• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bentuk Kejahatan Unjuk Rasa Yang Anarkhis

BAB II BENTUK TINDAK PIDANA AKSI UNJUK RASA YANG

B. Bentuk Kejahatan Unjuk Rasa Yang Anarkhis

Membicarakan bentuk kejahatan penghasutan terhadap aksi unjuk rasa yang berakibat anarkhis maka pokok permasalahan yang terlebih dahulu harus diketahui adalah keberadaan delik penghasutan itu sendiri.

Pasal 160 KUHP berbunyi sebagai berikut:

Barang siapa di muka umum dengan lisan atau dengan tulisan menghasut supaya melakukan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti, baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasarkan ketentuan undang-undang diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun, denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,00 (empat ribu lima ratus rupiah).

Meskipun tidak ada penjelasan resmi terhadap makna kata menghasut, namun menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia tindakan penghasutan adalah suatu

perwujudan untuk “membangkitkan hati orang supaya marah (untuk melawan atau

memberontak”19

, atau menurut Black’s Law Dictionary edisi ke-8 halaman 1.262 dengan menggunakan padanan kata menghasut dengan provocation diartikan sebagai, something (such as word or action) that affects a person’s reason and self-control, esp. causing the person to commit a crime impulsively”.20

Sejalan dengan itu, R. Soesilo dalam komentarnya terhadap Pasal 160 KUHP, menjelaskan:

19

Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, halaman 392.

20 Zain Al Ahmad, “Delik Penghasutan Dengan Lisan (Pasal 160 KUHP) - Otokritik

Terhadap Pemahaman Berdasarkan Komentar R. Soesilo”,

http://catatansangpengadil.blogspot.com/2010/11/delik-penghasutan-dengan-lisan-Pasal.html, Diakses tanggal 13 Mei 2012.

Menghasut artinya mendorong, mengajak, membangkitkan atau membakar semangat orang supaya berbuat sesuatu. Dalam kata menghasut tersimpul sifat dengan sengaja. Menghasut itu lebih keras dari pada memikat atau membujuk, yang tersebut dalam Pasal 55 akan tetapi bukan memaksa. Orang memaksa orang lain untuk berbuat sesuatu itu itu bukan berarti menghasut. Cara menghasut orang itu rupa-rupa, misalnya dengan cara yang langsung, seperti: Seranglah polisi yang tidak adil itu, bunuhlah dan ambil senjatanya ditujukan terhadap seorang pegawai polisi yang sedang menjalankan pekerjaannya yang sah. Dapat pula secara tidak langsung, seperti: Lebih baik, andaikata polisi yang tidak adil itu dapat diserang, dibunuh, dan diambil senjatanya.Mungkin pula dalam bentuk pertanyaan, seperti: Saudara-saudara apakah polisi yang tidak adil itu kamu biarkan saja, apakah tidak kamu serang, bunuh dan ambil senjatanya.21

Sampai di sini, berdasarkan penjelasan R. Soesilo tersebut dikaitkan dengan pengertian menghasut dalam kamus dan bunyi Pasal 160 KUHP di atas, diperoleh pemahaman bahwa: Yang dimaksud dengan menghasut dengan lisan dalam Pasal 160 KUHP adalah peristiwa dimana penghasut mengeluarkan kata-kata atau kalimat-kalimat yang berisi saran, anjuran atau perintah di muka umum, agar si terhasut melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum.

R. Soesilo melanjutkan komentarnya yaitu:

Menghasut itu dapat dilakukan baik dengan lisan maupun dengan tulisan. Apabila dilakukan dengan lisan, maka kejahatan itu menjadi selesai, jika kata-kata yang bersifat menghasut itu telah diucapkan, sehingga suatu percobaan pada delik

21

ini tidak mungkin terjadi. Lain halnya, apabila hasutan itu dilakukan dengan tulisan. Karangan yang sifatnya menghasut harus ditulis dahulu, kemudian tulisan itu disiarkan atau dipertontonkan pada publik, dan haruslah delik itu dianggap selesai. Orang yang hanya baru menulis karangan itu, belum merupakan percobaan pada delik ini. Jika tulisan itu selesai dan ia bertindak untuk menyiarkan atau mempertontonkan tulisan tersebut, tetapi belum sampai berhasil lalu digagalkan, maka orang itu telah melakukan percobaan yang dapat dihukum. Dalam arti kata tulisan itu tidak termasuk suatu gambar, karena gambar yang bersifat menghasut sukar dipikirkan.22

Selanjutnya R. Soesilo berkomentar:

Orang hanya dapat dihukum, apabila hasutan itu dilakukan di tempat umum, tempat yang didatangi publik atau dimana publik dapat mendengar. Tidak perlu, bahwa penghasut itu harus berdiri di tepi jalan raya misalnya, akan tetapi yang disyaratkan ialah, bahwa di tempat itu ada orang banyak. Tidak mengurangkan syarat bahwa harus di tempat umum dan ada orang banyak, maka hasutan itu bisa terjadi meskipun hanya ditujukan pada satu orang. Orang yang menghasut di tengah alun-alun yang kosong dan tidak ada orang sama sekali yang mendengarkan itu, tidak dapat dihukum. Orang menghasut dalam rapat umum dapat dihukum demikian pula di gedung bioskop, meskipun masuknya dengan karcis, karena itu adalah tempat umum, sebaliknya menghasut dalam pembicaraan yang bersifat kita sama kita (onder onsjes vertrouwelijk) itu tidak dapat dihukum. Jika menghasut itu dilakukan dengan tulisan, misalnya surat selebaran, majalah,

22

panflet dan sebagainya, maka surat-surat itu harus tersiar luas atau ditempelkan (dipertontonkan) di tempat yang dapat dibaca oleh orang banyak. Jika hanya tersiar pada satu dua orang saja atau hanya ditempelkan di tempat yang tidak dapat dilihat oleh orang banyak itu tidak masuk dalam delik ini.23

Adapun pemahaman yang didapatkan dari komentar R. Soesilo dimaksud yaitu sebagai berikut: bahwa menghasut dengan lisan merupakan kejahatan selesai jika kata-kata yang bersifat menghasut itu telah diucapkan, jadi tidak soal bila apa yang dihasutkan tersebut tidak betul-betul dilakukan oleh si terhasut (delik formil).

Tidak mungkin terjadi suatu percobaan dalam kejahatan ini. Kata-kata yang bersifat menghasut itu harus diucapkan di tempat yang ada orang lain di situ dan ucapan tersebut bersifat terbuka walaupun di tempat itu hanya ada 1 (satu) orang saja. Jadi bukan bersifat pembicaraan kita sama kita yang bersifat tertutup.

Maksud hasutan ditujukan supaya orang melakukan perbuatan yang dapat dihukum dan tidak disyaratkan si penghasut harus mengerti apa isi hasutannya, cukup jika dapat dibuktikan isi hasutan tersebut ditujukan agar orang melanggar hukum.

Dari pemahaman di atas, maka dapat dikatakan terdapat 2 (dua) syarat terjadinya perbuatan menghasut secara lisan dalam Pasal 160 KUHP adalah:

1. Kata-kata berisi hasutan diucapkan di tempat umum dan ditujukan kepada orang lain yang ada di situ.

2. Kata-kata yang diucapkan tersebut berisi ajakan untuk melakukan perbuatan yang dapat dipidana.

23

Kemudian dengan metode otokritik dipertanyakan keadaan tentang syarat terjadinya perbuatan menghasut dengan lisan dengan mengemukakan pertanyaan sebagai berikut: Bagaimana jika orang lain sebagai mana dimaksud dalam simpulan angka 1 (satu) di atas, ada di situ karena niat yang sama dengan isi hasutan. Misalnya: A dan B berada di tempat yang sama. A berada di tempat itu karena ingin membunuh Polisi C dengan perencanaan dan persiapan yang matang (perbuatan persiapan telah terjadi). Lalu B meneriakan kata-kata Ayo, bunuh polisi itu, ditujukan kepada Polisi C yang ada di situ. Apakah B dapat dianggap melakukan penghasutan?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, terlebih dahulu akan dikemukakan hal-hal sebagai berikut:

1. Tentang kualifikasi delik

Dalam ilmu hukum pidana, kualifikasi delik dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu delik formil dan delik materiil. Delik formil ialah delik yang dalam perumusannya hanya menitikberatkan pada suatu perbuatan yang dilarang/diancam pidana oleh undang-undang, tanpa perlu melihat ada tidaknya akibatnya dari perbuatan itu. Sementara delik materiil dalam perumusannya, lebih menekankan pada terjadinya akibat dari suatu perbuatan pidana.

Sebagaimana disebutkan di atas, R. Soesilo menggolongkan delik penghasutan sebagai delik formil, hal ini dapat dilihat dari penjelasannya yang pada pokoknya menganggap seseorang cukup telah dapat dianggap melakukan

penghasutan walaupun isi dari kata-kata hasutan yang diucapkannya tidak betul-betul dilakukan oleh orang yang terhasut.24

Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. Nomor: 7/PUU-VII/2009, menegaskan bahwa: "... dalam penerapannya, Pasal a quo (baca: Pasal 160 KUHP) harus ditafsirkan sebagai delik materiil dan bukan sebagai delik formil. Hal ini berarti, penjelasan R. Soesilo sepanjang mengenai kualifikasi delik dalam Pasal 160 KUHP tidak dapat diterapkan lagi, sehingga persyaratan terjadinya perbuatan penghasutan dalam Pasal 160 KUHP bertambah satu syarat sejalan dengan sifat delik materiil yaitu: Akibat dari perbuatan penghasutan itu harus benar-benar terjadi, yakni: si terhasut melakukan isi hasutan. 25

2. Tentang Asas Culpabilitas

Asas culpabilitas yaitu asas tiada pidana tanpa kesalahan (afwijzigheid van alle schuld) sebagaimana terkandung dalam Pasal 6 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu:

“Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat

pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan

yang didakwakan atas dirinya.”

Adapun tentang ajaran “kesalahan” (schuld) yang dikenal dalam ilmu hukum pidana yaitu kesalahan (schuld) terdiri atas kesengajaan (dolus/opzet) atau

24

R. Soesilo, Op.Cit, halaman 136.

25

kealpaan (culpa). Yang dimaksud dengan “kesengajaan” (dolus/opzet) ialah perbuatan yang dikehendaki dan si pelaku menginsafi akan akibat dari perbuatan itu. Sedangkan yang dimaksud dengan kealpaan (culpa) adalah sikap tidak hati-hati dalam melakukan suatu perbuatan sehingga menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang di samping dapat menduga akibat dari perbuatan itu adalah hal yang terlarang. 26

Kesengajaan (dolus/opzet) mempunyai 3 (tiga) bentuk yaitu: a. Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk).

b. Kesengajaan dengan keinsyafan pasti (opzet als zekerheidsbewustzijn) dan

c. Kesengajaan dengan keinsyafan kemungkinan (dolus eventualis), sedangkan kealpaan (culpa) dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu kealpaan dengan kesadaran (bewuste schuld) dan kealpaan tanpa kesadaran (onbewuste schuld).27

Pokok komentar R. Soesilo sebagaimana disebutkan di atas, yang pada pokoknya menegaskan: tidak disyaratkan si penghasut harus mengerti apa isi hasutannya, cukup jika dapat dibuktikan isi hasutan tersebut ditujukan agar orang melanggar hukum, jelas menabrak asas culpabilitas ini sehingga perlu diluruskan.

Penambahan satu syarat lagi untuk menyatakan seseorang bersalah melakukan delik penghasutan yaitu: Orang yang menghasut tersebut harus melakukannya dengan sengaja.

26

Ibid.

27

PAF Lamintang, 1997, Dasar-DAsar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, halaman 158.

Selanjutnya akan dijawab pertanyaan tersebut di atas berdasarkan pemahaman yang telah disebutkan di muka dan dikaitkan dengan logika sebab-akibat dalam ilmu hukum pidana serta pengertian "menghasut" dalam kamus, yaitu: Tidak logis jika B dikatakan menghasut, karena keberadaan si A di situ, dimana si A sebagai satu-satunya orang yang mendengar ucapan itu memang berniat ingin membunuh Polisi C. Ada atau tidaknya ucapan si B, si A telah melakukan perbuatan persiapan untuk membunuh atau hampir pasti dia akan membunuh Polisi C. Jadi, dalam contoh kasus ini, si B tidak dapat dipersalahkan melakukan perbuatan menghasut.

Berdasarkan alasan di atas, dianggap perlu penambahan satu syarat lagi yaitu syarat: Keberadaan orang lain yang ada di situ tidak mempunyai niat yang sama dengan isi hasutan.

Dari uraian pembahasan tersebut maka dapat dikatakan bentuk kejahatan penghasutan terhadap aksi unjuk rasa yang berakibat anarkhis adalah meliputi: 1. Menghasut yang diucapkan di tempat umum dan ditujukan kepada orang lain

yang ada di situ.

2. Keberadaan orang lain yang ada di situ tidak mempunyai niat yang sama dengan isi hasutan.

3. Kata-kata yang diucapkan tersebut berisi ajakan untuk melakukan perbuatan yang dapat dipidana.

4. Isi hasutan harus benar-benar dilakukan oleh orang yang terhasut. 5. Adanya unsur kesengajaan pada diri pelaku penghasutan.

Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh R. Soesilo yaitu: Maksud suatu hasutan itu harus ditujukan supaya:

1. Dilakukan sesuatu peristiwa pidana (pelanggaran atau kejahatan), semua perbuatan yang diancam dengan hukuman.

2. Melawan pada kekuasaan umum dengan kekerasa, yang diartikan dengan kekuasaan umum yaitu semua orang yang ditugaskan menjalankan kekuasaan pemerintah, dimana termasuk semua bagian dari organisasi pemerintah pusat atau daerah.

3. Jangan mau menurut peraturan undang-undang, yang diartikan dengan peraturan undang-undang yaitu semua peraturan yang dibuat oleh kekuasaan legislatif, baik dari pemerintah pusat maupun daerah.

4. Jangan mau menurut perintah yang sah yang diberikan menurut undang-undang, perintah itu harus syah dan diberikan menurut undang-undang-undang, jadi kalau diberikan oleh pembesar yang tidak berhak untuk memberikan perintah itu, maka tidak termasuk dalam Pasal ini.28

Pendapat di atas didukung pula oleh S.R. Sianturi yang mengatakan: Ada empat macam tindakan/perbuatan yang dihasutkan:

1. Menghasut supaya melakukan suatu tindak pidana.

2. Menghasut supaya melakukan suatu perbuatan kekerasan kepada penguasa umum.

3. Menghasut supaya tidak mematuhi suatu peraturan perundang-undangan. 4. Menghasut supaya tidak mematuhi suatu perintah jabatan yang diberikan

berdasarkan peraturan perundangan.29

Pembahasan berikut ini akan diuraikan tentang kasus yang diajukan dalam penelitian ini yaitu Putusan Mahkamah Agung No. 470.K/Pid/1995, yaitu:

Kasus posisi:

1. Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (S.B.S.I) Cabang Medan terdiri dari : Amosi

28

R. Soesilo, Op.Cit, halaman 137.

29

S.R. Sianturi, 1983, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Jakarta: Alumni AHM PTHM, Halaman 307.

Telaumbanua sebagai Ketua Umum, dengan Saniman Lafoa sebagai sekretariat serta Bendahara Hayati, di bawah nauangan SBSI pusat dipimpin oleh ketua umum : Muchtar Pakpahan.

2. Amosi sebagai Ketua SBSI Cabang Medan adalah penggerak organisasinya. Ia banyak mengetahui masalah-masalah yang sedang dihadapi buruh saat ini. Amosi juga mengerti akan hak-hak para buruh yang mestinya diterima dari para pengusaha, namun masih belum terpenuhi.

3. Diantara cabang-cabang SBSI di daerah, maka SBSI Medan termasuk yang paling aktif mengadakan kegiatan SBSI. Salah satu kegiatan SBSI adalah melakukan pengukuhan kepada buruh tentang hak-hak yang seharusnya diperoleh. Dalam kegiatan tersebut. Amosi memberikan pengarahan dengan materi mengenai perburuhan, termasuk tentang Undang-Undang Ketenagakerjaan dan pelaksanaannya.

4. Penyuluhan-penyuluhan yang diberikan SBSI nyatanya menarik perhatian dan keikut sertaan buruh di Medan. Kegiatan SBSI Medan selalu dihadiri oleh banyak buruh. Bukan hanya anggota sBSI saja, para simpatisan juga hadir dalam kegiatan-kegiatan SBSI yang dilakukan secara berkala. Pada separuh pertama tahun 1994, SBSI memberikan pengarahan pada buruh, berturut-turut pada bulan Pebruari, Maret, tanggal 3, 4, 10, 12, 13 April. Kegiatan SBSI dilakukan di rumah para buruh atau kantor Sekretariat SBSI Cabang Medan Jalan Mangaan III Benteng Medan. Para buruh Medan memang mempunyai beberapa masalah yang belum diselesaikan secara tuntas, baik oleh pihak perusahaan maupun oleh Pemerintah daerah setempat. Bagi mereka

masalah-masalah yang harus segera diselesaikan itu antara lain :

a. Kenaikan upah buruh dari Rp. 3.000, - perhari menjadi Rp. 7.000,- b. Kebebasan berorganisasi

c. Kematian Rusli rekan kerja mereka

d. Pencabutan surat Menaker No. 1 tahun 1994.

5. Pengarahan yang diberikan amosi agaknya menyulut emosi, para buruh merencanakan unjuk rasa untuk merealisasikan pembicaraan yang telah dilakukan. Sebagai langkah awal, amosi dan rekan pengurus SBSI Cabang Medan lainnya menyebarkan lembaran pamplet seruan mogok kepada buruh di Kawasan Industri Medan, selebaran – selebaran itu diperoleh dari DPP SBSI di Jakarta.

6. Pada hari yang telah ditentukan tanggal 14 April 1994, sekitar 20.000 orang buruh berkumpul di depan Kantor Gubernur Sumut. Mereka ingin menyampaikan dan membicarakan persoalan-persoalan yang belum diselesaikan. Tetapi aparat Pemda tidak menanggapinya. Melihat kenyataan itu,

Amosi menyuruh para buruh untuk membubarkan diri “ Pulanglah kalaian dengan tenang “seru Amosi. Pengunjuk rasa memang menuruti seruan itu. Namun diperjalanan pulang, para buruh tidak dapat mengendalikan kekecewaannya. Emosi mereka kembali memuncak, dan tindakan mereka benar-benar sulit untuk dikontrol. Kantor pabrik yang terletak di jalan yang dilalui, sepanjang perjalanan pulang menjadi sasaran kemarahan mereka. Mereka melempari bangunan-bangunan itu dengan batu tanpa ada perintah dari Pimpinan mereka. Namun demikian aparat keamanan telah mengetahui siapa

pimpinan SBSI yang memprakarsai mogok dan unjuk rasa para buruh tersebut. Polisi setempat menangkap para pengurus SBSI Cabang Medan, termasuk Amosi Talaumbanua. Mereka diperiksa dan diajukan ke pengadilan Negeri Medan dalam berkas perkara secara terpisah.

7. Jaksa Penuntut Umum mengajukan Amosi sebagai terdakwa di Pengadilan Negeri Medan dan didakwa melakukan perbuatan pidana sebagai berikut:

I. Kesatu:

Primair : ex Pasal 160 jo. Pasal 55 ayat (1) ke- 1e , KUH Pidana.

“ Secara lisan atau dengan tulisan di depan umum menghasut untuk melakukan

sesuatu perbuatan yang dapat dihukum; melawab para kekuasaan umum

dengan kekerasan, ……… dan seterusnya,

………dst, ………” seterusnya,

………..dst, ………. (Seruan mogok dan unjuk rasa, dst ………..).

Subsidair: Ex Pasal 161 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke 1e KUH Pidana.

“menyebarluaskan, mempertunjukkan secara terbuka, menempelkan sesuatu

tulisan yang berisi hasutan untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat

dihukum, ……….dst, ………dst “.

II. Kedua :

Ex Pasal 170 ayat (1). Jo Pasal 55 (1) ke-2e KUH Pidana “ Secara terbuka dan

secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap manusia atau barang

Jaksa Penuntut Umum dalam reguitoirnya yang diajukan di persidangan Pengadilan Negeri Medan menuntut agar supaya hakim menyatakan :

a. Terdakwa AMOSI TALAUMBANUA, bersalah melakukan delik: “secara

bersama-sama menghasut orang lain dengan lisan atau tulisan agar

melakukan perbuatan yang dapat dihukum“ ex Pasal 160. 55 (1) ke.1e

KUH Pidana dalam dakwaan kesatu primair.

b. Menuntut hukuman penjara satu tahun dan enam bulan dan dikurangi selama berada dalam tahanan sementara.

c. Dan seterusnya, ……….. dt, ………dst,

PENGADILAN NEGERI:

1. Hakim pertama yang mengadili perkara ini memberikan pertimbangan sebagai berikut :

2. Mejelis akan mempertimbangkan Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUH Pidana. Menurut Pasal tersebut, sebagai pembuat (dadaer) sesuatu perbuatan pidana antara lain adalah mereka yang melakukan yang menyuruh lakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan.

3. Menurut putusan Mahkamah Agung No. 111.7K.Pid/1990, tanggal 30/II/1990 untuk dapat dikualifikasikan sebagai turut serta melakukan perbuatan pidana dalam arti bersama-sama melakukan, sedikitnya harus ada 2 orang, yaitu orang yang melakukan perbuatan pidana itu. Dalam hal ini kedua orang itu semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan yaitu melakukan nasir dari perbuatan pidana.

tetap digunakan menyatakan : bahwa suatu perbuatan yang dilakukan bersama-sama adalah turut serta melakukan dapat terjadi jika dua atau lebih melakukan secara bersama-sama suatu perbuatan yang dapat dilakukan. Sedang dengan perbuatan masing-masing saja, maksud itu tidak akan sampai.

5. Dipersidangan telah terbukti, baik terdakwa maupun saksi-saksi Saniman Lafao; Risman L; fatiwanolo ; Hayati (berkas perkara terpisah), sebagai pengurus SBSI, telah memberikan pengarahan tentang hak-hak dan kewajiban kaum buruh serta hak mogok buruh, jika masalah dengan pengusaha tidak ada penyelesaian. Terutama tentang kenaikan upah. Apalagi jika dihubungkan

dengan “ seruan mogok “/unjuk rasa “ dari Ketua Umum SBSI, Muchtar

Pakpahan dan sekretaris Umum SBSI, disepakati untuk diperbanyak dan disebarluaskan kepada buruh pada setiap kegiatan pemogokan kaum buruh di unit-unit semua perusahaan masing-masing terdakwa secara bergiliran bersama saksi-saksi tersebut, telah mendampingi buruh yang mogok. Demikian pula pada peristiwa unjuk rasa tanggal 14 – 4 1994, menurut Terdakwa, kegiatan buruh selalu ada hubungannya dengan organisasi buruh SBSI.

6. Dari uraian tersebut telah terbukti bahwa antara terdakwa dengan saksi-saksi saniman, Riswan, Fatiwanolo dan Hayati bekerjasama dalam melaksanakan perbuatan pelaksanaan sehingga terjadi unjuk rasa.

7. Unjuk rasa tersebut menimbulkan kerusuhan dan pelemparan batu terhadap perusahaan-perusahaan dan rumah-rumah penduduk. Karenanya, Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUH Pidana terpenuhi dalam perbuatan terdakwa.

ayat (1) ke 1 KUH Pidana.

9. Dipersidangan diperoleh fajta bahwa sebelum terjadinya unjuk rasa para buruh, dilakukan pertemuan setiap hari. Pertemuan itu dihadiri oleh 50 – 100 buruh, baik di rumah terdakwa maupun di kantor cabang SBSI Medan. Terdakwa memberikan penjelasan, pengarahan, tentang hak-hak buruh, diantaranya tentang upah dan hak mogok jika permasalahan dengan pengusaha tidak ada penyelesaian. Tempat pertemuan adalah di rumah Terdakwa di Jalan Mangaan III Lorong Benteng No. 106 Medan dan di Kantor SBSI di jalan Tapian Nauli III No. 116 Medan. Tempat itu didatangi buruh berserta simpatisan-simpatisan SBSI (umum) atau orang banyak dapat mendengar pengarahan terdakwa. Fakta-fakta tersebut memenuhi unsur pertama Pasal 160 KUH Pidana.

10.Mengenai unsur kedua, pengarahan-pengarahan yang diberikan kepada para buruh serta para simpatisan SBSI oleh Terdakwa adalah secara lisan. Oleh karenanya unsur tersebut terpenuhi.

11.Untuk unsur ketiga, diperoleh fakta-fakta bahwa terdakwa bersama-sama pengurus SBSI cabang Medan lainnya seperti tersebut pada pertimbangan unsur ke satu telah memperbanyak seruan mogok/unjuk rasa dari PP SBSI kepada para buruh serta simpatisan SBSI. Seruan mogok tersebut berisi tuntutan bahwa upah minimum untuk hidup layak adalah 173.500/bulan atau rp. 7.000/hari. Tuntutan tersebut diberlakukan mulai 1-4-1994. Sehubungan dengan seruan mogok tersebut, terdakwa beserta pengurus SBSI cabang Medan lainnya, hampir tiap hari memberikan pengarahan pada para buruh tentang hak-hak mereka. Diantaranya tentang upah dan hak-hak buruh untuk mogok jika tidak

ada penyelesaian.

12.Terdakwa beserta pengurus SBSI bergantian mendampingi buruh yang mogok di perusahaannya. Menurut terdakwa setiap kegiatan buruh selalu ada hubungannya dengan SBSI. Pengarahan-pengarahan pada buruh diberikan sejak awal, setiap hari, hingga tanggal 12–4–1994. Karena pengarahan-pengarahan tersebut buruh melakukan unjuk rasa yang diikuti kurang lebih 20.000 orang tanpa izin. Terdakwa selaku ketua sBSI cabang Medan tidak mencegah/membiarkan unjuk rasa tanggal 14–4–1994.

13.Fakta-fakta tersebut menurut Pengadilan termasuk dalam kwalifikasi perbuatan menghasut, supaya tidak menuruti ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasarkan undang-undang.

14.Sekalipun Pasal 160 KUH Pidana tidak mencantumkan kata sengaja, namun menurut azas hukum pidana, setiap perbuatan pidana harus dilakukan dengan

Dokumen terkait