suaminya, jika kedurhakaan (nusyuz) datang dari pihaknya.41 Karena khulu itu adalah suatu akad yang menyangkut kepemilikan kemaluan atas seseorang atas kemaluan maka serupa dengan nikah. Imbalan didalam khulu itu disyaratkan diketahui keduanya dan harus ada nilai hartanya serta memenuhi syarat lain dalam pemberian imbalan seperti bisa diserahkan, sudah dimiliki, dan sebagainya. Sebab

40 Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam, Syarah Bulughul Maram. hal. 523.

41 Ibnu Rusyd, Terjemah Bidayatul Mujtahid Wahid, Juz II, (Semarang, Asy-syifa, 1990), hal 491

khulu itu adalah akad tukar menukar.Ia serupa dengan jual beli dan maskawin, dan demikian dibenarkan dalam khulu yang sah.

Imam Syafi’i berpendapat bahwa khul’u adalah kata-kata sindiran (kinayah). Jadi jika dengan kata-kata kinayah tersebut suami manghendaki talak, maka talakpun terjadi, dan jika tidak maka menjadi fasakh. Tetapi dalam qaul jadîdnya diaktakan bahwa khulu adalah talak.42

c. Ilâ’ (bersumpah tidak akan menyetubuhi istri)

Menurut bahasa, ila’ adalah sumpah. Sedangkan menurut syara’, ila’ adalah bersumpah tidak akan menggauli istri secara mutlak atau selama lebih dari empat bulan. Dasar hukum ila’ adalah firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 226:

Artinya: Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya85 diberi tangguh empat bulan (lamanya). kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah: 226)43

d. Dzihar44

Dzhihar adalah perkataan seorang suami kepada istrinya yang menyerupakan istrinya dengan ibunya, sehingga istrinya itu haram atasnya, seperti ungkapan “engkau tampak seperti punggug ibuku".

Apabila seorang lakilaki mengatakan demikian dan tidak diteruskan pada talak maka ia wajib membaya kafarat dan haram bercampur dengan

42 Ibnu Rusyd, IBidayatul mujjtAbdul Wahid, hal. 495.

43 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hal.37.

44 Sulaiman Rasjid, Op.Cit, hal.411 _- 412.

istrinya sebelum membayar kafarat itu. Para Ulama sepakat bahwa hukum zhihar haram, sebab Allah menganggapnya sebagai perkataan mungkar dan dusta. Firman allah dalam surat al-Muzadalah ayat 2:



Artinya: Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) Tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu Perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (Q.S. Al-Mujadalah: 2)45

Denda (Kafarat Zhihar):

1. Memerdekakan hamba sahaya.

2. Puasa dua bulan berturut-turut.

3. Memberikan makan 60 orang miskin, tiap-tiap orang ¼ sa’ atau ¾ liter.

Tingkatan ini perlu berurutan sebagaimana tersebut di atas, berarti yang wajib dijalankan adalah yang pertama lebih dahulu.

e. Li'an

Li'an itu sah apabila dilakukan oleh setiap suami yang sudah dewasa dan berakal. Jika seorang suami menuduh istrinya berbuat serong dan ia termasuk orang yang sah li'an nya, maka wajib dijatuhkan atasnya hukuman atau ta'zir. Untuk mengahapuskan hukuman darinya itu maka si suami dapat melakukan li'an. Kalau ia dimaafkan dari perbuatan itu maka

45 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, hal. 543.

tidak perlu me li'an. Jika seorang suami telah melakukan kalimat li'an, maka berlakulah atasnya beberapa perkara berikut :

a) Gugur had hukuman dari suami.

b) Wajib had atas istri, sebagai had istri.

c) Suami istri bercerai selama-lamanya.

d) Bila ada anak, tidak dapat diakui oleh suami sebagai anaknya.

Li'an ini disyaratkan harus dihadapan jama'ah, sekurang-kurangnya terdiri dari empat orang. Waktunya harus sesudah ashar. Kalau di Mekkah, maka dilakukan diantara hukum dan makam. Dan kalau di Madinah, disamping mimbar Nabi SAW. Sedangkan di negeri-negeri lain, dilakukan di masjid jami' didekat mimbar atau diatasnya. Jika tidak mengikuti ketentuan waktu dan jumlah jama'ah itu boleh. Jika tidak mengikuti ketentuan tempat dilakukannya li'an itu, ada dua qoul. Jika keduanya telah selesai melakukan li'an, kemudian ada orang asing menuduh si wanita berbuat zina, maka ia harus dihukum. Dan jika dituduh oleh suaminya, maka ia harus di ta'dzir.Apabila pihak suami mengatakan dirinya bohong, maka ia harus dihukum had, dan kalau pihak wanita mengatakan dirinya bohong, maka ia harus dihukum had zina.

f. Faskh46

Fasakh artinya atau putus. Maksud fasakh ialah perceraian dengan merusak atau merombak hubungan nikah antara suami istri. Perombakan ini dilakukan oleh hakim dengan syarat-syarat dan sebab-sebab yang tertentu

46 Moh. Rifa’i, Op. Cit, hal. 490-493

tanpa ucapan talak. Perceraian dengan fasakh tidak dapat diruju’. Kalau suami hendak kembali kepada istrinya maka harus dengan akad baru.

Perceraian dengan fasakh dilakukan dengan berulang-ulang lebih dari tiga kali, boleh kembali lagi dengan akad nikah yang baru.

Sebab-sebab fasakh : a. Karena ada cacat.

b. Karena tidak mendapat nafkah.

c. Karena tidak memenuhi janji.

g. Syiqaq

Syiqaq yang di maksud adalah Perceraian karena perselisihan berat, sehingga memerlukan campur tangan orang pihak ketiga, yaitu dua orang Hakim (pendamai) yang dipilih keluarga suami dan keluarga isteri. Yang berhak mengangkat hakim adalah Hakim Syar’i. Seterusnya suami dan isterinya menyerahkan kepada hakimnya masing-masing untuk menyelesaikan pertikaiannya.

Suami berwakil kepada hakimnya boleh mentalakkan isterinya atau menerima khulu’. Dan isteri berwakil kepada hakimnya menerima talak atau mengajukan khulu’. Demikian setelah hakamnya dari kedua belah pihak gagal untuk mendamaikan kembali suami isteri tersebut. Jika kedua hakam berselisih sendiri sehingga tidak dapat mengambil keputusan, maka hakam syar’i menyuruh suami dan isteri untuk mengganti hakam masing-masing dengan yang lain.

Dokumen terkait