• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggung Jawaban Penghasut Untuk Melakukan Unjuk Rasa Yang Berakibat Anarkhis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pertanggung Jawaban Penghasut Untuk Melakukan Unjuk Rasa Yang Berakibat Anarkhis"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

PERTANGGUNG JAWABAN PENGHASUT UNTUK

MELAKUKAN UNJUK RASA YANG BERAKIBAT

ANARKHIS

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

Ainal Masyri Tanjung

NIM : 070200449

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(2)

PERTANGGUNG JAWABAN PENGHASUT UNTUK

MELAKUKAN UNJUK RASA YANG BERAKIBAT

ANARKHIS

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

Ainal Masyri Tanjung

NIM : 070200449

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. M. Hamdan, SH, MH

Pembimbing I

Liza Erwina, SH, M.Hum

Pembimbing II

Dr. Marlina, SH, M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang

telah melimpahkan rakhmat, taufik dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian tingkat

Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini

berjudul “Pertanggung Jawaban Penghasut Untuk Melakukan Unjuk Rasa Yang

Berakibat Anarkhis”.

Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah banyak mendapatkan bantuan

dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan

terima-kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Dr. M. Hamdan, SH, MH, sebagai Ketua Departemen Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Liza Erwina, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I Penulis.

4. Ibu Dr. Marlina, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II Penulis.

5. Bapak dan Ibu Dosen serta semua unsur staf administrasi di Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

6. Rekan-rekan se-almamater di Fakultas Hukum khususnya dan Umumnya

(4)

7. Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan rasa terima-kasih yang tiada

terhingga kepada Ayahanda dan Ibunda, semoga kebersamaan yang kita jalani

ini tetap menyertai kita selamanya.

8. Demikianlah penulis niatkan, semoga tulisan ilmiah penulis ini dapat

bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Mei 2012

Penulis

Ainal Masyri Tanjung

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

ABSTRAKSI ... v

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 4

D. Keaslian Penulisan ... 5

E. Tinjauan Kepustakaan ... 5

F. Metodologi Penulisan ... 14

G. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II BENTUK TINDAK PIDANA AKSI UNJUK RASA YANG ANARKHIS ... 17

A. Aturan Hukum Terkait Dengan Unjuk Rasa ... 17

B. Bentuk Kejahatan Unjuk Rasa Yang Anarkhis ... 21

C. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Unjuk Rasa Yang Berakibat Anarkhis 43 BAB III TANGGUNGJAWAB PIDANA PENGHASUT AKSI UNJUK RASA YANG ANARKHIS ... 51

(6)

Suatu Unjuk Rasa ... 51

B. Tanggung Jawab Pidana Penghasut Aksi Unjuk Rasa yang Berakhir Anarkhis ... 67

BAB I HAMBATAN-HAMBATAN DALAM MEMINTA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGHASUT AKSI UNJUK RASA YANG ANARKHIS ... 74

A. Hambatan Secara Internal ... 74

B. Hambatan Secara Eksternal ... 76

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 79

A. Kesimpulan ... 79

B. Saran ... 79

(7)

ABSTRAK

PERTANGGUNG JAWABAN PENGHASUT UNTUK MELAKUKAN UNJUK

RASA YANG BERAKIBAT ANARKHIS

Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerderkaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum secara tegas memberikan batasan tentang bagaimana sistem melakukan unjuk rasa yang baik dalam hubungannya dengan kemerdekaan menyampaikan pendapat, tetapi dalam kenyataannya sering terlihat benturan-benturan yang terjadi sewaktu berjalannya unjuk rasa, seperti terjadinya tindakan anarkhis, benturan antara pengunjuk rasa dengan kepolisian, bahkan sampai kehilangan nyawa dan luka-luka di antara kedua belah pihak. Kondisi ini tentunya amat sangat disayangkan. Di satu sisi unjuk rasa adalah dihormati karena merupakan cara menyampaikan pendapat, sedangkan di sisi yang lain, terkadang unjuk rasa dijadikan sebagai sarana pembenaran pendapat.

Permaslahan yang diajukan adalah bagaimana bentuk kejahatan penghasutan terhadap aksi unjuk rasa yang berakibat anarkhis, apakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya unjuk rasa yang berakibat anarkhis dan bagaimana tanggung jawab pidana penghasut terhadap aksi untuk rasa yang berakhir anarkhis.

Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan bentuk kejahatan penghasutan terhadap aksi unjuk rasa yang berakibat anarkhis adalah meliputi: menghasut supaya melakukan suatu tindak pidana, menghasut supaya melakukan suatu perbuatan kekerasan kepada penguasa umum, menghasut supaya tidak mematuhi suatu peraturan perundang-undangan dan menghasut supaya tidak mematuhi suatu perintah jabatan yang diberikan berdasarkan peraturan perundangan. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya unjuk rasa yang berakibat anarkhis adalah: sikap para demonstran yang menganggap pendapat mereka paling benar dan harus dituruti, suasana panas, sesak dan penat akan membuat para demonstran cunderung mudah terpancing emosi, tidak ada perwakilan yang bersedia menanggapi dan berbicara dengan demonstran, solidaritas yang tinggi antara para anggota demonstran, kerusuhan dalam demo memang sudah di rencanakan serta adanya provokasi.Tanggung jawab pidana penghasut terhadap aksi untuk rasa yang berakhir anarkhis adalah apabila ia memenuhi unsur-unsur Pasal 160 KUHP maka kepadanya dapat dikenakan sanksi pidana berupa pidana penjara dan atau denda.

(8)

ABSTRAK

PERTANGGUNG JAWABAN PENGHASUT UNTUK MELAKUKAN UNJUK

RASA YANG BERAKIBAT ANARKHIS

Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerderkaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum secara tegas memberikan batasan tentang bagaimana sistem melakukan unjuk rasa yang baik dalam hubungannya dengan kemerdekaan menyampaikan pendapat, tetapi dalam kenyataannya sering terlihat benturan-benturan yang terjadi sewaktu berjalannya unjuk rasa, seperti terjadinya tindakan anarkhis, benturan antara pengunjuk rasa dengan kepolisian, bahkan sampai kehilangan nyawa dan luka-luka di antara kedua belah pihak. Kondisi ini tentunya amat sangat disayangkan. Di satu sisi unjuk rasa adalah dihormati karena merupakan cara menyampaikan pendapat, sedangkan di sisi yang lain, terkadang unjuk rasa dijadikan sebagai sarana pembenaran pendapat.

Permaslahan yang diajukan adalah bagaimana bentuk kejahatan penghasutan terhadap aksi unjuk rasa yang berakibat anarkhis, apakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya unjuk rasa yang berakibat anarkhis dan bagaimana tanggung jawab pidana penghasut terhadap aksi untuk rasa yang berakhir anarkhis.

Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan bentuk kejahatan penghasutan terhadap aksi unjuk rasa yang berakibat anarkhis adalah meliputi: menghasut supaya melakukan suatu tindak pidana, menghasut supaya melakukan suatu perbuatan kekerasan kepada penguasa umum, menghasut supaya tidak mematuhi suatu peraturan perundang-undangan dan menghasut supaya tidak mematuhi suatu perintah jabatan yang diberikan berdasarkan peraturan perundangan. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya unjuk rasa yang berakibat anarkhis adalah: sikap para demonstran yang menganggap pendapat mereka paling benar dan harus dituruti, suasana panas, sesak dan penat akan membuat para demonstran cunderung mudah terpancing emosi, tidak ada perwakilan yang bersedia menanggapi dan berbicara dengan demonstran, solidaritas yang tinggi antara para anggota demonstran, kerusuhan dalam demo memang sudah di rencanakan serta adanya provokasi.Tanggung jawab pidana penghasut terhadap aksi untuk rasa yang berakhir anarkhis adalah apabila ia memenuhi unsur-unsur Pasal 160 KUHP maka kepadanya dapat dikenakan sanksi pidana berupa pidana penjara dan atau denda.

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Maraknya aksi kekerasan dan kerusuhan massal akhir-akhir ini, membuat

kita cukup prihatin. Dikatakan dengan istilah cukup prihatin, karena dari peristiwa

yang begitu kecil saja, ternyata dapat memicu kerusuhan massal yang

menimbulkan banyak korban, bukan hanya harta benda, melainkan pula jiwa

manusia. Sedangkan lokasi dari terjadinya peristiwa kerusuhan-kerusuhan tersebut

merata di hampir di seluruh kepulauan-kepulauan besar Nusantara ini. Termasuk

halnya di daerah Provinsi Sumatera Utara khususnya di Kota Medan, dimana

kerusuhan tersebut diakibatkan dengan naiknya harga-harga kebutuhan pokok di

pasaran, sehingga terdapatnya sekelompok orang yang bertindak berlawan dengan

perundang-undangan yang ada.

Tidak mengherankan jika saja banyak orang yang mencari penyebabnya.

Ada sementara pendapat yang mengatakan bahwa sebagai faktor pemicunya antara

lain, karena terjadinya kesenjangan sosial ekonomi, tersumbatnya komunikasi, atau

karena adanya rekayasa pihak ketiga.1 Kecuali itu ada pula yang mengkaitkannya

dengan makin meningkatnya suhu politik menjelang pemilu dan di masa pemilu itu

sendiri, terlebih-lebih dengan semakin turunnya nilai rupiah terhadap dolar yang

lebih dikenal dengan istilah krisis moneter.

Maraknya aksi kerusuhan yang terjadi belakangan ini di tanah air, adalah

1

(10)

karena terjadinya ketidakadilan di masyarakat, tidak tegaknya hukum, adanya

arogansi kekuasaan dari oknum aparat, tersumbatnya aspirasi masyarakat, serta

adanya jurang antara si kaya dan si miskin.

Berdasarkan uraian pembahasan di atas, maka membicarakan perihal

kerusuhan ini tidak terlepas dari faktor-faktor penyulut kerusuhan itu sendiri. Maka

dalam kedudukan yang sedemikian penghasut mempunyai kepentingan atas

peristiwa-peristiwa kerusuhan yang ditimbulkan tersebut.

Mengantisipasi adanya penghasut yang bakal menyulut berbagai kerusuhan

tersebut, maka Presiden Soeharto pernah membentuk Pusat Komando (POSKO)

Kewaspadaan Nasional, yang antara lain bertugas untuk memantau

gerakan-gerakan penghasut, penyebar selebaran, dan sebagainya. Sebab, menurut Presiden,

dengan mencermati detail peristiwa kerusuhan yang terjadi dapat disusupi adanya

kelompok-kelompok tertentu yang memang hendak menggoyang stabilitas

nasional.

Suatu hal yang sangat berhubungan dengan peristiwa unjuk rasa adalah

terjadinya hal-hal yang berakibat tidak baik yang menyertai unjuk rasa tersebut

yaitu terjadinya anarkhis. Apabila terjadi suatu anarkhis dalam suatu peristiwa

unjuk rasa maka kepada pihak penanggung jawab unjuk rasa tersebut dapat

dimintakan pertanggungjawabannya, yang salah satunya adalah pertanggung

jawaban pidana.

Kajian skripsi ini tidaklah sedemikian luasnya, hanya saja perbandingan

uraian di atas mendudukkan penghasut pada suatu peristiwa tindak pidana

sehingga dengan demikian sanksi-sanksi pidana sebagaimana yang diatur oleh

(11)

undang-undang perlulah dimintakan pertanggung-jawabannya kepada penghasut.

Perihal ketentuan menghasut ini diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana tepatnya pada Pasal 160 yang berbunyi: “Barang siapa di muka umum

dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan per-buatan pidana,

melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan

undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasar ketentuan

undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau

pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.

Meskipun Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerderkaan

Menyampaikan Pendapat di Muka Umum sudah secara tegas memberikan batasan

tentang bagaimana sistem melakukan unjuk rasa yang baik dalam hubungannya

dengan kemerdekaan menyampaikan pendapat, tetapi dalam kenyataannya sering

terlihat benturan-benturan yang terjadi sewaktu berjalannya unjuk rasa, seperti

terjadinya tindakan anarkhis, benturan antara pengunjuk rasa dengan kepolisian,

bahkan sampai kehilangan nyawa dan luka-luka di antara kedua belah pihak.

Kondisi ini tentunya amat sangat disa-yangkan. Di satu sisi unjuk rasa adalah

dihormati karena merupakan cara menyampaikan pendapat, sedangkan di sisi yang

lain, terkadang unjuk rasa dijadikan sebagai sarana pembenaran pendapat.

Mengapa hal ini terjadi dan bagaimana sebenarnya tanggung jawab

pihak-pihak yang terlibat dalam unjuk rasa ini dalam kaitannya dengan unjuk rasa adalah

(12)

B.Perumusan Masalah

Setiap pelaksanaan penelitian penting diuraikan permasalahan karena

dengan hal yang demikian dapat diketahui pembatasan dari pelaksanaan penelitian

dan juga pembahasan yang akan dilakukan.

a. Bagaimana bentuk kejahatan penghasutan terhadap aksi unjuk rasa yang

berakibat anarkhis?

b. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya unjuk rasa yang berakibat

anarkhis?

c. Bagaimana tanggung jawab pidana penghasut terhadap aksi untuk rasa yang

berakhir anarkhis?

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah untuk:

1. Untuk mengetahui bentuk kejahatan penghasutan terhadap aksi unjuk rasa yang

berakibat anarkhis.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya unjuk rasa yang

berakibat anarkhis.

3. Untuk mengetahui tanggung jawab pidana penghasut terhadap aksi untuk rasa

yang berakhir anarkhis.

Sedangkan yang menjadi manfaat penelitian dalam hal ini adalah:

a. Secara teoritis untuk menambah literatur tentang perkembangan hukum pidana

khususnya dalam kaitannya dengan tanggung jawab penghasut dalam kasus

(13)

b. Secara praktis ini juga diharapkan kepada masyarakat dapat mengambil

manfaatnya terutama dalam hal mengetahui tentang akibat hukum tindak

pidana bagi penghasut.

D.Keaslian Penulisan

Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Pertanggung Jawaban Penghasut

Untuk Melakukan Unjuk Rasa Yang Bersifat Anarkhis” ini merupakan luapan dari

hasil pemikiran penulis sendiri. Penulisan skripsi ini tidak sama dengan penulisan

skripsi lainnya. Sehingga penulisan skripsi ini masih asli serta dapat

dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik.

E.Tinjauan Kepustakaan

1. Tindak Pidana

Pengertian dari tindak pidana adalah tindakan yang tidak hanya dirumuskan

oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai kejahatan atau tindak pidana,

jadi dalam arti luas hal ini berhubungan dengan pembahasan masalah deliquensi,

deviasi, kualitas kejahatan berubah-ubah, proses kriminisasi dan deskriminasi

suatu tindakan atau tindak pidana mengingat tempat, waktu, kepentingan dan

kebijaksanaan golongan yang berkuasa dan pandangan hidup orang (berhubungan

dengan perkembangan sosial, ekonomi dan kebudayaan pada masa dan di tempat

tertentu).2

2

(14)

Istilah tindak pidana dalam bahasa Indonesia merupakan perbuatan yang

dapat atau boleh dihukum, perbuatan pidana, tindak pidana, sedangkan dalam

bahasa Belanda disebut “strafbaarfeit” atau “delik”. Para sarjana Indonesia

mengistilahkan strafbaarfeit itu dalam arti yang berbeda, diantaranya Moeljatno

menggunakan istilah perbuatan pidana, yaitu: “perbuatan yang dilarang oleh suatu

aturan hukum, larangan mana disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu,

bagi barang siapa larangan tersebut”.3

Perbuatan yang oleh aturan hukum pidana yang dinyatakan sebagai

perbuatan yang dilarang dinamakan tindak pidana, yang disebut juga delik.

Menurut wujud dan sifatnya, tindak pidana ini adalah perbuatan-perbuatan yang

melawan hukum. Perbuatan-perbuatan tersebut juga merugikan masyarakat dalam

bertentangan dengan atau menghambat terlaksananya tata pergaulan masyarakat

yang dianggap adil.4

Namun demikian tidak semua perbuatan yang merugikan masyarakat dapat

disebut sebagai tindak pidana atau semua perbuatan yang merugikan masyarakat

diberikan sanksi pidana. Di dalam tindak pidana disamping alat sifat tercelanya

perbuatan tersebut dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa

melakukannya.

Berdasarkan literatur hukum pidana sehubungan dengan tindak pidana

banyak sekali ditemukan istilah-istilah yang memiliki makna yang sama dengan

tindak pidana. Istilah-istilah lain dari tindak pidana tersebut adalah antara lain :

1. Perbuatan melawan hukum.

(15)

2. Pelanggaran pidana.

3. Perbuatan yang boleh dihukum.

4. Perbuatan yang dapat dihukum.5

Menurut R. Soesilo, tindak pidana yaitu suatu perbuatan yang dilarang atau

yang diwajibkan oleh undang-undang yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka

orang yang melakukan atau mengabaikan diancam dengan hukuman.6

Menurut Moeljatno “peristiwa pidana itu ialah suatu perbuatan atau

rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau

peraturan undang-undang lainnya terhadap perbuatan mana diadakan tindakan

penghukuman Simons, peristiwa pidana adalah perbuatan melawan hukum yang

berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang yang mampu bertanggung jawab,

kesalahan yang dimaksud oleh Simons ialah kesalahan yang meliputi dolus dan

culpulate.7

2. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan

teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan

petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau

5

Roeslan Saleh. 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: Aksara Baru, halaman 32.

6

R. Soesilo. 1991. Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus. Bogor: Politeia, halaman. 11.

7

(16)

tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau

tidak.8

Hukum pidana, ada dua hal penting yang perlu mendapat perhatian, yaitu

mengenai hal melakukan perbuatan pidana (actus reus) yang berkaitan dengan

subjek ataupelaku perbuatan pidana, dan mengenai kesalahan (mens rea) yang

berkaitan dengan masalahpertanggungjawaban pidana. Berkaitan dalam asas

hukum pidana yaitu “Geen straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir

rea ”, bahwa “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”, maka pengertian “tindak

pidana” itu terpisah dengan yang dimaksud “pertanggungjawaban tindak pidana”.

Tindak pidana hanyalah menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan itu

dengan suatu pidana, kemudian apakah orang yang melakukan perbuatan itu juga

dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan akan sangat tergantung pada soal

apakah dalam melakukan perbuatannya itu si pelaku juga mempunyai kesalahan.9

Dasar pertanggungjawaban adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa

pelaku dalam hubungannya dengan kelakuannya yang dapat dipidana serta

berdasarkan kejiwaannya itu pelaku dapat dicela karena kelakuanya itu. Dengan

kata lain, hanya dengan hubungan batin inilah maka perbuatan yang dilarang itu

dapat dipertanggungjawabkan pada si pelaku. Batin yang salah (guilty mind, mens

rea) ini adalah kesalahan yang merupakan sifat subjektif dari tindak pidana karena

8 Iman Herlambang, “Pengertian Pertanggungjawaban Pidana”,

http://imanhsy.blogspot.com/2011/12/pengertian-pertanggungjawaban-pidana.html, Diakses tanggal 16 Mei 2012.

9Scribd, “Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Teknologi Informasi Melalui Hukum

Pidana”, http://www.scribd.com/doc/81906509/39/C-1-2-Pertanggungjawaban-Pidana, Diakses

(17)

berada didalam diri pelaku oleh karena itu kesalahan memiliki dua segi, yaitu segi

psikologi dan segi normatif.

Segi psikologi kesalahan harus dicari di dalam batin pelaku yaitu adanya

hubungan batin dengan perbuatan yang dilakukan sehingga ia dapat

mempertanggungjawabkan perbuatannya. Segi normatif yaitu menurut ukuran

yang biasa dipakai masyarakat sebagai ukuran untuk menetapkan ada tidaknya

hubungan batin antara pelaku dengan perbuatannya.

Berkaitan dengan kesalahan yang bersifat psikologis dan normatif, serta

unsur-unsurtindak pidana maka kesalahan memiliki beberap unsur:

1. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum)

2. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pelaku (di atas umur dan pelakudalam keadaan sehat dan normal).

3. Adanya hubungan antara si pelaku dengan perbuatannya baik yang disengaja (dolus) maupun karena kealpaan (culpa).

4. Tidak adanya alasan pelaku yang dapat menghapus kesalahan.10

Seseorang yang melakukan tindak pidana bare boleh dihukum apabila

sipelaku sanggup mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah diperbuatnya,

masalah penanggungjawaban erat kaitannya dengan kesalahan, oleh karena adanya

asas pertanggungjawaban yang menyatakan dengan tegas "Tidak dipidana tanpa

ada kesalahan" untuk menentukan apakah seorang pelaku tindak pidana dapat

dimintai pertanggungjawaban dalam hukum pidana, akan dilihat apakah orang

tersebut pada saat melakukan tindak pidana mempunyai kesalahan. Secara

doktriner kesalahan diartikan sebagai keadaan pysikis yang tertentu pada orang

10

(18)

yang melakukan perbuatan tindak pidana dan adanya hubungan antara kesalahan

tersebut dengan perbuatan yang dilakukan dengan sedemikian rupa, sehingga

orang tersebut dapat dicela karena, melakukan perbuatan pidana.

Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika

telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah telah

melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah telah

ditentukan oleh undang-undang. Dilihat dari terjadinya perbuatan yang terlarang, ia

akan diminta pertanggungjawaban apabila perbutan tersebut melanggar hukum.

Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya orang yang mampu

bertanggungjawab yang dapat diminta pertanggungjawaban. Pada umumnya

seseorang dikatakan mampu bertanggungjawab dapat dilihat dari beberapa hal

yaitu: Keadaan Jiwanya a. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau

sementara. b. Tidak cacat dalam pertumbuhan (Gage, Idiot, gila dan sebagainya) c.

Tidak terganggu karena terkejut (Hipnotisme, amarah yang meluap dan

sebagainya). Kemampuan Jiwanya:

1. Dapat menginsyafi hakekat dari perbuatannya.

2. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah dilaksanakan

atau tidak.

3. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut. 11

Adapun menurut Van Hamel, seseorang baru bisa diminta

pertanggungjawabannya apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

(19)

a. Orang tersebut harus menginsafi bahwa perbuatannya itu menurut tata cara

kemasyarakatan adalah dilarang.

b. Orang tersebut harus dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatannya

tersebut. 12

3. Pengaturan Unjuk Rasa

Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan

Menyampaikan Pendapat di Muka Umum menjelaskan bahwa “Unjuk rasa atau

demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk

mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya secara demonstratif di

muka umum”.

Berdasarkan pengertian tersebut maka disini dapat dilihat bahwa

undang-undang memberikan kata yang memiliki makna yang sama antara unjuk rasa dan

demonstrasi. Penekanan makna unjuk rasa adalah dilakukan di depan umum

dengan cara yang demonstratif. Makna kata demonstratif lebih mendekati kepada

makna memperlihatkan, mempertontonkan secara mencolok.13

Unjuk rasa atau demonstrasi (demo) adalah sebuah gerakan protes yang

dilakukan sekumpulan orang di hadapan umum. Unjuk rasa biasanya dilakukan

untuk menyatakan pendapat kelompok tersebut atau penentang kebijakan yang

11Comprehensive Education Center, “Pengertian Pertanggungjawaban”

http://www.ombar.net/2009/10/pengertian-pertanggungjawaban.html, Diakses tanggal 12 Mei 2012.

12

(20)

dilaksanakan suatu pihak atau dapat pula dilakukan sebagai sebuah upaya

penekanan secara politik oleh kepentingan kelompok. Unjuk rasa umumnya

dilakukan oleh kelompok mahasiswa yang menentang kebijakan pemerintah, atau

para buruh yang tidak puas dengan perlakuan majikannya. Unjuk rasa juga

dilakukan oleh kelompok-kelompok lainnya dengan tujuan lainnya.14

Demonstrasi memiliki banyak definisi dan pengertian yang berbeda-beda

jika ditilik dari sudut pandang yang berbeda. Demonstrasi dapat diartikan sebagai

suatu aksi peragaan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk

menunjukkan cara kerja, cara pembuatan, maupun cara pakai suatu alat, material,

atau obat jika ditilik dari sudut pandang perdagangan maupun sains.

Penulis menggunakan definisi demonstrasi dalam konteksnya sebagai salah

satu jalur yang ditempuh untuk menyuarakan pendapat, dukungan, maupun

kritikan, yaitu suatu tindakan untuk menyampaikan penolakan, kritik, saran,

ketidakberpihakan, dan ketidaksetujuan melalui berbagai cara dan media dengan

aturan-aturan yang telah ditetapkan baik secara tertulis maupun tidak tertulis

sebagai akumulasi suara bersama tanpa dipengaruhi oleh kepentingan pribadi

maupun golongan yang menyesatkan dalam rangka mewujudkan demokrasi yang

bermuara pada keadaulatan dan keadilan rakyat.

Perkembangannya sekarang, demonstrasi kadang diartikan sempit sebagai

long-march, berteriak-teriak, membakar ban, dan aksi teatrikal. Persepsi

masyarakat pun menjadi semakin buruk terhadap demonstrasi karena tindakan

13

Dinas Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia., PN. Balai Pustaka, Jakarta, 2003, hal. 250.

14 Wikipedia Indonesia, “Unjuk Rasa”,

(21)

pelaku-pelakunya yang meresahkan dan mengabaikan makna sebenarnya dari

demonstrasi.

Memang unjuk rasa sebagai cara menyampaikan pendapat adalah hal yang

biasa dalam negara yang menganut demokrasi. Etika tetap harus dijaga. Pengunjuk

rasa harus berangkat dari niat baik demi kemajuan bangsa dan negara, karena

bagaimanapun juga unjuk rasa merupakan elemen dari demokrasi guna

mengemukakan pendapat, bukan memaksakan kehendak.15 Unjuk rasa harus

menjunjung etika dan tidak boleh melakukan kekerasan. Unjuk rasa, apalagi

dengan jumlah massa yang besar, tak harus menimbulkan ketakutan dalam diri

warga lainnya. Tetapi siapa yang berani menjamin keadaan bisa terkendali seperti

itu, sebab pada kenyataannya yang terjadi lebih sering sebaliknya.

Pada setiap kegiatan unjuk rasa, kata-kata kotor seakan menjadi lagu wajib

yang harus dinyanyikan dengan penuh semangat sebagai media guna mencaci

maki, menghasut, bahkan tidak jarang memprovokasi sehingga berujung pada

anarki. Sudah demikian, pelajaran demokrasi, akhlaq, dan budi pekerti yang

diajarkan di sekolah seolah sama sekali tak lagi berarti. 16

Fenomena demonstrasi/unjuk rasa ini selain di Perguruan Tinggi kini juga

marak terjadi di lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan formal tingkat

menengah SMA dan atau SMK. Sekolah yang mestinya menjadi pusat

berkembangnya budaya positif berubah menjadi ajang artikulasi kata-kata yang

teramat jauh dari kategori santun.17

15

Sahardi Utama, 2007, Menapaki Jejak Reformasi, Jakarta: Era Grafindo. halaman 91.

16

Muhari. Norma-norma yang Menjadi Pandangan Hidup Demokratis. Powerpoint Project, Surakarta, 2006, hal. 55.

17

(22)

Dari argumentasi yang sedikit dan sederhana ini saja dapat disimpulkan

bahwa demonstrasi/unjuk rasa yang sering terjadi di negeri ini jauh dari dapat

dikatakan mendidik/edukatif dan yang perlu kita bersama khawatirkan adalah

fenomena buruk ini kian menguat dan secara perlahan menjadi bagian dari kultur

yang kemudian melekat sebagai bagian dari jati diri bangsa.

F. Metodologi Penulisan

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari:

1. Sifat/materi penelitian

Sifat/materi penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini

adalah bersifat deksriptif analisis mengarah pada penelitian yuridis normatif, yaitu

suatu penelitian yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan yang tertulis

atau bahan hukum yang lain.18

2. Sumber data

Sumber data penelitian ini diambil berdasarkan data sekunder. Data

sekunder didapatkan melalui:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni seperti

KUHP dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun I998 Tentang

Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum

primer, seperti : hasil-hasil penelitian, karya dari kalangan hukum dan

sebagainya.

18

(23)

c. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang mencakup:

1) Bahan-bahan yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan

terhadap hukum primer dan sekunder.

2) Bahan-bahan primer, sekunder dan tertier (penunjang) di luar bidang

hukum seperti kamus, insklopedia, majalah, koran, makalah, dan

sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan.

3. Alat pengumpul data

Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini

adalah melalui studi dokumen dengan penelusuran kepustakaan.

4. Analisis data

Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan, studi

dokumen, dan penelitian lapangan maka hasil penelitian ini menggunakan analisa

kualitatif. Analisis kualitatif ini pada dasarnya merupakan pemaparan tentang

teori-teori yang dikemukakan, sehingga dari teori-teori tersebut dapat ditarik

beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan dan pembahasan skripsi ini.

G.Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa Bab, dimana dalam bab

terdiri dari unit-unit bab demi bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam

bentuk uraian:

Bab I. Pendahuluan

(24)

pada umumnya yaitu, Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah,

Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan

Kepustakaan, Metode Penulisan serta Sistematika Penulisan.

Bab II. Bentuk Tindak Pidana Aksi Unjuk Rasa Yang Anarkhis

Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang: Aturan Hukum

Terkait Dengan Unjuk Rasa, Bentuk Kejahatan Unjuk Rasa Yang

Anarkhis serta Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana

Unjuk Rasa Yang Berakibat Anarkhis

Bab III. Tanggungjawab Pidana Penghasut Aksi Unjuk Rasa Yang Anarkhis

Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang: Pihak Yang

Dapat Dimintakan Pertanggungjawaban Dalam Suatu Unjuk Rasa serta

Tanggung Jawab Pidana Penghasut Aksi Unjuk Rasa yang Berakhir

Anarkhis.

Bab IV. Hambatan-Hambatan Dalam Meminta Pertanggungjawaban Pidana

Penghasut Aksi Unjuk Rasa Yang Anarkhis

Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan terhadap: Hambatan

Secara Internal serta Hambatan Secara Eksternal.

Bab V. Kesimpulan dan Saran

Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir dimana akan

(25)

BAB II

BENTUK TINDAK PIDANA AKSI UNJUK RASA YANG ANARKHIS

A. Aturan Hukum Terkait Dengan Unjuk Rasa

Salah satu dari 10 prinsip dasar demokrasi Pancasila yang dianut oleh

negara Indonesia adalah demokrasi yang berkedaulatan rakyat, yaitu demokrasi di

mana kepentingan rakyat harus diutamakan oleh wakil-wakil rakyat, rakyat juga

dididik untuk ikut bertanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kebebasan menyampaikan pendapat melalui unjuk rasa atau demonstrasi

merupakan bagian dari implementasi prinsip dasar tersebut, oleh karena itu

kebebasan mendapat di muka umum dijamin oleh:

1. Undang-Undang Dasar 1954 (Amandemen IV)

- Pasal 28, ”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran

dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan

undang-undang.”

- Pasal 28 E Ayat 3, ”Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,

berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

2. Ketetapan MPR No. XVV/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 19.

”Setiap orang berhak atas kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan

mengeluarkan pendapat.”

3. UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di

Muka Umum Pasal 2.

”Setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok, bebas menyampaikan

(26)

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.” Undang-undang ini

mengatur tentang:

a.Konsep Dasar dan Asas

Konsep dasarnya adalah:

- Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara.

- Unjuk rasa atau demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh

seorang atau lebih, untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan

dan sebagainya secara demonstratif dimuka umum berdasarkan UU

Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat

di Muka Umum.

- Pawai adalah cara penyampaian pendapat dengan arak-arakan di jalan

umum.

- Mimbar bebas adalah kegiatan menyampaikan pendapat di muka umum

secara bebas dan terbuka tanpa tema tertentu.

Asasnya adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban, musyawarah

mufakat, kepastian hukum dan keadilan, proposionalitas, serta asas

manfaat.

b. Hak dan Kewajiban:

Hak dan kewajiban warga negara adalah:

- Mengeluarkan pikiran secara bebas.

- Memperoleh perlindungan hukum.

- Menghormati hak-hak kebebasan orang lain.

(27)

- Menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

- Menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum.

- Menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.

Hak dan kewajiban aparatur negara adalah:

- Melindungi Hak Asasi Manusia.

- Menghargai asas legalitas.

- Menghargai prinsip praduga tak bersalah.

- Menyelengarakan pengamanan.

c. Bentuk-bentuk Penyampaian Pendapat

- Unjuk rasa atau demonstrasi.

- Pawai.

- Rapat umum.

- Mimbar bebas.

d. Tata Cara Pemberitahuan Kegiatan

- Penyampain pendapat di muka umum dalam bentuk unjuk rasa atau

demonstrasi, pawai, rapat umum dan mimbar bebas wajib

diberitahukan secara tertulis kepada Polri. Pemberitahuan

disampaikan oleh yang bersangkutan, pemimpin atau penangung

jawab kelompok. Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana di atas,

tidak berlaku bagi kegiatan-kegiatan ilmiah di dalam kampus dan

kegiatan keagamaan.

(28)

puluh empat) jam sebelum kegiatan dimulai dan telah diterima oleh

Polri setempat.

e. Surat Pemberitahuan

Surat pemberitahuan ini mencakup:

- Maksud dan tujuan.

- Tempat, lokasi, dan rute.

- Waktu dan lama.

- Bentuk.

- Penangung jawab.

- Nama dan alamat organisasi, kelompok, atau perorangan.

- Alat peraga yang digunakan.

- Jumlah peserta.

f. Tanggung Jawab Polri

Setelah menerima surat pemberitahuan akan adanya aksi unjuk rasa, Polri

wajib:

- Bertangung jawab dan memberikan perlindungan keamanan terhadap

pelaku atau peserta unjuk rasa.

- Bertangungjawab menyelengarakan pengamanan untuk menjamin

(29)

B. Bentuk Kejahatan Unjuk Rasa Yang Anarkhis

Membicarakan bentuk kejahatan penghasutan terhadap aksi unjuk rasa

yang berakibat anarkhis maka pokok permasalahan yang terlebih dahulu harus

diketahui adalah keberadaan delik penghasutan itu sendiri.

Pasal 160 KUHP berbunyi sebagai berikut:

Barang siapa di muka umum dengan lisan atau dengan tulisan menghasut

supaya melakukan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau

tidak menuruti, baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang

diberikan berdasarkan ketentuan undang-undang diancam dengan pidana penjara

paling lama enam tahun, denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,00 (empat ribu

lima ratus rupiah).

Meskipun tidak ada penjelasan resmi terhadap makna kata menghasut,

namun menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia tindakan penghasutan adalah suatu

perwujudan untuk “membangkitkan hati orang supaya marah (untuk melawan atau

memberontak”19

, atau menurut Black’s Law Dictionary edisi ke-8 halaman 1.262

dengan menggunakan padanan kata menghasut dengan provocation diartikan

sebagai, something (such as word or action) that affects a person’s reason and

self-control, esp. causing the person to commit a crime impulsively”.20

Sejalan dengan itu, R. Soesilo dalam komentarnya terhadap Pasal 160

KUHP, menjelaskan:

19

Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, halaman 392.

20 Zain Al Ahmad, “Delik Penghasutan Dengan Lisan (Pasal 160 KUHP)

- Otokritik

Terhadap Pemahaman Berdasarkan Komentar R. Soesilo”,

(30)

Menghasut artinya mendorong, mengajak, membangkitkan atau membakar

semangat orang supaya berbuat sesuatu. Dalam kata menghasut tersimpul sifat

dengan sengaja. Menghasut itu lebih keras dari pada memikat atau membujuk,

yang tersebut dalam Pasal 55 akan tetapi bukan memaksa. Orang memaksa orang

lain untuk berbuat sesuatu itu itu bukan berarti menghasut. Cara menghasut orang

itu rupa-rupa, misalnya dengan cara yang langsung, seperti: Seranglah polisi yang

tidak adil itu, bunuhlah dan ambil senjatanya ditujukan terhadap seorang pegawai

polisi yang sedang menjalankan pekerjaannya yang sah. Dapat pula secara tidak

langsung, seperti: Lebih baik, andaikata polisi yang tidak adil itu dapat diserang,

dibunuh, dan diambil senjatanya.Mungkin pula dalam bentuk pertanyaan, seperti:

Saudara-saudara apakah polisi yang tidak adil itu kamu biarkan saja, apakah tidak

kamu serang, bunuh dan ambil senjatanya.21

Sampai di sini, berdasarkan penjelasan R. Soesilo tersebut dikaitkan dengan

pengertian menghasut dalam kamus dan bunyi Pasal 160 KUHP di atas, diperoleh

pemahaman bahwa: Yang dimaksud dengan menghasut dengan lisan dalam Pasal

160 KUHP adalah peristiwa dimana penghasut mengeluarkan kata-kata atau

kalimat-kalimat yang berisi saran, anjuran atau perintah di muka umum, agar si

terhasut melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum.

R. Soesilo melanjutkan komentarnya yaitu:

Menghasut itu dapat dilakukan baik dengan lisan maupun dengan tulisan.

Apabila dilakukan dengan lisan, maka kejahatan itu menjadi selesai, jika kata-kata

yang bersifat menghasut itu telah diucapkan, sehingga suatu percobaan pada delik

21

(31)

ini tidak mungkin terjadi. Lain halnya, apabila hasutan itu dilakukan dengan

tulisan. Karangan yang sifatnya menghasut harus ditulis dahulu, kemudian tulisan

itu disiarkan atau dipertontonkan pada publik, dan haruslah delik itu dianggap

selesai. Orang yang hanya baru menulis karangan itu, belum merupakan percobaan

pada delik ini. Jika tulisan itu selesai dan ia bertindak untuk menyiarkan atau

mempertontonkan tulisan tersebut, tetapi belum sampai berhasil lalu digagalkan,

maka orang itu telah melakukan percobaan yang dapat dihukum. Dalam arti kata

tulisan itu tidak termasuk suatu gambar, karena gambar yang bersifat menghasut

sukar dipikirkan.22

Selanjutnya R. Soesilo berkomentar:

Orang hanya dapat dihukum, apabila hasutan itu dilakukan di tempat

umum, tempat yang didatangi publik atau dimana publik dapat mendengar. Tidak

perlu, bahwa penghasut itu harus berdiri di tepi jalan raya misalnya, akan tetapi

yang disyaratkan ialah, bahwa di tempat itu ada orang banyak. Tidak

mengurangkan syarat bahwa harus di tempat umum dan ada orang banyak, maka

hasutan itu bisa terjadi meskipun hanya ditujukan pada satu orang. Orang yang

menghasut di tengah alun-alun yang kosong dan tidak ada orang sama sekali yang

mendengarkan itu, tidak dapat dihukum. Orang menghasut dalam rapat umum

dapat dihukum demikian pula di gedung bioskop, meskipun masuknya dengan

karcis, karena itu adalah tempat umum, sebaliknya menghasut dalam pembicaraan

yang bersifat kita sama kita (onder onsjes vertrouwelijk) itu tidak dapat dihukum.

Jika menghasut itu dilakukan dengan tulisan, misalnya surat selebaran, majalah,

22

(32)

panflet dan sebagainya, maka surat-surat itu harus tersiar luas atau ditempelkan

(dipertontonkan) di tempat yang dapat dibaca oleh orang banyak. Jika hanya

tersiar pada satu dua orang saja atau hanya ditempelkan di tempat yang tidak dapat

dilihat oleh orang banyak itu tidak masuk dalam delik ini.23

Adapun pemahaman yang didapatkan dari komentar R. Soesilo dimaksud

yaitu sebagai berikut: bahwa menghasut dengan lisan merupakan kejahatan selesai

jika kata-kata yang bersifat menghasut itu telah diucapkan, jadi tidak soal bila apa

yang dihasutkan tersebut tidak betul-betul dilakukan oleh si terhasut (delik formil).

Tidak mungkin terjadi suatu percobaan dalam kejahatan ini. Kata-kata

yang bersifat menghasut itu harus diucapkan di tempat yang ada orang lain di situ

dan ucapan tersebut bersifat terbuka walaupun di tempat itu hanya ada 1 (satu)

orang saja. Jadi bukan bersifat pembicaraan kita sama kita yang bersifat tertutup.

Maksud hasutan ditujukan supaya orang melakukan perbuatan yang dapat

dihukum dan tidak disyaratkan si penghasut harus mengerti apa isi hasutannya,

cukup jika dapat dibuktikan isi hasutan tersebut ditujukan agar orang melanggar

hukum.

Dari pemahaman di atas, maka dapat dikatakan terdapat 2 (dua) syarat

terjadinya perbuatan menghasut secara lisan dalam Pasal 160 KUHP adalah:

1. Kata-kata berisi hasutan diucapkan di tempat umum dan ditujukan kepada

orang lain yang ada di situ.

2. Kata-kata yang diucapkan tersebut berisi ajakan untuk melakukan perbuatan

yang dapat dipidana.

23

(33)

Kemudian dengan metode otokritik dipertanyakan keadaan tentang syarat

terjadinya perbuatan menghasut dengan lisan dengan mengemukakan pertanyaan

sebagai berikut: Bagaimana jika orang lain sebagai mana dimaksud dalam

simpulan angka 1 (satu) di atas, ada di situ karena niat yang sama dengan isi

hasutan. Misalnya: A dan B berada di tempat yang sama. A berada di tempat itu

karena ingin membunuh Polisi C dengan perencanaan dan persiapan yang matang

(perbuatan persiapan telah terjadi). Lalu B meneriakan kata-kata Ayo, bunuh polisi

itu, ditujukan kepada Polisi C yang ada di situ. Apakah B dapat dianggap

melakukan penghasutan?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, terlebih dahulu akan dikemukakan

hal-hal sebagai berikut:

1. Tentang kualifikasi delik

Dalam ilmu hukum pidana, kualifikasi delik dapat dibagi menjadi dua

bagian besar, yaitu delik formil dan delik materiil. Delik formil ialah delik yang

dalam perumusannya hanya menitikberatkan pada suatu perbuatan yang

dilarang/diancam pidana oleh undang-undang, tanpa perlu melihat ada tidaknya

akibatnya dari perbuatan itu. Sementara delik materiil dalam perumusannya, lebih

menekankan pada terjadinya akibat dari suatu perbuatan pidana.

Sebagaimana disebutkan di atas, R. Soesilo menggolongkan delik

penghasutan sebagai delik formil, hal ini dapat dilihat dari penjelasannya yang

(34)

penghasutan walaupun isi dari kata-kata hasutan yang diucapkannya tidak

betul-betul dilakukan oleh orang yang terhasut.24

Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. Nomor: 7/PUU-VII/2009,

menegaskan bahwa: "... dalam penerapannya, Pasal a quo (baca: Pasal 160 KUHP)

harus ditafsirkan sebagai delik materiil dan bukan sebagai delik formil. Hal ini

berarti, penjelasan R. Soesilo sepanjang mengenai kualifikasi delik dalam Pasal

160 KUHP tidak dapat diterapkan lagi, sehingga persyaratan terjadinya perbuatan

penghasutan dalam Pasal 160 KUHP bertambah satu syarat sejalan dengan sifat

delik materiil yaitu: Akibat dari perbuatan penghasutan itu harus benar-benar

terjadi, yakni: si terhasut melakukan isi hasutan. 25

2. Tentang Asas Culpabilitas

Asas culpabilitas yaitu asas tiada pidana tanpa kesalahan (afwijzigheid van

alle schuld) sebagaimana terkandung dalam Pasal 6 ayat (2) UU No. 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu:

“Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat

pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa

seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan

yang didakwakan atas dirinya.”

Adapun tentang ajaran “kesalahan” (schuld) yang dikenal dalam ilmu

hukum pidana yaitu kesalahan (schuld) terdiri atas kesengajaan (dolus/opzet) atau

24

R. Soesilo, Op.Cit, halaman 136.

25

(35)

kealpaan (culpa). Yang dimaksud dengan “kesengajaan” (dolus/opzet) ialah

perbuatan yang dikehendaki dan si pelaku menginsafi akan akibat dari perbuatan

itu. Sedangkan yang dimaksud dengan kealpaan (culpa) adalah sikap tidak hati-hati

dalam melakukan suatu perbuatan sehingga menimbulkan akibat yang dilarang

oleh undang-undang di samping dapat menduga akibat dari perbuatan itu adalah

hal yang terlarang. 26

Kesengajaan (dolus/opzet) mempunyai 3 (tiga) bentuk yaitu:

a. Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk).

b. Kesengajaan dengan keinsyafan pasti (opzet als zekerheidsbewustzijn) dan

c. Kesengajaan dengan keinsyafan kemungkinan (dolus eventualis), sedangkan kealpaan (culpa) dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu kealpaan dengan kesadaran (bewuste schuld) dan kealpaan tanpa kesadaran (onbewuste schuld).27

Pokok komentar R. Soesilo sebagaimana disebutkan di atas, yang pada

pokoknya menegaskan: tidak disyaratkan si penghasut harus mengerti apa isi

hasutannya, cukup jika dapat dibuktikan isi hasutan tersebut ditujukan agar orang

melanggar hukum, jelas menabrak asas culpabilitas ini sehingga perlu diluruskan.

Penambahan satu syarat lagi untuk menyatakan seseorang bersalah

melakukan delik penghasutan yaitu: Orang yang menghasut tersebut harus

melakukannya dengan sengaja.

26

Ibid.

27

(36)

Selanjutnya akan dijawab pertanyaan tersebut di atas berdasarkan

pemahaman yang telah disebutkan di muka dan dikaitkan dengan logika

sebab-akibat dalam ilmu hukum pidana serta pengertian "menghasut" dalam kamus,

yaitu: Tidak logis jika B dikatakan menghasut, karena keberadaan si A di situ,

dimana si A sebagai satu-satunya orang yang mendengar ucapan itu memang

berniat ingin membunuh Polisi C. Ada atau tidaknya ucapan si B, si A telah

melakukan perbuatan persiapan untuk membunuh atau hampir pasti dia akan

membunuh Polisi C. Jadi, dalam contoh kasus ini, si B tidak dapat dipersalahkan

melakukan perbuatan menghasut.

Berdasarkan alasan di atas, dianggap perlu penambahan satu syarat lagi

yaitu syarat: Keberadaan orang lain yang ada di situ tidak mempunyai niat yang

sama dengan isi hasutan.

Dari uraian pembahasan tersebut maka dapat dikatakan bentuk kejahatan

penghasutan terhadap aksi unjuk rasa yang berakibat anarkhis adalah meliputi:

1. Menghasut yang diucapkan di tempat umum dan ditujukan kepada orang lain

yang ada di situ.

2. Keberadaan orang lain yang ada di situ tidak mempunyai niat yang sama

dengan isi hasutan.

3. Kata-kata yang diucapkan tersebut berisi ajakan untuk melakukan perbuatan

yang dapat dipidana.

4. Isi hasutan harus benar-benar dilakukan oleh orang yang terhasut.

(37)

Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh R. Soesilo yaitu:

Maksud suatu hasutan itu harus ditujukan supaya:

1. Dilakukan sesuatu peristiwa pidana (pelanggaran atau kejahatan), semua perbuatan yang diancam dengan hukuman.

2. Melawan pada kekuasaan umum dengan kekerasa, yang diartikan dengan kekuasaan umum yaitu semua orang yang ditugaskan menjalankan kekuasaan pemerintah, dimana termasuk semua bagian dari organisasi pemerintah pusat atau daerah.

3. Jangan mau menurut peraturan undang-undang, yang diartikan dengan peraturan undang-undang yaitu semua peraturan yang dibuat oleh kekuasaan legislatif, baik dari pemerintah pusat maupun daerah.

4. Jangan mau menurut perintah yang sah yang diberikan menurut undang-undang, perintah itu harus syah dan diberikan menurut undang-undang-undang, jadi kalau diberikan oleh pembesar yang tidak berhak untuk memberikan perintah itu, maka tidak termasuk dalam Pasal ini.28

Pendapat di atas didukung pula oleh S.R. Sianturi yang mengatakan:

Ada empat macam tindakan/perbuatan yang dihasutkan:

1. Menghasut supaya melakukan suatu tindak pidana.

2. Menghasut supaya melakukan suatu perbuatan kekerasan kepada penguasa umum.

3. Menghasut supaya tidak mematuhi suatu peraturan perundang-undangan. 4. Menghasut supaya tidak mematuhi suatu perintah jabatan yang diberikan

berdasarkan peraturan perundangan.29

Pembahasan berikut ini akan diuraikan tentang kasus yang diajukan dalam

penelitian ini yaitu Putusan Mahkamah Agung No. 470.K/Pid/1995, yaitu:

Kasus posisi:

1. Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (S.B.S.I) Cabang Medan terdiri dari : Amosi

28

R. Soesilo, Op.Cit, halaman 137.

29

S.R. Sianturi, 1983, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Jakarta: Alumni AHM PTHM, Halaman 307.

(38)

Telaumbanua sebagai Ketua Umum, dengan Saniman Lafoa sebagai sekretariat

serta Bendahara Hayati, di bawah nauangan SBSI pusat dipimpin oleh ketua

umum : Muchtar Pakpahan.

2. Amosi sebagai Ketua SBSI Cabang Medan adalah penggerak organisasinya. Ia

banyak mengetahui masalah-masalah yang sedang dihadapi buruh saat ini.

Amosi juga mengerti akan hak-hak para buruh yang mestinya diterima dari

para pengusaha, namun masih belum terpenuhi.

3. Diantara cabang-cabang SBSI di daerah, maka SBSI Medan termasuk yang

paling aktif mengadakan kegiatan SBSI. Salah satu kegiatan SBSI adalah

melakukan pengukuhan kepada buruh tentang hak-hak yang seharusnya

diperoleh. Dalam kegiatan tersebut. Amosi memberikan pengarahan dengan

materi mengenai perburuhan, termasuk tentang Undang-Undang

Ketenagakerjaan dan pelaksanaannya.

4. Penyuluhan-penyuluhan yang diberikan SBSI nyatanya menarik perhatian dan

keikut sertaan buruh di Medan. Kegiatan SBSI Medan selalu dihadiri oleh

banyak buruh. Bukan hanya anggota sBSI saja, para simpatisan juga hadir

dalam kegiatan-kegiatan SBSI yang dilakukan secara berkala. Pada separuh

pertama tahun 1994, SBSI memberikan pengarahan pada buruh, berturut-turut

pada bulan Pebruari, Maret, tanggal 3, 4, 10, 12, 13 April. Kegiatan SBSI

dilakukan di rumah para buruh atau kantor Sekretariat SBSI Cabang Medan

Jalan Mangaan III Benteng Medan. Para buruh Medan memang mempunyai

beberapa masalah yang belum diselesaikan secara tuntas, baik oleh pihak

(39)

masalah-masalah yang harus segera diselesaikan itu antara lain :

a. Kenaikan upah buruh dari Rp. 3.000, - perhari menjadi Rp. 7.000,-

b. Kebebasan berorganisasi

c. Kematian Rusli rekan kerja mereka

d. Pencabutan surat Menaker No. 1 tahun 1994.

5. Pengarahan yang diberikan amosi agaknya menyulut emosi, para buruh

merencanakan unjuk rasa untuk merealisasikan pembicaraan yang telah

dilakukan. Sebagai langkah awal, amosi dan rekan pengurus SBSI Cabang

Medan lainnya menyebarkan lembaran pamplet seruan mogok kepada buruh di

Kawasan Industri Medan, selebaran – selebaran itu diperoleh dari DPP SBSI di

Jakarta.

6. Pada hari yang telah ditentukan tanggal 14 April 1994, sekitar 20.000 orang

buruh berkumpul di depan Kantor Gubernur Sumut. Mereka ingin

menyampaikan dan membicarakan persoalan-persoalan yang belum

diselesaikan. Tetapi aparat Pemda tidak menanggapinya. Melihat kenyataan itu,

Amosi menyuruh para buruh untuk membubarkan diri “ Pulanglah kalaian

dengan tenang “seru Amosi. Pengunjuk rasa memang menuruti seruan itu.

Namun diperjalanan pulang, para buruh tidak dapat mengendalikan

kekecewaannya. Emosi mereka kembali memuncak, dan tindakan mereka

benar-benar sulit untuk dikontrol. Kantor pabrik yang terletak di jalan yang

dilalui, sepanjang perjalanan pulang menjadi sasaran kemarahan mereka.

Mereka melempari bangunan-bangunan itu dengan batu tanpa ada perintah dari

(40)

pimpinan SBSI yang memprakarsai mogok dan unjuk rasa para buruh tersebut.

Polisi setempat menangkap para pengurus SBSI Cabang Medan, termasuk

Amosi Talaumbanua. Mereka diperiksa dan diajukan ke pengadilan Negeri

Medan dalam berkas perkara secara terpisah.

7. Jaksa Penuntut Umum mengajukan Amosi sebagai terdakwa di Pengadilan

Negeri Medan dan didakwa melakukan perbuatan pidana sebagai berikut:

I. Kesatu:

Primair : ex Pasal 160 jo. Pasal 55 ayat (1) ke- 1e , KUH Pidana.

“ Secara lisan atau dengan tulisan di depan umum menghasut untuk melakukan

sesuatu perbuatan yang dapat dihukum; melawab para kekuasaan umum

dengan kekerasan, ……… dan seterusnya,

………dst, ………” seterusnya,

………..dst, ……….

(Seruan mogok dan unjuk rasa, dst ………..).

Subsidair: Ex Pasal 161 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke 1e KUH Pidana.

“menyebarluaskan, mempertunjukkan secara terbuka, menempelkan sesuatu

tulisan yang berisi hasutan untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat

dihukum, ……….dst, ………dst “.

II. Kedua :

Ex Pasal 170 ayat (1). Jo Pasal 55 (1) ke-2e KUH Pidana “ Secara terbuka dan

secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap manusia atau barang

(41)

Jaksa Penuntut Umum dalam reguitoirnya yang diajukan di persidangan

Pengadilan Negeri Medan menuntut agar supaya hakim menyatakan :

a. Terdakwa AMOSI TALAUMBANUA, bersalah melakukan delik: “secara

bersama-sama menghasut orang lain dengan lisan atau tulisan agar

melakukan perbuatan yang dapat dihukum“ ex Pasal 160. 55 (1) ke.1e

KUH Pidana dalam dakwaan kesatu primair.

b. Menuntut hukuman penjara satu tahun dan enam bulan dan dikurangi

selama berada dalam tahanan sementara.

c. Dan seterusnya, ……….. dt, ………dst,

PENGADILAN NEGERI:

1. Hakim pertama yang mengadili perkara ini memberikan pertimbangan sebagai

berikut :

2. Mejelis akan mempertimbangkan Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUH Pidana. Menurut

Pasal tersebut, sebagai pembuat (dadaer) sesuatu perbuatan pidana antara lain

adalah mereka yang melakukan yang menyuruh lakukan dan yang turut serta

melakukan perbuatan.

3. Menurut putusan Mahkamah Agung No. 111.7K.Pid/1990, tanggal 30/II/1990

untuk dapat dikualifikasikan sebagai turut serta melakukan perbuatan pidana

dalam arti bersama-sama melakukan, sedikitnya harus ada 2 orang, yaitu orang

yang melakukan perbuatan pidana itu. Dalam hal ini kedua orang itu semuanya

melakukan perbuatan pelaksanaan yaitu melakukan nasir dari perbuatan

pidana.

(42)

tetap digunakan menyatakan : bahwa suatu perbuatan yang dilakukan

bersama-sama adalah turut serta melakukan dapat terjadi jika dua atau lebih melakukan

secara bersama-sama suatu perbuatan yang dapat dilakukan. Sedang dengan

perbuatan masing-masing saja, maksud itu tidak akan sampai.

5. Dipersidangan telah terbukti, baik terdakwa maupun saksi-saksi Saniman

Lafao; Risman L; fatiwanolo ; Hayati (berkas perkara terpisah), sebagai

pengurus SBSI, telah memberikan pengarahan tentang hak-hak dan kewajiban

kaum buruh serta hak mogok buruh, jika masalah dengan pengusaha tidak ada

penyelesaian. Terutama tentang kenaikan upah. Apalagi jika dihubungkan

dengan “ seruan mogok “/unjuk rasa “ dari Ketua Umum SBSI, Muchtar

Pakpahan dan sekretaris Umum SBSI, disepakati untuk diperbanyak dan

disebarluaskan kepada buruh pada setiap kegiatan pemogokan kaum buruh di

unit-unit semua perusahaan masing-masing terdakwa secara bergiliran bersama

saksi-saksi tersebut, telah mendampingi buruh yang mogok. Demikian pula

pada peristiwa unjuk rasa tanggal 14 – 4 1994, menurut Terdakwa, kegiatan

buruh selalu ada hubungannya dengan organisasi buruh SBSI.

6. Dari uraian tersebut telah terbukti bahwa antara terdakwa dengan saksi-saksi

saniman, Riswan, Fatiwanolo dan Hayati bekerjasama dalam melaksanakan

perbuatan pelaksanaan sehingga terjadi unjuk rasa.

7. Unjuk rasa tersebut menimbulkan kerusuhan dan pelemparan batu terhadap

perusahaan-perusahaan dan rumah-rumah penduduk. Karenanya, Pasal 55 ayat

(1) ke 1 KUH Pidana terpenuhi dalam perbuatan terdakwa.

(43)

ayat (1) ke 1 KUH Pidana.

9. Dipersidangan diperoleh fajta bahwa sebelum terjadinya unjuk rasa para buruh,

dilakukan pertemuan setiap hari. Pertemuan itu dihadiri oleh 50 – 100 buruh,

baik di rumah terdakwa maupun di kantor cabang SBSI Medan. Terdakwa

memberikan penjelasan, pengarahan, tentang hak-hak buruh, diantaranya

tentang upah dan hak mogok jika permasalahan dengan pengusaha tidak ada

penyelesaian. Tempat pertemuan adalah di rumah Terdakwa di Jalan Mangaan

III Lorong Benteng No. 106 Medan dan di Kantor SBSI di jalan Tapian Nauli

III No. 116 Medan. Tempat itu didatangi buruh berserta simpatisan-simpatisan

SBSI (umum) atau orang banyak dapat mendengar pengarahan terdakwa.

Fakta-fakta tersebut memenuhi unsur pertama Pasal 160 KUH Pidana.

10.Mengenai unsur kedua, pengarahan-pengarahan yang diberikan kepada para

buruh serta para simpatisan SBSI oleh Terdakwa adalah secara lisan. Oleh

karenanya unsur tersebut terpenuhi.

11.Untuk unsur ketiga, diperoleh fakta-fakta bahwa terdakwa bersama-sama

pengurus SBSI cabang Medan lainnya seperti tersebut pada pertimbangan

unsur ke satu telah memperbanyak seruan mogok/unjuk rasa dari PP SBSI

kepada para buruh serta simpatisan SBSI. Seruan mogok tersebut berisi

tuntutan bahwa upah minimum untuk hidup layak adalah 173.500/bulan atau

rp. 7.000/hari. Tuntutan tersebut diberlakukan mulai 1-4-1994. Sehubungan

dengan seruan mogok tersebut, terdakwa beserta pengurus SBSI cabang Medan

lainnya, hampir tiap hari memberikan pengarahan pada para buruh tentang

(44)

ada penyelesaian.

12.Terdakwa beserta pengurus SBSI bergantian mendampingi buruh yang mogok

di perusahaannya. Menurut terdakwa setiap kegiatan buruh selalu ada

hubungannya dengan SBSI. Pengarahan-pengarahan pada buruh diberikan

sejak awal, setiap hari, hingga tanggal 12–4–1994. Karena

pengarahan-pengarahan tersebut buruh melakukan unjuk rasa yang diikuti kurang lebih

20.000 orang tanpa izin. Terdakwa selaku ketua sBSI cabang Medan tidak

mencegah/membiarkan unjuk rasa tanggal 14–4–1994.

13.Fakta-fakta tersebut menurut Pengadilan termasuk dalam kwalifikasi perbuatan

menghasut, supaya tidak menuruti ketentuan undang-undang maupun perintah

jabatan yang diberikan berdasarkan undang-undang.

14.Sekalipun Pasal 160 KUH Pidana tidak mencantumkan kata sengaja, namun

menurut azas hukum pidana, setiap perbuatan pidana harus dilakukan dengan

kesengajaan, kecuali, terhadap perbuatan yang dilakukan karena lalai.

15.Hakekatnya unsur kesengajaan dalam Pasal tersebut telah terkandung dalam

awalan “ me “ pada kata menghasut, Oleh karenanya, unsur sengaja harus

dibuktikan dalam perbuatan terdakwa.

16.Oleh karena undang-undang tidak memberikan pengertian tentang kesengajaan,

maka doktrin dan jurisprudensi tentang kesengajaan, maka doktrin dan

jurisprudensi memberikan arti sebagai “ dikehendaki dan diketahui “ sehingga

dalam paraktek dikenal adanya teori kehendak dan teori pengetahuan.

17.Pengadilan cenderung akan menerapkan teori kehendak (Will Theory) dalam

(45)

diakui oleh Pemerintah, sehingga SBSI dilarang melakukan kegiatan kepala

kantor Sosial Politik Pemda Tingkat II Medan, telah memberikan

penjelasan/peringatan kepada terdakwa, agar SBSI tidak melakukan kegiatan.

Namun terdakwa malah memberikan pengarahan-pengarahan pada kaum buruh

dan mendukung untuk mengadakan unjuk rasa. Selaku Ketua SBSI Cabang

Medan, terdakwa membiarkan, tidak mencegah rencana diadakannya unjuk

rasa kaum buruh. Terdakwa telah mendampingi kaum buruh ketika melakukan

unjuk rasa.

Dari fakta-fakta tersebut Pengadilan berkeyakinan bahwa “Perbuatan menghasut“,

telah dilakukan terdakwa dengan sengaja. Perbuatan terdakwa telah memenuhi

unsur ketiga Pasal 160 jo Pasal 55 (1) KUH Pidana. Oleh karenanya, terdakwa

terbukti dengan sah dan meyakinkan bersalah melakukan dakwaan kesatu Primair :

Pasal 160 jo. Pasal 55 (1) ke 1 KUH Pidana. Dengan terbuktinya dakwaan ke 1

Primair, maka dakwaan selebihnya tidak perlu dibuktikan lagi selain alasan-alasan

yuridis, Pengadilan juga mempertim-bangkan faktor keadaan.

Yang Memberatkan:

- Perbuatan Terdakwa meresahkan masyarakat

- Terdakwa tidak menyesali perbuatannya

- Terdakwa melakukan kegiatan-kegiatan organisasinya sekalipun telah dilarang

oleh Pemerintah yang bersangkutan

Yang Meringankan:

- Terdakwa belum pernah dihukum

(46)

- Atas dasar pertimbangan tersebut Pengadilan Negeri Medan memutuskan :

- Menyatakan terdakwa: Amosi Talaumbanua sebagaimana tersebut di atas

menurut bukti-bukti yang sah dan meyakinkan terang bersalah telah melakukan

perbuatan pidana : “ Menghasut yang dilakukan secara bersama-sama “.

- Menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa selama 1 satu tahun 3 (tiga)

bulan

- Menetapkan pidana itu dikurangkan seluruhnya dengan masa terdakwa berada

dalam tahanan

- Dan seterusnya, dan seterusnya, dst ……

PENGADILAN TINGGI

- Terdakwa Amosi Telaumbauna menyatakan banding putusan Pengadilan

Negeri Medan. Dalam memori banding yang diajukannya, terdakwa mohon

agar dapat dibebaskan dari segala dakwaan maupun tuntutan hukum. Unjuk

rasa yang terjadi bukan kehendak Terdakwa, tetapi kehendak buruh yang

hak-haknya dilanggar oleh Pengusaha.

- Hakim Tinggi yang mengadili perkara ini, menganggap pertimbangan Hakim

Pertama telah tepat dan benar sehingga disetujui dan dijadikan pertimbangan

Pengadilan Tinggi. Namun Pengadilan Tinggi menganggap pidana yang

dijatuhkan terlalu ringan, tidak sesuai dengan rasa keadilan. Selain mengingat

hal-hal yang meringankan dan memberatkan sebagaimana dikemukakan oleh

Hakim Pertama. Pengadilan Tinggi memperhatikan fakta bahwa unjuk rasa

yang dipimpin Terdakwa menimbulkan keresahan dalam masyarakat yang

(47)

Perbuatan terdakwa menimbulkan kerugian harta benda dan jatuhnya korban.

- Pengadilan Tinggi akan menjatuhkan pidana penjara untuk memenuhi tujuan

pemindanaan yang bersifat korektif preventif dan edukatif. Selebihnya,

Pengadilan Tinggi menguatkan putusan hakim Pertama.

- Pengadilan tinggi memperbaiki amar putusan pengadilan Negeri Medan

mengenai pidana yang dijatuhkan terhadap Terdakwa dengan amar putusan

yang pada pokoknya sebagai berikut :

MENGADILI

- Memperbaiki putusan pengadilan Negeri Medan yang dimohon banding,

sekedar mengenai pidana yang dijatuhkan, sehingga amarnya sebagai berikut :

- Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan hukuman penjara 3 (tiga) tahun.

- Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa di kurangkan masa

seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan

- Memerintahkan Terdakwa tetap ditahan dalam rumah tahanan negara.

Menguatkan putusan Pengadilan Negeri tersebut yang selebihnya.

Menghukum Terdakwa lagi untuk membayar biaya perkara dalam tingkat

banding sebesar Rp. 1.000 (seribu rupiah),-

MAHKAMAH AGUNG RI:

- Terdakwa, Amosi menolak putusan Pengadilan Tinggi dan mengajukan

permohonan kasasi dengan alasan kasasi sebagai berikut:

1. Dalam putusannya, Pengadilan Tinggi tidak memuat hal-hal yang

(48)

2. Pengadilan tinggi memperberat hukuman, tanpa pertimbangan yang cukup.

3. Pengadilan Tinggi menyatakan terdakwa terbukti melanggar Pasal 160 jo.

55 (1) KUH Pidana, tidak ada saksi atau bukti bahwa Terdakwa menghasut

buruh untuk melakukan perbuatan pidana atau melawan kekuasaan hukum

dengan kekerasan, atau menghasut buruh untuk melanggar undang-undang.

Para saksi menerangkan bahwa terdakwa hanya menjelaskan hak dan

kewajiban buruh dalam pertemuan tersebut. Pada waktu terjadi unjuk rasa

terdakwa menyuruh pengunjuk rasa pulang, setelah delegasi diterima

gubernur.

4. Petimbangan pengadilan Tinggi yang menjatuhkan terdakwa menimbulkan

keresahan dalam masyarakat tidak berdasarkan fakta hukum. Yang dituntut

buruh hanya kenaikan upah, kebebasan berorganisasi, masalah-masalah

kematian buruh Rusli, dan penyelesaian PHK buruh persoalan tersebut

adalah hak buruh yang seharusnya diterima.

5. Judex facti tidak secara jelas menguraikan perbuatan Terdakwa yang

melawan hukum, perintah yang sah yang mana yang terdakwa tidak turuti

atau terdakwa menganjurkan kaum buruh untuk tidak mentaatinya.

6. Judex facti salah menafsirkan pengertian “ mogok “ dan “ unjuk rasa “

dalam hubungannya dengan „ menghasut “, mogok adalah tindakan pasip,

sehingga seruan mogok tidak dapat dikualifikasikan sebagai menghasut

unjuk rasa.

7. Mahkamah Agung stelah memeriksa perkara ini dalam putusan kasasi

Referensi

Dokumen terkait

2. Kongres Pemuda Kedua adalah kongres pergerakan pemuda Indonesia yang melahirkan keputusan yang memuat ikrar untuk mewujudkan cita-cita berdirinya negara Indonesia, yang

Mata kuliah Matematika terhadap Mata Kuli- ah Statistika Bila Dikontrol Dengan Jenis..

Temuan ini sepeendapat dengan penelitian yang dilakukan oleh Kusumaningrum, (2010) dan Maryanti (2002) yang menyebutkan bahwa sistem pelaporan dan kejelasan

Selanjutnya peneliti mengajukan pertanyaan kepada guru bimbingan dan konseling tentang bagaimana metode yang dilakukan dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling terkait

Retail banks are highly pressured to create, develop and maintain a high quality relationship with their customers to ensure they remain in the competition. Relationship quality is

Hasil evaluasi digunakan untuk menentukan dimana dan dalam hal apa para peserta didik perlu memperoleh bimbingan dalam mencapai tujuan, sehinga seluruh peserta didik dapat

[r]

Skripsi yang berjudul Implementasi Program LARASITA (Layanan Rakyat Untuk Sertifikat Tanah) di Kantor Pertanahan Kabupaten Karanganyar ini disusun sebagai salah satu