• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : KAJIAN PUSTAKA

2. Bentuk-bentuk Pola Asuh

Menurut Hourlock dalam bukunya Chabib thoha (1996 : 110), mengemukakan bahwa ada tiga jenis pola asuh terhadap anaknya, yakni pola asuh otoriter, pola asuh demokrasi, dan pola asuh permisif.

Berdasarkan pendapat tersebut, pola asuh dibedakan menjadi tiga, yaitu:

a. Pola Asuh otoriter.

Pola asuh otoriter ditandai dengan cara mengasuh anak dengan aturan-aturan yang ketat, sering kali memaksa anak untuk

perilaku seperti dirinya (orang tua), kebebasan untuk bertindak atas nama diri sendiri dibatasi. Anak diajak berkomunikasi dan bertukar fikiran dengan orangtua. Pola asuh yang bersifat otoriter juga ditandai dengan penggunaan hukuman yang keras, lebih banyak menggunakan hukuman badan, anak juga diatur segala keperluan dengan aturan yang ketat dan masih tetap berkelakuan meskipun sudah menginjak usia dewasa (Thoha 1996: 111).

Di dalam pondok pesantren pola asuh ini menentukan aturan-aturan yang harus ditaati oleh santriwati. Santriwati harus patuh dan tunduk, sehingga santriwati tidak memiliki pilihan yang sesuai dengan keinginannya sendiri. Apabila santriwati tidak mematuhi peraturan-peraturan yang ada, maka mereka akan mendapatkan hukuman atau sangsi. Pengurus pondok pesantren menentukan aturan-aturannya tanpa memperhitungkan keadaan santriwati, tanpa memahami keinginan santriwati. Santriwati harus patuh pada semua peraturan dan kebijakan pondok pesantren. Dengan sikap keras dianggap sebagai sikap yang harus dilaksanakan, karena dengan demikian santriwati menjadi disiplin dalam kesehariannya.

Menurut Baumrind, bentuk pola asuh otoriter memiliki ciri- ciri sebagai berikut:

2) Suka menghukum anak yang dianggap tidak sesuai dengan keinginan orangtua.

3) Kurang memiliki kasih sayang. 4) Kurang simpatik.

5) Mudah menyalahkan aktivitas anak terutama ketika anak ingin berlaku kreatif (mualifah, 2009:45-46).

Dengan cara otoriter, ditambah dengan sikap keras, menghukum, mengancam, akan menjadikan santriwati “patuh” dihadapan para pengasuh/ pengurus pondok pesantren, akan tetapi dibelakangnya mereka akan memperlihatkan reaksi-reaksi yang cenderung melawan atau menentang karena santriwati merasa dipaksa untuk melakukan semua peraturan yang ada.

b. Pola Asuh demokrasi

Pola asuh demokratis ditandai dengan adanya pengakuan orangtua terhadap kemampuan anak, anak diberi kesempatan untuk tidak selalu tergantung kepada orangtua. Orag tua sedikit memberi kebebasan kepada anak untuk memilih apa yang terbaik bagi dirinya, anak didengarkan pendapatnya, dilibatkan dalam pembicaraan terutama yang menyangkut dengan kehidupan anak itu sendiri. Anak diberi kesempatan unuk mengembangkan kontrol internalnya sehingga sedikit demi sedikit berlatih untuk bertanggung jawab kepada dirinya sendiri (Thoha, 1996: 111).

Pola asuh ini pengasuh/pengurus pondok pesantren lebih memperhatikan perkembangan santriwati, minat santriwati, bakat santriwati, dan lain-lain. Pengasuh/ pengurus juga mendengarkan dan memperhatikan keinginan dan pendapat santriwati. Selain itu, santriwati juga dilibatkan dalam organisasi kepengurusan santriwati yang menyangkut kehidupan mereka sehari-hari di Pondok pesantren. Santriwati diberi kesempatan untuk mengembangkan kontrol pada diri mereka, bakat-bakat mereka sehingga sedikit demi sedikit santriwati akan berlatih untuk bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan pondok pesantren. Dalam hal-hal tertentu pengasuh/pengurus perlu ikut campur tangan, misalnya hal-hal tentang keagamaan mereka dan hal-hal prinsip lainnya yang sudah ada di pondok pesantren. Maka, pondok pesantren dapat memaksakan kehendaknya terhadap santriwati karena santriwati belum memiliki landasan yang cukup tentang hal itu.

Pola asuh demokrasi ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut. 1) Hak dan kewajiban anntara anak dan orangtua diberikan secara

seimbang.

2) Saling melengkapi satu sama lain, orang tua yang menrima dan melihatkan anak dalam mengambil keputusan yang terkait dengan kepentingan keluarga.

3) Memiliki tingkat pengendalian yang tinggi dan mengahruskan anak-anaknya bertindak pada tingkat intelektual dan sosial sesuai usia dan kemampuan mereka, tetapi mereka tetap memberi kehangatan, bimbingan, dan komunikasi dua arah. 4) Memberikan penjelasan dan alasan atas hukuman dan larangan

yang diberikan oleh orangtau kepada anak.

5) Selalu mendukung apa yang dilakukan oleh anak tanpa membatasi segala potensi yang dimilikinya serta kreatvitasnya, tetapi tetap membimbing dan mengarahkan anak-anaknya (mualifah, 2009: 47).

Dengan pola asuh yang bersifat demokratis ini anak akan tumbuh rasa tanggung jawab dan kepercayaan diri yang kuat (berkarakter). Santriwati akan menghargai orang lain dan berguna bagi masyarakat karena santriwati sudah biasa menghargai hak-hak sesama santriwati dan pengurus pondok pesantren.

c. Pola Asuh Permisif.

Pola asuh ini ditandai dengan cara orangtua mendidik anak secara bebas, anak dianggap sebagai orang dewasa/muda, ia diberi kelonggaran seluas-luasnya untuk melakukan apa saja yang dikehendaki. Kontrol orang tua terhadap anak sangat lemah, juga tidak memberi bimbingan yang cukup berarti bagi anaknya. Semua yang telah dilakukan oleh anaknya adalah benar dan tidak perlu mendapat teguran, arahan, atau bimbingan (Thoha, 1996: 112).

Dalam hal ini, pola asuh seperti ini jarang atau bahkan tidak ada pondok pesantren yang menerapkannya. Karena hampir seluruh pondok pesantren pasti menerapkan peraturan-peraturan kepada santriwatinya. sseluruh kendali pondok pesantren dikendalikan oleh pengasuh atau Kyainya, apabila suatu pondok pesantren menggunakan pola asuh ini maka kontrol pengasuh/pengurus pondok pesantren sangat lemah, membiarkan santriwatinya mencari jati diri mereka sendiri tanpa arahan atau batasan-batasan tertentu kepada santriwatinya.

Sedangkan menurut Baumrind pola asuh ini memiliki ciri- ciri sebagai berikut:

1) Orang tua memberikan kebebasan kepada anak seluas mungkin.

2) Anak tidak dituntut untuk belajar bertanggungjawab.

3) Anak diberi hak yang sama dengan orang dewasa, dan diberi kebebasan yang seluas-luasnya untuk mengatur diri sendiri. 4) Orang tua tidak banyak mengatur dan mengontrol, sehingga

anak tidak diberi kesempatan untuk mandiri dan mengatur diri sendiri dan diberikan kewenangan untuk megontrol dirinya sendiri (mualifah, 2009: 48).

Dokumen terkait