Model bukaan pintu bubu standar berbentuk celah yang digunakan nelayan menyulitkan kepiting untuk keluar dari dalam bubu sekaligus menyulitkan kepiting untuk masuk. Archdale et al. (2007) melakukan penelitian untuk melihat
Mulut tampak depan
Celah mulut Lintasan masuk
kemampuan rajungan (swimming crab) (Charybdis japonica dan Portunus pelagicus) keluar dari dua jenis bubu. Bubu yang digunakan berbentuk balok dengan mulut berbentuk celah dan bubu berbentuk kubah dengan mulut berupa corong. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa seluruh kepiting yang digunakan pada uji coba tidak dapat keluar dari bubu berbentuk balok dengan mulut berbentuk celah. Adapun pada bubu berbentuk kubah, seluruh kepiting dapat keluar. Hal tersebut tentu saja tidak sesuai dengan prinsip kerja bubu, yaitu memudahkan biota yang menjadi target penangkapan untuk masuk, namun menyulitkannya untuk keluar.
Berdasarkan studi literatur, beberapa peneliti melengkapi mulut masuk bubu dengan menambahkan deretan kisi yang dipasang secara permanen. Kisi terbuat dari bahan plastik. Salah satu penelitiannya dilakukan oleh Zulkarnain et al.
(2011) yang memasang kisi pada mulut bubu lipat untuk menangkap lobster. Kelemahan kisi plastik adalah ukuran bukaan mulut bubu sering berubah, karena sangat tergantung pada kelenturan plastik yang digunakan. Jenis bahan kisi yang digunakan pada penelitian ini adalah kawat yang didesain dapat bergerak naik-turun. Kisi dipasang pada bagian sisi atas mulut dengan kemiringan tertentu. Dengan demikian kisi akan terbuka ketika terdorong oleh kepiting yang akan masuk dan akan menutup kembali dengan sendirinya akibat gravitasi setelah kepiting masuk ke dalam bubu. Jarak antar kisi adalah 2-3 cm.
Penggunaan kisi dapat meningkatkan hasil tangkapan. Hal ini diakibatkan biota yang menjadi target penangkapan menjadi lebih mudah masuk. Mason (1970) diacu dalam Miller (1990) menyatakan bahwa hasil tangkapan Cancer pagurus meningkat kurang lebih 50% pada bubu yang menggunakan kisi. Selain itu, penggunaan kisi akan menyulitkan biota untuk keluar dari bubu. High (1976)
diacu dalam Miller (1990) menyatakan bahwa setelah dilakukan pengamatan selama 12 hari, hanya 5% Cancer magister yang dapat keluar dari bubu yang menggunakan kisi. Adapun pada bubu yang tidak menggunakan kisi, 100%
Cancer magister dapat keluar.
Tinggi celah mulut bubu dalam penelitian ini didasarkan pada tebal karapas kepiting bakau. Kepiting bakau yang digunakan sebagai dasar penentuan ukuran celah pintu masuk harus memiliki ukuran yang normal. Berdasarkan uji regresi,
nilai koefisien determinasi (R2) antara tebal dan panjang karapas dari 30 kepiting bakau yang digunakan sebagai sampel sebesar 0,9491. Hal ini berarti bahwa 94,91% tebal karapas dapat dijelaskan oleh panjang karapas, sehingga hubungan keduanya sangat erat karena mendekati 100% (Santoso 1999). Hubungan yang erat juga ditunjukkan oleh nilai R2 antara tebal - lebar karapas dan tebal – berat kepiting dengan nilai masing-masing sebesar 0,9505 dan 0,933 (Gambar 22). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kepiting yang digunakan memiliki perbandingan ukuran ukuran yang proporsional, sebagaimana ukuran kepiting pada umumnya. Berdasarkan hasil pengujian tersebut, maka kepiting tersebut dapat digunakan sebagai dasar penentuan tinggi celah bubu.
Tebal karapas kepiting bakau yang menjadi patokan adalah tebal karapas kepiting yang layak tangkap (Gambar 23). Rata-rata tebal karapas kepiting tersebut adalah 3,5 cm, sehingga ukuran tersebut merupakan tinggi minimal dari bukaan mulut pintu masuk bubu. Hasil pengamatan laboratorium menunjukkan bahwa kepiting dapat melewati suatu celah selama celah tersebut lebih besar dari tebal karapasnya. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka tinggi celah pintu masuk bubu yang digunakan adalah sebesar 5 cm (Gambar 24). Besarnya celah masuk bubu akan berpengaruh terhadap hasil tangkapan. Hasil penelitian Koike and Ogura (1977) diacu dalam Miller (1990) menunjukkan bahwa bubu dengan diameter pintu masuk 30 cm memperoleh rata-rata hasil tangkapan spider crab
(Chionoechetes japonicus) sebanyak 6,4 individu per bubu, sedangkan bubu dengan diameter 50 cm memperoleh rata-rata hasil tangkapan 13,9 individu per bubu.
t = 0,552 p + 0,1387 R² = 0,9491 0 15 30 45 0 20 40 60 80 T eb al t (m m ) Panjang p (mm) t = 0,3549 l + 3,6 R² = 0,9505 0 15 30 45 0 20 40 60 80 100 120 T eb al t (m m ) Lebar l (mm) t = 0,1095 b + 20,882 R² = 0,9331 0 15 30 45 0 50 100 150 200 T eb al t (m m ) Berat b (mm)
Gambar 22 Hubungan antara tebal karapas dengan panjang dan lebar karapas serta berat kepiting.
Bukaan mulut bubu yang dirancang, dipasangi kisi yang terbuat dari kawat. Kisi berfungsi untuk menghalangi kepiting agar tidak dapat keluar dari bubu. Setiap dua kisi terbuat dari satu kawat yang terhubung. Ini dimaksudkan agar kisi tidak mudah bergeser, sehingga jarak antar kisi tidak berubah-ubah (Gambar 24).
Gambar 23 Posisi pengukuran tebal karapas kepiting bakau. Tebal t
5 cm
2-3 cm
4.1.4 Warna tutupan
Bubu lipat biasanya dioperasikan oleh nelayan pada dua selang waktu yang berbeda. Pertama, bubu lipat dipasang pada sore hari kemudian pada pagi hari keesokannya diangkat dan dibawa pulang. Kedua, bubu dipasang sore hari, kemudian keesokan paginya diangkat untuk diambil hasil tangkapannya. Bubu tidak dibawa pulang, tetapi dipasang kembali untuk diangkat pada sore harinya. Dengan kata lain, metode pengoperasian bubu yang kedua dilakukan pada dua selang waktu, yaitu malam dan siang hari.
Aktivitas kepiting pada pagi dan siang hari cenderung lebih rendah dibandingkan dengan malam hari. Saat hari terang, kepiting bersembunyi pada lubang atau daerah yang gelap. Menurut Yulianto (2011), kepiting bakau tergolong hewan nokturnal. Oleh karena itu, bubu yang dioperasikan pada siang hari sebaiknya dapat juga difungsikan sebagai tempat berlindung bagi kepiting. Cara ini dapat dilakukan dengan menambahkan tutupan pada bagian atas bubu. Warna tutupan yang diujicobakan adalah warna hitam. Pemilihan warna hitam didasarkan pada sifat kepiting yang aktif mencari makan pada malam hari dan selalu mencari tempat persembunyian yang gelap pada pagi dan siang hari (Moosa
et al. 1975). Selain itu, hasil penelitian Almada (2001) menjelaskan bahwa waktu makan kepiting terjadi pada malam hari, yaitu antara pukul 18.00-06.00 dengan waktu makan dominan antara pukul 18.00-24.00. Frekuensi makan dan aktivitas kepiting bakau pada siang hari jauh lebih rendah dibandingkan dengan malam hari.
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa kepiting memilih tutupan berwarna hitam pada seluruh ulangan dibandingkan dengan putih (Gambar 25). Hal ini diduga karena kebiasaan kepiting yang cenderung aktif pada malam menyebabkannya lebih menyukai daerah gelap, sehingga kepiting akan mencari tempat persembunyian ketika kondisi lingkungannya terang. Ilustrasi posisi penempatan tutupan terhadap posisi kepiting ditunjukkan pada Gambar 26.
4.2 Konstruksi Baru Bubu Kepiting Bakau (Scylla serrata) 4.2.1 Desain bubu
Berdasarkan hasil penelitian terhadap ukuran mata jaring lintasan masuk mulut bubu, sudut kemiringan lintasan masuk mulut bubu dan bukaan mulut bubu, maka 3 konstruksi bubu kepiting yang baru didesain dan diujicoba (Lampiran 2).
30 0 0 10 20 30 Hitam Putih F re k u en si Warna tutupan
Gambar 25 Frekuensi pemilihan warna tutupan.