• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggung Jawaban Penghasut Untuk Melakukan Unjuk Rasa Yang Berakibat Anarkhis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Pertanggung Jawaban Penghasut Untuk Melakukan Unjuk Rasa Yang Berakibat Anarkhis"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

BENTUK TINDAK PIDANA AKSI UNJUK RASA YANG ANARKHIS

A. Aturan Hukum Terkait Dengan Unjuk Rasa

Salah satu dari 10 prinsip dasar demokrasi Pancasila yang dianut oleh negara Indonesia adalah demokrasi yang berkedaulatan rakyat, yaitu demokrasi di mana kepentingan rakyat harus diutamakan oleh wakil-wakil rakyat, rakyat juga dididik untuk ikut bertanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kebebasan menyampaikan pendapat melalui unjuk rasa atau demonstrasi merupakan bagian dari implementasi prinsip dasar tersebut, oleh karena itu kebebasan mendapat di muka umum dijamin oleh:

1. Undang-Undang Dasar 1954 (Amandemen IV)

- Pasal 28, ”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”

- Pasal 28 E Ayat 3, ”Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,

berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

2. Ketetapan MPR No. XVV/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 19.

”Setiap orang berhak atas kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan

mengeluarkan pendapat.”

3. UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di

Muka Umum Pasal 2.

”Setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok, bebas menyampaikan

(2)

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.” Undang-undang ini

mengatur tentang:

a.Konsep Dasar dan Asas

Konsep dasarnya adalah:

- Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara.

- Unjuk rasa atau demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh

seorang atau lebih, untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya secara demonstratif dimuka umum berdasarkan UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

- Pawai adalah cara penyampaian pendapat dengan arak-arakan di jalan

umum.

- Mimbar bebas adalah kegiatan menyampaikan pendapat di muka umum

secara bebas dan terbuka tanpa tema tertentu.

Asasnya adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban, musyawarah mufakat, kepastian hukum dan keadilan, proposionalitas, serta asas manfaat.

b. Hak dan Kewajiban:

Hak dan kewajiban warga negara adalah:

- Mengeluarkan pikiran secara bebas.

- Memperoleh perlindungan hukum.

- Menghormati hak-hak kebebasan orang lain.

(3)

- Menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

- Menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum.

- Menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.

Hak dan kewajiban aparatur negara adalah:

- Melindungi Hak Asasi Manusia.

- Menghargai asas legalitas.

- Menghargai prinsip praduga tak bersalah.

- Menyelengarakan pengamanan.

c. Bentuk-bentuk Penyampaian Pendapat

- Unjuk rasa atau demonstrasi.

- Pawai.

- Rapat umum.

- Mimbar bebas.

d. Tata Cara Pemberitahuan Kegiatan

- Penyampain pendapat di muka umum dalam bentuk unjuk rasa atau

demonstrasi, pawai, rapat umum dan mimbar bebas wajib

diberitahukan secara tertulis kepada Polri. Pemberitahuan

disampaikan oleh yang bersangkutan, pemimpin atau penangung jawab kelompok. Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana di atas, tidak berlaku bagi kegiatan-kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan keagamaan.

(4)

puluh empat) jam sebelum kegiatan dimulai dan telah diterima oleh Polri setempat.

e. Surat Pemberitahuan

Surat pemberitahuan ini mencakup:

- Maksud dan tujuan.

- Tempat, lokasi, dan rute.

- Waktu dan lama.

- Bentuk.

- Penangung jawab.

- Nama dan alamat organisasi, kelompok, atau perorangan.

- Alat peraga yang digunakan.

- Jumlah peserta.

f. Tanggung Jawab Polri

Setelah menerima surat pemberitahuan akan adanya aksi unjuk rasa, Polri wajib:

- Bertangung jawab dan memberikan perlindungan keamanan terhadap

pelaku atau peserta unjuk rasa.

- Bertangungjawab menyelengarakan pengamanan untuk menjamin

(5)

B. Bentuk Kejahatan Unjuk Rasa Yang Anarkhis

Membicarakan bentuk kejahatan penghasutan terhadap aksi unjuk rasa yang berakibat anarkhis maka pokok permasalahan yang terlebih dahulu harus diketahui adalah keberadaan delik penghasutan itu sendiri.

Pasal 160 KUHP berbunyi sebagai berikut:

Barang siapa di muka umum dengan lisan atau dengan tulisan menghasut supaya melakukan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti, baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasarkan ketentuan undang-undang diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun, denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,00 (empat ribu lima ratus rupiah).

Meskipun tidak ada penjelasan resmi terhadap makna kata menghasut, namun menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia tindakan penghasutan adalah suatu perwujudan untuk “membangkitkan hati orang supaya marah (untuk melawan atau memberontak”19

, atau menurut Black’s Law Dictionary edisi ke-8 halaman 1.262

dengan menggunakan padanan kata menghasut dengan provocation diartikan

sebagai, something (such as word or action) that affects a person’s reason and

self-control, esp. causing the person to commit a crime impulsively”.20

Sejalan dengan itu, R. Soesilo dalam komentarnya terhadap Pasal 160 KUHP, menjelaskan:

19

Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, halaman 392.

20 Zain Al Ahmad, “Delik Penghasutan Dengan Lisan (Pasal 160 KUHP)

- Otokritik

Terhadap Pemahaman Berdasarkan Komentar R. Soesilo”,

http://catatansangpengadil.blogspot.com/2010/11/delik-penghasutan-dengan-lisan-Pasal.html,

(6)

Menghasut artinya mendorong, mengajak, membangkitkan atau membakar semangat orang supaya berbuat sesuatu. Dalam kata menghasut tersimpul sifat dengan sengaja. Menghasut itu lebih keras dari pada memikat atau membujuk, yang tersebut dalam Pasal 55 akan tetapi bukan memaksa. Orang memaksa orang lain untuk berbuat sesuatu itu itu bukan berarti menghasut. Cara menghasut orang itu rupa-rupa, misalnya dengan cara yang langsung, seperti: Seranglah polisi yang tidak adil itu, bunuhlah dan ambil senjatanya ditujukan terhadap seorang pegawai polisi yang sedang menjalankan pekerjaannya yang sah. Dapat pula secara tidak langsung, seperti: Lebih baik, andaikata polisi yang tidak adil itu dapat diserang, dibunuh, dan diambil senjatanya.Mungkin pula dalam bentuk pertanyaan, seperti: Saudara-saudara apakah polisi yang tidak adil itu kamu biarkan saja, apakah tidak

kamu serang, bunuh dan ambil senjatanya.21

Sampai di sini, berdasarkan penjelasan R. Soesilo tersebut dikaitkan dengan pengertian menghasut dalam kamus dan bunyi Pasal 160 KUHP di atas, diperoleh pemahaman bahwa: Yang dimaksud dengan menghasut dengan lisan dalam Pasal 160 KUHP adalah peristiwa dimana penghasut mengeluarkan kata-kata atau kalimat-kalimat yang berisi saran, anjuran atau perintah di muka umum, agar si terhasut melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum.

R. Soesilo melanjutkan komentarnya yaitu:

Menghasut itu dapat dilakukan baik dengan lisan maupun dengan tulisan. Apabila dilakukan dengan lisan, maka kejahatan itu menjadi selesai, jika kata-kata yang bersifat menghasut itu telah diucapkan, sehingga suatu percobaan pada delik

21

(7)

ini tidak mungkin terjadi. Lain halnya, apabila hasutan itu dilakukan dengan tulisan. Karangan yang sifatnya menghasut harus ditulis dahulu, kemudian tulisan itu disiarkan atau dipertontonkan pada publik, dan haruslah delik itu dianggap selesai. Orang yang hanya baru menulis karangan itu, belum merupakan percobaan pada delik ini. Jika tulisan itu selesai dan ia bertindak untuk menyiarkan atau mempertontonkan tulisan tersebut, tetapi belum sampai berhasil lalu digagalkan, maka orang itu telah melakukan percobaan yang dapat dihukum. Dalam arti kata tulisan itu tidak termasuk suatu gambar, karena gambar yang bersifat menghasut sukar dipikirkan.22

Selanjutnya R. Soesilo berkomentar:

Orang hanya dapat dihukum, apabila hasutan itu dilakukan di tempat umum, tempat yang didatangi publik atau dimana publik dapat mendengar. Tidak perlu, bahwa penghasut itu harus berdiri di tepi jalan raya misalnya, akan tetapi yang disyaratkan ialah, bahwa di tempat itu ada orang banyak. Tidak mengurangkan syarat bahwa harus di tempat umum dan ada orang banyak, maka hasutan itu bisa terjadi meskipun hanya ditujukan pada satu orang. Orang yang menghasut di tengah alun-alun yang kosong dan tidak ada orang sama sekali yang mendengarkan itu, tidak dapat dihukum. Orang menghasut dalam rapat umum dapat dihukum demikian pula di gedung bioskop, meskipun masuknya dengan karcis, karena itu adalah tempat umum, sebaliknya menghasut dalam pembicaraan yang bersifat kita sama kita (onder onsjes vertrouwelijk) itu tidak dapat dihukum. Jika menghasut itu dilakukan dengan tulisan, misalnya surat selebaran, majalah,

(8)

panflet dan sebagainya, maka surat-surat itu harus tersiar luas atau ditempelkan (dipertontonkan) di tempat yang dapat dibaca oleh orang banyak. Jika hanya tersiar pada satu dua orang saja atau hanya ditempelkan di tempat yang tidak dapat dilihat oleh orang banyak itu tidak masuk dalam delik ini.23

Adapun pemahaman yang didapatkan dari komentar R. Soesilo dimaksud yaitu sebagai berikut: bahwa menghasut dengan lisan merupakan kejahatan selesai jika kata-kata yang bersifat menghasut itu telah diucapkan, jadi tidak soal bila apa yang dihasutkan tersebut tidak betul-betul dilakukan oleh si terhasut (delik formil).

Tidak mungkin terjadi suatu percobaan dalam kejahatan ini. Kata-kata yang bersifat menghasut itu harus diucapkan di tempat yang ada orang lain di situ dan ucapan tersebut bersifat terbuka walaupun di tempat itu hanya ada 1 (satu) orang saja. Jadi bukan bersifat pembicaraan kita sama kita yang bersifat tertutup.

Maksud hasutan ditujukan supaya orang melakukan perbuatan yang dapat dihukum dan tidak disyaratkan si penghasut harus mengerti apa isi hasutannya, cukup jika dapat dibuktikan isi hasutan tersebut ditujukan agar orang melanggar hukum.

Dari pemahaman di atas, maka dapat dikatakan terdapat 2 (dua) syarat terjadinya perbuatan menghasut secara lisan dalam Pasal 160 KUHP adalah:

1. Kata-kata berisi hasutan diucapkan di tempat umum dan ditujukan kepada

orang lain yang ada di situ.

2. Kata-kata yang diucapkan tersebut berisi ajakan untuk melakukan perbuatan

yang dapat dipidana.

23Ibid

(9)

Kemudian dengan metode otokritik dipertanyakan keadaan tentang syarat terjadinya perbuatan menghasut dengan lisan dengan mengemukakan pertanyaan sebagai berikut: Bagaimana jika orang lain sebagai mana dimaksud dalam simpulan angka 1 (satu) di atas, ada di situ karena niat yang sama dengan isi hasutan. Misalnya: A dan B berada di tempat yang sama. A berada di tempat itu karena ingin membunuh Polisi C dengan perencanaan dan persiapan yang matang (perbuatan persiapan telah terjadi). Lalu B meneriakan kata-kata Ayo, bunuh polisi itu, ditujukan kepada Polisi C yang ada di situ. Apakah B dapat dianggap melakukan penghasutan?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, terlebih dahulu akan dikemukakan hal-hal sebagai berikut:

1. Tentang kualifikasi delik

Dalam ilmu hukum pidana, kualifikasi delik dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu delik formil dan delik materiil. Delik formil ialah delik yang dalam perumusannya hanya menitikberatkan pada suatu perbuatan yang dilarang/diancam pidana oleh undang-undang, tanpa perlu melihat ada tidaknya akibatnya dari perbuatan itu. Sementara delik materiil dalam perumusannya, lebih menekankan pada terjadinya akibat dari suatu perbuatan pidana.

(10)

penghasutan walaupun isi dari kata-kata hasutan yang diucapkannya tidak betul-betul dilakukan oleh orang yang terhasut.24

Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. Nomor: 7/PUU-VII/2009, menegaskan bahwa: "... dalam penerapannya, Pasal a quo (baca: Pasal 160 KUHP) harus ditafsirkan sebagai delik materiil dan bukan sebagai delik formil. Hal ini berarti, penjelasan R. Soesilo sepanjang mengenai kualifikasi delik dalam Pasal 160 KUHP tidak dapat diterapkan lagi, sehingga persyaratan terjadinya perbuatan penghasutan dalam Pasal 160 KUHP bertambah satu syarat sejalan dengan sifat delik materiil yaitu: Akibat dari perbuatan penghasutan itu harus benar-benar terjadi, yakni: si terhasut melakukan isi hasutan. 25

2. Tentang Asas Culpabilitas

Asas culpabilitas yaitu asas tiada pidana tanpa kesalahan (afwijzigheid van alle schuld) sebagaimana terkandung dalam Pasal 6 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu:

“Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat

pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.”

Adapun tentang ajaran “kesalahan” (schuld) yang dikenal dalam ilmu

hukum pidana yaitu kesalahan (schuld) terdiri atas kesengajaan (dolus/opzet) atau

24

R. Soesilo, Op.Cit, halaman 136. 25

(11)

kealpaan (culpa). Yang dimaksud dengan “kesengajaan” (dolus/opzet) ialah perbuatan yang dikehendaki dan si pelaku menginsafi akan akibat dari perbuatan itu. Sedangkan yang dimaksud dengan kealpaan (culpa) adalah sikap tidak hati-hati dalam melakukan suatu perbuatan sehingga menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang di samping dapat menduga akibat dari perbuatan itu adalah hal yang terlarang. 26

Kesengajaan (dolus/opzet) mempunyai 3 (tiga) bentuk yaitu:

a. Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk).

b. Kesengajaan dengan keinsyafan pasti (opzet als zekerheidsbewustzijn)

dan

c. Kesengajaan dengan keinsyafan kemungkinan (dolus eventualis),

sedangkan kealpaan (culpa) dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu kealpaan dengan kesadaran (bewuste schuld) dan kealpaan tanpa kesadaran (onbewuste schuld).27

Pokok komentar R. Soesilo sebagaimana disebutkan di atas, yang pada pokoknya menegaskan: tidak disyaratkan si penghasut harus mengerti apa isi hasutannya, cukup jika dapat dibuktikan isi hasutan tersebut ditujukan agar orang melanggar hukum, jelas menabrak asas culpabilitas ini sehingga perlu diluruskan.

Penambahan satu syarat lagi untuk menyatakan seseorang bersalah melakukan delik penghasutan yaitu: Orang yang menghasut tersebut harus melakukannya dengan sengaja.

26Ibid.

27

(12)

Selanjutnya akan dijawab pertanyaan tersebut di atas berdasarkan pemahaman yang telah disebutkan di muka dan dikaitkan dengan logika sebab-akibat dalam ilmu hukum pidana serta pengertian "menghasut" dalam kamus, yaitu: Tidak logis jika B dikatakan menghasut, karena keberadaan si A di situ, dimana si A sebagai satu-satunya orang yang mendengar ucapan itu memang berniat ingin membunuh Polisi C. Ada atau tidaknya ucapan si B, si A telah melakukan perbuatan persiapan untuk membunuh atau hampir pasti dia akan membunuh Polisi C. Jadi, dalam contoh kasus ini, si B tidak dapat dipersalahkan melakukan perbuatan menghasut.

Berdasarkan alasan di atas, dianggap perlu penambahan satu syarat lagi yaitu syarat: Keberadaan orang lain yang ada di situ tidak mempunyai niat yang sama dengan isi hasutan.

Dari uraian pembahasan tersebut maka dapat dikatakan bentuk kejahatan penghasutan terhadap aksi unjuk rasa yang berakibat anarkhis adalah meliputi:

1. Menghasut yang diucapkan di tempat umum dan ditujukan kepada orang lain

yang ada di situ.

2. Keberadaan orang lain yang ada di situ tidak mempunyai niat yang sama

dengan isi hasutan.

3. Kata-kata yang diucapkan tersebut berisi ajakan untuk melakukan perbuatan

yang dapat dipidana.

4. Isi hasutan harus benar-benar dilakukan oleh orang yang terhasut.

(13)

Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh R. Soesilo yaitu: Maksud suatu hasutan itu harus ditujukan supaya:

1. Dilakukan sesuatu peristiwa pidana (pelanggaran atau kejahatan), semua

perbuatan yang diancam dengan hukuman.

2. Melawan pada kekuasaan umum dengan kekerasa, yang diartikan dengan

kekuasaan umum yaitu semua orang yang ditugaskan menjalankan kekuasaan pemerintah, dimana termasuk semua bagian dari organisasi pemerintah pusat atau daerah.

3. Jangan mau menurut peraturan undang-undang, yang diartikan dengan

peraturan undang-undang yaitu semua peraturan yang dibuat oleh kekuasaan legislatif, baik dari pemerintah pusat maupun daerah.

4. Jangan mau menurut perintah yang sah yang diberikan menurut

undang-undang, perintah itu harus syah dan diberikan menurut undang-undang-undang, jadi kalau diberikan oleh pembesar yang tidak berhak untuk memberikan perintah itu, maka tidak termasuk dalam Pasal ini.28

Pendapat di atas didukung pula oleh S.R. Sianturi yang mengatakan:

Ada empat macam tindakan/perbuatan yang dihasutkan:

1. Menghasut supaya melakukan suatu tindak pidana.

2. Menghasut supaya melakukan suatu perbuatan kekerasan kepada

penguasa umum.

3. Menghasut supaya tidak mematuhi suatu peraturan perundang-undangan.

4. Menghasut supaya tidak mematuhi suatu perintah jabatan yang diberikan

berdasarkan peraturan perundangan.29

Pembahasan berikut ini akan diuraikan tentang kasus yang diajukan dalam penelitian ini yaitu Putusan Mahkamah Agung No. 470.K/Pid/1995, yaitu:

Kasus posisi:

1. Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (S.B.S.I) Cabang Medan terdiri dari : Amosi

28

R. Soesilo, Op.Cit, halaman 137. 29

S.R. Sianturi, 1983, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Jakarta: Alumni AHM PTHM, Halaman 307.

(14)

Telaumbanua sebagai Ketua Umum, dengan Saniman Lafoa sebagai sekretariat serta Bendahara Hayati, di bawah nauangan SBSI pusat dipimpin oleh ketua umum : Muchtar Pakpahan.

2. Amosi sebagai Ketua SBSI Cabang Medan adalah penggerak organisasinya. Ia

banyak mengetahui masalah-masalah yang sedang dihadapi buruh saat ini. Amosi juga mengerti akan hak-hak para buruh yang mestinya diterima dari para pengusaha, namun masih belum terpenuhi.

3. Diantara cabang-cabang SBSI di daerah, maka SBSI Medan termasuk yang

paling aktif mengadakan kegiatan SBSI. Salah satu kegiatan SBSI adalah melakukan pengukuhan kepada buruh tentang hak-hak yang seharusnya diperoleh. Dalam kegiatan tersebut. Amosi memberikan pengarahan dengan

materi mengenai perburuhan, termasuk tentang Undang-Undang

Ketenagakerjaan dan pelaksanaannya.

4. Penyuluhan-penyuluhan yang diberikan SBSI nyatanya menarik perhatian dan

(15)

masalah-masalah yang harus segera diselesaikan itu antara lain :

a. Kenaikan upah buruh dari Rp. 3.000, - perhari menjadi Rp. 7.000,-

b. Kebebasan berorganisasi

c. Kematian Rusli rekan kerja mereka

d. Pencabutan surat Menaker No. 1 tahun 1994.

5. Pengarahan yang diberikan amosi agaknya menyulut emosi, para buruh

merencanakan unjuk rasa untuk merealisasikan pembicaraan yang telah dilakukan. Sebagai langkah awal, amosi dan rekan pengurus SBSI Cabang Medan lainnya menyebarkan lembaran pamplet seruan mogok kepada buruh di

Kawasan Industri Medan, selebaran – selebaran itu diperoleh dari DPP SBSI di

Jakarta.

6. Pada hari yang telah ditentukan tanggal 14 April 1994, sekitar 20.000 orang buruh berkumpul di depan Kantor Gubernur Sumut. Mereka ingin

menyampaikan dan membicarakan persoalan-persoalan yang belum

diselesaikan. Tetapi aparat Pemda tidak menanggapinya. Melihat kenyataan itu, Amosi menyuruh para buruh untuk membubarkan diri “ Pulanglah kalaian

dengan tenang “seru Amosi. Pengunjuk rasa memang menuruti seruan itu.

(16)

pimpinan SBSI yang memprakarsai mogok dan unjuk rasa para buruh tersebut. Polisi setempat menangkap para pengurus SBSI Cabang Medan, termasuk Amosi Talaumbanua. Mereka diperiksa dan diajukan ke pengadilan Negeri Medan dalam berkas perkara secara terpisah.

7. Jaksa Penuntut Umum mengajukan Amosi sebagai terdakwa di Pengadilan

Negeri Medan dan didakwa melakukan perbuatan pidana sebagai berikut:

I. Kesatu:

Primair : ex Pasal 160 jo. Pasal 55 ayat (1) ke- 1e , KUH Pidana.

“ Secara lisan atau dengan tulisan di depan umum menghasut untuk melakukan

sesuatu perbuatan yang dapat dihukum; melawab para kekuasaan umum

dengan kekerasan, ……… dan seterusnya,

………dst, ………” seterusnya,

………..dst, ……….

(Seruan mogok dan unjuk rasa, dst ………..).

Subsidair: Ex Pasal 161 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke 1e KUH Pidana.

“menyebarluaskan, mempertunjukkan secara terbuka, menempelkan sesuatu

tulisan yang berisi hasutan untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, ……….dst, ………dst “.

II. Kedua :

Ex Pasal 170 ayat (1). Jo Pasal 55 (1) ke-2e KUH Pidana “ Secara terbuka dan

(17)

Jaksa Penuntut Umum dalam reguitoirnya yang diajukan di persidangan Pengadilan Negeri Medan menuntut agar supaya hakim menyatakan :

a. Terdakwa AMOSI TALAUMBANUA, bersalah melakukan delik: “secara

bersama-sama menghasut orang lain dengan lisan atau tulisan agar melakukan perbuatan yang dapat dihukum“ ex Pasal 160. 55 (1) ke.1e

KUH Pidana dalam dakwaan kesatu primair.

b. Menuntut hukuman penjara satu tahun dan enam bulan dan dikurangi

selama berada dalam tahanan sementara.

c. Dan seterusnya, ……….. dt, ………dst,

PENGADILAN NEGERI:

1. Hakim pertama yang mengadili perkara ini memberikan pertimbangan sebagai

berikut :

2. Mejelis akan mempertimbangkan Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUH Pidana. Menurut

Pasal tersebut, sebagai pembuat (dadaer) sesuatu perbuatan pidana antara lain adalah mereka yang melakukan yang menyuruh lakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan.

3. Menurut putusan Mahkamah Agung No. 111.7K.Pid/1990, tanggal 30/II/1990

untuk dapat dikualifikasikan sebagai turut serta melakukan perbuatan pidana dalam arti bersama-sama melakukan, sedikitnya harus ada 2 orang, yaitu orang yang melakukan perbuatan pidana itu. Dalam hal ini kedua orang itu semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan yaitu melakukan nasir dari perbuatan pidana.

(18)

tetap digunakan menyatakan : bahwa suatu perbuatan yang dilakukan bersama-sama adalah turut serta melakukan dapat terjadi jika dua atau lebih melakukan secara bersama-sama suatu perbuatan yang dapat dilakukan. Sedang dengan perbuatan masing-masing saja, maksud itu tidak akan sampai.

5. Dipersidangan telah terbukti, baik terdakwa maupun saksi-saksi Saniman

Lafao; Risman L; fatiwanolo ; Hayati (berkas perkara terpisah), sebagai pengurus SBSI, telah memberikan pengarahan tentang hak-hak dan kewajiban kaum buruh serta hak mogok buruh, jika masalah dengan pengusaha tidak ada penyelesaian. Terutama tentang kenaikan upah. Apalagi jika dihubungkan dengan “ seruan mogok “/unjuk rasa “ dari Ketua Umum SBSI, Muchtar

Pakpahan dan sekretaris Umum SBSI, disepakati untuk diperbanyak dan disebarluaskan kepada buruh pada setiap kegiatan pemogokan kaum buruh di unit-unit semua perusahaan masing-masing terdakwa secara bergiliran bersama saksi-saksi tersebut, telah mendampingi buruh yang mogok. Demikian pula pada peristiwa unjuk rasa tanggal 14 – 4 1994, menurut Terdakwa, kegiatan buruh selalu ada hubungannya dengan organisasi buruh SBSI.

6. Dari uraian tersebut telah terbukti bahwa antara terdakwa dengan saksi-saksi saniman, Riswan, Fatiwanolo dan Hayati bekerjasama dalam melaksanakan perbuatan pelaksanaan sehingga terjadi unjuk rasa.

7. Unjuk rasa tersebut menimbulkan kerusuhan dan pelemparan batu terhadap

perusahaan-perusahaan dan rumah-rumah penduduk. Karenanya, Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUH Pidana terpenuhi dalam perbuatan terdakwa.

(19)

ayat (1) ke 1 KUH Pidana.

9. Dipersidangan diperoleh fajta bahwa sebelum terjadinya unjuk rasa para buruh,

dilakukan pertemuan setiap hari. Pertemuan itu dihadiri oleh 50 – 100 buruh, baik di rumah terdakwa maupun di kantor cabang SBSI Medan. Terdakwa memberikan penjelasan, pengarahan, tentang hak-hak buruh, diantaranya tentang upah dan hak mogok jika permasalahan dengan pengusaha tidak ada penyelesaian. Tempat pertemuan adalah di rumah Terdakwa di Jalan Mangaan III Lorong Benteng No. 106 Medan dan di Kantor SBSI di jalan Tapian Nauli III No. 116 Medan. Tempat itu didatangi buruh berserta simpatisan-simpatisan SBSI (umum) atau orang banyak dapat mendengar pengarahan terdakwa. Fakta-fakta tersebut memenuhi unsur pertama Pasal 160 KUH Pidana.

10.Mengenai unsur kedua, pengarahan-pengarahan yang diberikan kepada para

buruh serta para simpatisan SBSI oleh Terdakwa adalah secara lisan. Oleh karenanya unsur tersebut terpenuhi.

11.Untuk unsur ketiga, diperoleh fakta-fakta bahwa terdakwa bersama-sama

(20)

ada penyelesaian.

12.Terdakwa beserta pengurus SBSI bergantian mendampingi buruh yang mogok

di perusahaannya. Menurut terdakwa setiap kegiatan buruh selalu ada hubungannya dengan SBSI. Pengarahan-pengarahan pada buruh diberikan

sejak awal, setiap hari, hingga tanggal 12–4–1994. Karena

pengarahan-pengarahan tersebut buruh melakukan unjuk rasa yang diikuti kurang lebih 20.000 orang tanpa izin. Terdakwa selaku ketua sBSI cabang Medan tidak

mencegah/membiarkan unjuk rasa tanggal 14–4–1994.

13.Fakta-fakta tersebut menurut Pengadilan termasuk dalam kwalifikasi perbuatan

menghasut, supaya tidak menuruti ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasarkan undang-undang.

14.Sekalipun Pasal 160 KUH Pidana tidak mencantumkan kata sengaja, namun

menurut azas hukum pidana, setiap perbuatan pidana harus dilakukan dengan kesengajaan, kecuali, terhadap perbuatan yang dilakukan karena lalai.

15.Hakekatnya unsur kesengajaan dalam Pasal tersebut telah terkandung dalam

awalan “ me “ pada kata menghasut, Oleh karenanya, unsur sengaja harus

dibuktikan dalam perbuatan terdakwa.

16.Oleh karena undang-undang tidak memberikan pengertian tentang kesengajaan,

maka doktrin dan jurisprudensi tentang kesengajaan, maka doktrin dan jurisprudensi memberikan arti sebagai “ dikehendaki dan diketahui “ sehingga

dalam paraktek dikenal adanya teori kehendak dan teori pengetahuan.

17.Pengadilan cenderung akan menerapkan teori kehendak (Will Theory) dalam

(21)

diakui oleh Pemerintah, sehingga SBSI dilarang melakukan kegiatan kepala kantor Sosial Politik Pemda Tingkat II Medan, telah memberikan penjelasan/peringatan kepada terdakwa, agar SBSI tidak melakukan kegiatan. Namun terdakwa malah memberikan pengarahan-pengarahan pada kaum buruh dan mendukung untuk mengadakan unjuk rasa. Selaku Ketua SBSI Cabang Medan, terdakwa membiarkan, tidak mencegah rencana diadakannya unjuk rasa kaum buruh. Terdakwa telah mendampingi kaum buruh ketika melakukan unjuk rasa.

Dari fakta-fakta tersebut Pengadilan berkeyakinan bahwa “Perbuatan menghasut“,

telah dilakukan terdakwa dengan sengaja. Perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur ketiga Pasal 160 jo Pasal 55 (1) KUH Pidana. Oleh karenanya, terdakwa terbukti dengan sah dan meyakinkan bersalah melakukan dakwaan kesatu Primair : Pasal 160 jo. Pasal 55 (1) ke 1 KUH Pidana. Dengan terbuktinya dakwaan ke 1 Primair, maka dakwaan selebihnya tidak perlu dibuktikan lagi selain alasan-alasan yuridis, Pengadilan juga mempertim-bangkan faktor keadaan.

Yang Memberatkan:

- Perbuatan Terdakwa meresahkan masyarakat

- Terdakwa tidak menyesali perbuatannya

- Terdakwa melakukan kegiatan-kegiatan organisasinya sekalipun telah dilarang

oleh Pemerintah yang bersangkutan

Yang Meringankan:

- Terdakwa belum pernah dihukum

(22)

- Atas dasar pertimbangan tersebut Pengadilan Negeri Medan memutuskan :

- Menyatakan terdakwa: Amosi Talaumbanua sebagaimana tersebut di atas

menurut bukti-bukti yang sah dan meyakinkan terang bersalah telah melakukan

perbuatan pidana : “ Menghasut yang dilakukan secara bersama-sama “.

- Menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa selama 1 satu tahun 3 (tiga)

bulan

- Menetapkan pidana itu dikurangkan seluruhnya dengan masa terdakwa berada

dalam tahanan

- Dan seterusnya, dan seterusnya, dst ……

PENGADILAN TINGGI

- Terdakwa Amosi Telaumbauna menyatakan banding putusan Pengadilan

Negeri Medan. Dalam memori banding yang diajukannya, terdakwa mohon agar dapat dibebaskan dari segala dakwaan maupun tuntutan hukum. Unjuk rasa yang terjadi bukan kehendak Terdakwa, tetapi kehendak buruh yang hak-haknya dilanggar oleh Pengusaha.

- Hakim Tinggi yang mengadili perkara ini, menganggap pertimbangan Hakim

(23)

Perbuatan terdakwa menimbulkan kerugian harta benda dan jatuhnya korban.

- Pengadilan Tinggi akan menjatuhkan pidana penjara untuk memenuhi tujuan

pemindanaan yang bersifat korektif preventif dan edukatif. Selebihnya, Pengadilan Tinggi menguatkan putusan hakim Pertama.

- Pengadilan tinggi memperbaiki amar putusan pengadilan Negeri Medan

mengenai pidana yang dijatuhkan terhadap Terdakwa dengan amar putusan yang pada pokoknya sebagai berikut :

MENGADILI

- Memperbaiki putusan pengadilan Negeri Medan yang dimohon banding,

sekedar mengenai pidana yang dijatuhkan, sehingga amarnya sebagai berikut :

- Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan hukuman penjara 3 (tiga) tahun.

- Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa di kurangkan masa

seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan

- Memerintahkan Terdakwa tetap ditahan dalam rumah tahanan negara.

Menguatkan putusan Pengadilan Negeri tersebut yang selebihnya.

Menghukum Terdakwa lagi untuk membayar biaya perkara dalam tingkat banding sebesar Rp. 1.000 (seribu rupiah),-

MAHKAMAH AGUNG RI:

- Terdakwa, Amosi menolak putusan Pengadilan Tinggi dan mengajukan

permohonan kasasi dengan alasan kasasi sebagai berikut:

1. Dalam putusannya, Pengadilan Tinggi tidak memuat hal-hal yang

(24)

2. Pengadilan tinggi memperberat hukuman, tanpa pertimbangan yang cukup. 3. Pengadilan Tinggi menyatakan terdakwa terbukti melanggar Pasal 160 jo.

55 (1) KUH Pidana, tidak ada saksi atau bukti bahwa Terdakwa menghasut buruh untuk melakukan perbuatan pidana atau melawan kekuasaan hukum dengan kekerasan, atau menghasut buruh untuk melanggar undang-undang. Para saksi menerangkan bahwa terdakwa hanya menjelaskan hak dan kewajiban buruh dalam pertemuan tersebut. Pada waktu terjadi unjuk rasa terdakwa menyuruh pengunjuk rasa pulang, setelah delegasi diterima gubernur.

4. Petimbangan pengadilan Tinggi yang menjatuhkan terdakwa menimbulkan

keresahan dalam masyarakat tidak berdasarkan fakta hukum. Yang dituntut buruh hanya kenaikan upah, kebebasan berorganisasi, masalah-masalah kematian buruh Rusli, dan penyelesaian PHK buruh persoalan tersebut adalah hak buruh yang seharusnya diterima.

5. Judex facti tidak secara jelas menguraikan perbuatan Terdakwa yang melawan hukum, perintah yang sah yang mana yang terdakwa tidak turuti atau terdakwa menganjurkan kaum buruh untuk tidak mentaatinya.

6. Judex facti salah menafsirkan pengertian “ mogok “ dan “ unjuk rasa “ dalam hubungannya dengan „ menghasut “, mogok adalah tindakan pasip,

sehingga seruan mogok tidak dapat dikualifikasikan sebagai menghasut unjuk rasa.

7. Mahkamah Agung stelah memeriksa perkara ini dalam putusan kasasi

(25)

a. Keberatan tersebut, tidak dapat dibenarkan, Pengadilan Tinggi tidak salah menerapkan hukum.

b. Keberatan tersebut juga tidak dapat dibenarkan, keberatan tersebut mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, keberatan demikian tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan ditingkat kasasi. Di tingkat kasasi pemeriksaan hanya berkenaan dengan tidak diterapkan suatu peraturan hukum atau peraturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya, atau apakah cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang dan apakah pengadilan telah melampaui batas wewenangnya,

sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 253 KUHAP.

d. Dan 5. Keberatan ini dapat dibenarkan, namun hanya sebagai alasan

perbaikan pertimbangan, bahwa dengan “menghasut“ dalam Pasal 160

KUH Pidana dimaksud: “berupaya agar orang melakukan sesuatu yang

tidak diperbolehkan“.

Pasal 1 dan 2 Undang-Undang No. 22 tahun 1957 membolehkan buruh untuk secara kolektif menghentikan/memperlambat jalannya pekerjaan. Namun untuk itu ditentukan tata cara pengawasan pelaksanaannya, termasuk kewajiban Pengusaha atau pejabat tata usha negara setempat yang tugasnya antara lain

memelihara dan bertanggungjawab atas rust en orde ketertiban umum dalam

(26)

Nomor 9 Tahun I998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, yang berbunyi:

- Tidak dilakukannya hal itu, istilah kini “ mogok liar “ diancam dengan pidana Pasal 26

- Untuk melakukan arak-arakan dijalanan umum, dalam perkara ini sebagai “

unjuk rasa “ harus juga dengan izin dari Pengusaha setempat (polisi atau

pejabat Tata Usaha Negara yang ditunjuk).

- Tidak dilakukannya hal itu diancam dengan pidana Pasal 510 KUH Pidana.

Tindak pidana yang dimaksud adalah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 26 Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 dan Pasal 510 KUH Pidana.

- Ad 2 dan ad 4. Keberatan ini dapat dibenarkan karena Pengadilan Tinggi telah

menjatuhkan pidana yang jauh lebih berat dari pidana yang dijatuhkan Pengadilan Negeri. Bahkan dua kali lebih berat dari pidana yang dituntut jaksa/Penuntut Umum tanpa pertimbangan yang cukup.

- Keresahan telah dipertimbangkan oleh Pengadilan Negeri sebagai hal yang

memberatkan. Untuk pidana tersebut seharusnya diperhatikan pidana yang diancam terhadap tindak pidana yang dihasut untuk dilakukan tersebut. Ternyata tidak dipertimbangkan tindak pidan tersebut, diancam dengan pidana penjara 3 (tiga) bulan atau denda Rp. 10.000,- maupun denda Rp. 15.000,-

- Namun demikian, Terdakwa yang menganggap dirinya sebagai pemimpin,

(27)

unjuk rasa itu seharusnya telah dapat diperhitungkan kemungkinannya walaupun tidak terbukti sengaja dimaksudkan, harus dianggap termasuk hal-hal yang memberatkan, sebagaimana pertimbangan Pengadilan Negeri.

- Kualifikasi tindak pidna yang terbukti, perlu diperbaiki karena “ secara

bersama-sama “ adalah bukan unsur Pasal 160 KUH Pidana.

- Dengan pertimbangan tersebut, Mahkamah Agung berpendirian bahwa putusan

Pengadilan Tinggi Medan, tidak dapat dipertahankan lagi, karenanya harus dibatalkan sepanjang mengenai pidana yang dijatuhkan.

- Mahkamah Agung menyetujui pertimbangan Pengadilan Negeri tentang

perbuatan Terdakwa yang terbukti, serta barang bukti, menjadikannya sebagai pertimbangan Mahkamah Agung sendiri.

- Berdasarkan alasan-alasan yuridis tersebut, mahkamah Agung memberikan

putusan yang amarnya sebagai berikut :

Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun I998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, yang berbunyi:

(1) Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 9 wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri.

(2) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

disampaikan oleh yang bersangkutan pemimpin, alau penanggungjawab kelompok.

(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

selambat-lambatnya 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat ) jam sebelum kegiatan dimulai telah diterima oleh Polri setempat.

(4) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak

berlaku bagi kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan keagamaan.

MENGADILI:

(28)

Mengadili Sendiri :

- Menyatakan Amosi Telaumbauna, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana: “Dimuka Umum Dengan Tulisan Menghasut Supaya

Melakukan Perbuatan Pidana“.

- Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu)

tahun, 3 (tiga) bulan.

- Dan seterusnya dan seterusnya ………

Dari uraian di atas maka jelas dapat dilihat bahwa Mahkamah Agung juga sependapat dengan uraian bahwa salah satu bentuk kejahatan penghasutan aksi unjuk rasa dalam Putusan Mahkamah Agung No. 470.K/Pid/195 adalah dimuka umum dengan tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana. Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bentuk kejahatan penghasutan aksi unjuk rasa yang berakibat anarkhis adalah adanya kegiatan terpidana berupa menghasut dengan tulisan supaya pihak-pihak tertentu yang terlibat dalam kasus unjuk rasa tersebut melakukan perbuatan pidana, seperti mengancam buruh lain yang tidak ingin berunjuk rasa, atau melakukan tindak pidana lainnya seperti merusak sarana prasarana umum.

C. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Unjuk Rasa Yang Berakibat

Anarkhis

(29)

aparat, yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa, namun akhirnya perjuangan itupun berhasil dan hasil perjuangan itu adalah era reformasi.

Mulai era reformasi hingga sekarang unjuk rasa masih tetap bermunculan, unjuk rasa sesalu muncul ketika ada permasalahan yang muncul. Sebagai negara yang demokrasi pelaksanaan unjuk rasa tentunya di anggap sebuah hal yang wajar, karena dalam demokrasi Negara harus mengakui, melaksanakan serta melindungi adanya Hak Azasi Manusia (HAM). HAM sendiri terdiri atas beberapa macam, salah satunya adalah hak untuk mengemukakan pendapat yang diatur dalam

Undang-undang Dasr 1945 Pasal 28 yang berbunyi “bahwa kemerdekaan

berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan

ditetapkan dengan undang-undang”

Unjuk rasa merupakan salah satu perwujudan dari hak untuk mengeluarkan pendapat, unjuk rasa masih dianggap sah apabila masih berada pada alur yang benar, berjalan tertib, tidak menggunakan kekerasan atau anarkisme serta tidak melanggar peraturan yang ada. Akan tetapi tidak demikian dengan unjuk rasa yang terjadi dewasa ini, masyarakat seolah menganggap unjuk rasa sebagai wahana atau tempat untuk menghina, mencaci dan memaki para lawan politik, atau pihak yang tidak sependapat dan para pejabat pemerintahan lainnya.

Menurut Amien Rais, aksi demo dengan membawa kerbau merupakan

tindakan tidak bermoral (amoral). “Orang demo bawa kerbau, dan menyatakan ini

cocok dengan tokoh ini. Hal ini sudah tidak bermoral”.30

(30)

Dalam UU No. 9 tahun 1998, namun kebebasan bukan diartikan bebas sebebas- bebasnya, atau bebas tanpa batas, pengungkapan pendapat harus tetap menghormati hak-hak orang lain, menghormati dan mematuhi aturan yang berlaku, menjaga ketertiban serta menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa, tetapi demonstrasi yang terjadi sepertinya tidak memperdulikan semua itu.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya tindakan anarkis dalam unjuk rasa:

1. Sikap para demonstran yang menganggap pendapat mereka paling benar dan

harus dituruti.

Hal ini bisa kita lihat dalam pelaksanaan unjuk rasa/demonstrasi, para demonstran menganggap bahwa aspirasi atau pendapat yang mereka suarakan merupakan merupakan aspirasi yang benar, mereka juga menganggap bahwa aspirasi yang mereka suarakan merupakan aspirasi yang mewakili suara hati seluruh rakyat Indonesia, dengan dasar itulah mereka mengaggap bahwa apa yang mereka pikirkan, apa yang mereka ucapkan dan apa yang mereka lakukan merupakan hal yang benar dan mereka menginginkan agar apa yang mereka suarakan bisa terrealisasikan.

Dengan dasar kebenaran ini maka dalam pelaksanaan unjuk rasa para demonstran bukan hanya sekedar mengemukakan pendapat namun lebih mengarah pada memaksakan pendapat, sehingga untuk meksakan kehendaknya ini mereka melakukan tindakan anarkis. Jadi tindakan anarkis yang dilakukan merupakan wujud dari pemaksaan kehendak, dengan harapan agar kehendak atau aspirasi yang mereka suarakan diperhatikan.

30 Setetes Ilmu, “Anarkisme Dalam Demonstrasi”,

(31)

2. Suasana panas, sesak dan penat akan membuat para demonstran cenderung mudah terpancing emosi.

Anarkisme dalam unjuk rasa juga bisa di sebabkan karena situasi ketika demo terjadi, umumnya dalam suatu demonstrasi memerlukan waktu yang tidak sebentar dan dilakukan di siang hari, suasana yang panas, sesak dan penat akan mudah membuat para demonstran untuk terpancing emosinya dan mudah marah. Ketika demonstrasi kondisi fisik dari para anggota juga pasti mengalami kelelahan, dengan kondisi ini jika dalam suasana yang panas atau hujan deras maka akan membuat para demonstran mudah marah, hal ini akan mengakibatkan tindakan anarkis, jika salah satu anggota demonstran melakukan tindakan anarkis maka anggota lain akan mudah tertular untuk melakukan tindakan yang serupa.

3. Tidak ada perwakilan yang bersedia menanggapi dan berbicara dengan

demonstran.

Ketika ada niat untuk melakukan unjuk rasa, tentunya suatu kelompok atau pihak yang akan melakukan demonstrasi sudah mempunyai suatu pandangan, gagasan dan pemikiran yang mereka yakini kebenarannya, inilah yang nantinya akan mereka suarakan dengan harapan apa yang mereka suarakan bisa menjadi kenyataan, atau paling tidak mendapatkan tanggapan dari pihak yang mereka harapkan. Namun banyak kejadian ketika ada demonstrasi tidak ada satupun orang yang bersedia menemui para demonstran untuk berbicara dan member penjelasan, hal ini membuat para demonstran kecewa, marah sehingga melakukan berbagai tindakan anarkis sebagai luapan emosinya.

4. Solidaritas yang tinggi antara para anggota demonstran.

(32)

Dalam suatu demonstrasi umunya, para demonstran memiliki solidaritas yang sangat tinggi antara anggota satu dengan anggota yang lainnya, jika salah satu anggota melakukan hal yang baik maka kemungkinan besar anggota yang lain akan melakukan hal yang sama, tetapi yang dalam demo selama ini bukanlah solidaritas yang baik, tetapi lebih mengarah pada solidaritas yang buruk, jika salah satu anggota berteriak SBY maling, maka yang lain juga akan melakukan hal yang sama.

Salah satu hal yang menyebabkan tindakan anarkis dalam demonstrasi adalah kuatnya solidaritas antara demonstran satu dengan yang alainnya, tindakan anarkis awalnya hanya dilakukan oleh satu atau beberapa orang saja, namun karena para demonstran mempunyai kesamaan visi, misi dan tujuan maka mereka mempunyai solidaritas yang tinggi. Jika salah seorang anggota melakukan tindakan anarkis maka anggota lain akan melakukan hal yang sama, jika salah seorang anggota di amankan oleh pihak kepolisian maka anggota yang lain akan berusaha menyelamatkan rekannya. Hal ini terkadang memicu kerusuhan antara demonstran dengan aparat kepolisian.

5. Kerusuhan dalam demo memang sudah direncanakan

Salah satu faktor yang menyebabkan tindakan anarkis dalam unjuk rasa yaitu kerusuhan dalam unjuk rasa memang sudah direncanakan sebelumnya, kerusuhan ini biasanya dilakukan oleh lawan politik atau pihak-pihak lain yang tidak suka dengan pemeritahan yang sedang berjalan.

(33)

terjadi kerusuhan yang mengakibatkan kerugian hingga 1,4 M, demo ini disebabkan karena salah satu kandidat calon bupati tidak diloloskan menjadi calon bupati oleh KPU setempat. Akibatnya para pendukung bupati yang tidak lolos berdemo di depan KPU Mojokerto dan melakukan pengerusakan terhadap fasilitas Negara. Dalam demo ini hampir 100 orang di tahan, dari barang bukti yang berhasil di amankan oleh Polisi bisa di simpulkan bahwa kerusuhan memang sudah di rencanakan.31

Kasus serupa juga terjadi pada tanggal 20 Mei 2008, pada saat itu terjadi demonstrasi anarkis dalam rangka kenaikan harga BBM yang berujung pada kerusuhan, dalam kerusuhan ini terjadi pembakaran Toyota Avansa di depan gedung DPR-RI, demo ini melibatkan sekitar 4000 orang. Dalam kasus ini Ferry Julianto di tuding sebagai dalang kerusuhan, Ferry telah merencanakan demonstrasi sebelumnya dan mengeluarkan biaya sebesar 14 juta rupiah. Dan

akhirnya dia di jebloskan kedalam penjara.32

Dalam demonsatrasi Century dan juga 100 hari pemerintahan SBY-Budiono, mungkin saja bila tindakan anarkis juga sudah direncanakan sebelumnya oleh pihak-pihak tertentu. Hal ini mungkin saja dilakukan oleh partai oposisi, karena partai oposisi selalu mengkritisi kebijakan pemerintahan SBY-Budiono.33 Jika difikirkan dengan akal sehat kita, tidak mungkin pihak yang Pro dengan

33Setetes Ilmu, “Anarkisme Dalam Demonstrasi”,

(34)

Mulyani maling, bahkan hingga menyamakan SBY seperti kerbau. Tindakan seperti ini hanya mungkin dilakukan oleh lawan politik dari SBY yang berasal dari luar Partai Demokrat. Bisa partai oposisi yang selalu menguatkan kritikan dan juga kecaman terhadap pemerintah dan juga bisa juga dilakukan oleh partai mitra koalisi yang memang kecewa dengan sikap pemerintah. Yang jelas tindakan anarkis dalam demonstrasi 100 hari pemerintahan SBY-Boediono dan juga demo Century dilakukan oleh pihak diluar partai Demokrat.

6. Adanya provokasi

Setiap unjuk rasa tentunya melibatkan banyak orang, hal ini membuat situasi sangat sulit untuk di kontrol dan di kendalikan, selain itu banyaknya demonstran juga sangat rawan dengan provokasi, baik provokasi dari dalam maupun dari luar, provokasi dari dalam biasanya dilakukan oleh salah satu anggota demonstran yang mempunyai kecenderungan prilaku menyimpang dalam kesehariannya, sehingga dimanapun orang tersebut berada maka akan ada potensi untuk rusuh akibat perilaku yang dilakukannya. Lalu provokasi juga mungkin dilakukan oleh pihak-pihak dari luar yang menginginkan suasana demo menjadi rusuh. Dalam suatu demonstrasi umumnya pihak atau

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah: (1) ada pengaruh etnis terhadap hubungan antara jiwa kewirausahaan dengan keefektifan mengelola usaha; (2) ada pengaruh

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang cukup antara pretes dengan postes penguasaan konsep dan keterampilan berpikir kritis pada kelas

Aplikasi e-commerce mempermudah konsumen untuk membeli dan mendapatkan informasi seputar produk-produk toko Fonly tanpa harus datang langsung ke toko Fonly, selain itu

Dari penjelasan di atas, pembuktian iktikad baik subjektif yang disamakan dengan kejujuran, tidak ada unsur tipu daya dan tidak mengambil keuntungan dengan cara merugikan orang lain

Bersamaan dengan Pertemuan Tahunan IX ini, ID-CERT juga menyelenggarakan ID-Malware Summit II dengan tema Smartphone Malware and Fileless Malware karena mengambil pokok

Temuan ini sepeendapat dengan penelitian yang dilakukan oleh Kusumaningrum, (2010) dan Maryanti (2002) yang menyebutkan bahwa sistem pelaporan dan kejelasan

The result of the study showed that the used of words chain game could improve the students‟ vocabulary mastery in the English teaching learning process. The

Muslim atau Muslimat yang mukallaf (dewasa) adalah sebagai Da‟i, di mana bagi mereka kewajiban dakwah merupakan suatu yang melekat tidak terpisahkan dari misinya