• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bentuk Non Formal Gerakan Politik Perempuan Di Indonesia

B. Bentuk Dan Karakteristik Gerakan Politik Perempuan Di

2. Bentuk Non Formal Gerakan Politik Perempuan Di Indonesia

Komunis adalah salah satu ideologi yang tumbuh dan berkembang hingga saat ini, dimana faham ini berasal dari Manifest Der Kommunistischen yang ditulis oleh Karl Marx dan Frederich Engels pada 21 Febuari 1848 sebagai koreksi dari faham kapitalisme yang dianut dan berkembang di negara-negara Eropa yang pada prinsipnya semua adalah direpresentasikan sebagai semua milik rakyat dan oleh karena itu seluruh alat-alat produksi harus dikuasai oleh negara guna kemakmuran rakyat secara merata oleh kita untuk kita. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya muncul beberapa fraksi internal dalam komunisme antara penganut komunis teori dengan komunisme revolusioner yang dimana pada masing-masing fraksi mempunyai teori dan cara perjuangan yang saling berbeda dalam pencapaian sosialis untuk menuju dengan apa yang disebutkan sebagai masyarakat utopia.

Kelahiran komunisme di Indonesia tak jauh dengan hadirnya orang-orang buangan dari Belanda ke Indonesia dan mahasiswa-mahasiswa jebolan yang beraliran kiri. Mereka diantaranya Sneevliet, Bregsma, dan Tan Malaka yang terakhir masuk setelah Sarekat Islam di Semarang sudah terbentuk. Alasan kaum pribumi yang mengikuti aliran tersebut di karenakan tindakan-tindakannya yang melawan kaum kapitalis dan pemerintahan. Gerakan komunis di Indonesia diawali di Surabaya, yakni didalam diskusi intern para pekerja buruh kereta api Surabaya yang dikenal dengan nama Vereeniging Van Spoor En Tramweg Personal (VSTP). Pada awalnya Vereeniging Van Spoor En Tramweg Personal (VSTP) hanya berisikan anggota orang Eropa dan Indo Eropa.

Salah satu anggota yang menjadi besar adalah Semaun kemudian menjadi ketua Sarekat Islam Semarang. Komunisme Indonesia mulai aktif di Semarang atau sering disebut dengan Kota Merah setelah basis Partai Komunis Indonesia diera tersebut. Hadirnya Indische Sociaal Democratische Vereeniging (I.S.D.V) dan masuknya para pribumi berhaluan kiri kedalam Sarekat Islam menjadikan komunis sebagian cabangnya karena tak otonomi yang menciptakan Pemerintah Kolonial atas organisasi lepas menjadi salah satu ancaman bagi pemerintah.

Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) menjadi salah satu

organisasi yang bertanggung jawab atas banyaknya pemogokan buruh di jawa. Pada tanggal 23 Mei 1920, Indische Social Democratische Vereeniging (I.S.D.V) yang didirikan di Semarang sepuluh tahun sebelumnya berganti nama menjadi Perserikatan Komunis di India. Kata perserikatan dalam bahasa Melayu merupakan terjemahan dari kata Belanda, yaitu Partij. Sedangkan nama Partai Komunis Indonesia itu sendiri menurut dokumen awal dari organisasi tersebut merupakan pendekatan dari bahasa Melayu Dalam kongres bulan Juni 1924 di Weltervreden sekarang Jakarta pusat. Perserikatan Komunis di India diubah namanya menjadi Partai Komunis Indonesia. Sejak tahun 1922 sudah terdapat sebuah organisasi politik yang bernama Indonesiche Vereenigingyang kemudian diterjemahkan menjadi Perhimpunan Indonesia. Tapi organisasi tersebut berada di Nederland bukan di negeri jajahan.

Partai Komunis Indonesia juga merupakan salah satu organisasi politik Indonesia pertama yang menggunakan konsepsi Partai dalam nama resminya bahasa Melayu. Pergantian kata Perserikatan menjadi Partai merupakan bagian dari konflik terbuka sejak tahun 1922 di dalam tubuh Sarekat Islam. Sejak awal tahun 1910 dan di sepanjang tahun 1920, merupakan suatu gerakan sosial politik yang berpengaruh suatu gerakan yang pertama kali mengambil corak sosial politik di Indonesia, di mana organisasinya tidak lagi membatasi dalam lingkaran tertentu, baik secara sosiologis maupun geografis dan berkembang tidak hanya di Pulau Jawa melainkan juga di Sumatera dan kawasan lainnya. Untuk menegaskan perbedaan tersebut, para pemimpin Sarekat Islam kemudian mengusulkan agar gerakan Sarekat Islam dianggap sebagai sebuah partai dalam pengertian Belanda

Partij dan melarang anggotanya menjadi anggota partai yang lain pada saat yang bersamaan.

Pada dasarnya, pandangan muslim mengenai perempuan yang berpolitik ini tidaklah tunggal. Maksudnya, perempuan berpoltik tidak biasa dilihat dari satu sisis saja. Karena suara perempuan juga diperlukan dalam dalam urusan pemerintahan politik. Karena masalah yang dihadapi perempuan, perempuan itu sendirilah yang mengetahuinya. Setidaknya menurut penuturan Syafiq Hasyim ada tiga pendapat yang berkembang yang membicarakan perempuan didunia politik yaitu :

a. Pendapat konservatif yang menyatakan bahwa Islam adalah fiqih, yaitu tidak memperkenankan perempuan untuk terjun ke ruang politik. Hal ini dikarenakan mereka menganggap bahwa tempat yang terbaik perempuan adalah rumahnya. b. Pendapat liberal progresif yang menyatakan bahwa Islam sejak awal telah

mempekenankan konsep keterlibatan perempuan dalam bidang politik. Hal ini dikarenakan mereka berpendapat bahwa istri Rasullah SAW juga aktif dalam urusan pemerintah pada zaman itu.

c. Pendapat apologetis yang menyatakan bahwa ada bagian wilayah politik tertentu yang bisa dimasuki perempuan dan ada bagian wilayah tertentu yang sama sekali tidak boleh dijamah oleh perempuan.Wilayah yang sama sekali tidak boleh dimasuki oleh perempuan yaitu menjadi kepala negara (Presiden). Sedangkan yang boleh yaitu, hanya sebatas aktif di politik.

Partisipasi peran perempuan dalam politik di Indonesia merupakan salah satu cerminan dari adanya keadilan di dalam demokrasi yang sekarang sedang berusaha diwujudkan di dalam masa transisi. Aspek partisipsi perempuan di dalam demokrasi bukanlah sesuatu yang dating tiba-tiba melainkan memerlukan kesadaran dan kepedulian dari seluruh masyarakat kita.

Namun sayangnya kondisi partisipasi perempuan di panggung politik masih sangat rendah, dimana sistem politik di Indonesia masih didominasi oleh kaum laki-laki sehingga dengan sendirinya bila diberlakukan kondisi alamiah, maka panggung politik tetap akan didominasi secara mayoritas oleh kaum laki-laki. Rendahnya partisipasi perempuan juga terjadi ditingkat lokal. Seiring dengan

beragam persoalan yang dialami perempuan yang hak–haknya sering dirampas dan belum di letakan sebagaimana mestinya oleh kebanyakan masyarakat di mana masih tingginya tingkat kekerasan yang dialami oleh perempuan yang dilakukan oleh oknum maupun institusi jelas merupakan pekerjaan besar yang membutuhkan perhatian serius secara politik.23

C. Isu-isu Sentral Gerakan Politik Perempuan Di Indonesia 1. Isu Sentral Menurut Perkawinan

Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berkenaan dengan mutlak adanya Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, maka undang-undang perkawinan nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan.24

Secara umum perkawinan dapat dikelompokkan kepada dua bentuk yang utama yaitu Poligami dan Monogami.

a. Poligami

Kata Poligami terdiri dari poli dan gami. Secara etimologi kata poli berarti banyak dan kata gami berarti isteri. Sedangkan secara terminologi poligami adalah seorang laki-laki yang telah bersetatus sebagai seorang suami memiliki isteri lebih dari satu atau beristeri lebih dari seorang tetapi di batasi sampai empat.25 Untuk memastikan amalan poligami secara lebih adil dan dapat menjamin kesejahteraan hidup umat, maka sebelum melakukan poligami seseorang haruslah memikirkan secara baik perkara yang berkaitan dengan syarat-syarat berpoligami yang harus wajib dipenuhi. Adapun syarat-syarat poligami adalah sebagai berikut :

23 Nelly Armayanti, Partisipasi Perempuan Dalam Gerakan Politik, (Medan: Universitas Sumatera Utara Press, 2007), h.58-59.

24 Prof.R.Subekti,S.H. Dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata(Bab Perkawinan), h.449.

1 Berkemampuan untuk menanggung nafkah isteri-isteri

Suami berkewajiban menanggung nafkah isteri zahir dan batin tidak kira sama ada dia mempunyai seorang isteri atau lebih. Nafkah zahir yang dimaksudkan seperti makan, minum, pakaian, kediaman dan perbutan. Sedangkan nafkah batin ialah suami berkeupayaan memberikan kemampuan dalam melakukan hubungan seks kepada isteri.

2 Mampu untuk berlaku adil kepada isteri-isteri

Menurut Abu al-Aynayn keadilan bermaksud penyamaratan terhadap semua isteri tanpa wujud pilih kasih di antara mereka. Keadilan ini di dalam perkara-perkara ikhtiari dan lahiriah yang melibatkan beberapa aspek yaitu seperti nafkah, pakaian, penempatan, giliran bermalam dan musafir.26

Dalam sub-judul “Poligami dan Keadilan” tertulis meskipun dalam Islam membolehkan poligami, namun syarat yang harus dipenuhi tidaklah main-main. Keadilan yang tidak semua orang sanggup melaksanakannya. Bahkan dengan tegas Allah SWT memastikan bahwa manusia tidak akan dapat berlaku adil dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil terhadap istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Dengan argumentasi di atas tersebut, maka tampaknya terdapat penegasan akan ketidakmungkinan pelaksanaan poligami meski Islam membolehkannya.

b. Monogami

Kata monogami berasal dari bahasa yunani yaitu monos yang berarti satu atau sendiri dan gamos yang berarti pernikahan. Monogami berarti perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita. Sebenarnya Undang-Undang Perkawinan Republik Indonesia No. 1 tahun 1974 juga menganut asas monogami, akan tetapi asas ini tidak dipegang teguh karena membuka pintu untuk poligami, tetapi tidak untuk poliandri. Implikasi atau konsekuensi monogami disini lebih dipusatkan pada hukum dan moral dengan berpangkal pada kesamaan hak pria dan wanita yang setara sehingga poligami dan poliandri disamakan :

26 Ahamad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press, 2004), h.11.

1. Mengesampingkan poligami simultan dituntut ikatan perkawinan dengan hanya satu jodoh pada waktu yang sama.

2. Mengesampingkan poligami suksesif artinya berturut-turut kawin cerai, sedangkan hanya perkawinan pertama yang dianggap sah sehingga perkawinan berikutnya tidak sah. Kesimpulan ini hanya dapat ditarik berdasarkan posisi dua sifat perkawinan seperti yang dicanangkan 1056 monogami eksklusif dan tak terputuskannya ikatan perkawinan. Implikasi dan konsekuensi ini lain tetapi hal ini termasuk moral ialah larangan hubungan intim dengan orang ketiga.27

2. Isu-Isu Gender Dalam Hukum Adat

Hukum adat sebagai hukum rakyat Indonesia dengan corak dan sifat beraneka ragam yang sebagian besar tidak tertulis dan dibuat serta ditaati oleh masyarakat terdiri dari hukum adat pidana, tata negara, kekeluargaan, perdata, perkawinan dan waris.

Di Indonesia pada dasarnya terdapat tiga sistem kekeluargaan atau kekerabatan yakni :

a. Sistem kekerabatan patrilinial, yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari garis laki-laki, sistem ini dianut di Tapanuli, Lampung dan Bali. b. Sistem kekerabatan matrilinial, yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis

keturunan dari garis perempuan, sistem ini dianut di Sumatra Barat daerah terpencil.

c. Sistem kekerabatan parental, yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari garis laki-laki dan perempuan, sistem ini dianut Jawa, Madura, Sumatra Selatan dan lain-lainnya.28

Walaupun terdapat tiga sistem kekerabatan atau kekeluargaan yaitu sistem kekerabatan matrilinial, patrilinial dan parental namun kekuasaan tetap berada di tangan laki-laki hal ini sebagai akibat dari pengaruh idiologi patriarki. Sistem kekerabatan dalam matrilinial yang dianut pada masyarakat Minangkabau di

27 Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, (Jakarta: Hidayakarya Agung, 1981), h.8.

28 Sri Widoyatiwiratmo Soekito, Anak Dan Wanita Dalam Hukum LP3ES, (Jakarta: Studi Press,1989), h.58-59.

Sumatra Barat, merupakan sistem kekerabatan yang tertua, dimana pada sistem kekerabatan ini menempatkan status kaum perempuan yang tinggi dan disertai dengan sistem perkawinan semendonya dan sebagai penerus keturunan serta dalam hukum waris juga sebagai ahli waris.

Dalam membahas masalah diskriminasi terhadap perempuan maka yang dipakai sebagai dasar acuan adalah Ketentuan Pasal 1 Undang-Undang No. 7 Tahun 1984, yang berbunyi sebagai berikut untuk tujuan konvensi yang sekarang ini, istilah diskriminasi terhadap wanita berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok dibidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum wanita, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara pria dan wanita.

Mencermati ketentuan Pasal 1 tersebut diatas, maka istilah diskriminasi terhadap perempuan atau wanita adalah setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan atas dasar jenis kelamin maka terdapat peraturan perundang-undangan yang bias jender seperti Undang-Undang Perpajakan, Undang-Undang Perkawinan dan lain-lainnya. Salah satu produk peraturan perundang-undangan yang diskriminatif terhadap perempuan adalah Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Undang-undang Perkawinan ini sudah berlaku kurang lebih 30 tahun dan banyak mengandung kelemahan karena bersifat diskriminatif dan bias gender terhadap perempuan. Undang-Undang ini terdiri dari 67 pasal, dari 67 pasal ada beberapa pasal yang secara nyata bias gender dan bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Adapun pasal-pasal dimaksud antara lain :

a. Pasal 3 (2), Pasal 4, Pasal 5, tentang ketentuan poligami.

b. Pasal 7 (1) mengenai ketentuan umur 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki.

c. Pasal 11 mengenai ketentuan waktu tunggu bagi wanita yaitu janda mati 120 hari dan janda cerai 90 hari.

d. Pasal 31 (3) mengenai ketenuan suami kepala rumah tangga dan istri ibu rumah tangga.

e. Pasal 34 (1,2) mengenai ketentuan yang memposisikan isteri sangat lemah dan subordinasi.

f. Pasal 41 (b.c) mengenai ketentuan istri atau wanita diposisikan lemah dan subordinasi.

g. Pasal 44 (1) mengenai ketentuan penyangkalan anak.29

3. Kuota Perempuan

Di makassar Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) Sulsel sedang mengkaji masih perlu atau tidaknya kuota perempuan tercantum dalam undang-undang. Fakta pada Pemilu 2009 lalu menunjukkan bahwa perempuan sudah mampu bersaing dengan laki-laki. Ketua KPPI Sulsel, Andi Mariattang Jumat 30 April mengatakan pihaknya akan serius mendiskusikan soal kuota perempuan itu. Sejak sebelum pemilu mengemuka wacana agar kuota 30 persen bukan hanya pada pencalegan. Tetapi juga pada keterwakilan di parlemen. Ini yang akan kami kaji. Apakah kuota 30 persen perempuan dalam Undang-Undang Pemilu dihapus saja atau malah diperkuat dengan menambahkan pasal-pasal tertentu yang menguatkan posisi perempuan jelas anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulsel dari Partai Persatuan Khusus di Sulsel jumlah politikus perempuan yang berhasil menembus parlemen tergolong banyak. Di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulsel jumlah legislator perempuan naik menjadi 12 orang. Pada beberapa kabupaten juga mengalami kenaikan seperti di Gowa dan Selayar. Namun tidak dinafikan bahwa banyak pendatang baru yang tiba-tiba muncul. Mereka belum banyak diketahui track recordnya oleh publik selama ini tambahnya.

Tantangan dan peluang politikus perempuan pada Pemilu 2014 ini juga akan dibahas dalam seminar akhir Mei ini. Seminar itu adalah rangkaian dari musyawarah wilayah KPPI Sulsel. Agenda utama musyawarah wilayah adalah memilih pengurus baru KPPI Sulsel periode tahun 2010 sampai tahun 2015. Di

29 Nani Soewondo, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum Dan Masyarakat, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984)

pemerintahan India kembali mengajukan undang-undang keterwakilan perempuan di parlemen nasional dan legislatif negara-negara bagian mereka. Berdasarkan undang-undang yang sebelumnya sempat gagal diterapkan pada tahun 1996 itu, keterwakilan perempuan di negeri Gangga tersebut semakin besar. Saat ini keterwakilan perempuan India di parlemen hanya 10 persen saja. Berdasarkan undang-undang ini, keterwakilan perempuan di parlemen India akan melonjak hingga 33 persen.

Jika undang-undang ini lolos dan disetujui keterwakilan perempuan akan masuk dalam pembahasan di majelis rendah terang pemimpin Partai Kongres P.S Ghatwar kepada AFP. Dimajelis rendah undang-undang dipastikan lolos karena banyaknya dukungan. Saat ini, jumlah wakil rakyat perempuan di India hanya 59 orang dari total 545 anggota perwakilan. Jika undang-undang ini lolos, jumlah wakil rakyat perempuan bisa melonjak menjadi 181 orang. Pemerintah kami berkomitmen dalam pemberdayaan perempuan. Kami tengah bergerak untuk mencapai 1/3 keterwakilan di parlemen dan legislatif berasal dari perempuan tegas Perdana Menteri India Manmohan Singh dalam pertemuan para aktivis perempuan India pekan lalu. Saat ini undang-undang tersebut mendapat dukungan kuat dari Partai Kongres dan kalangan oposisi.30

Pada pemilihan umum tahun 1999 yang lalu, dari 48 partai politik yang ikut dalam pemilihan terdapat beberapa partai politik yang mengusung isu-isu kesetaraan gender dalam kampanyenya. Proses pemilihan pada saat itu mengalami perubahan yang cukup berarti, dimana rekrutmen kandidat partai untuk lembaga legislatif termasuk perempuan harus disetujui oleh daerah dan para pengambil keputusan partai di daerah tersebut kecuali tidak berlaku bagi wakil dari angkatan bersenjata dan polisi. Sebagian besar wakil perempuan yang terpilih berpartisipasi dalam proses pemilu antara lain dalam upaya pembelaan terhadap masyarakat, diskusi, ceramah dan kegiatan partai lainnya yang berhubungan dengan kampanye pemilu.

Sejak pemerintahan B.J. Habibie pada tahun 1998 sampai dengan tahun 1999 inilah telah terjadi peningkatan semangat keterbukaan dalam sistem politik

jumlah organisasi non pemerintah telah meningkat dan pembatasan-pembatasan terhadap aktifitas partai-partai politik juga telah dihapuskan. Kondisi ini telah membawa pengaruh positif terhadap perempuan. Berbagai organisasi non pemerintah yang aktif di bidang hak-hak perempuan telah meningkatkan kegiatan mereka. Sementara itu pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, muncul sebuah kaukus politik perempuan yang terdiri dari sebuah organisasi anggota-anggota parlemen dan Pusat Pemberdayaan Politik Perempuan yaitu sebuah jaringan organisasi-organisasi khusus perempuan. Organisasi-organisasi ini tampil untuk membangun sebuah jaringan antara perempuan di parlemen, di antara pimpinan partai politik di antara pimpinan organisasi-organisasi massa dan pihak-pihak terkait lainnya untuk meningkatkan dan memperkuat upaya keras mereka dalam bidang politik.

Melihat beberapa fakta dan tuntutan yang muncul tersebut, maka isu kuota untuk kaum perempuan dapat diwujudkan, dimana implementasi tindakan affirmative dalam hal perwakilan perempuan di parlemen dan partai politik telah berhasil diundangkan secara formal dalam Undang-undang Pemilu No. 12 tahun 2003 Pasal 65 ayat (1), yang dikenal dengan sebutan kuota untuk perempuan, lengkapnya pasal tersebut berbunyi “setiap partai politik beserta pemilu dapat mengajukan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten atau Kota untuk setiap daerah pemilihan, dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen. Sehingga dari sinilah kuota 30% bagi perempuan itu mulai berlaku dalam pemilihan umum”.

Dengan dikeluarkan dan disahkannya Undang-undang No.12 pasal 65 ayat (1) tentang Pemilu mengenai kuota perempuan tersebut merupakan langkah awal perjuangan politik perempuan yang mendapat dukungan formal untuk berkiprah di politik. Kuota perempuan ini nantinya dapat menempatkan perempuan dalam posisi yang cukup kuat, karena jumlah kuota anggota perempuan di parlemen yang nantinya akan dapat mempengaruhi keputusan yang akan dihasilkan.

Berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 ada beberapa hal baru terkait mengenai implementasi kuota minimal 30% perempuan dalam pengajuan

bakal calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yaitu :

a. Adanya perintah bagi Komisi Pemilihan Umum untuk mengembalikan berkas pencalonan pada partai politik yang tidak mampu memenuhi kuota 30% perempuan di setiap daerah pemilihan.

b. Berlakunya mekanisme zipper dalam penomoran calon perempuan, yakni setiap tiga nama calon yang diajukan minimal terdapat satu calon perempuan. Dengan mekanisme ini diharapkan para calon perempuan lebih punya akses untuk terpilih menjadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Kuota perempuan disatu sisi memang bisa menempatkan perempuan dalam posisi yang kuat, karena jumlah anggota perempuan di parlemen akan mempengaruhi keputusan yang dihasilkan. Kuota perempuan diterapkan dengan alasan sebagai berikut :

a. Kuota perempuan bukan diskriminasi, tetapi memberikan kompensasi atas hambatan-hambatan aktual yang mencegah perempuan dan keterlibatannya secara adil dalam posisi politik.

b. Perempuan mempunyai hak representasi yang setara. c. Pengalaman perempuan dalam bidang poltik.

d. Perempuan memilik kualitas seperti laki-laki tetapi kualikasi perempuan dinilai rendah dan diminimalkan dalam sistem politik yang di dominasi oleh laki-laki. e. Fakta bahwa partai poltik yang mengkontrol masalah pencalonan dan bukan

para pemilih yang menentukan siapa yang dipilih.31

31 Ani Widyani Soetjipto, Affirmative Action Untuk Perempuan Di Parlemen Indonesia, (Jakarta: Yayasan API, 2009), h.230.

35

A. Definisi, Bentuk Dan Praktek Hukum Berkeadilan Gender

Masalah gender sudah sering dibahas oleh pemerhati gender dalam berbagai pertemuan-pertemuan, diskusi-diskusi, seminar-seminar dan lain-lainnya baik pada tingkat lokal maupun pada tingkat nasional bahkan pada tingkat inetrnasional. Walaupun demikian masih banyak orang tidak mengetahui dan tidak mengerti apa sebenarnya gender tersebut. Pada hal tidaklah demikian karena masalah gender dapat dilihat dari sejarah, di mana telah mencatat bahwa kaum perempuan telah mengalami kenyataan pahit dari zaman dahulu hingga sekarang ini. Mereka dianggap sebagai kaum yang tidak berdaya, lemah dan selalu menjadi yang kedua. Berbagai bentuk diskriminasi dan perlakuan yang tidak adil diterima oleh kaum perempuan. Kaum perempuan kemudian mencoba berjuang untuk mendapatkan hak mereka sebagai manusia, mulai dari hal yang sangat kecil yaitu diskriminasi di lingkungan hingga berbagai permasalahan isinya seperti hak politik, sosial, ekonomi, budaya dan hukum.

Kata jender berasal dari bahasa Inggris, yaitu gender, yang berarti jenis kelamin.32 Dalam Webster New World Of Dictonary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.33Didalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep budaya yang berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitasdan karakteristik emosional antara laki-laki

Dokumen terkait