PERTANGGUNG JAWABAN PENGHASUT UNTUK
MELAKUKAN UNJUK RASA YANG BERAKIBAT
ANARKHIS
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Oleh :
Ainal Masyri Tanjung
NIM : 070200449
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
PERTANGGUNG JAWABAN PENGHASUT UNTUK
MELAKUKAN UNJUK RASA YANG BERAKIBAT
ANARKHIS
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Oleh :
Ainal Masyri Tanjung
NIM : 070200449
Disetujui oleh:
Ketua Departemen Hukum Pidana
Dr. M. Hamdan, SH, MH
Pembimbing I
Liza Erwina, SH, M.Hum
Pembimbing II
Dr. Marlina, SH, M.Hum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang
telah melimpahkan rakhmat, taufik dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian tingkat
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini
berjudul “Pertanggung Jawaban Penghasut Untuk Melakukan Unjuk Rasa Yang
Berakibat Anarkhis”.
Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah banyak mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terima-kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara Medan.
2. Bapak Dr. M. Hamdan, SH, MH, sebagai Ketua Departemen Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Liza Erwina, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I Penulis.
4. Ibu Dr. Marlina, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II Penulis.
5. Bapak dan Ibu Dosen serta semua unsur staf administrasi di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
6. Rekan-rekan se-almamater di Fakultas Hukum khususnya dan Umumnya
7. Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan rasa terima-kasih yang tiada
terhingga kepada Ayahanda dan Ibunda, semoga kebersamaan yang kita jalani
ini tetap menyertai kita selamanya.
8. Demikianlah penulis niatkan, semoga tulisan ilmiah penulis ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Mei 2012
Penulis
Ainal Masyri Tanjung
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
ABSTRAKSI ... v
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 4
D. Keaslian Penulisan ... 5
E. Tinjauan Kepustakaan ... 5
F. Metodologi Penulisan ... 14
G. Sistematika Penulisan ... 15
BAB II BENTUK TINDAK PIDANA AKSI UNJUK RASA YANG ANARKHIS ... 17
A. Aturan Hukum Terkait Dengan Unjuk Rasa ... 17
B. Bentuk Kejahatan Unjuk Rasa Yang Anarkhis ... 21
C. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Unjuk Rasa Yang Berakibat Anarkhis 43 BAB III TANGGUNGJAWAB PIDANA PENGHASUT AKSI UNJUK RASA YANG ANARKHIS ... 51
Suatu Unjuk Rasa ... 51
B. Tanggung Jawab Pidana Penghasut Aksi Unjuk Rasa yang Berakhir Anarkhis ... 67
BAB I HAMBATAN-HAMBATAN DALAM MEMINTA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGHASUT AKSI UNJUK RASA YANG ANARKHIS ... 74
A. Hambatan Secara Internal ... 74
B. Hambatan Secara Eksternal ... 76
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 79
A. Kesimpulan ... 79
B. Saran ... 79
ABSTRAK
PERTANGGUNG JAWABAN PENGHASUT UNTUK MELAKUKAN UNJUK
RASA YANG BERAKIBAT ANARKHIS
Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerderkaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum secara tegas memberikan batasan tentang bagaimana sistem melakukan unjuk rasa yang baik dalam hubungannya dengan kemerdekaan menyampaikan pendapat, tetapi dalam kenyataannya sering terlihat benturan-benturan yang terjadi sewaktu berjalannya unjuk rasa, seperti terjadinya tindakan anarkhis, benturan antara pengunjuk rasa dengan kepolisian, bahkan sampai kehilangan nyawa dan luka-luka di antara kedua belah pihak. Kondisi ini tentunya amat sangat disayangkan. Di satu sisi unjuk rasa adalah dihormati karena merupakan cara menyampaikan pendapat, sedangkan di sisi yang lain, terkadang unjuk rasa dijadikan sebagai sarana pembenaran pendapat.
Permaslahan yang diajukan adalah bagaimana bentuk kejahatan penghasutan terhadap aksi unjuk rasa yang berakibat anarkhis, apakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya unjuk rasa yang berakibat anarkhis dan bagaimana tanggung jawab pidana penghasut terhadap aksi untuk rasa yang berakhir anarkhis.
Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan bentuk kejahatan penghasutan terhadap aksi unjuk rasa yang berakibat anarkhis adalah meliputi: menghasut supaya melakukan suatu tindak pidana, menghasut supaya melakukan suatu perbuatan kekerasan kepada penguasa umum, menghasut supaya tidak mematuhi suatu peraturan perundang-undangan dan menghasut supaya tidak mematuhi suatu perintah jabatan yang diberikan berdasarkan peraturan perundangan. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya unjuk rasa yang berakibat anarkhis adalah: sikap para demonstran yang menganggap pendapat mereka paling benar dan harus dituruti, suasana panas, sesak dan penat akan membuat para demonstran cunderung mudah terpancing emosi, tidak ada perwakilan yang bersedia menanggapi dan berbicara dengan demonstran, solidaritas yang tinggi antara para anggota demonstran, kerusuhan dalam demo memang sudah di rencanakan serta adanya provokasi.Tanggung jawab pidana penghasut terhadap aksi untuk rasa yang berakhir anarkhis adalah apabila ia memenuhi unsur-unsur Pasal 160 KUHP maka kepadanya dapat dikenakan sanksi pidana berupa pidana penjara dan atau denda.
ABSTRAK
PERTANGGUNG JAWABAN PENGHASUT UNTUK MELAKUKAN UNJUK
RASA YANG BERAKIBAT ANARKHIS
Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerderkaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum secara tegas memberikan batasan tentang bagaimana sistem melakukan unjuk rasa yang baik dalam hubungannya dengan kemerdekaan menyampaikan pendapat, tetapi dalam kenyataannya sering terlihat benturan-benturan yang terjadi sewaktu berjalannya unjuk rasa, seperti terjadinya tindakan anarkhis, benturan antara pengunjuk rasa dengan kepolisian, bahkan sampai kehilangan nyawa dan luka-luka di antara kedua belah pihak. Kondisi ini tentunya amat sangat disayangkan. Di satu sisi unjuk rasa adalah dihormati karena merupakan cara menyampaikan pendapat, sedangkan di sisi yang lain, terkadang unjuk rasa dijadikan sebagai sarana pembenaran pendapat.
Permaslahan yang diajukan adalah bagaimana bentuk kejahatan penghasutan terhadap aksi unjuk rasa yang berakibat anarkhis, apakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya unjuk rasa yang berakibat anarkhis dan bagaimana tanggung jawab pidana penghasut terhadap aksi untuk rasa yang berakhir anarkhis.
Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan bentuk kejahatan penghasutan terhadap aksi unjuk rasa yang berakibat anarkhis adalah meliputi: menghasut supaya melakukan suatu tindak pidana, menghasut supaya melakukan suatu perbuatan kekerasan kepada penguasa umum, menghasut supaya tidak mematuhi suatu peraturan perundang-undangan dan menghasut supaya tidak mematuhi suatu perintah jabatan yang diberikan berdasarkan peraturan perundangan. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya unjuk rasa yang berakibat anarkhis adalah: sikap para demonstran yang menganggap pendapat mereka paling benar dan harus dituruti, suasana panas, sesak dan penat akan membuat para demonstran cunderung mudah terpancing emosi, tidak ada perwakilan yang bersedia menanggapi dan berbicara dengan demonstran, solidaritas yang tinggi antara para anggota demonstran, kerusuhan dalam demo memang sudah di rencanakan serta adanya provokasi.Tanggung jawab pidana penghasut terhadap aksi untuk rasa yang berakhir anarkhis adalah apabila ia memenuhi unsur-unsur Pasal 160 KUHP maka kepadanya dapat dikenakan sanksi pidana berupa pidana penjara dan atau denda.
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Maraknya aksi kekerasan dan kerusuhan massal akhir-akhir ini, membuat
kita cukup prihatin. Dikatakan dengan istilah cukup prihatin, karena dari peristiwa
yang begitu kecil saja, ternyata dapat memicu kerusuhan massal yang
menimbulkan banyak korban, bukan hanya harta benda, melainkan pula jiwa
manusia. Sedangkan lokasi dari terjadinya peristiwa kerusuhan-kerusuhan tersebut
merata di hampir di seluruh kepulauan-kepulauan besar Nusantara ini. Termasuk
halnya di daerah Provinsi Sumatera Utara khususnya di Kota Medan, dimana
kerusuhan tersebut diakibatkan dengan naiknya harga-harga kebutuhan pokok di
pasaran, sehingga terdapatnya sekelompok orang yang bertindak berlawan dengan
perundang-undangan yang ada.
Tidak mengherankan jika saja banyak orang yang mencari penyebabnya.
Ada sementara pendapat yang mengatakan bahwa sebagai faktor pemicunya antara
lain, karena terjadinya kesenjangan sosial ekonomi, tersumbatnya komunikasi, atau
karena adanya rekayasa pihak ketiga.1 Kecuali itu ada pula yang mengkaitkannya
dengan makin meningkatnya suhu politik menjelang pemilu dan di masa pemilu itu
sendiri, terlebih-lebih dengan semakin turunnya nilai rupiah terhadap dolar yang
lebih dikenal dengan istilah krisis moneter.
Maraknya aksi kerusuhan yang terjadi belakangan ini di tanah air, adalah
1
karena terjadinya ketidakadilan di masyarakat, tidak tegaknya hukum, adanya
arogansi kekuasaan dari oknum aparat, tersumbatnya aspirasi masyarakat, serta
adanya jurang antara si kaya dan si miskin.
Berdasarkan uraian pembahasan di atas, maka membicarakan perihal
kerusuhan ini tidak terlepas dari faktor-faktor penyulut kerusuhan itu sendiri. Maka
dalam kedudukan yang sedemikian penghasut mempunyai kepentingan atas
peristiwa-peristiwa kerusuhan yang ditimbulkan tersebut.
Mengantisipasi adanya penghasut yang bakal menyulut berbagai kerusuhan
tersebut, maka Presiden Soeharto pernah membentuk Pusat Komando (POSKO)
Kewaspadaan Nasional, yang antara lain bertugas untuk memantau
gerakan-gerakan penghasut, penyebar selebaran, dan sebagainya. Sebab, menurut Presiden,
dengan mencermati detail peristiwa kerusuhan yang terjadi dapat disusupi adanya
kelompok-kelompok tertentu yang memang hendak menggoyang stabilitas
nasional.
Suatu hal yang sangat berhubungan dengan peristiwa unjuk rasa adalah
terjadinya hal-hal yang berakibat tidak baik yang menyertai unjuk rasa tersebut
yaitu terjadinya anarkhis. Apabila terjadi suatu anarkhis dalam suatu peristiwa
unjuk rasa maka kepada pihak penanggung jawab unjuk rasa tersebut dapat
dimintakan pertanggungjawabannya, yang salah satunya adalah pertanggung
jawaban pidana.
Kajian skripsi ini tidaklah sedemikian luasnya, hanya saja perbandingan
uraian di atas mendudukkan penghasut pada suatu peristiwa tindak pidana
sehingga dengan demikian sanksi-sanksi pidana sebagaimana yang diatur oleh
undang-undang perlulah dimintakan pertanggung-jawabannya kepada penghasut.
Perihal ketentuan menghasut ini diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana tepatnya pada Pasal 160 yang berbunyi: “Barang siapa di muka umum
dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan per-buatan pidana,
melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan
undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasar ketentuan
undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.
Meskipun Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerderkaan
Menyampaikan Pendapat di Muka Umum sudah secara tegas memberikan batasan
tentang bagaimana sistem melakukan unjuk rasa yang baik dalam hubungannya
dengan kemerdekaan menyampaikan pendapat, tetapi dalam kenyataannya sering
terlihat benturan-benturan yang terjadi sewaktu berjalannya unjuk rasa, seperti
terjadinya tindakan anarkhis, benturan antara pengunjuk rasa dengan kepolisian,
bahkan sampai kehilangan nyawa dan luka-luka di antara kedua belah pihak.
Kondisi ini tentunya amat sangat disa-yangkan. Di satu sisi unjuk rasa adalah
dihormati karena merupakan cara menyampaikan pendapat, sedangkan di sisi yang
lain, terkadang unjuk rasa dijadikan sebagai sarana pembenaran pendapat.
Mengapa hal ini terjadi dan bagaimana sebenarnya tanggung jawab
pihak-pihak yang terlibat dalam unjuk rasa ini dalam kaitannya dengan unjuk rasa adalah
B.Perumusan Masalah
Setiap pelaksanaan penelitian penting diuraikan permasalahan karena
dengan hal yang demikian dapat diketahui pembatasan dari pelaksanaan penelitian
dan juga pembahasan yang akan dilakukan.
a. Bagaimana bentuk kejahatan penghasutan terhadap aksi unjuk rasa yang
berakibat anarkhis?
b. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya unjuk rasa yang berakibat
anarkhis?
c. Bagaimana tanggung jawab pidana penghasut terhadap aksi untuk rasa yang
berakhir anarkhis?
C.Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah untuk:
1. Untuk mengetahui bentuk kejahatan penghasutan terhadap aksi unjuk rasa yang
berakibat anarkhis.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya unjuk rasa yang
berakibat anarkhis.
3. Untuk mengetahui tanggung jawab pidana penghasut terhadap aksi untuk rasa
yang berakhir anarkhis.
Sedangkan yang menjadi manfaat penelitian dalam hal ini adalah:
a. Secara teoritis untuk menambah literatur tentang perkembangan hukum pidana
khususnya dalam kaitannya dengan tanggung jawab penghasut dalam kasus
b. Secara praktis ini juga diharapkan kepada masyarakat dapat mengambil
manfaatnya terutama dalam hal mengetahui tentang akibat hukum tindak
pidana bagi penghasut.
D.Keaslian Penulisan
Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Pertanggung Jawaban Penghasut
Untuk Melakukan Unjuk Rasa Yang Bersifat Anarkhis” ini merupakan luapan dari
hasil pemikiran penulis sendiri. Penulisan skripsi ini tidak sama dengan penulisan
skripsi lainnya. Sehingga penulisan skripsi ini masih asli serta dapat
dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik.
E.Tinjauan Kepustakaan
1. Tindak Pidana
Pengertian dari tindak pidana adalah tindakan yang tidak hanya dirumuskan
oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai kejahatan atau tindak pidana,
jadi dalam arti luas hal ini berhubungan dengan pembahasan masalah deliquensi,
deviasi, kualitas kejahatan berubah-ubah, proses kriminisasi dan deskriminasi
suatu tindakan atau tindak pidana mengingat tempat, waktu, kepentingan dan
kebijaksanaan golongan yang berkuasa dan pandangan hidup orang (berhubungan
dengan perkembangan sosial, ekonomi dan kebudayaan pada masa dan di tempat
tertentu).2
2
Istilah tindak pidana dalam bahasa Indonesia merupakan perbuatan yang
dapat atau boleh dihukum, perbuatan pidana, tindak pidana, sedangkan dalam
bahasa Belanda disebut “strafbaarfeit” atau “delik”. Para sarjana Indonesia
mengistilahkan strafbaarfeit itu dalam arti yang berbeda, diantaranya Moeljatno
menggunakan istilah perbuatan pidana, yaitu: “perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum, larangan mana disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu,
bagi barang siapa larangan tersebut”.3
Perbuatan yang oleh aturan hukum pidana yang dinyatakan sebagai
perbuatan yang dilarang dinamakan tindak pidana, yang disebut juga delik.
Menurut wujud dan sifatnya, tindak pidana ini adalah perbuatan-perbuatan yang
melawan hukum. Perbuatan-perbuatan tersebut juga merugikan masyarakat dalam
bertentangan dengan atau menghambat terlaksananya tata pergaulan masyarakat
yang dianggap adil.4
Namun demikian tidak semua perbuatan yang merugikan masyarakat dapat
disebut sebagai tindak pidana atau semua perbuatan yang merugikan masyarakat
diberikan sanksi pidana. Di dalam tindak pidana disamping alat sifat tercelanya
perbuatan tersebut dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa
melakukannya.
Berdasarkan literatur hukum pidana sehubungan dengan tindak pidana
banyak sekali ditemukan istilah-istilah yang memiliki makna yang sama dengan
tindak pidana. Istilah-istilah lain dari tindak pidana tersebut adalah antara lain :
1. Perbuatan melawan hukum.
2. Pelanggaran pidana.
3. Perbuatan yang boleh dihukum.
4. Perbuatan yang dapat dihukum.5
Menurut R. Soesilo, tindak pidana yaitu suatu perbuatan yang dilarang atau
yang diwajibkan oleh undang-undang yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka
orang yang melakukan atau mengabaikan diancam dengan hukuman.6
Menurut Moeljatno “peristiwa pidana itu ialah suatu perbuatan atau
rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau
peraturan undang-undang lainnya terhadap perbuatan mana diadakan tindakan
penghukuman Simons, peristiwa pidana adalah perbuatan melawan hukum yang
berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang yang mampu bertanggung jawab,
kesalahan yang dimaksud oleh Simons ialah kesalahan yang meliputi dolus dan
culpulate.7
2. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan
teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan
petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau
5
Roeslan Saleh. 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: Aksara Baru, halaman 32.
6
R. Soesilo. 1991. Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus. Bogor: Politeia, halaman. 11.
7
tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau
tidak.8
Hukum pidana, ada dua hal penting yang perlu mendapat perhatian, yaitu
mengenai hal melakukan perbuatan pidana (actus reus) yang berkaitan dengan
subjek ataupelaku perbuatan pidana, dan mengenai kesalahan (mens rea) yang
berkaitan dengan masalahpertanggungjawaban pidana. Berkaitan dalam asas
hukum pidana yaitu “Geen straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir
rea ”, bahwa “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”, maka pengertian “tindak
pidana” itu terpisah dengan yang dimaksud “pertanggungjawaban tindak pidana”.
Tindak pidana hanyalah menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan itu
dengan suatu pidana, kemudian apakah orang yang melakukan perbuatan itu juga
dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan akan sangat tergantung pada soal
apakah dalam melakukan perbuatannya itu si pelaku juga mempunyai kesalahan.9
Dasar pertanggungjawaban adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa
pelaku dalam hubungannya dengan kelakuannya yang dapat dipidana serta
berdasarkan kejiwaannya itu pelaku dapat dicela karena kelakuanya itu. Dengan
kata lain, hanya dengan hubungan batin inilah maka perbuatan yang dilarang itu
dapat dipertanggungjawabkan pada si pelaku. Batin yang salah (guilty mind, mens
rea) ini adalah kesalahan yang merupakan sifat subjektif dari tindak pidana karena
8 Iman Herlambang, “Pengertian Pertanggungjawaban Pidana”,
http://imanhsy.blogspot.com/2011/12/pengertian-pertanggungjawaban-pidana.html, Diakses tanggal 16 Mei 2012.
9Scribd, “Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Teknologi Informasi Melalui Hukum
Pidana”, http://www.scribd.com/doc/81906509/39/C-1-2-Pertanggungjawaban-Pidana, Diakses
berada didalam diri pelaku oleh karena itu kesalahan memiliki dua segi, yaitu segi
psikologi dan segi normatif.
Segi psikologi kesalahan harus dicari di dalam batin pelaku yaitu adanya
hubungan batin dengan perbuatan yang dilakukan sehingga ia dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Segi normatif yaitu menurut ukuran
yang biasa dipakai masyarakat sebagai ukuran untuk menetapkan ada tidaknya
hubungan batin antara pelaku dengan perbuatannya.
Berkaitan dengan kesalahan yang bersifat psikologis dan normatif, serta
unsur-unsurtindak pidana maka kesalahan memiliki beberap unsur:
1. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum)
2. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pelaku (di atas umur dan pelakudalam keadaan sehat dan normal).
3. Adanya hubungan antara si pelaku dengan perbuatannya baik yang disengaja (dolus) maupun karena kealpaan (culpa).
4. Tidak adanya alasan pelaku yang dapat menghapus kesalahan.10
Seseorang yang melakukan tindak pidana bare boleh dihukum apabila
sipelaku sanggup mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah diperbuatnya,
masalah penanggungjawaban erat kaitannya dengan kesalahan, oleh karena adanya
asas pertanggungjawaban yang menyatakan dengan tegas "Tidak dipidana tanpa
ada kesalahan" untuk menentukan apakah seorang pelaku tindak pidana dapat
dimintai pertanggungjawaban dalam hukum pidana, akan dilihat apakah orang
tersebut pada saat melakukan tindak pidana mempunyai kesalahan. Secara
doktriner kesalahan diartikan sebagai keadaan pysikis yang tertentu pada orang
10
yang melakukan perbuatan tindak pidana dan adanya hubungan antara kesalahan
tersebut dengan perbuatan yang dilakukan dengan sedemikian rupa, sehingga
orang tersebut dapat dicela karena, melakukan perbuatan pidana.
Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika
telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah telah
melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah telah
ditentukan oleh undang-undang. Dilihat dari terjadinya perbuatan yang terlarang, ia
akan diminta pertanggungjawaban apabila perbutan tersebut melanggar hukum.
Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya orang yang mampu
bertanggungjawab yang dapat diminta pertanggungjawaban. Pada umumnya
seseorang dikatakan mampu bertanggungjawab dapat dilihat dari beberapa hal
yaitu: Keadaan Jiwanya a. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau
sementara. b. Tidak cacat dalam pertumbuhan (Gage, Idiot, gila dan sebagainya) c.
Tidak terganggu karena terkejut (Hipnotisme, amarah yang meluap dan
sebagainya). Kemampuan Jiwanya:
1. Dapat menginsyafi hakekat dari perbuatannya.
2. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah dilaksanakan
atau tidak.
3. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut. 11
Adapun menurut Van Hamel, seseorang baru bisa diminta
pertanggungjawabannya apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Orang tersebut harus menginsafi bahwa perbuatannya itu menurut tata cara
kemasyarakatan adalah dilarang.
b. Orang tersebut harus dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatannya
tersebut. 12
3. Pengaturan Unjuk Rasa
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat di Muka Umum menjelaskan bahwa “Unjuk rasa atau
demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk
mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya secara demonstratif di
muka umum”.
Berdasarkan pengertian tersebut maka disini dapat dilihat bahwa
undang-undang memberikan kata yang memiliki makna yang sama antara unjuk rasa dan
demonstrasi. Penekanan makna unjuk rasa adalah dilakukan di depan umum
dengan cara yang demonstratif. Makna kata demonstratif lebih mendekati kepada
makna memperlihatkan, mempertontonkan secara mencolok.13
Unjuk rasa atau demonstrasi (demo) adalah sebuah gerakan protes yang
dilakukan sekumpulan orang di hadapan umum. Unjuk rasa biasanya dilakukan
untuk menyatakan pendapat kelompok tersebut atau penentang kebijakan yang
11Comprehensive Education Center, “Pengertian Pertanggungjawaban”
http://www.ombar.net/2009/10/pengertian-pertanggungjawaban.html, Diakses tanggal 12 Mei 2012.
12
dilaksanakan suatu pihak atau dapat pula dilakukan sebagai sebuah upaya
penekanan secara politik oleh kepentingan kelompok. Unjuk rasa umumnya
dilakukan oleh kelompok mahasiswa yang menentang kebijakan pemerintah, atau
para buruh yang tidak puas dengan perlakuan majikannya. Unjuk rasa juga
dilakukan oleh kelompok-kelompok lainnya dengan tujuan lainnya.14
Demonstrasi memiliki banyak definisi dan pengertian yang berbeda-beda
jika ditilik dari sudut pandang yang berbeda. Demonstrasi dapat diartikan sebagai
suatu aksi peragaan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk
menunjukkan cara kerja, cara pembuatan, maupun cara pakai suatu alat, material,
atau obat jika ditilik dari sudut pandang perdagangan maupun sains.
Penulis menggunakan definisi demonstrasi dalam konteksnya sebagai salah
satu jalur yang ditempuh untuk menyuarakan pendapat, dukungan, maupun
kritikan, yaitu suatu tindakan untuk menyampaikan penolakan, kritik, saran,
ketidakberpihakan, dan ketidaksetujuan melalui berbagai cara dan media dengan
aturan-aturan yang telah ditetapkan baik secara tertulis maupun tidak tertulis
sebagai akumulasi suara bersama tanpa dipengaruhi oleh kepentingan pribadi
maupun golongan yang menyesatkan dalam rangka mewujudkan demokrasi yang
bermuara pada keadaulatan dan keadilan rakyat.
Perkembangannya sekarang, demonstrasi kadang diartikan sempit sebagai
long-march, berteriak-teriak, membakar ban, dan aksi teatrikal. Persepsi
masyarakat pun menjadi semakin buruk terhadap demonstrasi karena tindakan
13
Dinas Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia., PN. Balai Pustaka, Jakarta, 2003, hal. 250.
14 Wikipedia Indonesia, “Unjuk Rasa”,
pelaku-pelakunya yang meresahkan dan mengabaikan makna sebenarnya dari
demonstrasi.
Memang unjuk rasa sebagai cara menyampaikan pendapat adalah hal yang
biasa dalam negara yang menganut demokrasi. Etika tetap harus dijaga. Pengunjuk
rasa harus berangkat dari niat baik demi kemajuan bangsa dan negara, karena
bagaimanapun juga unjuk rasa merupakan elemen dari demokrasi guna
mengemukakan pendapat, bukan memaksakan kehendak.15 Unjuk rasa harus
menjunjung etika dan tidak boleh melakukan kekerasan. Unjuk rasa, apalagi
dengan jumlah massa yang besar, tak harus menimbulkan ketakutan dalam diri
warga lainnya. Tetapi siapa yang berani menjamin keadaan bisa terkendali seperti
itu, sebab pada kenyataannya yang terjadi lebih sering sebaliknya.
Pada setiap kegiatan unjuk rasa, kata-kata kotor seakan menjadi lagu wajib
yang harus dinyanyikan dengan penuh semangat sebagai media guna mencaci
maki, menghasut, bahkan tidak jarang memprovokasi sehingga berujung pada
anarki. Sudah demikian, pelajaran demokrasi, akhlaq, dan budi pekerti yang
diajarkan di sekolah seolah sama sekali tak lagi berarti. 16
Fenomena demonstrasi/unjuk rasa ini selain di Perguruan Tinggi kini juga
marak terjadi di lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan formal tingkat
menengah SMA dan atau SMK. Sekolah yang mestinya menjadi pusat
berkembangnya budaya positif berubah menjadi ajang artikulasi kata-kata yang
teramat jauh dari kategori santun.17
15
Sahardi Utama, 2007, Menapaki Jejak Reformasi, Jakarta: Era Grafindo. halaman 91.
16
Muhari. Norma-norma yang Menjadi Pandangan Hidup Demokratis. Powerpoint Project, Surakarta, 2006, hal. 55.
17
Dari argumentasi yang sedikit dan sederhana ini saja dapat disimpulkan
bahwa demonstrasi/unjuk rasa yang sering terjadi di negeri ini jauh dari dapat
dikatakan mendidik/edukatif dan yang perlu kita bersama khawatirkan adalah
fenomena buruk ini kian menguat dan secara perlahan menjadi bagian dari kultur
yang kemudian melekat sebagai bagian dari jati diri bangsa.
F. Metodologi Penulisan
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari:
1. Sifat/materi penelitian
Sifat/materi penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini
adalah bersifat deksriptif analisis mengarah pada penelitian yuridis normatif, yaitu
suatu penelitian yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan yang tertulis
atau bahan hukum yang lain.18
2. Sumber data
Sumber data penelitian ini diambil berdasarkan data sekunder. Data
sekunder didapatkan melalui:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni seperti
KUHP dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun I998 Tentang
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.
b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer, seperti : hasil-hasil penelitian, karya dari kalangan hukum dan
sebagainya.
18
c. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang mencakup:
1) Bahan-bahan yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan
terhadap hukum primer dan sekunder.
2) Bahan-bahan primer, sekunder dan tertier (penunjang) di luar bidang
hukum seperti kamus, insklopedia, majalah, koran, makalah, dan
sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan.
3. Alat pengumpul data
Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini
adalah melalui studi dokumen dengan penelusuran kepustakaan.
4. Analisis data
Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan, studi
dokumen, dan penelitian lapangan maka hasil penelitian ini menggunakan analisa
kualitatif. Analisis kualitatif ini pada dasarnya merupakan pemaparan tentang
teori-teori yang dikemukakan, sehingga dari teori-teori tersebut dapat ditarik
beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan dan pembahasan skripsi ini.
G.Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa Bab, dimana dalam bab
terdiri dari unit-unit bab demi bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam
bentuk uraian:
Bab I. Pendahuluan
pada umumnya yaitu, Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah,
Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan
Kepustakaan, Metode Penulisan serta Sistematika Penulisan.
Bab II. Bentuk Tindak Pidana Aksi Unjuk Rasa Yang Anarkhis
Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang: Aturan Hukum
Terkait Dengan Unjuk Rasa, Bentuk Kejahatan Unjuk Rasa Yang
Anarkhis serta Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana
Unjuk Rasa Yang Berakibat Anarkhis
Bab III. Tanggungjawab Pidana Penghasut Aksi Unjuk Rasa Yang Anarkhis
Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang: Pihak Yang
Dapat Dimintakan Pertanggungjawaban Dalam Suatu Unjuk Rasa serta
Tanggung Jawab Pidana Penghasut Aksi Unjuk Rasa yang Berakhir
Anarkhis.
Bab IV. Hambatan-Hambatan Dalam Meminta Pertanggungjawaban Pidana
Penghasut Aksi Unjuk Rasa Yang Anarkhis
Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan terhadap: Hambatan
Secara Internal serta Hambatan Secara Eksternal.
Bab V. Kesimpulan dan Saran
Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir dimana akan
BAB II
BENTUK TINDAK PIDANA AKSI UNJUK RASA YANG ANARKHIS
A. Aturan Hukum Terkait Dengan Unjuk Rasa
Salah satu dari 10 prinsip dasar demokrasi Pancasila yang dianut oleh
negara Indonesia adalah demokrasi yang berkedaulatan rakyat, yaitu demokrasi di
mana kepentingan rakyat harus diutamakan oleh wakil-wakil rakyat, rakyat juga
dididik untuk ikut bertanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kebebasan menyampaikan pendapat melalui unjuk rasa atau demonstrasi
merupakan bagian dari implementasi prinsip dasar tersebut, oleh karena itu
kebebasan mendapat di muka umum dijamin oleh:
1. Undang-Undang Dasar 1954 (Amandemen IV)
- Pasal 28, ”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
undang-undang.”
- Pasal 28 E Ayat 3, ”Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
2. Ketetapan MPR No. XVV/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 19.
”Setiap orang berhak atas kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat.”
3. UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di
Muka Umum Pasal 2.
”Setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok, bebas menyampaikan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.” Undang-undang ini
mengatur tentang:
a.Konsep Dasar dan Asas
Konsep dasarnya adalah:
- Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara.
- Unjuk rasa atau demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh
seorang atau lebih, untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan
dan sebagainya secara demonstratif dimuka umum berdasarkan UU
Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat
di Muka Umum.
- Pawai adalah cara penyampaian pendapat dengan arak-arakan di jalan
umum.
- Mimbar bebas adalah kegiatan menyampaikan pendapat di muka umum
secara bebas dan terbuka tanpa tema tertentu.
Asasnya adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban, musyawarah
mufakat, kepastian hukum dan keadilan, proposionalitas, serta asas
manfaat.
b. Hak dan Kewajiban:
Hak dan kewajiban warga negara adalah:
- Mengeluarkan pikiran secara bebas.
- Memperoleh perlindungan hukum.
- Menghormati hak-hak kebebasan orang lain.
- Menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
- Menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum.
- Menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
Hak dan kewajiban aparatur negara adalah:
- Melindungi Hak Asasi Manusia.
- Menghargai asas legalitas.
- Menghargai prinsip praduga tak bersalah.
- Menyelengarakan pengamanan.
c. Bentuk-bentuk Penyampaian Pendapat
- Unjuk rasa atau demonstrasi.
- Pawai.
- Rapat umum.
- Mimbar bebas.
d. Tata Cara Pemberitahuan Kegiatan
- Penyampain pendapat di muka umum dalam bentuk unjuk rasa atau
demonstrasi, pawai, rapat umum dan mimbar bebas wajib
diberitahukan secara tertulis kepada Polri. Pemberitahuan
disampaikan oleh yang bersangkutan, pemimpin atau penangung
jawab kelompok. Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana di atas,
tidak berlaku bagi kegiatan-kegiatan ilmiah di dalam kampus dan
kegiatan keagamaan.
puluh empat) jam sebelum kegiatan dimulai dan telah diterima oleh
Polri setempat.
e. Surat Pemberitahuan
Surat pemberitahuan ini mencakup:
- Maksud dan tujuan.
- Tempat, lokasi, dan rute.
- Waktu dan lama.
- Bentuk.
- Penangung jawab.
- Nama dan alamat organisasi, kelompok, atau perorangan.
- Alat peraga yang digunakan.
- Jumlah peserta.
f. Tanggung Jawab Polri
Setelah menerima surat pemberitahuan akan adanya aksi unjuk rasa, Polri
wajib:
- Bertangung jawab dan memberikan perlindungan keamanan terhadap
pelaku atau peserta unjuk rasa.
- Bertangungjawab menyelengarakan pengamanan untuk menjamin
B. Bentuk Kejahatan Unjuk Rasa Yang Anarkhis
Membicarakan bentuk kejahatan penghasutan terhadap aksi unjuk rasa
yang berakibat anarkhis maka pokok permasalahan yang terlebih dahulu harus
diketahui adalah keberadaan delik penghasutan itu sendiri.
Pasal 160 KUHP berbunyi sebagai berikut:
Barang siapa di muka umum dengan lisan atau dengan tulisan menghasut
supaya melakukan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau
tidak menuruti, baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang
diberikan berdasarkan ketentuan undang-undang diancam dengan pidana penjara
paling lama enam tahun, denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,00 (empat ribu
lima ratus rupiah).
Meskipun tidak ada penjelasan resmi terhadap makna kata menghasut,
namun menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia tindakan penghasutan adalah suatu
perwujudan untuk “membangkitkan hati orang supaya marah (untuk melawan atau
memberontak”19
, atau menurut Black’s Law Dictionary edisi ke-8 halaman 1.262
dengan menggunakan padanan kata menghasut dengan provocation diartikan
sebagai, something (such as word or action) that affects a person’s reason and
self-control, esp. causing the person to commit a crime impulsively”.20
Sejalan dengan itu, R. Soesilo dalam komentarnya terhadap Pasal 160
KUHP, menjelaskan:
19
Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, halaman 392.
20 Zain Al Ahmad, “Delik Penghasutan Dengan Lisan (Pasal 160 KUHP)
- Otokritik
Terhadap Pemahaman Berdasarkan Komentar R. Soesilo”,
Menghasut artinya mendorong, mengajak, membangkitkan atau membakar
semangat orang supaya berbuat sesuatu. Dalam kata menghasut tersimpul sifat
dengan sengaja. Menghasut itu lebih keras dari pada memikat atau membujuk,
yang tersebut dalam Pasal 55 akan tetapi bukan memaksa. Orang memaksa orang
lain untuk berbuat sesuatu itu itu bukan berarti menghasut. Cara menghasut orang
itu rupa-rupa, misalnya dengan cara yang langsung, seperti: Seranglah polisi yang
tidak adil itu, bunuhlah dan ambil senjatanya ditujukan terhadap seorang pegawai
polisi yang sedang menjalankan pekerjaannya yang sah. Dapat pula secara tidak
langsung, seperti: Lebih baik, andaikata polisi yang tidak adil itu dapat diserang,
dibunuh, dan diambil senjatanya.Mungkin pula dalam bentuk pertanyaan, seperti:
Saudara-saudara apakah polisi yang tidak adil itu kamu biarkan saja, apakah tidak
kamu serang, bunuh dan ambil senjatanya.21
Sampai di sini, berdasarkan penjelasan R. Soesilo tersebut dikaitkan dengan
pengertian menghasut dalam kamus dan bunyi Pasal 160 KUHP di atas, diperoleh
pemahaman bahwa: Yang dimaksud dengan menghasut dengan lisan dalam Pasal
160 KUHP adalah peristiwa dimana penghasut mengeluarkan kata-kata atau
kalimat-kalimat yang berisi saran, anjuran atau perintah di muka umum, agar si
terhasut melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum.
R. Soesilo melanjutkan komentarnya yaitu:
Menghasut itu dapat dilakukan baik dengan lisan maupun dengan tulisan.
Apabila dilakukan dengan lisan, maka kejahatan itu menjadi selesai, jika kata-kata
yang bersifat menghasut itu telah diucapkan, sehingga suatu percobaan pada delik
21
ini tidak mungkin terjadi. Lain halnya, apabila hasutan itu dilakukan dengan
tulisan. Karangan yang sifatnya menghasut harus ditulis dahulu, kemudian tulisan
itu disiarkan atau dipertontonkan pada publik, dan haruslah delik itu dianggap
selesai. Orang yang hanya baru menulis karangan itu, belum merupakan percobaan
pada delik ini. Jika tulisan itu selesai dan ia bertindak untuk menyiarkan atau
mempertontonkan tulisan tersebut, tetapi belum sampai berhasil lalu digagalkan,
maka orang itu telah melakukan percobaan yang dapat dihukum. Dalam arti kata
tulisan itu tidak termasuk suatu gambar, karena gambar yang bersifat menghasut
sukar dipikirkan.22
Selanjutnya R. Soesilo berkomentar:
Orang hanya dapat dihukum, apabila hasutan itu dilakukan di tempat
umum, tempat yang didatangi publik atau dimana publik dapat mendengar. Tidak
perlu, bahwa penghasut itu harus berdiri di tepi jalan raya misalnya, akan tetapi
yang disyaratkan ialah, bahwa di tempat itu ada orang banyak. Tidak
mengurangkan syarat bahwa harus di tempat umum dan ada orang banyak, maka
hasutan itu bisa terjadi meskipun hanya ditujukan pada satu orang. Orang yang
menghasut di tengah alun-alun yang kosong dan tidak ada orang sama sekali yang
mendengarkan itu, tidak dapat dihukum. Orang menghasut dalam rapat umum
dapat dihukum demikian pula di gedung bioskop, meskipun masuknya dengan
karcis, karena itu adalah tempat umum, sebaliknya menghasut dalam pembicaraan
yang bersifat kita sama kita (onder onsjes vertrouwelijk) itu tidak dapat dihukum.
Jika menghasut itu dilakukan dengan tulisan, misalnya surat selebaran, majalah,
22
panflet dan sebagainya, maka surat-surat itu harus tersiar luas atau ditempelkan
(dipertontonkan) di tempat yang dapat dibaca oleh orang banyak. Jika hanya
tersiar pada satu dua orang saja atau hanya ditempelkan di tempat yang tidak dapat
dilihat oleh orang banyak itu tidak masuk dalam delik ini.23
Adapun pemahaman yang didapatkan dari komentar R. Soesilo dimaksud
yaitu sebagai berikut: bahwa menghasut dengan lisan merupakan kejahatan selesai
jika kata-kata yang bersifat menghasut itu telah diucapkan, jadi tidak soal bila apa
yang dihasutkan tersebut tidak betul-betul dilakukan oleh si terhasut (delik formil).
Tidak mungkin terjadi suatu percobaan dalam kejahatan ini. Kata-kata
yang bersifat menghasut itu harus diucapkan di tempat yang ada orang lain di situ
dan ucapan tersebut bersifat terbuka walaupun di tempat itu hanya ada 1 (satu)
orang saja. Jadi bukan bersifat pembicaraan kita sama kita yang bersifat tertutup.
Maksud hasutan ditujukan supaya orang melakukan perbuatan yang dapat
dihukum dan tidak disyaratkan si penghasut harus mengerti apa isi hasutannya,
cukup jika dapat dibuktikan isi hasutan tersebut ditujukan agar orang melanggar
hukum.
Dari pemahaman di atas, maka dapat dikatakan terdapat 2 (dua) syarat
terjadinya perbuatan menghasut secara lisan dalam Pasal 160 KUHP adalah:
1. Kata-kata berisi hasutan diucapkan di tempat umum dan ditujukan kepada
orang lain yang ada di situ.
2. Kata-kata yang diucapkan tersebut berisi ajakan untuk melakukan perbuatan
yang dapat dipidana.
23
Kemudian dengan metode otokritik dipertanyakan keadaan tentang syarat
terjadinya perbuatan menghasut dengan lisan dengan mengemukakan pertanyaan
sebagai berikut: Bagaimana jika orang lain sebagai mana dimaksud dalam
simpulan angka 1 (satu) di atas, ada di situ karena niat yang sama dengan isi
hasutan. Misalnya: A dan B berada di tempat yang sama. A berada di tempat itu
karena ingin membunuh Polisi C dengan perencanaan dan persiapan yang matang
(perbuatan persiapan telah terjadi). Lalu B meneriakan kata-kata Ayo, bunuh polisi
itu, ditujukan kepada Polisi C yang ada di situ. Apakah B dapat dianggap
melakukan penghasutan?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, terlebih dahulu akan dikemukakan
hal-hal sebagai berikut:
1. Tentang kualifikasi delik
Dalam ilmu hukum pidana, kualifikasi delik dapat dibagi menjadi dua
bagian besar, yaitu delik formil dan delik materiil. Delik formil ialah delik yang
dalam perumusannya hanya menitikberatkan pada suatu perbuatan yang
dilarang/diancam pidana oleh undang-undang, tanpa perlu melihat ada tidaknya
akibatnya dari perbuatan itu. Sementara delik materiil dalam perumusannya, lebih
menekankan pada terjadinya akibat dari suatu perbuatan pidana.
Sebagaimana disebutkan di atas, R. Soesilo menggolongkan delik
penghasutan sebagai delik formil, hal ini dapat dilihat dari penjelasannya yang
penghasutan walaupun isi dari kata-kata hasutan yang diucapkannya tidak
betul-betul dilakukan oleh orang yang terhasut.24
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. Nomor: 7/PUU-VII/2009,
menegaskan bahwa: "... dalam penerapannya, Pasal a quo (baca: Pasal 160 KUHP)
harus ditafsirkan sebagai delik materiil dan bukan sebagai delik formil. Hal ini
berarti, penjelasan R. Soesilo sepanjang mengenai kualifikasi delik dalam Pasal
160 KUHP tidak dapat diterapkan lagi, sehingga persyaratan terjadinya perbuatan
penghasutan dalam Pasal 160 KUHP bertambah satu syarat sejalan dengan sifat
delik materiil yaitu: Akibat dari perbuatan penghasutan itu harus benar-benar
terjadi, yakni: si terhasut melakukan isi hasutan. 25
2. Tentang Asas Culpabilitas
Asas culpabilitas yaitu asas tiada pidana tanpa kesalahan (afwijzigheid van
alle schuld) sebagaimana terkandung dalam Pasal 6 ayat (2) UU No. 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu:
“Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat
pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa
seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan
yang didakwakan atas dirinya.”
Adapun tentang ajaran “kesalahan” (schuld) yang dikenal dalam ilmu
hukum pidana yaitu kesalahan (schuld) terdiri atas kesengajaan (dolus/opzet) atau
24
R. Soesilo, Op.Cit, halaman 136.
25
kealpaan (culpa). Yang dimaksud dengan “kesengajaan” (dolus/opzet) ialah
perbuatan yang dikehendaki dan si pelaku menginsafi akan akibat dari perbuatan
itu. Sedangkan yang dimaksud dengan kealpaan (culpa) adalah sikap tidak hati-hati
dalam melakukan suatu perbuatan sehingga menimbulkan akibat yang dilarang
oleh undang-undang di samping dapat menduga akibat dari perbuatan itu adalah
hal yang terlarang. 26
Kesengajaan (dolus/opzet) mempunyai 3 (tiga) bentuk yaitu:
a. Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk).
b. Kesengajaan dengan keinsyafan pasti (opzet als zekerheidsbewustzijn) dan
c. Kesengajaan dengan keinsyafan kemungkinan (dolus eventualis), sedangkan kealpaan (culpa) dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu kealpaan dengan kesadaran (bewuste schuld) dan kealpaan tanpa kesadaran (onbewuste schuld).27
Pokok komentar R. Soesilo sebagaimana disebutkan di atas, yang pada
pokoknya menegaskan: tidak disyaratkan si penghasut harus mengerti apa isi
hasutannya, cukup jika dapat dibuktikan isi hasutan tersebut ditujukan agar orang
melanggar hukum, jelas menabrak asas culpabilitas ini sehingga perlu diluruskan.
Penambahan satu syarat lagi untuk menyatakan seseorang bersalah
melakukan delik penghasutan yaitu: Orang yang menghasut tersebut harus
melakukannya dengan sengaja.
26
Ibid.
27
Selanjutnya akan dijawab pertanyaan tersebut di atas berdasarkan
pemahaman yang telah disebutkan di muka dan dikaitkan dengan logika
sebab-akibat dalam ilmu hukum pidana serta pengertian "menghasut" dalam kamus,
yaitu: Tidak logis jika B dikatakan menghasut, karena keberadaan si A di situ,
dimana si A sebagai satu-satunya orang yang mendengar ucapan itu memang
berniat ingin membunuh Polisi C. Ada atau tidaknya ucapan si B, si A telah
melakukan perbuatan persiapan untuk membunuh atau hampir pasti dia akan
membunuh Polisi C. Jadi, dalam contoh kasus ini, si B tidak dapat dipersalahkan
melakukan perbuatan menghasut.
Berdasarkan alasan di atas, dianggap perlu penambahan satu syarat lagi
yaitu syarat: Keberadaan orang lain yang ada di situ tidak mempunyai niat yang
sama dengan isi hasutan.
Dari uraian pembahasan tersebut maka dapat dikatakan bentuk kejahatan
penghasutan terhadap aksi unjuk rasa yang berakibat anarkhis adalah meliputi:
1. Menghasut yang diucapkan di tempat umum dan ditujukan kepada orang lain
yang ada di situ.
2. Keberadaan orang lain yang ada di situ tidak mempunyai niat yang sama
dengan isi hasutan.
3. Kata-kata yang diucapkan tersebut berisi ajakan untuk melakukan perbuatan
yang dapat dipidana.
4. Isi hasutan harus benar-benar dilakukan oleh orang yang terhasut.
Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh R. Soesilo yaitu:
Maksud suatu hasutan itu harus ditujukan supaya:
1. Dilakukan sesuatu peristiwa pidana (pelanggaran atau kejahatan), semua perbuatan yang diancam dengan hukuman.
2. Melawan pada kekuasaan umum dengan kekerasa, yang diartikan dengan kekuasaan umum yaitu semua orang yang ditugaskan menjalankan kekuasaan pemerintah, dimana termasuk semua bagian dari organisasi pemerintah pusat atau daerah.
3. Jangan mau menurut peraturan undang-undang, yang diartikan dengan peraturan undang-undang yaitu semua peraturan yang dibuat oleh kekuasaan legislatif, baik dari pemerintah pusat maupun daerah.
4. Jangan mau menurut perintah yang sah yang diberikan menurut undang-undang, perintah itu harus syah dan diberikan menurut undang-undang-undang, jadi kalau diberikan oleh pembesar yang tidak berhak untuk memberikan perintah itu, maka tidak termasuk dalam Pasal ini.28
Pendapat di atas didukung pula oleh S.R. Sianturi yang mengatakan:
Ada empat macam tindakan/perbuatan yang dihasutkan:
1. Menghasut supaya melakukan suatu tindak pidana.
2. Menghasut supaya melakukan suatu perbuatan kekerasan kepada penguasa umum.
3. Menghasut supaya tidak mematuhi suatu peraturan perundang-undangan. 4. Menghasut supaya tidak mematuhi suatu perintah jabatan yang diberikan
berdasarkan peraturan perundangan.29
Pembahasan berikut ini akan diuraikan tentang kasus yang diajukan dalam
penelitian ini yaitu Putusan Mahkamah Agung No. 470.K/Pid/1995, yaitu:
Kasus posisi:
1. Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (S.B.S.I) Cabang Medan terdiri dari : Amosi
28
R. Soesilo, Op.Cit, halaman 137.
29
S.R. Sianturi, 1983, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Jakarta: Alumni AHM PTHM, Halaman 307.
Telaumbanua sebagai Ketua Umum, dengan Saniman Lafoa sebagai sekretariat
serta Bendahara Hayati, di bawah nauangan SBSI pusat dipimpin oleh ketua
umum : Muchtar Pakpahan.
2. Amosi sebagai Ketua SBSI Cabang Medan adalah penggerak organisasinya. Ia
banyak mengetahui masalah-masalah yang sedang dihadapi buruh saat ini.
Amosi juga mengerti akan hak-hak para buruh yang mestinya diterima dari
para pengusaha, namun masih belum terpenuhi.
3. Diantara cabang-cabang SBSI di daerah, maka SBSI Medan termasuk yang
paling aktif mengadakan kegiatan SBSI. Salah satu kegiatan SBSI adalah
melakukan pengukuhan kepada buruh tentang hak-hak yang seharusnya
diperoleh. Dalam kegiatan tersebut. Amosi memberikan pengarahan dengan
materi mengenai perburuhan, termasuk tentang Undang-Undang
Ketenagakerjaan dan pelaksanaannya.
4. Penyuluhan-penyuluhan yang diberikan SBSI nyatanya menarik perhatian dan
keikut sertaan buruh di Medan. Kegiatan SBSI Medan selalu dihadiri oleh
banyak buruh. Bukan hanya anggota sBSI saja, para simpatisan juga hadir
dalam kegiatan-kegiatan SBSI yang dilakukan secara berkala. Pada separuh
pertama tahun 1994, SBSI memberikan pengarahan pada buruh, berturut-turut
pada bulan Pebruari, Maret, tanggal 3, 4, 10, 12, 13 April. Kegiatan SBSI
dilakukan di rumah para buruh atau kantor Sekretariat SBSI Cabang Medan
Jalan Mangaan III Benteng Medan. Para buruh Medan memang mempunyai
beberapa masalah yang belum diselesaikan secara tuntas, baik oleh pihak
masalah-masalah yang harus segera diselesaikan itu antara lain :
a. Kenaikan upah buruh dari Rp. 3.000, - perhari menjadi Rp. 7.000,-
b. Kebebasan berorganisasi
c. Kematian Rusli rekan kerja mereka
d. Pencabutan surat Menaker No. 1 tahun 1994.
5. Pengarahan yang diberikan amosi agaknya menyulut emosi, para buruh
merencanakan unjuk rasa untuk merealisasikan pembicaraan yang telah
dilakukan. Sebagai langkah awal, amosi dan rekan pengurus SBSI Cabang
Medan lainnya menyebarkan lembaran pamplet seruan mogok kepada buruh di
Kawasan Industri Medan, selebaran – selebaran itu diperoleh dari DPP SBSI di
Jakarta.
6. Pada hari yang telah ditentukan tanggal 14 April 1994, sekitar 20.000 orang
buruh berkumpul di depan Kantor Gubernur Sumut. Mereka ingin
menyampaikan dan membicarakan persoalan-persoalan yang belum
diselesaikan. Tetapi aparat Pemda tidak menanggapinya. Melihat kenyataan itu,
Amosi menyuruh para buruh untuk membubarkan diri “ Pulanglah kalaian
dengan tenang “seru Amosi. Pengunjuk rasa memang menuruti seruan itu.
Namun diperjalanan pulang, para buruh tidak dapat mengendalikan
kekecewaannya. Emosi mereka kembali memuncak, dan tindakan mereka
benar-benar sulit untuk dikontrol. Kantor pabrik yang terletak di jalan yang
dilalui, sepanjang perjalanan pulang menjadi sasaran kemarahan mereka.
Mereka melempari bangunan-bangunan itu dengan batu tanpa ada perintah dari
pimpinan SBSI yang memprakarsai mogok dan unjuk rasa para buruh tersebut.
Polisi setempat menangkap para pengurus SBSI Cabang Medan, termasuk
Amosi Talaumbanua. Mereka diperiksa dan diajukan ke pengadilan Negeri
Medan dalam berkas perkara secara terpisah.
7. Jaksa Penuntut Umum mengajukan Amosi sebagai terdakwa di Pengadilan
Negeri Medan dan didakwa melakukan perbuatan pidana sebagai berikut:
I. Kesatu:
Primair : ex Pasal 160 jo. Pasal 55 ayat (1) ke- 1e , KUH Pidana.
“ Secara lisan atau dengan tulisan di depan umum menghasut untuk melakukan
sesuatu perbuatan yang dapat dihukum; melawab para kekuasaan umum
dengan kekerasan, ……… dan seterusnya,
………dst, ………” seterusnya,
………..dst, ……….
(Seruan mogok dan unjuk rasa, dst ………..).
Subsidair: Ex Pasal 161 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke 1e KUH Pidana.
“menyebarluaskan, mempertunjukkan secara terbuka, menempelkan sesuatu
tulisan yang berisi hasutan untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat
dihukum, ……….dst, ………dst “.
II. Kedua :
Ex Pasal 170 ayat (1). Jo Pasal 55 (1) ke-2e KUH Pidana “ Secara terbuka dan
secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap manusia atau barang
Jaksa Penuntut Umum dalam reguitoirnya yang diajukan di persidangan
Pengadilan Negeri Medan menuntut agar supaya hakim menyatakan :
a. Terdakwa AMOSI TALAUMBANUA, bersalah melakukan delik: “secara
bersama-sama menghasut orang lain dengan lisan atau tulisan agar
melakukan perbuatan yang dapat dihukum“ ex Pasal 160. 55 (1) ke.1e
KUH Pidana dalam dakwaan kesatu primair.
b. Menuntut hukuman penjara satu tahun dan enam bulan dan dikurangi
selama berada dalam tahanan sementara.
c. Dan seterusnya, ……….. dt, ………dst,
PENGADILAN NEGERI:
1. Hakim pertama yang mengadili perkara ini memberikan pertimbangan sebagai
berikut :
2. Mejelis akan mempertimbangkan Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUH Pidana. Menurut
Pasal tersebut, sebagai pembuat (dadaer) sesuatu perbuatan pidana antara lain
adalah mereka yang melakukan yang menyuruh lakukan dan yang turut serta
melakukan perbuatan.
3. Menurut putusan Mahkamah Agung No. 111.7K.Pid/1990, tanggal 30/II/1990
untuk dapat dikualifikasikan sebagai turut serta melakukan perbuatan pidana
dalam arti bersama-sama melakukan, sedikitnya harus ada 2 orang, yaitu orang
yang melakukan perbuatan pidana itu. Dalam hal ini kedua orang itu semuanya
melakukan perbuatan pelaksanaan yaitu melakukan nasir dari perbuatan
pidana.
tetap digunakan menyatakan : bahwa suatu perbuatan yang dilakukan
bersama-sama adalah turut serta melakukan dapat terjadi jika dua atau lebih melakukan
secara bersama-sama suatu perbuatan yang dapat dilakukan. Sedang dengan
perbuatan masing-masing saja, maksud itu tidak akan sampai.
5. Dipersidangan telah terbukti, baik terdakwa maupun saksi-saksi Saniman
Lafao; Risman L; fatiwanolo ; Hayati (berkas perkara terpisah), sebagai
pengurus SBSI, telah memberikan pengarahan tentang hak-hak dan kewajiban
kaum buruh serta hak mogok buruh, jika masalah dengan pengusaha tidak ada
penyelesaian. Terutama tentang kenaikan upah. Apalagi jika dihubungkan
dengan “ seruan mogok “/unjuk rasa “ dari Ketua Umum SBSI, Muchtar
Pakpahan dan sekretaris Umum SBSI, disepakati untuk diperbanyak dan
disebarluaskan kepada buruh pada setiap kegiatan pemogokan kaum buruh di
unit-unit semua perusahaan masing-masing terdakwa secara bergiliran bersama
saksi-saksi tersebut, telah mendampingi buruh yang mogok. Demikian pula
pada peristiwa unjuk rasa tanggal 14 – 4 1994, menurut Terdakwa, kegiatan
buruh selalu ada hubungannya dengan organisasi buruh SBSI.
6. Dari uraian tersebut telah terbukti bahwa antara terdakwa dengan saksi-saksi
saniman, Riswan, Fatiwanolo dan Hayati bekerjasama dalam melaksanakan
perbuatan pelaksanaan sehingga terjadi unjuk rasa.
7. Unjuk rasa tersebut menimbulkan kerusuhan dan pelemparan batu terhadap
perusahaan-perusahaan dan rumah-rumah penduduk. Karenanya, Pasal 55 ayat
(1) ke 1 KUH Pidana terpenuhi dalam perbuatan terdakwa.
ayat (1) ke 1 KUH Pidana.
9. Dipersidangan diperoleh fajta bahwa sebelum terjadinya unjuk rasa para buruh,
dilakukan pertemuan setiap hari. Pertemuan itu dihadiri oleh 50 – 100 buruh,
baik di rumah terdakwa maupun di kantor cabang SBSI Medan. Terdakwa
memberikan penjelasan, pengarahan, tentang hak-hak buruh, diantaranya
tentang upah dan hak mogok jika permasalahan dengan pengusaha tidak ada
penyelesaian. Tempat pertemuan adalah di rumah Terdakwa di Jalan Mangaan
III Lorong Benteng No. 106 Medan dan di Kantor SBSI di jalan Tapian Nauli
III No. 116 Medan. Tempat itu didatangi buruh berserta simpatisan-simpatisan
SBSI (umum) atau orang banyak dapat mendengar pengarahan terdakwa.
Fakta-fakta tersebut memenuhi unsur pertama Pasal 160 KUH Pidana.
10.Mengenai unsur kedua, pengarahan-pengarahan yang diberikan kepada para
buruh serta para simpatisan SBSI oleh Terdakwa adalah secara lisan. Oleh
karenanya unsur tersebut terpenuhi.
11.Untuk unsur ketiga, diperoleh fakta-fakta bahwa terdakwa bersama-sama
pengurus SBSI cabang Medan lainnya seperti tersebut pada pertimbangan
unsur ke satu telah memperbanyak seruan mogok/unjuk rasa dari PP SBSI
kepada para buruh serta simpatisan SBSI. Seruan mogok tersebut berisi
tuntutan bahwa upah minimum untuk hidup layak adalah 173.500/bulan atau
rp. 7.000/hari. Tuntutan tersebut diberlakukan mulai 1-4-1994. Sehubungan
dengan seruan mogok tersebut, terdakwa beserta pengurus SBSI cabang Medan
lainnya, hampir tiap hari memberikan pengarahan pada para buruh tentang
ada penyelesaian.
12.Terdakwa beserta pengurus SBSI bergantian mendampingi buruh yang mogok
di perusahaannya. Menurut terdakwa setiap kegiatan buruh selalu ada
hubungannya dengan SBSI. Pengarahan-pengarahan pada buruh diberikan
sejak awal, setiap hari, hingga tanggal 12–4–1994. Karena
pengarahan-pengarahan tersebut buruh melakukan unjuk rasa yang diikuti kurang lebih
20.000 orang tanpa izin. Terdakwa selaku ketua sBSI cabang Medan tidak
mencegah/membiarkan unjuk rasa tanggal 14–4–1994.
13.Fakta-fakta tersebut menurut Pengadilan termasuk dalam kwalifikasi perbuatan
menghasut, supaya tidak menuruti ketentuan undang-undang maupun perintah
jabatan yang diberikan berdasarkan undang-undang.
14.Sekalipun Pasal 160 KUH Pidana tidak mencantumkan kata sengaja, namun
menurut azas hukum pidana, setiap perbuatan pidana harus dilakukan dengan
kesengajaan, kecuali, terhadap perbuatan yang dilakukan karena lalai.
15.Hakekatnya unsur kesengajaan dalam Pasal tersebut telah terkandung dalam
awalan “ me “ pada kata menghasut, Oleh karenanya, unsur sengaja harus
dibuktikan dalam perbuatan terdakwa.
16.Oleh karena undang-undang tidak memberikan pengertian tentang kesengajaan,
maka doktrin dan jurisprudensi tentang kesengajaan, maka doktrin dan
jurisprudensi memberikan arti sebagai “ dikehendaki dan diketahui “ sehingga
dalam paraktek dikenal adanya teori kehendak dan teori pengetahuan.
17.Pengadilan cenderung akan menerapkan teori kehendak (Will Theory) dalam
diakui oleh Pemerintah, sehingga SBSI dilarang melakukan kegiatan kepala
kantor Sosial Politik Pemda Tingkat II Medan, telah memberikan
penjelasan/peringatan kepada terdakwa, agar SBSI tidak melakukan kegiatan.
Namun terdakwa malah memberikan pengarahan-pengarahan pada kaum buruh
dan mendukung untuk mengadakan unjuk rasa. Selaku Ketua SBSI Cabang
Medan, terdakwa membiarkan, tidak mencegah rencana diadakannya unjuk
rasa kaum buruh. Terdakwa telah mendampingi kaum buruh ketika melakukan
unjuk rasa.
Dari fakta-fakta tersebut Pengadilan berkeyakinan bahwa “Perbuatan menghasut“,
telah dilakukan terdakwa dengan sengaja. Perbuatan terdakwa telah memenuhi
unsur ketiga Pasal 160 jo Pasal 55 (1) KUH Pidana. Oleh karenanya, terdakwa
terbukti dengan sah dan meyakinkan bersalah melakukan dakwaan kesatu Primair :
Pasal 160 jo. Pasal 55 (1) ke 1 KUH Pidana. Dengan terbuktinya dakwaan ke 1
Primair, maka dakwaan selebihnya tidak perlu dibuktikan lagi selain alasan-alasan
yuridis, Pengadilan juga mempertim-bangkan faktor keadaan.
Yang Memberatkan:
- Perbuatan Terdakwa meresahkan masyarakat
- Terdakwa tidak menyesali perbuatannya
- Terdakwa melakukan kegiatan-kegiatan organisasinya sekalipun telah dilarang
oleh Pemerintah yang bersangkutan
Yang Meringankan:
- Terdakwa belum pernah dihukum
- Atas dasar pertimbangan tersebut Pengadilan Negeri Medan memutuskan :
- Menyatakan terdakwa: Amosi Talaumbanua sebagaimana tersebut di atas
menurut bukti-bukti yang sah dan meyakinkan terang bersalah telah melakukan
perbuatan pidana : “ Menghasut yang dilakukan secara bersama-sama “.
- Menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa selama 1 satu tahun 3 (tiga)
bulan
- Menetapkan pidana itu dikurangkan seluruhnya dengan masa terdakwa berada
dalam tahanan
- Dan seterusnya, dan seterusnya, dst ……
PENGADILAN TINGGI
- Terdakwa Amosi Telaumbauna menyatakan banding putusan Pengadilan
Negeri Medan. Dalam memori banding yang diajukannya, terdakwa mohon
agar dapat dibebaskan dari segala dakwaan maupun tuntutan hukum. Unjuk
rasa yang terjadi bukan kehendak Terdakwa, tetapi kehendak buruh yang
hak-haknya dilanggar oleh Pengusaha.
- Hakim Tinggi yang mengadili perkara ini, menganggap pertimbangan Hakim
Pertama telah tepat dan benar sehingga disetujui dan dijadikan pertimbangan
Pengadilan Tinggi. Namun Pengadilan Tinggi menganggap pidana yang
dijatuhkan terlalu ringan, tidak sesuai dengan rasa keadilan. Selain mengingat
hal-hal yang meringankan dan memberatkan sebagaimana dikemukakan oleh
Hakim Pertama. Pengadilan Tinggi memperhatikan fakta bahwa unjuk rasa
yang dipimpin Terdakwa menimbulkan keresahan dalam masyarakat yang
Perbuatan terdakwa menimbulkan kerugian harta benda dan jatuhnya korban.
- Pengadilan Tinggi akan menjatuhkan pidana penjara untuk memenuhi tujuan
pemindanaan yang bersifat korektif preventif dan edukatif. Selebihnya,
Pengadilan Tinggi menguatkan putusan hakim Pertama.
- Pengadilan tinggi memperbaiki amar putusan pengadilan Negeri Medan
mengenai pidana yang dijatuhkan terhadap Terdakwa dengan amar putusan
yang pada pokoknya sebagai berikut :
MENGADILI
- Memperbaiki putusan pengadilan Negeri Medan yang dimohon banding,
sekedar mengenai pidana yang dijatuhkan, sehingga amarnya sebagai berikut :
- Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan hukuman penjara 3 (tiga) tahun.
- Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa di kurangkan masa
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan
- Memerintahkan Terdakwa tetap ditahan dalam rumah tahanan negara.
Menguatkan putusan Pengadilan Negeri tersebut yang selebihnya.
Menghukum Terdakwa lagi untuk membayar biaya perkara dalam tingkat
banding sebesar Rp. 1.000 (seribu rupiah),-
MAHKAMAH AGUNG RI:
- Terdakwa, Amosi menolak putusan Pengadilan Tinggi dan mengajukan
permohonan kasasi dengan alasan kasasi sebagai berikut:
1. Dalam putusannya, Pengadilan Tinggi tidak memuat hal-hal yang
2. Pengadilan tinggi memperberat hukuman, tanpa pertimbangan yang cukup.
3. Pengadilan Tinggi menyatakan terdakwa terbukti melanggar Pasal 160 jo.
55 (1) KUH Pidana, tidak ada saksi atau bukti bahwa Terdakwa menghasut
buruh untuk melakukan perbuatan pidana atau melawan kekuasaan hukum
dengan kekerasan, atau menghasut buruh untuk melanggar undang-undang.
Para saksi menerangkan bahwa terdakwa hanya menjelaskan hak dan
kewajiban buruh dalam pertemuan tersebut. Pada waktu terjadi unjuk rasa
terdakwa menyuruh pengunjuk rasa pulang, setelah delegasi diterima
gubernur.
4. Petimbangan pengadilan Tinggi yang menjatuhkan terdakwa menimbulkan
keresahan dalam masyarakat tidak berdasarkan fakta hukum. Yang dituntut
buruh hanya kenaikan upah, kebebasan berorganisasi, masalah-masalah
kematian buruh Rusli, dan penyelesaian PHK buruh persoalan tersebut
adalah hak buruh yang seharusnya diterima.
5. Judex facti tidak secara jelas menguraikan perbuatan Terdakwa yang
melawan hukum, perintah yang sah yang mana yang terdakwa tidak turuti
atau terdakwa menganjurkan kaum buruh untuk tidak mentaatinya.
6. Judex facti salah menafsirkan pengertian “ mogok “ dan “ unjuk rasa “
dalam hubungannya dengan „ menghasut “, mogok adalah tindakan pasip,
sehingga seruan mogok tidak dapat dikualifikasikan sebagai menghasut
unjuk rasa.
7. Mahkamah Agung stelah memeriksa perkara ini dalam putusan kasasi