• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

2. Bentuk Kebijakan Publik

Undang-Undang No. 10/ 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 7 mengatur jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Perundang-undangan sebagai berikut :

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 b) Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang c) Peraturan Pemerintah

d) Peraturan Presiden e) Peraturan Daerah

Rentetan kebijakan publik sangat banyak, namun demikian secara sederhana dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :

a. Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum, atau mendasar, yaitu kelima peraturan yang disebut diatas.

b. Kebijakan publik yang bersifat messo atau menengah, atau penjelas pelaksanaan. Kebijakan ini dapat berbentuk Peraturan Menteri, Surat Edaran Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, dan Peraturan

commit to user

Walikota. Kebijakannya dapat pula berbentuk Surakt Keputusan Bersama atau SKB antar-menteri, gubernur, dan bupati atau walikota. c. Kebijakan publik yang bersifat mikro adalah kebijaksanaan mengatur

pelaksanaan atau implementasi kebijakan diatasnya. Bentuk kebijakannya adalah peraturan yang dikeluarkan oleh aparat publik dibawah menteri, gubernur, bupati dan walikota

Menurut Yeremias T. Keban (2004: 57) bentuk kebijakan dapat dibedakan :

1) Bentuk “regulatory” yaitu mengatur perilaku orang

2) Bentuk “redistributive” yaitu mendistribusikan kembali kekayaan yang ada, atau mengambil kekayaan dari yang kaya lalu memberikannya kepada yang miskin

3) Bentuk “distributive” yaitu melakukan distribusi atau memberikan akses yang sama terhadap sumberdaya tertentu, dan,

4) Bentuk “constituent” yaitu yang ditunjukkan untuk melindungi negara.

3. Implementasi Kebijakan

Menurut Ag. Subarsono (2005,87); dalam berbagai sistem politik, kebijakan publik diimplementasikan oleh badan-badan pemerintah. Badan-badan tersebut melaksanakan pekerjaan pemerintah dari hari ke hari yang membawa dampak pada warga negaranya. Namun dalam praktik badan0badan

commit to user

pemerintah sering menghadapi pekerjaan-pekerjaan dibawah mandat dari undang-undang yang terlalu makri dan mendua (ambiguous), sehingga memaksa mereka untuk membuat diskresi, untuk memutus apa yang seharusnya diakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan.

Sedangkan menurut Petak dalam Jurnal The Probrem of formulating public policy ada beberapa hal yang membuat kebijakan dapati dilanjutkan atau tidak,

“If we start with the basic assumption that the cycle of policy-making can be split up into five or six phases – from putting a policy on the agenda, through formulating (policy design), legitimating and implementing a policy, to evaluating and deciding whether to continue or discontinue. its implementation – it seems it is possible to abstract at least three fundamental problems to which one should pay attention. The first problem concerns a possible lack of coordination in formulating particular policies, the second one a possible lack of monitoring, and the third one an unsystematic evaluation of policies (Petak, 2008a: 160-164). “

( Jika kita memulai dengan asumsi dasar bahwa lingkatan kebijakan- dapat kita bagi menjadi lima atau enam fase- dari meletakkan kebijakan dalam sebuah agenda, sampai formulasi (desain kebijakan), legitimasi dan implementasi kebijakan, kepada evaluasi dan memutuskan apakah dilanjutkan atau tidak dilanjutkan. Implementasi ini- ini terlihat dapat diabstrakkan menjadi tiga masalah fundamental yang salah satunya harus diberikan perhatian. Masalah pertama memusatkan pada kemungkinan terjadinya kesalahan kordinasi dalam formulasi kebijakan tertentu, yang kedua kemungkinan kesalahan dan pengawasan, dan yang ketiga tidak adanya sistematika evaluasi kebijakan Petak, 2008a:160-164)

Dari jurnal tersebut kita bisa menilai bahwa dalam implementasi ada tiga hal yang perlu kita perhatikan yaitu adanya kemungkinan kesalahan baik dalam koordinasi, pengawasan dan evaluasi. Sebuah kebijakan mempunyai peluang kesalahan baik di formulasi, implementasi dan evaluasi sehingga dalam formulasi kemungkinan kesalahan ini harus diantisipasi sehingga nantinya

commit to user

kebijakan yang dibuat akan menjadi kebijakan yang bermanfaat dan tepat sasaran.

Sedangkan Stewart dalam Jurnal Public Policies, private strategies, and local public spending bodies Alan Greer dan Paul Hogget justru membedakan antara kebijakan dengan implementasi.

“ The policy-implementation distinction is not only based upon a questionable set of assumption about how policy is constructed but is also a central component of a combination of a practices which have led to progressive depoliticization of local public life (Stewart 1996) ( Perbedaan Implementasi dengan kebijakan tidak hanya berdasarkan pada kumpulan pertanyaan mengenai asumsi bagaimana kebijakan tersebut dibuat tetapi itu termasuk juga bagian pusat dari kombinasi praktek untuk memimpin depolitisasi progresif kehidupan masyarakat lokal Stewart 1996)

Implementasi kebijakan juga merupakan sebuah gerakan untuk membuat depolitisasi progresif kehidupan masyakat lokal.

Implementasi melibatkan usaha dari policy makers untuk memengaruhi apa yang oleh Lipsky disebut “street level bureaucrats” untuk memberikan pelayanan atau mengatur perilaku kelompok sasaran (target group). Untuk kebijakan yang sederhana, implementasi hanya melibatkan satu badan yang berfungsi sebagai implementor. Misalnya, kebijakan komite sekolah untuk mengubah metode pengajaran guru di kelas. Sebaliknay, untuk kebijakan makro, misalnya, kebijakan pengurangan kemiskinan di pedesaan, maka usaha-usaha implementasi akan melibatkan berbagai institusi, seperti birokrasi kabupaten, kecamatan pemerintah desa. Mengenai keterlibatan berbagai aktor dalam implementasi, Randall B. Ripley dan Grace A. Franklin (1986) menulis sebagai berikut

commit to user

Impelemtation process involve many important actors holding diffuse and competing goals and expectations who work within a contexts of an increasingly large and complex mix of government programs that require participation from numerous layers and units of governtment and who are affected by powerful factors beyond their control (Ripley dan franklin, 1986 : 11)

(Proses implementasi meliputi banyak aktor yang memegang peranan dan bersaing mencapai tujuan dan berekspektasi yang bekerja tanpa konteks untukk menaikkan besarnya dan kekompleksitasan perpaduan program pemerintah yang memerlukan partisipasi dari banyak lapisan dan unit pemerintah dan siapa yang dipengaruhi oleh faktor kekuasaan selain dari kontrol mereka Ripley da Franklin, 1986 : 11)

Kompleksitas implementasi bukan saja ditunjukkan oleh banyaknya aktor atau unit organisasi yang terlibat, tetapi juga dikarenakan proses implementasi dipengaruhi oleh berbagai variabel yang kompleks, baik variabel yang individual maupun variabel variabel organisasional, dan masing-masing variabel pengaruh tersebut juga saling berinteraksi satu sama lain, sebagaimana akan diuraikan berikut ini.

4. Faktor-faktor yang Memengaruhi Implementasi Kebijakan

Keberhasilan implementasi kebijakan akan ditentukan oleh banyak variablel atau faktor, dan masing-masing variabel tersebut saling berhubungan satu sama lain . Untuk memperkaya pemahaman kita tentang berbagai variabel yang terlibat di dalam implementasi, maka dalam ini akan dielaborasi beberapa teori implementasi, seperti dari George C. Edwads III ( 1980), Merilee S. Grindle (1980), dan Daniel. A. Mazmanian dan Paul A. Sebatier

commit to user

(1983), Van Meter dan Van Horn (1975), dan Cheema dan Rondinelli (1983)m dan David L. Weimer dan Aidan. R. Vinning (1999)

a. Teori George C. Edwards III (1980)

Dalam pandangan Edwars III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yakni (1) komunikasi, (2) sumberdaya, (3) disposisi, dan (4) struktur birokrasi. Keempat variabel tersebut juga saling berhubungan satu sama lain.

(1) Komunikasi

Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasarana suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran.

(2) Sumberdaya

Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangang sumberdaya untuk melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan secara efektif. Sumberdaya tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementor, dan sumberdaya finansial. Sumberdaya adalah faktor penting untuk implementasi

commit to user

kebijakan agar efektif. Tanpa sumberdaya, kebijakan hanya tinggal di kertas menjadi dokumens saja.

(3) Disposisi

Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor seperti komitmen, kejujuran, dan sifat demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif. (4) Struktur Birokrasi

Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar (standard operating procedures atau SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak. Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Ini pada gilirannya menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel.

commit to user Gambar 1.1

Model Implementasi Kebijakan Menurut George C. Edward III

Sumber : Edward III, 1980 : 48

b. Teori Merilee S. Grindle (1980)

Keberhasilan implementasi menurut Merilee S. Grindle (1980) dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation) seperti terlihat pada gambar 6.2. Variabel isi kebijakan ini mencakup : (1) sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan; (2) jenis manfaat yang diterima oleh target group (3) sejauhmana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan. Suatu program yang bertujuan mengubah sikap dan perilaku kelompok sasaran relatif lebih sulit diimplementasikan daripada program yang sekedar memberikan bantuan kredit atau bantuan beras pada kelompok masyarakat miskin; (4) apakah letak sebuah program sudah tepat; (5) apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan

IMPLEMENTASI SUMBER DAYA DISPOSISI KOMUNIKASI STRUKTUR BIROKRASI

commit to user

rinci; dan (6) apakah sebuah program didukung oleh sumberdaya yang memadai.

Sedangkan variabel lingkungan kebijakan mencakup : (1) seberapa besar kekuasaan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan; (2) karakteristik institusi dan rejim yang sedang berkuasa; (3) tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran

commit to user Gambar 1.2

Model Implementasi Kebijakan Menurut Merile S Grindle

Sumber : Grindle, Merilee S, 1980 : 11 Isi Kebijakan :

a. Kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan b. Jenis manfaat yang akan dihasilkan

c. Derajat perubahan yang diinginkan d. Kedudukan pembuat kebijakan e. (Siapa) pelaksana program f. Sumberdaya yang dikerahkan Konteks Implementasi :

a. Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat

b. Karakteristik lembaga dan penguasa c. Kepatuhan dan daya tanggap

Hasil Kebijakan 1.Impak pada masyarakat, kelompok dan individu 2.Perubahan dan penerimaan masyarakat. Tujuan Kebijakan

Tujuan yang ingin dicapai

Program aksi dan proyek individu yang didesain dan

dibiayai

Apakah program berjalan sesuai rencana ?

commit to user

c. Teori Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983)

Menurut Mazmanian dan Sabatier (1983), ada tiga kelompok variabel yang memengaruhi keberhasilan implementasi, yakni:

(1) karakteristik dari masalah (tractability of the problems);

1.1. Tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan. Sifat masalah itu sendiri akan memengaruhi mudah tidaknya suatu program diimplementasikan. 1.2. Tingkat kemajemukan dari kelompok sasaran. Ini berarti bahwa suatu program akan relatif apabila kelompok sasarannya adalah homogen. Sebaliknya, apabila kelompok sasarannya heterogen, maka implementasi program akan relatif lebih suli, karena tingkat pemahaman setiap anggota kelompok sasaran terhadap program relatif berbeda.

1.3 Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi. Sebuah program akan relatif lebih sulit diimplementasikan apabila sasarannya mencakup semua populasi. Sebaliknya sebuah program relatif mudah diimplementasikan apabila jumlah kelompok sasarannya tidak terlalu besar.

1.4 Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan. Sebuah program yang bertujuan memberikan pengetahuan atau bersifat kognitif akan relatif mudah diimplementasikan daripada program yang bertujuan untuk mengubah sikap dan perilaku masyarakat

(2) karakteristik kebijakan/undang-undang (ability of statue to structure

implementation);

2.1 Kejelasan isi kebijakan. Ini berarti semakin jelas dan rinci isi sebuah kebijakan akan mudah diimplementasikan karena implementor mudah

commit to user

memahami dan menterjemahkan dalam tindakan nyata. Sebaliknya, ketidakjelasan isi kebijakan merupakan potensi lahirnya distorsi dalam implementasi kebijakan.

2.2 Seberapa jauh kebijakan tersebut memiliki dukungan teoritis. Kebijakan yang memiliki dasar teoritis memiliki sifat lebij mantap karena sudah teruji, walaupun untuk beberapa lingkungan sosial tertentu perlu ada modifikasi. 2.3 Besarnya alokasi sumberdaya finansial terhadap kebijakan tersebut. Sumberdaya keuangan adalah faktor krusial untuk setiap program sosial. Setiap program juga memerlukan dukungan staff untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan administrasi dan teknis, serta memonitor program, yang semuanya itu perlu biaya.

2.4 Seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan antar berbagai institusi pelaksana. Kegagalan progaram sering disebabkan kurangnya koordinasi vertikal dan horisontal antarinstasi yang terlibat dalam implementasi program. 2.5 Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana

2.6 Tingkat komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan. Kasus korupsi yang terjadi di Negara-Negara Dunia ketiga, khususnya di Indonesia salah satu sebabnya adalah rendahnya tingkat komitmen aparat untuk melaksanakan tugas dan pekerjaan atau program-program.

2.7 Seberapa luas akses kelompok-kelompok luar untuk berpartisipasi dalam implementasi kebijakan. Suatu program yang memberikan peluang luas bagi masyarakat untuk terlibat relatif mendapat dukungan daripada program yang

commit to user

tidak melibatkan masyarakat akan merasa terasing atau teralienasi apabila hanya menjadi penonton terhadap program yang ada di wilayahnya.

(3) variabel lingkungan (nonstatutory variables affecting implementation). 3.1. Kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan teknologi. Masyarakat yang sudah terbuka dan terdidik akan relatif mudah menerima program-program pembaruan dibanding dengan masyarakat yang masih tertutup dan tradisional. Demikian juga, kemajuan teknologi akan membantu dalam proses keberhasilan implementasi program, karena program-program tersebut dapat disosialisasikan dan diimplementasikan dengan bantuan teknologi modern.

3.2. Dukungan publik terhadap sebuah kebijakan. Kebijakan yang memberikan insentif biasanya mudah mendapatkan dukungan publik. Sebaliknya kebijakan yang bersifat dis-insentif, seperti kenaikan harga BBM atau kenaikan pajak akan kurang mendapat dukungan publik.

3.3. Sikap dari kelompok pemilih (constituency groups). Kelompok pemilih yang ada dalam masyarakat dapat memengaruhi implementasi kebijakan melalui berbagai cara antara lain : (1) kelompok pemilih dapat melakukan intervensi terhadap keputusan yang dibuat badan-badan pelaksana melalui berbagai komentar dengan maksud untuk mengubah keputusan; (2) kelompok pemilih dapat memiliki kemampuan untuk memengaruhi badan-badan pelaksana secara tidak langsung melalui kritik yang dipublikasikan terhadap kinerja badan-badan pelaksana, dan membuat pernyataan yang ditujukan kepada badan legislatif.

commit to user

(4) Tingkat komitmen dan ketrampilan dari aparat dan implementor. Pada akhirnya, komitmen aparat pelaksana untuk merealisasikan tujuan yang telah tertuang dalam kebijakan adalah variabel yang paling krusial. Aparat badan pelaksana harus memiliki ketrampilan dalam membuat prioritas tujuan dan selanjutnya merealisasikan prioritas tujuan tersebut.

Gambar 1.3

Model Implementsi Kebijakan Menurut Mazmanian dan Sabatier

Sumber : Mazmanian, Daniel A dan Sabatier, Paul A, 1983:22 Mudah tidaknya Masalah Dikendalikan

1. Dukungan teori dan teknologi 2. Keragaman perilaku kelompok

sasaran

3. Tingkat perubahan perilaku yang dikendalikan

Kemampuan Kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi

1. Kejelasan dan konsistensi tujuan 2. Dipergunakannya teori kausal 3. Ketepatan alokasi sumberdaya 4. Keterpaduan hirarkis di antara

lembaga pelaksana

5. Aturan pelaksanaan dari lembaga pelaksana

6. Perekrutan pejabat pelaksna 7. Keterbukaan kepada pihak luar

Variabel di Luar Kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi 1. Kondisi sosio-ekonomi dan teknologi 2. Dukungan publik

3. Sikap dan risoris dari konstituen 4. Dukungan pejabat yang lebih tinggi 5. Komitmen dan kualitas

kepemimpinan dari pejabat pelaksana.

Output kebijakan dari lembaga pelaksana Kepatuhan target terhadap output kebj. Hasil nyata output kebijakan Diterimanya hasil tersebut Revisi Undang- Undang

commit to user

d. Teori Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn (1975)

Menurut Meter dan Horn, ada lima variabel yang memengaruhi kinerja implementasi, yakni

(1) standar dan sasaran kebijakan. Standar dana sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisir.

(2) Sumberdaya. Implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya baik seuberdaya manusia (human resources) maupun sumberdaya non-manusia (non-human resources).

(3) Hubungan antar organisasi. Dalam implementasi kebijakan, diperlukan koordinasi dan kerjasama antar instansi bagi keberhasilan suatu program. (4) Karakteristik agen pelaksana. Yang dimaksud karakteristik agen pelaksana adalah mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yan terjadi dalam birokrasi, yang semuanya itu akan memengaruhi implementasi suatu program.

(5) Kondisi sosial, politik, dan ekonomi. Variabel ini mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan impelementasi kebijakan; sejauhmana kelompok-kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan; karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak; bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkunga; dan apakah elite politik mendukung implementasi kebijakan.

(6) Disposisi implementor. Disposisi implementor ini mencakup tiga hal yang penting, yakni : (a) respons implementor terhadap kebijakan, yang akan

commit to user

memengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan; dan (c) intensitas disposisi implementor, yakni preferensi yang dimiliki oleh implementor.

Gambar 1.4

Model Implementasi Kebijakan Menurut Van Horn dan Van Meter

Sumber : Van Meter dan Horn, 1975 :463

d. Teori G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli

Gambar berikut ini menggambarkan kerangka konseptual yang dapat digunakan untuk analisis impelementasi program-program pemerintah yang bersifat desentralistis. Ada emapat kelompok variabel yang dapat memengaruhi kinerjadan dampat suatu program, yakni : (1) kondisi lingkungan; (2) hubungan antar organisasi; (3) sumberdaya organisasi untuk implementasi program; (4) karakteristik dan kemampuan agen pelaksana.

e. Teori David L. Weimer dan Aidan R. Vining (1999)

KINERJA KEBIJAKAN PUBLIK KEBIJAKAN PUBLIK Standar dan Tujuan Standar dan Tujuan Aktivitas Implementasi dan Komunikasi Antarorganisasi Karakteristik dari Agen Pelaksana Kondisi Ekonomi, Sosial dan Politik

Kecenderunga/ Disosisi dari

commit to user

Dalam pandangan Weimar dan Vining (1999:396) ada tiga kelompok variabel besar yang dapat mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu program, yakni :

(1) logika kebijakan

Logika dari suatu kebijakan ini dimaksudkanagar suatu kebijakan yang ditetapkan masuk akal (reasonable) dan mendapat dukungan teoritis. Kita dapat berpikir bahwa logika dari suatu kebijakan seperti halnya hubungan logis dari suatu hipotesis.

(2) lingkungan tempat kebijakan;

Lingkungan tempat kebijakan tersebut dioperasikan akan memengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan. Yang dimaksud lingkungan ini mencakup lingkungan sosial, politik, ekonomi, hankam, dan fisik atau geografis. Suatu kebijakan dapat berhasil diimplementasikan disuatu daerah tertentu, tapi ternyata gagal diimplementasikan di daerah lain, karena kondisi lingkungan yang berbeda.

(3) kemampuan implementor kebijakan.

Keberhasilan suatu kebijakan dapat dipengaruhi oleh tingkat kompetensi dan keterampilan dari para implementor kebijakan

B. Pengertian Revitalisasi

Kara revitalisasi menurut Depdiknas dalam kamus besar bahasa Indonesia (2008) berarti “suatu perbuatan untuk menghidupkan kembali atau menggiatkan kembali sesuatu”. Sedangkan menurut Umi Khulsum dan Windy

commit to user

Novia dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2006). Revitalisasi merupakan “suatu proses, cara, perbuatan untuk memvitalkan sesuatu”.

Revitalisasi merupakan salah satu bentuk upaya pelesatarian bangunan. tidak Pelesatarian bangunan erat kaitannya dengan wawasan identitas. Identitas regional terbentuk dari bentuk-bentuk arsitektural dan lingkungan budaya yang beraneka ragam. Perkembangan menuju terciptanya integritas rasional berawa dari situasi dan kondisi yang kacau dan tidak tentu arah. Setelah disadari bahwa suasana tersebut tidak mendukung upaya memperkuat keunikan suatu daerah, berlangsunglah proses penyeragaman untuk menyadarkan semua pihak agar kembali pada kepribadian yang dimiliki. Masalahnya, mungkin muncul pertentangan antara kepentingan pelestarian dengan kebutuhan fasilitas baru karena keterbatasan ruang kota. Untuk mengetahui seberapa jauh keaslian bangunan pada suatu kawasan untuk tetap dipertahankan dan seberapa besar dapat dilakukan perubahan, maka perlu diketahui pelestarian bangunan. Teori yang membahas bentuk-bentuk pelestarian bangunan antara lain (dalam Kurniawan, 2003):

a. Pelestarian bangunan menurut Wayne O. Attoe (dalam Kurniawan, 2003) antara lain :

Restorasi, yaitu upaya mengembalikan sebuah bangunan sesuai dengan kondisi aslinya, mengganti bagian yang hancur dan membuang elemen tambahan yang ada.

Rehabilitasi – Renovasi, yaitu sebuah strategi untuk membuat bangunan lama untuk dapat digunakan kembali sesuai dengan

commit to user

tuntutan lingkungannya. Pada umunya, bentuk luar bangunan tetap dipertahankan sesuai aslinya dan bagian dalamnya diubah secara drastis. Tidak jarang, fungsi yang baru sangat bertentangan dengan fungsi yang lama.

Konservasi, yaitu upaya untuk mempertahankan bangunan agar tidak hancur dan memperbaiki bangunan yang rusak.

Replikasi – imitasi, yaitu pembangunan baru dengan meniru bangunan yang ada sebelumnya untuk mempertahankan suasana. Replikasi apabila bangunan baru meniru bangunan yang ada sebelumnya dan imitasi bila bangunan baru merupakan simpatis untuk menunjang semangat tempat tersebut.

Relokasi, memindahkan lokasi bangunan dari suatu kawasan dengan alasan ekonomis atau dikelompokkan menurut jenisnya ke dalam suatu kawasan

b. Pelestarian bangunan menuru James Marston Fitch (dalam Kurniawan, 2003) antara lain:

 Preservasi, merupakan perlakuan terhadap artefak agar sesuai dengan aslinya.

 Restorasi, merupakan upaya mengembalikan sebuah bangunan sesuai dengan kondisi aslinya, mengganti bagian yang hancur dan membuang elemen tambahan yang ada. Bangunan yang dipilih berdasarkan pada nilai sejarah dan kesatuan estetisnya.

commit to user

 Konservasi – Konsolidasi, merupakan intervensi fisik untuk menjaga keutuhan struktur bangunan.

 Rekonstitusi, merupakan upaya penyelamatan bangunan melalui penyusunan satu per satu bagian, pada umunya akibat bencana alam atau perang.

 Adaptive use,merupakan penyelamatan bangunan lama secara ekonomis, bangunan lama tetap dipertahankan tetapi fungsinya menyesuaikan dengan kebutuhan dimasa mendatang.

 Rekonstruksi, merupakan kreasi ulang dari bangunan yang hilang tapak aslinya.

 Replikasi, merupakan salinan dari artifak yang ada, tiruan dari bangunan yang masih berdiri. Secara fisik hasilnya lebih akurat daripada rekonstruksi karena contohnya masih digunakan sebagai kontrol terhadap proporsi tekstur dan warna.

c. Pelestarian Bangunan menurut Sidharta dan Eko Budiharjo (dalam Kurniawan 2003) antara lain :

 Konservasi, adalah pengelolaan suatu tempat agar makna kultural yang dikandungnya terpelihara dengan baik.

 Preservasi, adalah pelestarian bangunan sesuai dengan aslinya.

Dokumen terkait