Oleh :
PUTRI CORIYANA SANDI
NIM: 104045201520
KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
JURUSAN SIYASAH SYAR’IYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Siyasah Syar’iyyah (S.Sy)
Oleh :
PUTRI CORIYANA SANDI 104045201520
KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
JURUSAN SIYASAH SYAR’IYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah Dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memeperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
Putri Coriyana Sandi NIM : 104045201520
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Hukum Berkeadilan Gender, telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari rabu tanggal 24
Agustus 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Siyasah Syar’iyyah (S.Sy) pada Program Studi Jinayah Siyasah.
Jakarta, 13 September 2011 Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah Dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP.195505051982031012
Panitia Ujian Munaqasyah
Ketua : Dr. Asmawi, M.Ag
NIP. 19721010997031008
Sekretaris : Afwan Faizin, MA
NIP. 197210262003121001
Pembimbing I : Dr. Jaenal Aripin, M.Ag NIP. 197210161998031004
Pembimbing II : Mu’min Rouf, MA
NIP. 197004161997031004
Penguji I : Dr. Asmawi, M.Ag
NIP. 19721010997031008
Penguji II : Afwan Faizin, MA
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skirpsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar strata 1 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya mendapatkan sanksi yang
berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 15 Syawal 1432 H 13 September 2011 M
Putri Coriyana Sandi
iv
Kesanggupan kita terhadap konsekuensi itulah yang seharusnya menjadi
pertimbangan tatkala hendak menjatuhkan pilihan”
Dengan segala kerendahaan hati
karya sederhana ini penulis persembahkan untuk :
Ayah dan Ibu tercinta yang senantiasa memberikan do’a serta berkorban
dalam mengasuh, membimbing dan mengenalkan arti hidup.
Akhmad Sujai tercinta yang senantiasa menemani penulis dalam suka
v
Allah SWT. Dialah sumber tempat bersandar, Dialah sumber kenikmatan hidup
yang tanpa batas, Rahman dan Rahim tetap menghiasi asma-Nya. Sehingga
penulis diberikan kekuatan fisik untuk dapat menyelesaikan skripsi ini yang
berjudul “Peran Politisi Perempuan PKS Dalam Memperjuangkan Hukum Berkeadilan Jender”.
Shalawat beserta salam tetap tercurahkan atas penghulu umat Islam Nabi
Muhammad SAW. Beserta para keluarganya, sahabat dan para pengikutnya yang
telah membuka pintu keimanan yang bertauhidan kebahagiaan, kearifan hidup
manusia dan pencerahan atas kegelapan manusia serta uswatun hasanah yang
dijadikan sebuah pembelajaran bagi muslim dan muslimah hingga akhir zaman.
Skripsi ini, penulis susun guna memenuhi syarat akhir untuk mencapai
Gelar Sarjana Hukum Islam (S1) pada Program Studi Jinayah Siyasah konsentrasi
Siyasah Syar’iyyah (HTNI) Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Setulusnya dari lubuk hati yang paling dalam penulis menyadari bahwa
suksesnya penulisan skripsi ini penulis mendapat bantuan dan motifasi dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada yang terhormat :
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, selaku Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Bapak Dr. Asmawi, M.Ag, selaku Ketua Program Studi Jinayah Siyasah
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Bapak Afwan Faizin, MA, selaku Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
vi
meluangkan waktunya dan tenaganya untuk membimbing serta memberikan
saran dan kritik selama penulis mengerjakan skripsi ini.
6. Seluruh Staf Pengajar dan Karyawan Jurusan Jinayah Siyasah, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Seluruh Staf dan Karyawan Perpustakaan Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
8. Seluruh Staf dan Karyawan Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
9. Seluruh Staf dan Karyawan Dewan pengurus Pusat Partai Keadilan Sejahtera
Pimpinan Cabang Jakarta Pusat.
10. Keluarga tercinta, Ayahanda Subandi dan Ibunda Sinta Dewi serta kakanda
Akhmad Sujai, S.T., yang telah banyak memberikan semangat dan dukungan
baik material maupun sprituil kepada penulis.
11. Rekan-rekan mahasiswa angkatan 2004 Jurusan Jinayah Siyasah, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah
membantu kelancaran penulis dalam merencanaan, membuatan dan menulis
Skripsi ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa pada penulisan Skripsi ini masih
jauh dari sempurna, baik secara materi maupun teknis penulisan. Maka untuk itu
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna
kesempurnaan Skripsi ini.
Jakarta, 15 Syawal 1432 H 13 September 2011M
vii
A. Sejarah Gerakan Politik Perempuan Di Indonesia ………
1. Zaman Kolonial Belanda ………..
2. Zaman Pendudukan Bala Tentara Jepang ………
3. Republik Indonesia ………..
B. Bentuk Dan Karakteristik Gerakan Politik Perempuan Di
Indonesia ………...
1. Bentuk Formal Gerakan Politik Perempuan Di Indonesia …...
2. Bentuk Non Formal Gerakan Politik Perempuan Di Indonesia
viii BAB III
BAB IV
BAB V
PEREMPUAN DAN HUKUM PERUNDANG - UNDANGAN DALAM HUKUM BERKEADILAN GENDER
a.A. Definisi, Bentuk Dan Praktek Hukum Berkeadilan Gender …....
BB. Perempuan Dalam Legal Drafting UU Di DPR ………...
C. Produk Perundang-undangan Berkeadilan Gender ………...
PANDANGAN POLITISI PEREMPUAN PKS DALAM HUKUM BERKEADILAN GENDER
A. Dinamika PKS Dalam Politik Indonesia ………..
B. Isu-Isu Gender Dalam Perempuan PKS ………
C. Pandangan Politisi PKS Dalam Hukum Berkeadilan Gender …...
PENUTUP
A.Kesimpulan ………...
B. Saran ………. 35
43
54
58
68
71
86
87
x Perkawinan
Lampiran 2 : Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 2002 Tentang
1 A. Latar Belakang Masalah
Masalah gender sudah sering dibahas oleh pemerhati dalam berbagai
pertemuan-pertemuan, diskusi-diskusi, seminar-seminar dan lain-lainnya baik
pada tingkat lokal maupun pada tingkat nasional bahkan pada tingkat
inetrnasional. Walaupun demikian masih banyak orang tidak mengetahui dan
tidak mengerti apa sebenarnya gender tersebut. Pada hal tidaklah demikian karena
masalah gender dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu aspek hukum adat, pidana,
pajak, perdata, tata negara, aspek sosial, politik, ekonomi dan budaya.
Kata jender berasal dari bahasa Inggris, yaitu gender, yang berarti jenis
kelamin.1 Dalam Webster New World Of Dictonary, gender diartikan sebagai
perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan
tingkah laku.2Di dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender
adalah suatu konsep budaya yang berupaya membuat perbedaan (distinction)
dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki
dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.3
Menurut Hilary. M. Lips dalam bukunya yang terkenal, Sexs And Gender
An Introduction mengartikan jender sebagai harapan-harapan budaya terhadap
laki-laki dan perempuan (cultural expectations for women and men).4Pendapat ini
sejalan dengan pendapat umumnya tentang kaum feminis seperti menurut Linda.
L. Lindsey, yang menganggap semua ketetapan masyarakat perihal penentuan
seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah termasuk dalam bidang kajian
1 John M. Echols Dan Hassan Shadily,Kamus Inggris Indonesia, Cet.XII, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka,1998), h.265.
2 Celia Modgil, The Apparent Disparity Between Man And Women In Values And Behavior(New York: Webster Of Dictionary, 1984), h.561.
3 Helen Tierney (ed), Women’s Studies Encylopedia, Vol. 1, (New York: Green Press), h.153.
gender (What a given society defines as masculine or feminism is a component of
gender).5
Menurut H.T. Wilson dalam Seks dan Gender mengartikan gender sebagai
suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan
pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi
laki-laki dan perempuan.6 Sedangkan menurut Elaine Showalter mengartikan
jender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi
konstruksi sosial budaya. Elaine menekankannya sebagai konsep analisa (an
analytic concept) yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu.7
Meskipun kata jender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar
Bahasa Indonesia, istilah tersebut sudah banyak digunakan, khususnya di Kantor
Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan ejaan gender. Gender juga dapat
diartikannya sebagai interprestasi mental dan budaya terhadap perbedaan kelamin,
yaitu laki-laki dan perempuan. Gender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan
pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan.8
Gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan
laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya. Sementara itu, Seks secara umum
digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi
anatomi biologi. Istilah seks dalam kamus bahasa Indonesia juga berarti jenis
kelamin.9Sementara itu, gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial,
budaya, psikologi dan aspek-aspek non biologis lainnya.10 Pada hal tidaklah
demikian karena masalah gender dapat di lihat dari sejarah, dimana telah mencatat
bahwa kaum perempuan telah mengalami kenyatan pahit dari zaman dahulu
hingga sekarang ini. Mereka dianggap sebagai kaum yang tidak berdaya, lemah
dan selalu menjadi yang kedua. Berbagai bentuk diskriminasi dan perlakuan yang
5 Aidit. D.N,Wanita Komunis Pejuang Untuk Masyarakat Baru, (Jakarta: Ilmu Bintang Merah, 1957), h.216.
6 H.T.Wilson, Analisis Seks Dan Gender, Cet.1, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar), h.57. 7 Miriam Budiardjo, Dasar Dasar Ilmu Politik, Cet.I, (Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2008), h.403-404.
8 Firmanzah, Mengelolah Partai Politik Diera Demokrasi, Cet.I, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), h. 66.
tidak adil diterima oleh kaum perempuan. Kaum perempuan kemudian mencoba
berjuang untuk mendapatkan hak mereka sebagai manusia, Mulai dari hal yang
sangat kecil yaitu diskrimnasi di lingkungan hingga berbagai permasalahan lainya
seperti hak politik, sosial, ekonomi, budaya dan hukum.
Dalam kaitan dengan pengertian gender ini Astiti mengemukakan bahwa
gender adalah hubungan laki-laki dan perempuan secara sosial.11Hubungan sosial
antara laki-laki dan perempuan dalam pergaulan hidup sehari-hari dibentuk dan
diubah oleh masyarakat sendiri. Oleh karena itu sifatnya dinamis, artinya dapat
berubah dari waktu kewaktu dan dapat pula berbeda dari tempat yang satu dengan
tempat lainnya sejalan dengan kebudayaan masyarakat masing-masing.12
Upaya mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG), di Indonesia
dituangkan dalam kebijakan nasional sebagaimana ditetapkan dalam Garis-Garis
Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1999, Undang-Undang No. 25 Tahun 2000
tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004 dan
dipertegas dalam Instruksi Presiden No.9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan
Gender (PUG) dalam Pembangunan nasional, sebagai salah satu strategi untuk
mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender.
Disamping itu pengarusutamaan gender juga merupakan salah satu dari
empat key cross cutting issues dalam Propenas. Pelaksanaan PUG diisntruksikan
kepada seluruh departemen maupun lembaga pemerintah dan non departemen di
pemerintah nasional, propinsi maupun di kabupaten atau kota, untuk melakukan
penyusunan program dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi
dengan mempertimbangkan permasalahan kebutuhan, aspirasi perempuan pada
pembangunan dalam kebijakan, program atau proyek dan kegiatan.
Disadari bahwa keberhasilan pembangunan nasional di Indonesia baik
yang dilaksanakan oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat sangat tergantung
dari peran serta laki-laki dan perempuan sebagai pelaku dan pemanfaat hasil
pembangunan. Pada pelaksanaannya sampai saat ini peran serta kaum perempuan
11 Astiti,Jender Dalam Hukum Adat,(Jakarta: Word Press, 2000), h.1.
belum dioptimalkan. Oleh karena itu program pemberdayaan perempuan telah
menjadi agenda bangsa dan memerlukan dukungan semua pihak.
Penduduk wanita yang jumlahnya 49.9 % (102.847.415) dari jumlah total
(206.264.595) penduduk Indonesia sensus penduduk tahun 2000 merupakan
sumber daya pembangunan yang cukup besar. Partisipasi aktif wanita dalam
setiap proses pembangunan akan mempercepat tercapainya tujuan pembangunan.
Kurang berperannya kaum perempuan akan memperlambat proses pembangunan
atau bahkan perempuan dapat menjadi beban pembangunan itu sendiri.
Kenyataannya dalam beberapa aspek pembangunan, perempuan kurang
dapat berperan aktif. Hal ini disebabkan karena kondisi dan posisi yang kurang
menguntungkan dibanding laki-laki. Seperti peluang dan kesempatan yang
terbatas dalam mengakses dan mengontrol sumber daya pembangunan, sistem
upah yang merugikan, tingkat kesehatan dan pendidikan yang rendah, sehingga
manfaat pembangunan kurang diterima kaum perempuan.
Berbagai upaya pembangunan nasional yang selama ini diarahkan untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia, baik perempuan maupun laki-laki,
ternyata belum dapat memberikan manfaat yang setara bagi perempuan dan
laki-laki. Bahkan belum cukup efektif memperkecil kesenjangan yang ada. Hal ini
menunjukkan bahwa hak-hak perempuan memperoleh manfaat secara optimal
belum terpenuhi sehingga pembangunan nasional belum mencapai hasil yang
optimal, karena masih belum memanfaatkan kapasitas sumber daya manusia
secara penuh.
Faktor penyebab terjadinya kesenjangan gender yaitu tata nilai sosial
budaya masyarakat, umumnya lebih mengutamakan laki-laki daripada perempuan
(ideologi patriarki). Peraturan perundang-undangan masih berpihak pada salah
satu jenis kelamin dengan kata lain belum mencerminkan kesetaraan gender.
Penafsiran ajaran agama yang kurang komprehensif atau cenderung tekstual
kurang kontekstual, cenderung dipahami parsial kurang kholistik. Kemampuan,
kemauan dan kesiapan perempuan sendiri untuk merubah keadaan secara
eksekutif, yudikatif, legislatif terhadap arti, tujuan, dan arah pembangunan yang
responsif gender.
Adanya kesenjangan pada kondisi dan posisi laki-laki dan perempuan
menyebabkan perempuan belum dapat menjadi mitra kerja aktif laki-laki dalam
mengatasi masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik yang diarahkan pada
pemerataan selain pembangunan. Selain itu rendahnya kualitas perempuan turut
mempengaruhi kualitas generasi penerusnya, mengingat mereka mempunyai
peran reproduksi yang sangat berperan dalam mengembangkan sumber daya
manusia masa depan.
Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dapat dilihat dalam
berbagai bidang kehidupan antara lain dalam bidang politik, sosial, ekonomi,
budaya dan hukum (baik hukum tertulis maupun tidak tertulis). Hubungan sosial
antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan tersebut pada
umumnya menunjukan hubungan yang subordinatif yang artinya dimana bahwa
kedudukan perempuan lebih rendah bila dibandingkan dengan kedudukan
laki-laki.
Hubungan yang subordinatif tersebut dialami oleh kaum perempuan di
seluruh dunia karena hubungan yang subordinatif tidak saja dialami oleh
masyarakat yang sedang berkembang seperti masyarakat Indonesia, namun juga
dialami oleh masyarakat negara-negara yang sudah maju seperti Amerika Serikat
dan lainnya. Keadaan yang demikian tersebut dikarenakan adanya pengaruh dari
idiologi patriarki yakni idiologi yang menempatkan kekuasaan pada tangan
laki-laki dan ini terdapat di seluruh dunia. Keadaan seperti ini sudah mulai mendapat
perlawanan dari kaum feminis, karena kaum feminis selama ini selalu berada pada
situasi dan keadaan yang tertindas. Oleh karenanya kaum feminis berjuang untuk
menuntut kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki dalam berbagai bidang
kehidupan agar terhindar dari keadaan yang subordinatif tersebut.
Di Indonesia sebenarnya perjuangan kaum feminis untuk menuntut
kedudukan yang sama dengan laki-laki atau terhadap kekuasaan patriarki sudah
dimulai jauh sebelum Indonesia merdeka yang mana dipelopori oleh R.A. Kartini.
yang tersirat pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 Ayat 1 yang berbunyi
segala warga negara bersamaan kedudukannya didepan hukum dan pemerintahan
dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecuali.
Di samping itu, berbagai produk perundang-undangan yang telah
dikeluarkan sebagai realisasi tuntutan persamaan hak dan kedudukan perempuan
dengan laki-laki, antara lain Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang pengesahan konvensi
mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan,
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Di antara produk
perundang-undangan tersebut yang paling tegas mengatur tentang penghapusan
segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan adalah Undang-Undang No. 7
Tahun 1984. Meskipun begitu kedudukan subordinasi terhadap perempuan dalam
kenyataannya masih tetap ada dalam berbagai bidang kehidupan.
Hak politik perempuan di dunia public sebenarnya telah ada dan tertuang
dalam konvensi PBB tentang penghapusan Penghapusan segala bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW - The Unconvention On The
Elimination Of All Forms Of Dicrimination Against Women) yang disahkan dan
diterima oleh Dewan Umum PBB pada tahun 1979. Sebagai ratifikasi dari
konvensi tersebut muncul Undang-Undang Pemilu No. 12 Tahun 2003 tentang
kuata keterwakilan perempuan yang mencapai 30% di parlemen. Data berikut
penjelaskan kompisisi anggota DPR RI berdasarkan jenis kelamin.
Tabel 1.1 Jumlah Anggota DPR RI hasil Pemilu Tahun 2004.13
No Partai Perempuan Persen Laki-Laki Persen Jumlah
1 GOLKAR 18 14 110 86 128
2 PDIP 12 11 97 89 109
3 PPP 3 5,17 55 94,82 58
4 DEMOKRAT 6 10,52 49 89,47 55
5 PKB 7 13,46 45 86,53 52
6 PAN 7 13,46 46 86,53 57
7 PKS 3 6,66 42 93,33 45
8 PBR 2 15,38 12 84,61 14
9 PBB 0 0 11 100 11
10 PDS 3 25 9 75 13
11 PDK 0 0 4 100 4
12 PKPB 0 0 2 100 2
13 PELOPOR 1 33 2 66 3
14 PKPI 0 0 1 100 1
15 PNI 0 0 1 100 101
16 PPDI 62 11,27 487 88,73 550
Jumlah 62 11,27 487 88,73 550
Dengan disahkannya Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Pemilu
yang menyertakan aspirasi kaum perempuan pada Pasal 65 Ayat 1
Undang-Undang No. 12 Tahun 2003, maka setiap partai politik harus mengajukan calon
anggota DPR baik DPRRI, DPR Propinsi dan DPR Kabupaten atau kota untuk
setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30 %.14
Untuk mengetahui salah persepsi dan berbagai pengertian, penulis ingin
mengetahui lebih jauh dan mengkaji penelitian penulis berdasarkan
literatur-literatur yang ada. Akhirnya penulis memberikan judul dalam penelitian adalah
”Peran Politisi Perempuan PKS Dalam Memperjuangkan Hukum Berkeadilan Gender”.
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang masalah diatas dapat di identifikasi beberapa masalah,
yaitu peran politisi perempuan PKS dalam memperjuangkan hukum berkeadilan
gender, bentuk dan karakteristik gerakan politik perempuan di Indonesia dan
isu-isu sentral gerakan politik di Indonesia.
C. Perumusan Masalah
Dari identifikasi masalah diatas tersebut, maka dapat dirumuskan beberapa
rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pandangan politisi perempuan PKS dalam memperjuangkan hukum
berkeadilan gender ?
2. Bagaimana kiprah perjuangan politisi perempuan PKS dalam memperjuangkan
hukum berkeadilan gender ?
D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui bagaimana bentuk dan praktek hukum keadilan gender.
b. Untuk mengetahui dengan jelas mengenai perempuan dalam legal drafting
undang-undang di DPR.
c. Untuk mengetahui produk perundang-undangan berkeadilan gender.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Sebagai sumbangan teoritas bagi masyarakat mengenai bentuk dan praktek
hukum berkeadilan gender dalam Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
b. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan konstribusi bagi kampus
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam pengembangan khazanah keilmuan
dibidang politik.
c. Memberikan pemahaman tersendiri khususnya bagi penulis dan umumnya
bagi masyarakat luas mengenai peran politisi perempuan pks dalam hukum
berkeadilan gender.
E. Metodelogi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang digunakan dalam pembahasan skripsi ini adalah penelitian
kepustakaan (library research) dan penelititian lapangan (field research) yang
berdasar pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Jenis penelitian ini
diambil sesuai dengan obyek penelitian yang dikaji melalui pendekatan
kualitatif, yaitu jenis penelitian yang dilakukan secara sistematis terhadap suatu
objek berdasarkan fakta-fakta yang ada untuk menghasilkan data-data
deskriptif berupa kata-kata tulisan dari perilaku objek yang diteliti. Kemudian
disajikan dalam bentuk deskriptif.
2. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini, yaitu
teknik observasi sebagai teknik utama penelitian, sedangkan sebagai pelengkap
penelitian menggunakan teknik wawancara dan teknik dokumentasi.
a. Teknik observasi
Dimana dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengamati dan
mencatat situasi lingkungan, sikap dan prilaku dari pengurus dan kader
PKS, baik dilingkup nasional maupun jawa tengah, melalui kunjungan ke
sekretariat DPP Pusat, sekretariat fraksi PKS Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Tengah,
serta jika memungkinkan ke lokasi kegiatan yang diselenggarakan PKS.
b. Teknik dokumentasi
Dimana dalam penelitian ini peneliti memperoleh data dengan cara mencari
dan mengumpulkan bahan-bahan yang ada hubungannya dengan masalah
yang diteliti. Data-data tersebut berupa catatan-catatan hasil pengamatan,
dokumen-dokumen sekolah, buku-buku, jurnal, artikel, surat kabar,
majalah, situs internet dan lain sebagainya.
c. Teknik Wawancara
Untuk melengkapi data penelitian berupa keterangan lisan masih
dibutuhkan metode wawancara atau interview. Dalam penelitian ini data
berupa keterangan yang diperoleh dari subyek penelitian yang berasal dari
lingkungan internal adalah pengurus PKS dengna mempertimbangkan
kapasitas dan kedudukannya dalam organisasi PKS sehingga representative
mewakili organisasinya. Sedangkan subyek penelitian dari lingkungan
eksternal non PKS adalah pihak-pihak yang memiliki kapasitas dan
kedudukan dalm sebuah lembaga yang berkaitan secara langsung maupun
tidak langsung dengan permasalahan yang diteliti.
3. Metode Analisa Data
Dari data-data hasil penelitian yang diperoleh dilapangan seperti data hasil
observasi, hasil wawancara dan hasil dokumentasi sepenuhnya akan
dianalisa dengan menggunakan teknik analisa deskritif kualitatif, yaitu hasil
analisa tidak disajikan dalam bentuk angka-angka dan bilangan statistik
akan tetapi berupa pemaparan atau gambaran mengenai situasi yang di teliti
dalam bentuk uraian- uraian naratif .
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penyusunan skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab,
dengan urain sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini membahas tentang latar belakang masalah, identifikasi
masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodelogi
penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II KIPRAH PEREMPUAN DALAM POLITIK HUKUM DI
INDONESIA
Pada bab ini membahas tentang sejarah gerakan poltik perempuan di
Indonesia, bentuk dan karakteristik gerakan politik perempuan di
Indonesia dan isu-isu sental gerakan politik perempuan di Indonesia.
BAB III PEREMPUAN DAN HUKUM PERUNDANGAN UNDANGAN
Pada bab ini membahas tentang definisi, bentuk dan praktek hukum
berkeadilan gender, perempuan dalam legal drafting Undang-Undang
di DPR dan produk perundang-undangan berkeadilan gender.
BAB IV PANDANGAN POLITISI PEREMPUAN PKS DALAM
BERKEADILAN GENDER
Pada bab ini membahas tentang dinamika PKS dalam politik
Indonesia, isu-isu gender dalam perempuan PKS dan pandangan
politisi PKS dalam hukum berkeadilan gender.
BAB V PENUTUP
Pada bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran dari hasil peran
politisi perempuan PKS dalam memperjuangkan hukum berkeadilan
12
A. Sejarah Gerakan Politik Perempuan Di Indonesia
Gerakan politik perempuan Indonesia baru dimulai pada permulaan abad
20, yaitu permulaan bentuk gerakan secara modern. Karena bentuk gerakan
tersebut ditandai oleh tumbuhnya organisasi wanita yang diikuti oleh proses
perkembangan organisasi gerakan kebangsaan Indonesia pada waktu itu. Dengan
begitu banyak organisasi wanita menjadi bagian dari kelompok wanita sebagai
organisasi kebangsaan. Bahwa organisasi itu mempunyai pengurus tetap dan
mempunyai anggota, mempunyai tujuan yang jelas, disertai rencana pekerjaan
berdasarkan peraturan-peraturan yang dimuat di Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga. Sebelumnya kaum wanita berjuang orang perorangan dan belum
terorganisasi dalam susunan suatu badan perkumpulan.15
Namun demikian, perjuangan kaum wanita melawan penjajah Belanda
pada waktu itu telah memberikan inspirasi dan dorongan bagi wanita-wanita
generasi kemudian, yang berjuang untuk emansipasi kaumnya sekaligus memiliki
peranan partisipasi dalam mengisi hasil perjuangan kemerdekaan Indonesia.
1. Zaman Kolonial Belanda
Pada zaman kolonial belanda pergerakan perempuan di Indonesia dapat
dikelompokkan menjadi beberapa periode, yaitu :
a. Periode Perintis (1880 - 1910)
Kedatangan Vereenigde Oost Indische Compagnie (V.O.C) pada abad
ke-18 adalah untuk berdagang dengan menggunakan moncong meriam di kepulauan
Indonesia sejak semula membawa malapetaka untuk rakyat Indonesia. Melalui
penindasan, eksploitasi, pengurasan sumber ekonomi adalah untuk memperkaya
Belanda hingga saat ini. Pemindahan kekuasaan dari Vereenigde Oost Indische
Compagnie(V.O.C) kepada Bataafse Republiek sama sekali tidak merubah situasi
saat itu, akan tetapi hanyalah meneruskannya saja dengan cara yang berbeda. Hak
monopoli perdagangan dan hak monopoli pelayaran antar pulau diseluruh
Nusantara yang mematikan daya hidup dan daya materiil rakyat Indonesia
dilanjutkan oleh Pemerintah Pusat Negara Monarkhi di Belanda dengan
staatsmonopoli. Penunjukan posisi Gubernur Jendral Van den Bosch di negara
jajahan (Nederlands Indie) langsung memberlakukan kebijakan Cultuurstelsel
pada tahun 1830 sampai tahun 1870, yaitu suatu sistem pengetrapan tanam paksa
berbagai jenis tanaman seperti kopi, gula, tembakau dan tanaman lainnya di atas
1/5 (seper lima) tanah pedesaan untuk kepentingan pasaran dunia barat.16
Misi VOC, sebagai perpanjangan tangan pemerintah Belanda mempunyai
dua fungsi. Pertama sebagai pedagang dan kedua sebagai badan pemerintah.
Sebagai upaya pemantapan pelaksanaan kedua fungsi tersebut, maka VOC
menggunakan hukum dan peraturan perundang-undangan Belanda.
Didaerah-daerah yang kemudian satu persatu dapat dikuasai colonial akhirnya membentuk
badan-badan peradailan. Upaya ini tidak mulus berjalan dalam penerapannya
mengalami hambatan. Atas dasar berbagai pertimbangan VOC membiarkan
lembaga-lembaga asli yang ada dalam masyarakat untuk berjalan sebagaiman
sebelumnya. Langkah ini diambil sebagai upaya menghindari perlawanan dari
masyarakat setempat. Konsekuensinya VOC terpaksa memperhatikan hukum
yang hidup dan diikuti oleh rakyat dalam kehidupan sehari-hari.17
Sejak saat itulah pemberontakan timbul di mana-mana, hingga hampir
setiap tahun Batavia mengirimkan ekspedisi-ekspedisi militer keberbagai tempat
di Nusantara untuk menumpas perlawanan rakyat. Pada masa itu belum
diketemukan cara perjuangan Nasional. Periode Perintis meliputi masa sebelum
tahun 1908, yaitu tahun dimulainya fase kebangkitan kesadaran nasional, dengan
16 Baroroh Baried, Citra Wanita Dalam Kebudayaan Indonesia, (Jakarta: Seminar Nasional Fakta Dan Citra), 23-25 agustus 1984.
berdirinya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908. Periode Perintis masih juga
meliputi masa permulaan politik etis Belanda di Indonesia.
Para tokoh Perintis perjuangan wanita belum mempunyai perkumpulan atau
organisasi wanita, dengan kata lain berjuang orang perorangan, akan tetapi dalam
kenyataan bahwa mereka mengangkat senjata bahu membahu dengan kaum pria
melawan penjajah Belanda, tidak dapat dipungkiri bahwa mereka merupakan
sumber inspirasi bagi generasi wanita berikutnya untuk berjuang melawan
penindasan dan ketidakadilan. Para tokoh perintis dalam masa sesudah
diterapkannya politik etis Belanda di Indonesia, memberikan teladan dan
dorongan kepada generasi kaumnya untuk meneruskan jejak langkah mereka, juga
berjuang untuk emansipasi dan partisipasi untuk membangun kemandirian
kaumnya, kemajuan bangsanya dan kemerdekaan tanah airnya karena ciri
utamanya ialah menekankan kepada pendidikan atau lebih khususnya pendidikan
model Barat, sebagai bekal untuk memajukan kaumnya dan bangsanya. Gerakan
pendidikan kebanyakan diprakarsai oleh kalangan elite bangsawan, karena mereka
lebih dahulu diberi kesempatan oleh pemerintah untuk bisa memasuki
sekolah-sekolah khusus untuk warga Eropa. Pejuang-pejuang Perintis pada masa itu,
diantaranya Kartini, Maria Walanda Maramis, Dewi Sartika dan Nyai Achmad
Dahlan.
b. Periode Kebangkitan Kesadaran Nasional (1911 - 1928)
Masa kebangkitan kesadaran nasional ditandai dengan munculnya
organisasi Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 di Jakarta, organisasi pertama
diantara bangsa Indonesia yang dibentuk secara modern. Dengan bentuk modern
diartikan bahwa organisasi mempunyai pengurus tetap, anggota, tujuan, rencana
pekerjaan dan seterusnya berdasarkan peraturan-peraturan yang dimuat di
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga organisasi. Pengurus Budi Utomo
terdiri dari para Priyayi dan dalam waktu singkat organisasi tersebut mengalami
kemajuan yang sangat pesat. Pada akhir tahun 1909 Budi Utomo telah mempunyai
40 cabang dengan lebih kurang 10.000 anggota. Kemudian berdiri partai-partai
Utomo akan tetapi yang beraliran Indisch Nasionalisme radikal, beraliran
nasionalisme demokratis dengan dasar agama dan beraliran marxisme.
1. Gerakan Perempuan Dan Kebangkitan Nasionalisme
Pada periode Budi Utomo pejuang gerakan perempuan baru terbatas pada
kedudukan sosial saja. Soal-soal politik perempuan belum dalam jangkauannya.
Apalagi kemerdekaan tanah air masih terlalu jauh dari penglihatan dan
pemikirannya. Kesibukan-kesibukan pada periode perintis dibidang pendidikan,
pengajaran, kerumah tanggaan masih berlanjut.
Pengaruh warisan cita-cita Kartini untuk emansipasi perempuan
berkumandang menembus batas-batas kamar pingitannya dan perhatian kaumnya.
Sehingga pada periode kebangkitan dan Kesadaran Nasional ini mulai untuk
meningkatkan kaum perjuangan perempuan. Ini dibuktikan dengan munculnya
organisasi perempuan yang pertama di Jakarta pada tahun 1922 bernama Putri
Mardika atas bantuan Budi Utomo. Perkumpulan Kartini Fonds yang bertujuan
mendirikan sekolah-sekolah Kartini berdiri diberbagai tempat di Jawa, Keutamaan
Istri didirikan di banyak tempat di Jawa Barat bahkan dikota Padang Panjang,
Kerajinan Amai Setia di kota Gedang, Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya
berdiri pada tahun 1917 di Manado. Kesemuanya itu baik organisasi perempuan
dari organisasi partai umum maupun organisasi lokal kesukuan atau kedaerahan
bertujuan menggalakkan pendidikan dan pengajaran bagi perempuan dan
perbaikan kedudukan sosial dalam perkawinan dan keluarga serta meningkatkan
kecakapan sebagai ibu dan pemegang rumah tangga. Ada beberapa hal yang
menjadi fokus pejuang gerakan perempuan pada masa itu yaitu gerak kemajuan
pada tahun-tahun sebelum 1920 dapat dikatakan lamban. Hal ini disebabkan oleh
kurangnya sekolah-sekolah untuk wanita pribumi, tidak adanya izin dari orang tua
di kalangan atas atau diperlukan tenaganya untuk membantu orang tua di kalangan
bawah. Di samping itu adat dan tradisi sangat menghambat kemajuan wanita.18
Dalam Sarekat Islam terikat divisi peperangan adalah bernama Wanudiyo
Utomo dan kemudian Sarekat Perempuan Islam Indonesia. Dalam Kongres
Sarekat Islam pada bulan April 1929 di Surabaya, Sarekat Perempuan Islam
Indonesia bertentangan dengan Persatuan Puteri Indonesia mengenai poligami.
Bagian Wanita Muhammadiyah adalah Aisiyah yang juga tidak ikut mencampuri
masalah persoalan politik seperti ibu perkumpulannya yaitu Muhammadiyah.
Mengenai masalah poligami menurut Aisiyah sependirian dengan bagian Wanita
Sarekat Islam. Mereka juga menentang keras adat Barat seperti pakaian, tata
rambut, cara hidup, kesenangan dan sebagainya karena dianggapnya bertentangan
dengan adat Islam. Wanita Perti sebagai bagian dari Persatuan Tarbiyah Islamiyah
di dirikan pada tahun 1928. Bagian Wanita Sarekat Ambon adalah Ina Tuni
membantu aksi Sarekat Ambon dikalangan militer Ambon. Bagian Wanta ini
berhaluan politik seperti Sarekat Ambon juga.
Perhimpunan perempuan lainnya ialah organisasi pemudi terpelajar,
seperti Puteri Indonesia dan Jong Islamieten Bond Dames Afdeling, Jong Java
Meisjeskring, Organisasi Taman Siswa. Kemajuan gerakan Wanita sesudah tahun
1920, terlihat juga dengan makin banyaknya perkumpulan-perkumpulan Wanita
kecil yang berdiri sendiri. Hampir di semua tempat yang agak penting ada
pekumpulan wanita. Seperti pada masa sebelum 1920, perkumpulan-perkumpulan
itu mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk belajar masalah kepandaian putri
yang khusus. Menjelang tahun 1928, organisasi wanita berkembang lebih pesat.
Sikap yang dinyatakan oleh organisasi-organisasi wanita pada waktu itu,
umumnya lebih tegas, berani dan terbuka. Perkembangan kearah politik makin
tampak terutama yang menjadi bagian dari Sarekat Islam, Partai Komunis
Indonesia, Partai Nasional Indonesia dan Persatuan Muslimin Indonesia.
Gerakan Perempuan Indonesia pada fase ini sudah lebih matang untuk
menyetujui anjuran dan panggilan kebangsaan, faham Indonesia bersatu yang di
hidup-hidupkan antara lain oleh Perhimpunan Indonesia dan Partai Nasional
Indonesia. Maka berlangsunglah Kongres Perempuan Indonesia yang pertama di
Jogyakarta pada tanggal 22-25 Desember 1928. Kongres ini merupakan lembaran
menggalang kerjasama untuk kemajuan wanita khususnya dan masyarakat pada
umumnya. Ciri utama kesatuan pergerakan perempuan Indonesia pada masa ini
ialah berasaskan kebangsaan dan menjadi bagian pergerakan kebangsaan
Indonesia. Pokok-pokok permasalahan yang dibicarakan di antaranya ialah
kedudukan perempuan dalam perkawinan, poligami dan koedukasi. Masalah
politik nasional melawan penjajahan tidak menjadi pokok bahasan dan Kongres
berpendirian berhaluan kooperasi terhadap pemerintah Belanda (Nederlands
Indie).19
Kongres menghasilkan keputusan dibentuknya badan permufakatan
organisasi-organisasi wanita dengan nama Perserikatan Perkumpulan Perempuan
Indonesia dan bertujuan untuk memberi penerangan dan menjadi forum
komunikasi antar organisasi perempuan. Kongres tersebut menghasilkan tiga buah
mosi yang ditujukan kepada pemerintah Belanda (Nederlands Indie) yaitu
menambah sekolah-sekolah untuk anak perempuan, memberikan keterangan nikah
mengenai taklik janji dan syarat perceraian serta membuat peraturan untuk
memberi sokongan kepada janda-janda dan anak-anak piatu pegawai pemerintah.
2. Gerakan Perempuan Dan Media Massa
Gerakan Perempuan Indonesia sejak semula menyadari pentingnya media
massa bagi perjuangannya. Alat media massa seperti surat kabar dan majalah
berfungsi untuk menyebarkan gagasan kemajuan wanita dan juga sebagai sarana
praktis pendidikan dan pengajaran. Tulisan dan karangan ditulis dalam bahasa
Melayu, Belanda dan Jawa. Sebagian besar pengarang dan yang membantu
penerbitan majalah Gerakan Wanita pada periode itu adalah guru-guru wanita
yang berpendidikan Barat. Guru wanita ketika itu merupakan kaum elite di bidang
kebudayaan.
Majalah pertama Putri Hindia terbit pada tahun 1909 di Bandung, dalam
dua kali sebulan oleh golongan atas seperti R.A. Tjokroadikusumo. Hingga tahun
1925 sudah di terbitkan sebelas macam media massa seperti koran dan majalah
yang tersebar di Jawa, Sumatera dan Sulawesi.
Surat kabar Sunting Melayu terbit pada 10 Juli 1912 di Padang. Surat
kabar Sunting Melayu ini terbit tiga kali seminggu. Surat kabar ini merupakan
pusat kegiatan pemudi, putri maupun wanita yang telah bersuami yang berisi
masalah politik, anjuran kebangkitan wanita Indonesia dan cara menyatakan
pikiran para penulisnya dalam bentuk prosa dan puisi. Sampai tahun 1920
pemimpin redaksinya ialah Hohana Kudus.
Kemudian surat kabar Wanito Sworo terbit pada tahun 1913 di Pacitan
sebuah kota kecil di pantai samudera indonesia di Madiun yang dipimpin oleh Siti
Sundari dengan huruf dan bahasa Jawa, tetapi kemudian sebagian berbahasa
Melayu. Media lain yang tersebut adalah majalah Putri Mardika terbit pada tahun
1914 di Jakarta Majalah bulanan ini berisikan artikel-artikel yang ditulis dalam
bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan berhaluan maju seperti masalah permaduan,
pendidikan campuran laki-laki dan wanita, kelonggaran bergerak bagi kaum
wanita, kesempatan pendidikan dan pengajaran.
Penuntun Isteri edisi Sunda terbit tahun 1918 di Bandung. Isteri Utomo
terbit di Semarang. Suara Perempuan dengan redaksi seorang guru wanita
bernama Saada terbit di Padang. Perempuan Bergerak terbit pada tahun 1920 di
Medan dengan pimpinan redaksi Satiaman Parada Harahap diperkuat oleh
Rahana.
c. Periode Kesadaran Nasional (1928 - 1941)
Pada periode sebelumnya lingkup kegiatan hampir semua organisasi
wanita masih terbatas pada masalah emansipasi dan usaha menjadikan wanita
lebih sempurna dalam menjalankan peran tradisionilnya sebagai wanita. Namun
pada periode ini mulai muncul organisasi-organisasi yang membuka wawasan
melebihi lingkup rumah tangga dan keluarga. Organisasi-organisasi baru ini
menjadikan masalah-masalah politik dan agama sebagai pokok perhatiannya.
Perkumpulan Perempuan Indonesia menolak mencampuri urusan politik dan
agama.
Perkembangan terakhir ini sebenarnya telah dirintis jauh sebelumnya,
yaitu pada tahun 1919 ketika Siti Soendari mendirikan organisasi Putri Budi Sejati
di Surabaya Organisasi ini merupakan organisasi wanita yang cukup besar serta
berdikari, dan mendasarkan perjuangannya pada cita-cita kebangsaan. Arah baru
ini diikuti oleh Isteri Sedar yang didirikan di Bandung pada tahun 1930. Isteri
Sedar berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dimana penghargaan dan
kedudukan wanita dan laki-laki sama dan sejajar. Organisasi ini juga bersikap
kritis terhadap norma-norma adat, tradisi dan agama yang pada prakteknya
merugikan kaum wanita. Isteri sedar bersikap anti dan selalu dengan pedas
menyerang imperialisme dan kolonialisme.20
Pada kongresnya yang kedua tahun 1935, ketiga tahun 1938 dan keempat
tahun 1941, Perikatan perkumpulan Perempuan Indonesia membicarakan sekitar
kewajiban kebangsaan walaupun tetap dengan tekanan pada kewajiban menjadi
Ibu Bangsa, masalah hak memilih dalam badan-badan perwakilan dan dewan
kota, serta beberapa masalah politik lainnya.
2. Zaman Pendudukan Bala Tentara Jepang (1942 - 1945)
Dengan menyerahnya Jendral Ter Poorten tanpa syarat di Kalijati pada
tanggal 9 Maret 1942 kepada Jendral lmamura, berakhirlah penjajahan Belanda
atas lndonesia. Dengan demikian berpindah tangan nasib bangsa lndonesia kepada
penjajah yang baru Jepang. Belanda tidak pernah percaya kepada ajakan
tokoh-tokoh politik bangsa lndonesia untuk bersama-sama berjuang anti fasis,
sebaliknya Belanda lebih percaya kepada Jepang. Padahal sudah tahu lebih dulu,
bahwa Jepang sudah mengincar lndonesia untuk memperoleh kekayaannya,
terutama minyak yang sangat dibutuhkannya untuk keperluan industrinya.
Kekejaman fasis Jepang selama pendudukannya di lndonesia bahkan
makin membulatkan tekad seluruh bangsa untuk membebaskan diri dari setiap
penjajahan asing dan memperjuangkan kemerdekaan tanah airnya. Salah satu
tindakannya yang pertama ialah Jepang melarang semua organisasi yang ada dan
membubarkannya. Dengan bantuan orang-orang bekas pegawai dinas rahasia
Belanda yang bernama Politiek Inlichtingen Dienst menangkapi elemen-elemen
anti fasis di kalangan bangsa Indonesia tidak dikecualikan organisasi-organisasi
wanita juga dibubarkan. Kemudian dibentuk organisasi-organisasi baru dengan
dalih sebagai propaganda untuk kepentingan dan kemakmuran bangsa-bangsa
Asia Timur Raya. Dengan sendirinya organisasi-organisasi yang tidak mau masuk
perangkap kerjasama dengan penguasa fasis, terpaksa bergerak dibawah tanah.
Taktik Jepang merangkul Bangsa Indonesia dengan cara Bahasa Belanda dilarang
dan bahasa Indonesia secara resmi digunakan sebagai bahasa komunikasi umum,
sistem sekolah Belanda seperti ELS, HIS, HCS dan lainnya dibubarkan dan
diganti dengan sekolah Rakyat 6 tahun.
Ketika pusat tenaga rakyat akhirnya dilebur dalam organisasi baru
Himpunan Kebaktian Rakyat Jawa, maka Fujinkai dijadikan bagian wanitanya
dengan cabang didaerah-daerah. Kegiatan Fujinkai dibatasi hanya pada
urusan-urusan kewanitaan dan peningkatan ketrampilan domestik selain kegiatan
menghibur tentara yang sakit dan kursus buta huruf. Bagi para wanita yang
mempunnyai wawasan luas, pembatasan ini merisaukan dan mereka tidak ikut
masuk Fujinkai. Kenyataan ini menjadikan adanya dua jenis orientasi dikalangan
aktivis wanita yaitu mereka yang bekerjasama dengan pemerintah Balatentara Dai
Nippon dan yang tidak bekerjasama serta memilih bergerak diam-diam dibawah
tanah.
3. Replublik Indonesia (1945-1990)
Pada zaman Republik Indonesia ini pergerakan perempuan di Indonesia
dapat dikelompokkan menjadi beberapa periode, yaitu :
a. Periode 1945-1965
Revolusi Agustus 1945 mendobrak ikatan-ikatan adat dan tradisi yang
sebelumnya menghambat gerak maju wanita. Penderitaan dan penghinaan selama
pokok tidak dihiraukan lagi. Seluruh rakyat merasa terpanggil untuk ikut berjuang
membela dan mempertahankan kemerdekaan. Organisasi-organisasi wanita pada
umumnya diwaktu itu mengutamakan usaha-usaha perjuangan, baik di garis
belakang dengan mengadakan dapur umum dan pos-pos Palang Merah maupun di
garis depan dengan nama suatu badan perjuangan maupun tergabung dengan
organisasi-organisasi lain. Timbul laskar-laskar perempuan di mana tugas-tugas
mereka sangat luas, digaris depan, dimedan pertempuran, melakukan kegiatan
intel, jadi kurir, menyediakan dan mengirimkan makanan kegaris depan,
membawa kaum pengungsi dan memberi penerangan.
Dalam kesibukan revolusi fisik maupun dalam bidang sosial politik,
pergerakan wanita berbenah diri untuk menggalang persatuan yang kuat. Kongres
pertama diadakan di Klaten pada bulan Desember 1945, dengan maksud
menggalang persatuan dan membentuk badan persatuan. Persatuan Wanita
Indonesia dan Wanita Negara Indonesia dilebur menjadi badan fusi dengan nama
Persatuan Wanita Republik Indonesia.
Pada bulan Februari 1946 di Solo, lahirlah Badan Kongres Wanita
Indonesia. Pada bulan juni 1946 diselenggarakan Kongres Wanita Indonesia di
Madiun, yang merupakan Kongres Wanita Indonesia ke 5. Sesuai dengan
kebijaksanaan pemerintah untuk menembus blokade ekonomi dan politik,
Kongres memutuskan antara lain mulai mengadakan hubungan dengan luar
negeri. Maka dari itu Kongres Wanita Indonesia menjadi anggota Women's
International Democratic Federation. Di jiwai oleh tekad untuk ikut serta dalam
pembangunan jaringan kerjasama Internasional, mendukung pergerakan wanita
selanjutnya menyusun program kerja, yang tidak hanya meliputi bidang
pembelaan negara, tetapi juga bidang sosial, politik, pendidikan dan lainnya sesuai
dengan derap perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan Republik pada
waktu itu.
Sesudah tahun 1950 masalah-masalah politik semakin banyak minta
perhatian. Bermacam persoalan yang berkaitan dengan masalah penyusunan
kekuatan partai-partai politik. Perhatian masyarakat mulai di sita oleh persiapan
1955. Makin banyak kegiatan kaum perempuan yang ditujukan kepada
masalah-masalah politik, mengingat usaha masing-masing aliran politik untuk tampil
sebagai pemenang dalam pemilihan umum. Tapi tidak dilupakan juga, masalah
rutin sebelumnya seperti memperjuangkan peraturan perkawinan yang tidak
merugikan kaum perempuan. Organisasi-organisasi yang berafiliasi pada partai
politik sibuk membantu partai induknya mempersiapkan diri menghadapi pemilu
sampai tahun 1965 dapat dikatakan bahwa lingkup perhatian dan wawasan kaum
perempuan cukup luas dan mendunia, di samping merupakan cerminan dari aliran
politik ditingkat nasional.
b. Periode Diktator Militer 1965-1990
Sejak golongan militer mendominasi panggung kekuasaan pemerintahan
Orde Baru, partisipasi politik masyarakat melalui organisasi politik dan organisasi
sosial semakin terbatas dan dikendalikan. Karena itu, nampaknya tidaklah terlalu
meleset jika dinyatakan bahwa arti sebenarnya dari istilah demokrasi Pancasila
tersebut adalah semakin dominannya peran pemerintah dalam hampir semua
aspek kehidupan masyarakat. Atas nama tuntutan pembangunan ekonomi yang
dinyatakan sebagai sarat utama membutuhkan stabilitas politik, pemerintah
menerapkan beberapa kebijakan bagi organisasi-organisasi massa termasuk
organisasi perempuan. Dalam hal ini, kebijakan utama yang dikenakan pada
organisasi perempuan adalah dilakukannya penyempitan jumlah, pemusatan
organisasi, penyatuan koordinasi, dan uniti jenis program.
Ekspansi gerakan organisasi bentukan pemerintah diatas dan lembaga
resmi yang mengkoordinasikannya, ditunjang oleh peraturan pemerintah sebagai
kekuatan dominan. Keberadaan kekuatan dominan tersebut telah menyulitkan
daya hidup dan ruang gerak organisasi-organisasi perempuan yang telah sejak
lama hidup dimasyarakat. Dengan demikian, akhirnya pada masa Orde Baru ini
muncul dua jenis organisasi perempuan, yaitu organisasi pemerintah dan non
pemerintah. Perkembangan terakhir ini menandai terjadinya polarisasi secara
tegas dalam gerakan perempuan serta berlangsungnya proses penyempitan ruang
c. Periode Reformasi
Bila sistem pemerintahan yang semakin demokratis dianggap paling
kondusif bagi pemberdayaan perempuan, maka di era reformasi ini semestinya
pemberdayaan perempuan di Indonesia semakin menemukan bentuknya. Bila
ukuran telah berdayanya perempuan di Indonesia dilihat dari kuantitas peran di
sejumlah jabatan strategis, baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif.
Hanya saja harus tetap diakui bahwa angka-angka peranan perempuan di
sektor strategis tersebut tidak secara otomatis menggambarkan kondisi perempuan
di seluruh tanah air. Bukti nyata adalah angka kekerasan terhadap perempuan
masih sangat tinggi. Bila pada jaman lampau kekerasan masih berbasis kepatuhan
dan dominasi oleh pihak yang lebih berkuasa dalam struktur negara dan budaya
termasuk dalam rumah tangga, maka kini diperlengkap dengan adanya basis
industrialisasi yang mensuport perempuan menjadi semacam komoditas.21
B. Bentuk Dan Karakteristik Gerakan Politik Perempuan Di Indonesia 1. Bentuk Formal Gerakan Politik Perempuan Di Indonesia
Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok
terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan
cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik
dan merebut kedudukan politik yang biasanya dengan cara konstitusional untuk
melaksanakan programnya. Politik adalah proses pembentukan dan pembagian
kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses keputusan
khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara
berbagai definisi yang berbeda mengenai hakekat politik yang dikenal dalam ilmu
politik. Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional
dan non konstitusional.22 Partai politik merupakan keharusan dalam kehidupan
politik yang modern dan demokratis. Sebagai suatu partai politik secara ideal
dimaksudkan untuk mengaktifkan dan memobilasi rakyat mewakili kepentingan
tertentu memberikan jalan kompromi bagi pendapat yang saling bersaing, serta
menyediakan sarana suksesi kepemimpinan secara legimasi dan damai.
Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2002 sebagai penyempurnaan atas
Undang-Undang No. 2 Tahun 1999 tentang partai politik sebagai organisasi yang
dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas
dasar persamaan kehendak cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota
masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan.
2. Bentuk Non Formal Gerakan Politik Perempuan Di Indonesia
Komunis adalah salah satu ideologi yang tumbuh dan berkembang hingga
saat ini, dimana faham ini berasal dari Manifest Der Kommunistischen yang
ditulis oleh Karl Marx dan Frederich Engels pada 21 Febuari 1848 sebagai koreksi
dari faham kapitalisme yang dianut dan berkembang di negara-negara Eropa yang
pada prinsipnya semua adalah direpresentasikan sebagai semua milik rakyat dan
oleh karena itu seluruh alat-alat produksi harus dikuasai oleh negara guna
kemakmuran rakyat secara merata oleh kita untuk kita. Akan tetapi dalam
perkembangan selanjutnya muncul beberapa fraksi internal dalam komunisme
antara penganut komunis teori dengan komunisme revolusioner yang dimana pada
masing-masing fraksi mempunyai teori dan cara perjuangan yang saling berbeda
dalam pencapaian sosialis untuk menuju dengan apa yang disebutkan sebagai
masyarakat utopia.
Kelahiran komunisme di Indonesia tak jauh dengan hadirnya orang-orang
buangan dari Belanda ke Indonesia dan mahasiswa-mahasiswa jebolan yang
beraliran kiri. Mereka diantaranya Sneevliet, Bregsma, dan Tan Malaka yang
terakhir masuk setelah Sarekat Islam di Semarang sudah terbentuk. Alasan kaum
pribumi yang mengikuti aliran tersebut di karenakan tindakan-tindakannya yang
melawan kaum kapitalis dan pemerintahan. Gerakan komunis di Indonesia diawali
di Surabaya, yakni didalam diskusi intern para pekerja buruh kereta api Surabaya
yang dikenal dengan nama Vereeniging Van Spoor En Tramweg Personal
(VSTP). Pada awalnya Vereeniging Van Spoor En Tramweg Personal (VSTP)
Salah satu anggota yang menjadi besar adalah Semaun kemudian menjadi
ketua Sarekat Islam Semarang. Komunisme Indonesia mulai aktif di Semarang
atau sering disebut dengan Kota Merah setelah basis Partai Komunis Indonesia
diera tersebut. Hadirnya Indische Sociaal Democratische Vereeniging (I.S.D.V)
dan masuknya para pribumi berhaluan kiri kedalam Sarekat Islam menjadikan
komunis sebagian cabangnya karena tak otonomi yang menciptakan Pemerintah
Kolonial atas organisasi lepas menjadi salah satu ancaman bagi pemerintah.
Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) menjadi salah satu
organisasi yang bertanggung jawab atas banyaknya pemogokan buruh di jawa.
Pada tanggal 23 Mei 1920, Indische Social Democratische Vereeniging
(I.S.D.V) yang didirikan di Semarang sepuluh tahun sebelumnya berganti nama
menjadi Perserikatan Komunis di India. Kata perserikatan dalam bahasa Melayu
merupakan terjemahan dari kata Belanda, yaitu Partij. Sedangkan nama Partai
Komunis Indonesia itu sendiri menurut dokumen awal dari organisasi tersebut
merupakan pendekatan dari bahasa Melayu Dalam kongres bulan Juni 1924 di
Weltervreden sekarang Jakarta pusat. Perserikatan Komunis di India diubah
namanya menjadi Partai Komunis Indonesia. Sejak tahun 1922 sudah terdapat
sebuah organisasi politik yang bernama Indonesiche Vereenigingyang kemudian
diterjemahkan menjadi Perhimpunan Indonesia. Tapi organisasi tersebut berada di
Nederland bukan di negeri jajahan.
Partai Komunis Indonesia juga merupakan salah satu organisasi politik
Indonesia pertama yang menggunakan konsepsi Partai dalam nama resminya
bahasa Melayu. Pergantian kata Perserikatan menjadi Partai merupakan bagian
dari konflik terbuka sejak tahun 1922 di dalam tubuh Sarekat Islam. Sejak awal
tahun 1910 dan di sepanjang tahun 1920, merupakan suatu gerakan sosial politik
yang berpengaruh suatu gerakan yang pertama kali mengambil corak sosial politik
di Indonesia, di mana organisasinya tidak lagi membatasi dalam lingkaran
tertentu, baik secara sosiologis maupun geografis dan berkembang tidak hanya di
Pulau Jawa melainkan juga di Sumatera dan kawasan lainnya. Untuk menegaskan
perbedaan tersebut, para pemimpin Sarekat Islam kemudian mengusulkan agar
Partij dan melarang anggotanya menjadi anggota partai yang lain pada saat yang
bersamaan.
Pada dasarnya, pandangan muslim mengenai perempuan yang berpolitik
ini tidaklah tunggal. Maksudnya, perempuan berpoltik tidak biasa dilihat dari satu
sisis saja. Karena suara perempuan juga diperlukan dalam dalam urusan
pemerintahan politik. Karena masalah yang dihadapi perempuan, perempuan itu
sendirilah yang mengetahuinya. Setidaknya menurut penuturan Syafiq Hasyim
ada tiga pendapat yang berkembang yang membicarakan perempuan didunia
politik yaitu :
a. Pendapat konservatif yang menyatakan bahwa Islam adalah fiqih, yaitu tidak
memperkenankan perempuan untuk terjun ke ruang politik. Hal ini dikarenakan
mereka menganggap bahwa tempat yang terbaik perempuan adalah rumahnya.
b. Pendapat liberal progresif yang menyatakan bahwa Islam sejak awal telah
mempekenankan konsep keterlibatan perempuan dalam bidang politik. Hal ini
dikarenakan mereka berpendapat bahwa istri Rasullah SAW juga aktif dalam
urusan pemerintah pada zaman itu.
c. Pendapat apologetis yang menyatakan bahwa ada bagian wilayah politik
tertentu yang bisa dimasuki perempuan dan ada bagian wilayah tertentu yang
sama sekali tidak boleh dijamah oleh perempuan.Wilayah yang sama sekali
tidak boleh dimasuki oleh perempuan yaitu menjadi kepala negara (Presiden).
Sedangkan yang boleh yaitu, hanya sebatas aktif di politik.
Partisipasi peran perempuan dalam politik di Indonesia merupakan salah
satu cerminan dari adanya keadilan di dalam demokrasi yang sekarang sedang
berusaha diwujudkan di dalam masa transisi. Aspek partisipsi perempuan di
dalam demokrasi bukanlah sesuatu yang dating tiba-tiba melainkan memerlukan
kesadaran dan kepedulian dari seluruh masyarakat kita.
Namun sayangnya kondisi partisipasi perempuan di panggung politik
masih sangat rendah, dimana sistem politik di Indonesia masih didominasi oleh
kaum laki-laki sehingga dengan sendirinya bila diberlakukan kondisi alamiah,
maka panggung politik tetap akan didominasi secara mayoritas oleh kaum
beragam persoalan yang dialami perempuan yang hak–haknya sering dirampas
dan belum di letakan sebagaimana mestinya oleh kebanyakan masyarakat di
mana masih tingginya tingkat kekerasan yang dialami oleh perempuan yang
dilakukan oleh oknum maupun institusi jelas merupakan pekerjaan besar yang
membutuhkan perhatian serius secara politik.23
C. Isu-isu Sentral Gerakan Politik Perempuan Di Indonesia 1. Isu Sentral Menurut Perkawinan
Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berkenaan
dengan mutlak adanya Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, maka
undang-undang perkawinan nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip
dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan
dan telah berlaku bagi berbagai golongan.24
Secara umum perkawinan dapat dikelompokkan kepada dua bentuk yang
utama yaitu Poligami dan Monogami.
a. Poligami
Kata Poligami terdiri dari poli dan gami. Secara etimologi kata poli berarti
banyak dan kata gami berarti isteri. Sedangkan secara terminologi poligami adalah
seorang laki-laki yang telah bersetatus sebagai seorang suami memiliki isteri lebih
dari satu atau beristeri lebih dari seorang tetapi di batasi sampai empat.25 Untuk
memastikan amalan poligami secara lebih adil dan dapat menjamin kesejahteraan
hidup umat, maka sebelum melakukan poligami seseorang haruslah memikirkan
secara baik perkara yang berkaitan dengan syarat-syarat berpoligami yang harus
wajib dipenuhi. Adapun syarat-syarat poligami adalah sebagai berikut :
23 Nelly Armayanti, Partisipasi Perempuan Dalam Gerakan Politik, (Medan: Universitas Sumatera Utara Press, 2007), h.58-59.
24 Prof.R.Subekti,S.H. Dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata(Bab Perkawinan), h.449.
1 Berkemampuan untuk menanggung nafkah isteri-isteri
Suami berkewajiban menanggung nafkah isteri zahir dan batin tidak kira sama
ada dia mempunyai seorang isteri atau lebih. Nafkah zahir yang dimaksudkan
seperti makan, minum, pakaian, kediaman dan perbutan. Sedangkan nafkah
batin ialah suami berkeupayaan memberikan kemampuan dalam melakukan
hubungan seks kepada isteri.
2 Mampu untuk berlaku adil kepada isteri-isteri
Menurut Abu al-Aynayn keadilan bermaksud penyamaratan terhadap semua
isteri tanpa wujud pilih kasih di antara mereka. Keadilan ini di dalam
perkara-perkara ikhtiari dan lahiriah yang melibatkan beberapa aspek yaitu seperti
nafkah, pakaian, penempatan, giliran bermalam dan musafir.26
Dalam sub-judul “Poligami dan Keadilan” tertulis meskipun dalam Islam
membolehkan poligami, namun syarat yang harus dipenuhi tidaklah main-main.
Keadilan yang tidak semua orang sanggup melaksanakannya. Bahkan dengan
tegas Allah SWT memastikan bahwa manusia tidak akan dapat berlaku adil dan
kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil terhadap istri-istrimu, walaupun
kamu sangat ingin berbuat demikian. Dengan argumentasi di atas tersebut, maka
tampaknya terdapat penegasan akan ketidakmungkinan pelaksanaan poligami
meski Islam membolehkannya.
b. Monogami
Kata monogami berasal dari bahasa yunani yaitu monos yang berarti satu
atau sendiri dan gamos yang berarti pernikahan. Monogami berarti perkawinan
antara seorang pria dan seorang wanita. Sebenarnya Undang-Undang Perkawinan
Republik Indonesia No. 1 tahun 1974 juga menganut asas monogami, akan tetapi
asas ini tidak dipegang teguh karena membuka pintu untuk poligami, tetapi tidak
untuk poliandri. Implikasi atau konsekuensi monogami disini lebih dipusatkan
pada hukum dan moral dengan berpangkal pada kesamaan hak pria dan wanita
yang setara sehingga poligami dan poliandri disamakan :
1. Mengesampingkan poligami simultan dituntut ikatan perkawinan dengan
hanya satu jodoh pada waktu yang sama.
2. Mengesampingkan poligami suksesif artinya berturut-turut kawin cerai,
sedangkan hanya perkawinan pertama yang dianggap sah sehingga perkawinan
berikutnya tidak sah. Kesimpulan ini hanya dapat ditarik berdasarkan posisi
dua sifat perkawinan seperti yang dicanangkan 1056 monogami eksklusif dan
tak terputuskannya ikatan perkawinan. Implikasi dan konsekuensi ini lain tetapi
hal ini termasuk moral ialah larangan hubungan intim dengan orang ketiga.27
2. Isu-Isu Gender Dalam Hukum Adat
Hukum adat sebagai hukum rakyat Indonesia dengan corak dan sifat
beraneka ragam yang sebagian besar tidak tertulis dan dibuat serta ditaati oleh
masyarakat terdiri dari hukum adat pidana, tata negara, kekeluargaan, perdata,
perkawinan dan waris.
Di Indonesia pada dasarnya terdapat tiga sistem kekeluargaan atau
kekerabatan yakni :
a. Sistem kekerabatan patrilinial, yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis
keturunan dari garis laki-laki, sistem ini dianut di Tapanuli, Lampung dan Bali.
b. Sistem kekerabatan matrilinial, yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis
keturunan dari garis perempuan, sistem ini dianut di Sumatra Barat daerah
terpencil.
c. Sistem kekerabatan parental, yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis
keturunan dari garis laki-laki dan perempuan, sistem ini dianut Jawa, Madura,
Sumatra Selatan dan lain-lainnya.28
Walaupun terdapat tiga sistem kekerabatan atau kekeluargaan yaitu sistem
kekerabatan matrilinial, patrilinial dan parental namun kekuasaan tetap berada di
tangan laki-laki hal ini sebagai akibat dari pengaruh idiologi patriarki. Sistem
kekerabatan dalam matrilinial yang dianut pada masyarakat Minangkabau di
27 Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, (Jakarta: Hidayakarya Agung, 1981), h.8.