• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran politisi perempuan PKS dalam memperjuangkan hukum berkeadilan gender

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran politisi perempuan PKS dalam memperjuangkan hukum berkeadilan gender"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh :

PUTRI CORIYANA SANDI

NIM: 104045201520

KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

JURUSAN SIYASAH SYAR’IYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Siyasah Syar’iyyah (S.Sy)

Oleh :

PUTRI CORIYANA SANDI 104045201520

KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

JURUSAN SIYASAH SYAR’IYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah Dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memeperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

Putri Coriyana Sandi NIM : 104045201520

KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(4)

Hukum Berkeadilan Gender, telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari rabu tanggal 24

Agustus 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Siyasah Syar’iyyah (S.Sy) pada Program Studi Jinayah Siyasah.

Jakarta, 13 September 2011 Mengesahkan

Dekan Fakultas Syariah Dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM

NIP.195505051982031012

Panitia Ujian Munaqasyah

Ketua : Dr. Asmawi, M.Ag

NIP. 19721010997031008

Sekretaris : Afwan Faizin, MA

NIP. 197210262003121001

Pembimbing I : Dr. Jaenal Aripin, M.Ag NIP. 197210161998031004

Pembimbing II : Mu’min Rouf, MA

NIP. 197004161997031004

Penguji I : Dr. Asmawi, M.Ag

NIP. 19721010997031008

Penguji II : Afwan Faizin, MA

(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skirpsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu

persyaratan memperoleh gelar strata 1 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan

ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya mendapatkan sanksi yang

berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 15 Syawal 1432 H 13 September 2011 M

Putri Coriyana Sandi

(6)

iv

Kesanggupan kita terhadap konsekuensi itulah yang seharusnya menjadi

pertimbangan tatkala hendak menjatuhkan pilihan”

Dengan segala kerendahaan hati

karya sederhana ini penulis persembahkan untuk :

Ayah dan Ibu tercinta yang senantiasa memberikan do’a serta berkorban

dalam mengasuh, membimbing dan mengenalkan arti hidup.

Akhmad Sujai tercinta yang senantiasa menemani penulis dalam suka

(7)

v

Allah SWT. Dialah sumber tempat bersandar, Dialah sumber kenikmatan hidup

yang tanpa batas, Rahman dan Rahim tetap menghiasi asma-Nya. Sehingga

penulis diberikan kekuatan fisik untuk dapat menyelesaikan skripsi ini yang

berjudul “Peran Politisi Perempuan PKS Dalam Memperjuangkan Hukum Berkeadilan Jender”.

Shalawat beserta salam tetap tercurahkan atas penghulu umat Islam Nabi

Muhammad SAW. Beserta para keluarganya, sahabat dan para pengikutnya yang

telah membuka pintu keimanan yang bertauhidan kebahagiaan, kearifan hidup

manusia dan pencerahan atas kegelapan manusia serta uswatun hasanah yang

dijadikan sebuah pembelajaran bagi muslim dan muslimah hingga akhir zaman.

Skripsi ini, penulis susun guna memenuhi syarat akhir untuk mencapai

Gelar Sarjana Hukum Islam (S1) pada Program Studi Jinayah Siyasah konsentrasi

Siyasah Syar’iyyah (HTNI) Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

Setulusnya dari lubuk hati yang paling dalam penulis menyadari bahwa

suksesnya penulisan skripsi ini penulis mendapat bantuan dan motifasi dari

berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada yang terhormat :

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, selaku Dekan

Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Bapak Dr. Asmawi, M.Ag, selaku Ketua Program Studi Jinayah Siyasah

Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

3. Bapak Afwan Faizin, MA, selaku Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah

Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

(8)

vi

meluangkan waktunya dan tenaganya untuk membimbing serta memberikan

saran dan kritik selama penulis mengerjakan skripsi ini.

6. Seluruh Staf Pengajar dan Karyawan Jurusan Jinayah Siyasah, Fakultas

Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Seluruh Staf dan Karyawan Perpustakaan Syariah dan Hukum, Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

8. Seluruh Staf dan Karyawan Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta.

9. Seluruh Staf dan Karyawan Dewan pengurus Pusat Partai Keadilan Sejahtera

Pimpinan Cabang Jakarta Pusat.

10. Keluarga tercinta, Ayahanda Subandi dan Ibunda Sinta Dewi serta kakanda

Akhmad Sujai, S.T., yang telah banyak memberikan semangat dan dukungan

baik material maupun sprituil kepada penulis.

11. Rekan-rekan mahasiswa angkatan 2004 Jurusan Jinayah Siyasah, Fakultas

Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah

membantu kelancaran penulis dalam merencanaan, membuatan dan menulis

Skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa pada penulisan Skripsi ini masih

jauh dari sempurna, baik secara materi maupun teknis penulisan. Maka untuk itu

penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna

kesempurnaan Skripsi ini.

Jakarta, 15 Syawal 1432 H 13 September 2011M

(9)

vii

A. Sejarah Gerakan Politik Perempuan Di Indonesia ………

1. Zaman Kolonial Belanda ………..

2. Zaman Pendudukan Bala Tentara Jepang ………

3. Republik Indonesia ………..

B. Bentuk Dan Karakteristik Gerakan Politik Perempuan Di

Indonesia ………...

1. Bentuk Formal Gerakan Politik Perempuan Di Indonesia …...

2. Bentuk Non Formal Gerakan Politik Perempuan Di Indonesia

(10)

viii BAB III

BAB IV

BAB V

PEREMPUAN DAN HUKUM PERUNDANG - UNDANGAN DALAM HUKUM BERKEADILAN GENDER

a.A. Definisi, Bentuk Dan Praktek Hukum Berkeadilan Gender …....

BB. Perempuan Dalam Legal Drafting UU Di DPR ………...

C. Produk Perundang-undangan Berkeadilan Gender ………...

PANDANGAN POLITISI PEREMPUAN PKS DALAM HUKUM BERKEADILAN GENDER

A. Dinamika PKS Dalam Politik Indonesia ………..

B. Isu-Isu Gender Dalam Perempuan PKS ………

C. Pandangan Politisi PKS Dalam Hukum Berkeadilan Gender …...

PENUTUP

A.Kesimpulan ………...

B. Saran ………. 35

43

54

58

68

71

86

87

(11)
(12)

x Perkawinan

Lampiran 2 : Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 2002 Tentang

(13)

1 A. Latar Belakang Masalah

Masalah gender sudah sering dibahas oleh pemerhati dalam berbagai

pertemuan-pertemuan, diskusi-diskusi, seminar-seminar dan lain-lainnya baik

pada tingkat lokal maupun pada tingkat nasional bahkan pada tingkat

inetrnasional. Walaupun demikian masih banyak orang tidak mengetahui dan

tidak mengerti apa sebenarnya gender tersebut. Pada hal tidaklah demikian karena

masalah gender dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu aspek hukum adat, pidana,

pajak, perdata, tata negara, aspek sosial, politik, ekonomi dan budaya.

Kata jender berasal dari bahasa Inggris, yaitu gender, yang berarti jenis

kelamin.1 Dalam Webster New World Of Dictonary, gender diartikan sebagai

perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan

tingkah laku.2Di dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender

adalah suatu konsep budaya yang berupaya membuat perbedaan (distinction)

dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki

dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.3

Menurut Hilary. M. Lips dalam bukunya yang terkenal, Sexs And Gender

An Introduction mengartikan jender sebagai harapan-harapan budaya terhadap

laki-laki dan perempuan (cultural expectations for women and men).4Pendapat ini

sejalan dengan pendapat umumnya tentang kaum feminis seperti menurut Linda.

L. Lindsey, yang menganggap semua ketetapan masyarakat perihal penentuan

seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah termasuk dalam bidang kajian

1 John M. Echols Dan Hassan Shadily,Kamus Inggris Indonesia, Cet.XII, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka,1998), h.265.

2 Celia Modgil, The Apparent Disparity Between Man And Women In Values And Behavior(New York: Webster Of Dictionary, 1984), h.561.

3 Helen Tierney (ed), Women’s Studies Encylopedia, Vol. 1, (New York: Green Press), h.153.

(14)

gender (What a given society defines as masculine or feminism is a component of

gender).5

Menurut H.T. Wilson dalam Seks dan Gender mengartikan gender sebagai

suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan

pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi

laki-laki dan perempuan.6 Sedangkan menurut Elaine Showalter mengartikan

jender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi

konstruksi sosial budaya. Elaine menekankannya sebagai konsep analisa (an

analytic concept) yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu.7

Meskipun kata jender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar

Bahasa Indonesia, istilah tersebut sudah banyak digunakan, khususnya di Kantor

Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan ejaan gender. Gender juga dapat

diartikannya sebagai interprestasi mental dan budaya terhadap perbedaan kelamin,

yaitu laki-laki dan perempuan. Gender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan

pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan.8

Gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan

laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya. Sementara itu, Seks secara umum

digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi

anatomi biologi. Istilah seks dalam kamus bahasa Indonesia juga berarti jenis

kelamin.9Sementara itu, gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial,

budaya, psikologi dan aspek-aspek non biologis lainnya.10 Pada hal tidaklah

demikian karena masalah gender dapat di lihat dari sejarah, dimana telah mencatat

bahwa kaum perempuan telah mengalami kenyatan pahit dari zaman dahulu

hingga sekarang ini. Mereka dianggap sebagai kaum yang tidak berdaya, lemah

dan selalu menjadi yang kedua. Berbagai bentuk diskriminasi dan perlakuan yang

5 Aidit. D.N,Wanita Komunis Pejuang Untuk Masyarakat Baru, (Jakarta: Ilmu Bintang Merah, 1957), h.216.

6 H.T.Wilson, Analisis Seks Dan Gender, Cet.1, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar), h.57. 7 Miriam Budiardjo, Dasar Dasar Ilmu Politik, Cet.I, (Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2008), h.403-404.

8 Firmanzah, Mengelolah Partai Politik Diera Demokrasi, Cet.I, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), h. 66.

(15)

tidak adil diterima oleh kaum perempuan. Kaum perempuan kemudian mencoba

berjuang untuk mendapatkan hak mereka sebagai manusia, Mulai dari hal yang

sangat kecil yaitu diskrimnasi di lingkungan hingga berbagai permasalahan lainya

seperti hak politik, sosial, ekonomi, budaya dan hukum.

Dalam kaitan dengan pengertian gender ini Astiti mengemukakan bahwa

gender adalah hubungan laki-laki dan perempuan secara sosial.11Hubungan sosial

antara laki-laki dan perempuan dalam pergaulan hidup sehari-hari dibentuk dan

diubah oleh masyarakat sendiri. Oleh karena itu sifatnya dinamis, artinya dapat

berubah dari waktu kewaktu dan dapat pula berbeda dari tempat yang satu dengan

tempat lainnya sejalan dengan kebudayaan masyarakat masing-masing.12

Upaya mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG), di Indonesia

dituangkan dalam kebijakan nasional sebagaimana ditetapkan dalam Garis-Garis

Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1999, Undang-Undang No. 25 Tahun 2000

tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004 dan

dipertegas dalam Instruksi Presiden No.9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan

Gender (PUG) dalam Pembangunan nasional, sebagai salah satu strategi untuk

mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender.

Disamping itu pengarusutamaan gender juga merupakan salah satu dari

empat key cross cutting issues dalam Propenas. Pelaksanaan PUG diisntruksikan

kepada seluruh departemen maupun lembaga pemerintah dan non departemen di

pemerintah nasional, propinsi maupun di kabupaten atau kota, untuk melakukan

penyusunan program dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi

dengan mempertimbangkan permasalahan kebutuhan, aspirasi perempuan pada

pembangunan dalam kebijakan, program atau proyek dan kegiatan.

Disadari bahwa keberhasilan pembangunan nasional di Indonesia baik

yang dilaksanakan oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat sangat tergantung

dari peran serta laki-laki dan perempuan sebagai pelaku dan pemanfaat hasil

pembangunan. Pada pelaksanaannya sampai saat ini peran serta kaum perempuan

11 Astiti,Jender Dalam Hukum Adat,(Jakarta: Word Press, 2000), h.1.

(16)

belum dioptimalkan. Oleh karena itu program pemberdayaan perempuan telah

menjadi agenda bangsa dan memerlukan dukungan semua pihak.

Penduduk wanita yang jumlahnya 49.9 % (102.847.415) dari jumlah total

(206.264.595) penduduk Indonesia sensus penduduk tahun 2000 merupakan

sumber daya pembangunan yang cukup besar. Partisipasi aktif wanita dalam

setiap proses pembangunan akan mempercepat tercapainya tujuan pembangunan.

Kurang berperannya kaum perempuan akan memperlambat proses pembangunan

atau bahkan perempuan dapat menjadi beban pembangunan itu sendiri.

Kenyataannya dalam beberapa aspek pembangunan, perempuan kurang

dapat berperan aktif. Hal ini disebabkan karena kondisi dan posisi yang kurang

menguntungkan dibanding laki-laki. Seperti peluang dan kesempatan yang

terbatas dalam mengakses dan mengontrol sumber daya pembangunan, sistem

upah yang merugikan, tingkat kesehatan dan pendidikan yang rendah, sehingga

manfaat pembangunan kurang diterima kaum perempuan.

Berbagai upaya pembangunan nasional yang selama ini diarahkan untuk

meningkatkan kualitas sumber daya manusia, baik perempuan maupun laki-laki,

ternyata belum dapat memberikan manfaat yang setara bagi perempuan dan

laki-laki. Bahkan belum cukup efektif memperkecil kesenjangan yang ada. Hal ini

menunjukkan bahwa hak-hak perempuan memperoleh manfaat secara optimal

belum terpenuhi sehingga pembangunan nasional belum mencapai hasil yang

optimal, karena masih belum memanfaatkan kapasitas sumber daya manusia

secara penuh.

Faktor penyebab terjadinya kesenjangan gender yaitu tata nilai sosial

budaya masyarakat, umumnya lebih mengutamakan laki-laki daripada perempuan

(ideologi patriarki). Peraturan perundang-undangan masih berpihak pada salah

satu jenis kelamin dengan kata lain belum mencerminkan kesetaraan gender.

Penafsiran ajaran agama yang kurang komprehensif atau cenderung tekstual

kurang kontekstual, cenderung dipahami parsial kurang kholistik. Kemampuan,

kemauan dan kesiapan perempuan sendiri untuk merubah keadaan secara

(17)

eksekutif, yudikatif, legislatif terhadap arti, tujuan, dan arah pembangunan yang

responsif gender.

Adanya kesenjangan pada kondisi dan posisi laki-laki dan perempuan

menyebabkan perempuan belum dapat menjadi mitra kerja aktif laki-laki dalam

mengatasi masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik yang diarahkan pada

pemerataan selain pembangunan. Selain itu rendahnya kualitas perempuan turut

mempengaruhi kualitas generasi penerusnya, mengingat mereka mempunyai

peran reproduksi yang sangat berperan dalam mengembangkan sumber daya

manusia masa depan.

Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dapat dilihat dalam

berbagai bidang kehidupan antara lain dalam bidang politik, sosial, ekonomi,

budaya dan hukum (baik hukum tertulis maupun tidak tertulis). Hubungan sosial

antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan tersebut pada

umumnya menunjukan hubungan yang subordinatif yang artinya dimana bahwa

kedudukan perempuan lebih rendah bila dibandingkan dengan kedudukan

laki-laki.

Hubungan yang subordinatif tersebut dialami oleh kaum perempuan di

seluruh dunia karena hubungan yang subordinatif tidak saja dialami oleh

masyarakat yang sedang berkembang seperti masyarakat Indonesia, namun juga

dialami oleh masyarakat negara-negara yang sudah maju seperti Amerika Serikat

dan lainnya. Keadaan yang demikian tersebut dikarenakan adanya pengaruh dari

idiologi patriarki yakni idiologi yang menempatkan kekuasaan pada tangan

laki-laki dan ini terdapat di seluruh dunia. Keadaan seperti ini sudah mulai mendapat

perlawanan dari kaum feminis, karena kaum feminis selama ini selalu berada pada

situasi dan keadaan yang tertindas. Oleh karenanya kaum feminis berjuang untuk

menuntut kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki dalam berbagai bidang

kehidupan agar terhindar dari keadaan yang subordinatif tersebut.

Di Indonesia sebenarnya perjuangan kaum feminis untuk menuntut

kedudukan yang sama dengan laki-laki atau terhadap kekuasaan patriarki sudah

dimulai jauh sebelum Indonesia merdeka yang mana dipelopori oleh R.A. Kartini.

(18)

yang tersirat pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 Ayat 1 yang berbunyi

segala warga negara bersamaan kedudukannya didepan hukum dan pemerintahan

dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecuali.

Di samping itu, berbagai produk perundang-undangan yang telah

dikeluarkan sebagai realisasi tuntutan persamaan hak dan kedudukan perempuan

dengan laki-laki, antara lain Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang pengesahan konvensi

mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan,

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Di antara produk

perundang-undangan tersebut yang paling tegas mengatur tentang penghapusan

segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan adalah Undang-Undang No. 7

Tahun 1984. Meskipun begitu kedudukan subordinasi terhadap perempuan dalam

kenyataannya masih tetap ada dalam berbagai bidang kehidupan.

Hak politik perempuan di dunia public sebenarnya telah ada dan tertuang

dalam konvensi PBB tentang penghapusan Penghapusan segala bentuk

Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW - The Unconvention On The

Elimination Of All Forms Of Dicrimination Against Women) yang disahkan dan

diterima oleh Dewan Umum PBB pada tahun 1979. Sebagai ratifikasi dari

konvensi tersebut muncul Undang-Undang Pemilu No. 12 Tahun 2003 tentang

kuata keterwakilan perempuan yang mencapai 30% di parlemen. Data berikut

penjelaskan kompisisi anggota DPR RI berdasarkan jenis kelamin.

Tabel 1.1 Jumlah Anggota DPR RI hasil Pemilu Tahun 2004.13

No Partai Perempuan Persen Laki-Laki Persen Jumlah

1 GOLKAR 18 14 110 86 128

2 PDIP 12 11 97 89 109

3 PPP 3 5,17 55 94,82 58

4 DEMOKRAT 6 10,52 49 89,47 55

5 PKB 7 13,46 45 86,53 52

(19)

6 PAN 7 13,46 46 86,53 57

7 PKS 3 6,66 42 93,33 45

8 PBR 2 15,38 12 84,61 14

9 PBB 0 0 11 100 11

10 PDS 3 25 9 75 13

11 PDK 0 0 4 100 4

12 PKPB 0 0 2 100 2

13 PELOPOR 1 33 2 66 3

14 PKPI 0 0 1 100 1

15 PNI 0 0 1 100 101

16 PPDI 62 11,27 487 88,73 550

Jumlah 62 11,27 487 88,73 550

Dengan disahkannya Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Pemilu

yang menyertakan aspirasi kaum perempuan pada Pasal 65 Ayat 1

Undang-Undang No. 12 Tahun 2003, maka setiap partai politik harus mengajukan calon

anggota DPR baik DPRRI, DPR Propinsi dan DPR Kabupaten atau kota untuk

setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan

sekurang-kurangnya 30 %.14

Untuk mengetahui salah persepsi dan berbagai pengertian, penulis ingin

mengetahui lebih jauh dan mengkaji penelitian penulis berdasarkan

literatur-literatur yang ada. Akhirnya penulis memberikan judul dalam penelitian adalah

”Peran Politisi Perempuan PKS Dalam Memperjuangkan Hukum Berkeadilan Gender”.

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang masalah diatas dapat di identifikasi beberapa masalah,

yaitu peran politisi perempuan PKS dalam memperjuangkan hukum berkeadilan

(20)

gender, bentuk dan karakteristik gerakan politik perempuan di Indonesia dan

isu-isu sentral gerakan politik di Indonesia.

C. Perumusan Masalah

Dari identifikasi masalah diatas tersebut, maka dapat dirumuskan beberapa

rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pandangan politisi perempuan PKS dalam memperjuangkan hukum

berkeadilan gender ?

2. Bagaimana kiprah perjuangan politisi perempuan PKS dalam memperjuangkan

hukum berkeadilan gender ?

D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui bagaimana bentuk dan praktek hukum keadilan gender.

b. Untuk mengetahui dengan jelas mengenai perempuan dalam legal drafting

undang-undang di DPR.

c. Untuk mengetahui produk perundang-undangan berkeadilan gender.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Sebagai sumbangan teoritas bagi masyarakat mengenai bentuk dan praktek

hukum berkeadilan gender dalam Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

b. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan konstribusi bagi kampus

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam pengembangan khazanah keilmuan

dibidang politik.

c. Memberikan pemahaman tersendiri khususnya bagi penulis dan umumnya

bagi masyarakat luas mengenai peran politisi perempuan pks dalam hukum

berkeadilan gender.

E. Metodelogi Penelitian

(21)

1. Jenis Penelitian

Penelitian yang digunakan dalam pembahasan skripsi ini adalah penelitian

kepustakaan (library research) dan penelititian lapangan (field research) yang

berdasar pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Jenis penelitian ini

diambil sesuai dengan obyek penelitian yang dikaji melalui pendekatan

kualitatif, yaitu jenis penelitian yang dilakukan secara sistematis terhadap suatu

objek berdasarkan fakta-fakta yang ada untuk menghasilkan data-data

deskriptif berupa kata-kata tulisan dari perilaku objek yang diteliti. Kemudian

disajikan dalam bentuk deskriptif.

2. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini, yaitu

teknik observasi sebagai teknik utama penelitian, sedangkan sebagai pelengkap

penelitian menggunakan teknik wawancara dan teknik dokumentasi.

a. Teknik observasi

Dimana dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengamati dan

mencatat situasi lingkungan, sikap dan prilaku dari pengurus dan kader

PKS, baik dilingkup nasional maupun jawa tengah, melalui kunjungan ke

sekretariat DPP Pusat, sekretariat fraksi PKS Dewan Perwakilan Rakyat

Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Tengah,

serta jika memungkinkan ke lokasi kegiatan yang diselenggarakan PKS.

b. Teknik dokumentasi

Dimana dalam penelitian ini peneliti memperoleh data dengan cara mencari

dan mengumpulkan bahan-bahan yang ada hubungannya dengan masalah

yang diteliti. Data-data tersebut berupa catatan-catatan hasil pengamatan,

dokumen-dokumen sekolah, buku-buku, jurnal, artikel, surat kabar,

majalah, situs internet dan lain sebagainya.

c. Teknik Wawancara

Untuk melengkapi data penelitian berupa keterangan lisan masih

dibutuhkan metode wawancara atau interview. Dalam penelitian ini data

berupa keterangan yang diperoleh dari subyek penelitian yang berasal dari

(22)

lingkungan internal adalah pengurus PKS dengna mempertimbangkan

kapasitas dan kedudukannya dalam organisasi PKS sehingga representative

mewakili organisasinya. Sedangkan subyek penelitian dari lingkungan

eksternal non PKS adalah pihak-pihak yang memiliki kapasitas dan

kedudukan dalm sebuah lembaga yang berkaitan secara langsung maupun

tidak langsung dengan permasalahan yang diteliti.

3. Metode Analisa Data

Dari data-data hasil penelitian yang diperoleh dilapangan seperti data hasil

observasi, hasil wawancara dan hasil dokumentasi sepenuhnya akan

dianalisa dengan menggunakan teknik analisa deskritif kualitatif, yaitu hasil

analisa tidak disajikan dalam bentuk angka-angka dan bilangan statistik

akan tetapi berupa pemaparan atau gambaran mengenai situasi yang di teliti

dalam bentuk uraian- uraian naratif .

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan penyusunan skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab,

dengan urain sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini membahas tentang latar belakang masalah, identifikasi

masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodelogi

penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II KIPRAH PEREMPUAN DALAM POLITIK HUKUM DI

INDONESIA

Pada bab ini membahas tentang sejarah gerakan poltik perempuan di

Indonesia, bentuk dan karakteristik gerakan politik perempuan di

Indonesia dan isu-isu sental gerakan politik perempuan di Indonesia.

BAB III PEREMPUAN DAN HUKUM PERUNDANGAN UNDANGAN

(23)

Pada bab ini membahas tentang definisi, bentuk dan praktek hukum

berkeadilan gender, perempuan dalam legal drafting Undang-Undang

di DPR dan produk perundang-undangan berkeadilan gender.

BAB IV PANDANGAN POLITISI PEREMPUAN PKS DALAM

BERKEADILAN GENDER

Pada bab ini membahas tentang dinamika PKS dalam politik

Indonesia, isu-isu gender dalam perempuan PKS dan pandangan

politisi PKS dalam hukum berkeadilan gender.

BAB V PENUTUP

Pada bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran dari hasil peran

politisi perempuan PKS dalam memperjuangkan hukum berkeadilan

(24)

12

A. Sejarah Gerakan Politik Perempuan Di Indonesia

Gerakan politik perempuan Indonesia baru dimulai pada permulaan abad

20, yaitu permulaan bentuk gerakan secara modern. Karena bentuk gerakan

tersebut ditandai oleh tumbuhnya organisasi wanita yang diikuti oleh proses

perkembangan organisasi gerakan kebangsaan Indonesia pada waktu itu. Dengan

begitu banyak organisasi wanita menjadi bagian dari kelompok wanita sebagai

organisasi kebangsaan. Bahwa organisasi itu mempunyai pengurus tetap dan

mempunyai anggota, mempunyai tujuan yang jelas, disertai rencana pekerjaan

berdasarkan peraturan-peraturan yang dimuat di Anggaran Dasar dan Anggaran

Rumah Tangga. Sebelumnya kaum wanita berjuang orang perorangan dan belum

terorganisasi dalam susunan suatu badan perkumpulan.15

Namun demikian, perjuangan kaum wanita melawan penjajah Belanda

pada waktu itu telah memberikan inspirasi dan dorongan bagi wanita-wanita

generasi kemudian, yang berjuang untuk emansipasi kaumnya sekaligus memiliki

peranan partisipasi dalam mengisi hasil perjuangan kemerdekaan Indonesia.

1. Zaman Kolonial Belanda

Pada zaman kolonial belanda pergerakan perempuan di Indonesia dapat

dikelompokkan menjadi beberapa periode, yaitu :

a. Periode Perintis (1880 - 1910)

Kedatangan Vereenigde Oost Indische Compagnie (V.O.C) pada abad

ke-18 adalah untuk berdagang dengan menggunakan moncong meriam di kepulauan

Indonesia sejak semula membawa malapetaka untuk rakyat Indonesia. Melalui

penindasan, eksploitasi, pengurasan sumber ekonomi adalah untuk memperkaya

(25)

Belanda hingga saat ini. Pemindahan kekuasaan dari Vereenigde Oost Indische

Compagnie(V.O.C) kepada Bataafse Republiek sama sekali tidak merubah situasi

saat itu, akan tetapi hanyalah meneruskannya saja dengan cara yang berbeda. Hak

monopoli perdagangan dan hak monopoli pelayaran antar pulau diseluruh

Nusantara yang mematikan daya hidup dan daya materiil rakyat Indonesia

dilanjutkan oleh Pemerintah Pusat Negara Monarkhi di Belanda dengan

staatsmonopoli. Penunjukan posisi Gubernur Jendral Van den Bosch di negara

jajahan (Nederlands Indie) langsung memberlakukan kebijakan Cultuurstelsel

pada tahun 1830 sampai tahun 1870, yaitu suatu sistem pengetrapan tanam paksa

berbagai jenis tanaman seperti kopi, gula, tembakau dan tanaman lainnya di atas

1/5 (seper lima) tanah pedesaan untuk kepentingan pasaran dunia barat.16

Misi VOC, sebagai perpanjangan tangan pemerintah Belanda mempunyai

dua fungsi. Pertama sebagai pedagang dan kedua sebagai badan pemerintah.

Sebagai upaya pemantapan pelaksanaan kedua fungsi tersebut, maka VOC

menggunakan hukum dan peraturan perundang-undangan Belanda.

Didaerah-daerah yang kemudian satu persatu dapat dikuasai colonial akhirnya membentuk

badan-badan peradailan. Upaya ini tidak mulus berjalan dalam penerapannya

mengalami hambatan. Atas dasar berbagai pertimbangan VOC membiarkan

lembaga-lembaga asli yang ada dalam masyarakat untuk berjalan sebagaiman

sebelumnya. Langkah ini diambil sebagai upaya menghindari perlawanan dari

masyarakat setempat. Konsekuensinya VOC terpaksa memperhatikan hukum

yang hidup dan diikuti oleh rakyat dalam kehidupan sehari-hari.17

Sejak saat itulah pemberontakan timbul di mana-mana, hingga hampir

setiap tahun Batavia mengirimkan ekspedisi-ekspedisi militer keberbagai tempat

di Nusantara untuk menumpas perlawanan rakyat. Pada masa itu belum

diketemukan cara perjuangan Nasional. Periode Perintis meliputi masa sebelum

tahun 1908, yaitu tahun dimulainya fase kebangkitan kesadaran nasional, dengan

16 Baroroh Baried, Citra Wanita Dalam Kebudayaan Indonesia, (Jakarta: Seminar Nasional Fakta Dan Citra), 23-25 agustus 1984.

(26)

berdirinya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908. Periode Perintis masih juga

meliputi masa permulaan politik etis Belanda di Indonesia.

Para tokoh Perintis perjuangan wanita belum mempunyai perkumpulan atau

organisasi wanita, dengan kata lain berjuang orang perorangan, akan tetapi dalam

kenyataan bahwa mereka mengangkat senjata bahu membahu dengan kaum pria

melawan penjajah Belanda, tidak dapat dipungkiri bahwa mereka merupakan

sumber inspirasi bagi generasi wanita berikutnya untuk berjuang melawan

penindasan dan ketidakadilan. Para tokoh perintis dalam masa sesudah

diterapkannya politik etis Belanda di Indonesia, memberikan teladan dan

dorongan kepada generasi kaumnya untuk meneruskan jejak langkah mereka, juga

berjuang untuk emansipasi dan partisipasi untuk membangun kemandirian

kaumnya, kemajuan bangsanya dan kemerdekaan tanah airnya karena ciri

utamanya ialah menekankan kepada pendidikan atau lebih khususnya pendidikan

model Barat, sebagai bekal untuk memajukan kaumnya dan bangsanya. Gerakan

pendidikan kebanyakan diprakarsai oleh kalangan elite bangsawan, karena mereka

lebih dahulu diberi kesempatan oleh pemerintah untuk bisa memasuki

sekolah-sekolah khusus untuk warga Eropa. Pejuang-pejuang Perintis pada masa itu,

diantaranya Kartini, Maria Walanda Maramis, Dewi Sartika dan Nyai Achmad

Dahlan.

b. Periode Kebangkitan Kesadaran Nasional (1911 - 1928)

Masa kebangkitan kesadaran nasional ditandai dengan munculnya

organisasi Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 di Jakarta, organisasi pertama

diantara bangsa Indonesia yang dibentuk secara modern. Dengan bentuk modern

diartikan bahwa organisasi mempunyai pengurus tetap, anggota, tujuan, rencana

pekerjaan dan seterusnya berdasarkan peraturan-peraturan yang dimuat di

Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga organisasi. Pengurus Budi Utomo

terdiri dari para Priyayi dan dalam waktu singkat organisasi tersebut mengalami

kemajuan yang sangat pesat. Pada akhir tahun 1909 Budi Utomo telah mempunyai

40 cabang dengan lebih kurang 10.000 anggota. Kemudian berdiri partai-partai

(27)

Utomo akan tetapi yang beraliran Indisch Nasionalisme radikal, beraliran

nasionalisme demokratis dengan dasar agama dan beraliran marxisme.

1. Gerakan Perempuan Dan Kebangkitan Nasionalisme

Pada periode Budi Utomo pejuang gerakan perempuan baru terbatas pada

kedudukan sosial saja. Soal-soal politik perempuan belum dalam jangkauannya.

Apalagi kemerdekaan tanah air masih terlalu jauh dari penglihatan dan

pemikirannya. Kesibukan-kesibukan pada periode perintis dibidang pendidikan,

pengajaran, kerumah tanggaan masih berlanjut.

Pengaruh warisan cita-cita Kartini untuk emansipasi perempuan

berkumandang menembus batas-batas kamar pingitannya dan perhatian kaumnya.

Sehingga pada periode kebangkitan dan Kesadaran Nasional ini mulai untuk

meningkatkan kaum perjuangan perempuan. Ini dibuktikan dengan munculnya

organisasi perempuan yang pertama di Jakarta pada tahun 1922 bernama Putri

Mardika atas bantuan Budi Utomo. Perkumpulan Kartini Fonds yang bertujuan

mendirikan sekolah-sekolah Kartini berdiri diberbagai tempat di Jawa, Keutamaan

Istri didirikan di banyak tempat di Jawa Barat bahkan dikota Padang Panjang,

Kerajinan Amai Setia di kota Gedang, Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya

berdiri pada tahun 1917 di Manado. Kesemuanya itu baik organisasi perempuan

dari organisasi partai umum maupun organisasi lokal kesukuan atau kedaerahan

bertujuan menggalakkan pendidikan dan pengajaran bagi perempuan dan

perbaikan kedudukan sosial dalam perkawinan dan keluarga serta meningkatkan

kecakapan sebagai ibu dan pemegang rumah tangga. Ada beberapa hal yang

menjadi fokus pejuang gerakan perempuan pada masa itu yaitu gerak kemajuan

pada tahun-tahun sebelum 1920 dapat dikatakan lamban. Hal ini disebabkan oleh

kurangnya sekolah-sekolah untuk wanita pribumi, tidak adanya izin dari orang tua

di kalangan atas atau diperlukan tenaganya untuk membantu orang tua di kalangan

bawah. Di samping itu adat dan tradisi sangat menghambat kemajuan wanita.18

(28)

Dalam Sarekat Islam terikat divisi peperangan adalah bernama Wanudiyo

Utomo dan kemudian Sarekat Perempuan Islam Indonesia. Dalam Kongres

Sarekat Islam pada bulan April 1929 di Surabaya, Sarekat Perempuan Islam

Indonesia bertentangan dengan Persatuan Puteri Indonesia mengenai poligami.

Bagian Wanita Muhammadiyah adalah Aisiyah yang juga tidak ikut mencampuri

masalah persoalan politik seperti ibu perkumpulannya yaitu Muhammadiyah.

Mengenai masalah poligami menurut Aisiyah sependirian dengan bagian Wanita

Sarekat Islam. Mereka juga menentang keras adat Barat seperti pakaian, tata

rambut, cara hidup, kesenangan dan sebagainya karena dianggapnya bertentangan

dengan adat Islam. Wanita Perti sebagai bagian dari Persatuan Tarbiyah Islamiyah

di dirikan pada tahun 1928. Bagian Wanita Sarekat Ambon adalah Ina Tuni

membantu aksi Sarekat Ambon dikalangan militer Ambon. Bagian Wanta ini

berhaluan politik seperti Sarekat Ambon juga.

Perhimpunan perempuan lainnya ialah organisasi pemudi terpelajar,

seperti Puteri Indonesia dan Jong Islamieten Bond Dames Afdeling, Jong Java

Meisjeskring, Organisasi Taman Siswa. Kemajuan gerakan Wanita sesudah tahun

1920, terlihat juga dengan makin banyaknya perkumpulan-perkumpulan Wanita

kecil yang berdiri sendiri. Hampir di semua tempat yang agak penting ada

pekumpulan wanita. Seperti pada masa sebelum 1920, perkumpulan-perkumpulan

itu mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk belajar masalah kepandaian putri

yang khusus. Menjelang tahun 1928, organisasi wanita berkembang lebih pesat.

Sikap yang dinyatakan oleh organisasi-organisasi wanita pada waktu itu,

umumnya lebih tegas, berani dan terbuka. Perkembangan kearah politik makin

tampak terutama yang menjadi bagian dari Sarekat Islam, Partai Komunis

Indonesia, Partai Nasional Indonesia dan Persatuan Muslimin Indonesia.

Gerakan Perempuan Indonesia pada fase ini sudah lebih matang untuk

menyetujui anjuran dan panggilan kebangsaan, faham Indonesia bersatu yang di

hidup-hidupkan antara lain oleh Perhimpunan Indonesia dan Partai Nasional

Indonesia. Maka berlangsunglah Kongres Perempuan Indonesia yang pertama di

Jogyakarta pada tanggal 22-25 Desember 1928. Kongres ini merupakan lembaran

(29)

menggalang kerjasama untuk kemajuan wanita khususnya dan masyarakat pada

umumnya. Ciri utama kesatuan pergerakan perempuan Indonesia pada masa ini

ialah berasaskan kebangsaan dan menjadi bagian pergerakan kebangsaan

Indonesia. Pokok-pokok permasalahan yang dibicarakan di antaranya ialah

kedudukan perempuan dalam perkawinan, poligami dan koedukasi. Masalah

politik nasional melawan penjajahan tidak menjadi pokok bahasan dan Kongres

berpendirian berhaluan kooperasi terhadap pemerintah Belanda (Nederlands

Indie).19

Kongres menghasilkan keputusan dibentuknya badan permufakatan

organisasi-organisasi wanita dengan nama Perserikatan Perkumpulan Perempuan

Indonesia dan bertujuan untuk memberi penerangan dan menjadi forum

komunikasi antar organisasi perempuan. Kongres tersebut menghasilkan tiga buah

mosi yang ditujukan kepada pemerintah Belanda (Nederlands Indie) yaitu

menambah sekolah-sekolah untuk anak perempuan, memberikan keterangan nikah

mengenai taklik janji dan syarat perceraian serta membuat peraturan untuk

memberi sokongan kepada janda-janda dan anak-anak piatu pegawai pemerintah.

2. Gerakan Perempuan Dan Media Massa

Gerakan Perempuan Indonesia sejak semula menyadari pentingnya media

massa bagi perjuangannya. Alat media massa seperti surat kabar dan majalah

berfungsi untuk menyebarkan gagasan kemajuan wanita dan juga sebagai sarana

praktis pendidikan dan pengajaran. Tulisan dan karangan ditulis dalam bahasa

Melayu, Belanda dan Jawa. Sebagian besar pengarang dan yang membantu

penerbitan majalah Gerakan Wanita pada periode itu adalah guru-guru wanita

yang berpendidikan Barat. Guru wanita ketika itu merupakan kaum elite di bidang

kebudayaan.

Majalah pertama Putri Hindia terbit pada tahun 1909 di Bandung, dalam

dua kali sebulan oleh golongan atas seperti R.A. Tjokroadikusumo. Hingga tahun

(30)

1925 sudah di terbitkan sebelas macam media massa seperti koran dan majalah

yang tersebar di Jawa, Sumatera dan Sulawesi.

Surat kabar Sunting Melayu terbit pada 10 Juli 1912 di Padang. Surat

kabar Sunting Melayu ini terbit tiga kali seminggu. Surat kabar ini merupakan

pusat kegiatan pemudi, putri maupun wanita yang telah bersuami yang berisi

masalah politik, anjuran kebangkitan wanita Indonesia dan cara menyatakan

pikiran para penulisnya dalam bentuk prosa dan puisi. Sampai tahun 1920

pemimpin redaksinya ialah Hohana Kudus.

Kemudian surat kabar Wanito Sworo terbit pada tahun 1913 di Pacitan

sebuah kota kecil di pantai samudera indonesia di Madiun yang dipimpin oleh Siti

Sundari dengan huruf dan bahasa Jawa, tetapi kemudian sebagian berbahasa

Melayu. Media lain yang tersebut adalah majalah Putri Mardika terbit pada tahun

1914 di Jakarta Majalah bulanan ini berisikan artikel-artikel yang ditulis dalam

bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan berhaluan maju seperti masalah permaduan,

pendidikan campuran laki-laki dan wanita, kelonggaran bergerak bagi kaum

wanita, kesempatan pendidikan dan pengajaran.

Penuntun Isteri edisi Sunda terbit tahun 1918 di Bandung. Isteri Utomo

terbit di Semarang. Suara Perempuan dengan redaksi seorang guru wanita

bernama Saada terbit di Padang. Perempuan Bergerak terbit pada tahun 1920 di

Medan dengan pimpinan redaksi Satiaman Parada Harahap diperkuat oleh

Rahana.

c. Periode Kesadaran Nasional (1928 - 1941)

Pada periode sebelumnya lingkup kegiatan hampir semua organisasi

wanita masih terbatas pada masalah emansipasi dan usaha menjadikan wanita

lebih sempurna dalam menjalankan peran tradisionilnya sebagai wanita. Namun

pada periode ini mulai muncul organisasi-organisasi yang membuka wawasan

melebihi lingkup rumah tangga dan keluarga. Organisasi-organisasi baru ini

menjadikan masalah-masalah politik dan agama sebagai pokok perhatiannya.

(31)

Perkumpulan Perempuan Indonesia menolak mencampuri urusan politik dan

agama.

Perkembangan terakhir ini sebenarnya telah dirintis jauh sebelumnya,

yaitu pada tahun 1919 ketika Siti Soendari mendirikan organisasi Putri Budi Sejati

di Surabaya Organisasi ini merupakan organisasi wanita yang cukup besar serta

berdikari, dan mendasarkan perjuangannya pada cita-cita kebangsaan. Arah baru

ini diikuti oleh Isteri Sedar yang didirikan di Bandung pada tahun 1930. Isteri

Sedar berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dimana penghargaan dan

kedudukan wanita dan laki-laki sama dan sejajar. Organisasi ini juga bersikap

kritis terhadap norma-norma adat, tradisi dan agama yang pada prakteknya

merugikan kaum wanita. Isteri sedar bersikap anti dan selalu dengan pedas

menyerang imperialisme dan kolonialisme.20

Pada kongresnya yang kedua tahun 1935, ketiga tahun 1938 dan keempat

tahun 1941, Perikatan perkumpulan Perempuan Indonesia membicarakan sekitar

kewajiban kebangsaan walaupun tetap dengan tekanan pada kewajiban menjadi

Ibu Bangsa, masalah hak memilih dalam badan-badan perwakilan dan dewan

kota, serta beberapa masalah politik lainnya.

2. Zaman Pendudukan Bala Tentara Jepang (1942 - 1945)

Dengan menyerahnya Jendral Ter Poorten tanpa syarat di Kalijati pada

tanggal 9 Maret 1942 kepada Jendral lmamura, berakhirlah penjajahan Belanda

atas lndonesia. Dengan demikian berpindah tangan nasib bangsa lndonesia kepada

penjajah yang baru Jepang. Belanda tidak pernah percaya kepada ajakan

tokoh-tokoh politik bangsa lndonesia untuk bersama-sama berjuang anti fasis,

sebaliknya Belanda lebih percaya kepada Jepang. Padahal sudah tahu lebih dulu,

bahwa Jepang sudah mengincar lndonesia untuk memperoleh kekayaannya,

terutama minyak yang sangat dibutuhkannya untuk keperluan industrinya.

Kekejaman fasis Jepang selama pendudukannya di lndonesia bahkan

makin membulatkan tekad seluruh bangsa untuk membebaskan diri dari setiap

(32)

penjajahan asing dan memperjuangkan kemerdekaan tanah airnya. Salah satu

tindakannya yang pertama ialah Jepang melarang semua organisasi yang ada dan

membubarkannya. Dengan bantuan orang-orang bekas pegawai dinas rahasia

Belanda yang bernama Politiek Inlichtingen Dienst menangkapi elemen-elemen

anti fasis di kalangan bangsa Indonesia tidak dikecualikan organisasi-organisasi

wanita juga dibubarkan. Kemudian dibentuk organisasi-organisasi baru dengan

dalih sebagai propaganda untuk kepentingan dan kemakmuran bangsa-bangsa

Asia Timur Raya. Dengan sendirinya organisasi-organisasi yang tidak mau masuk

perangkap kerjasama dengan penguasa fasis, terpaksa bergerak dibawah tanah.

Taktik Jepang merangkul Bangsa Indonesia dengan cara Bahasa Belanda dilarang

dan bahasa Indonesia secara resmi digunakan sebagai bahasa komunikasi umum,

sistem sekolah Belanda seperti ELS, HIS, HCS dan lainnya dibubarkan dan

diganti dengan sekolah Rakyat 6 tahun.

Ketika pusat tenaga rakyat akhirnya dilebur dalam organisasi baru

Himpunan Kebaktian Rakyat Jawa, maka Fujinkai dijadikan bagian wanitanya

dengan cabang didaerah-daerah. Kegiatan Fujinkai dibatasi hanya pada

urusan-urusan kewanitaan dan peningkatan ketrampilan domestik selain kegiatan

menghibur tentara yang sakit dan kursus buta huruf. Bagi para wanita yang

mempunnyai wawasan luas, pembatasan ini merisaukan dan mereka tidak ikut

masuk Fujinkai. Kenyataan ini menjadikan adanya dua jenis orientasi dikalangan

aktivis wanita yaitu mereka yang bekerjasama dengan pemerintah Balatentara Dai

Nippon dan yang tidak bekerjasama serta memilih bergerak diam-diam dibawah

tanah.

3. Replublik Indonesia (1945-1990)

Pada zaman Republik Indonesia ini pergerakan perempuan di Indonesia

dapat dikelompokkan menjadi beberapa periode, yaitu :

a. Periode 1945-1965

Revolusi Agustus 1945 mendobrak ikatan-ikatan adat dan tradisi yang

sebelumnya menghambat gerak maju wanita. Penderitaan dan penghinaan selama

(33)

pokok tidak dihiraukan lagi. Seluruh rakyat merasa terpanggil untuk ikut berjuang

membela dan mempertahankan kemerdekaan. Organisasi-organisasi wanita pada

umumnya diwaktu itu mengutamakan usaha-usaha perjuangan, baik di garis

belakang dengan mengadakan dapur umum dan pos-pos Palang Merah maupun di

garis depan dengan nama suatu badan perjuangan maupun tergabung dengan

organisasi-organisasi lain. Timbul laskar-laskar perempuan di mana tugas-tugas

mereka sangat luas, digaris depan, dimedan pertempuran, melakukan kegiatan

intel, jadi kurir, menyediakan dan mengirimkan makanan kegaris depan,

membawa kaum pengungsi dan memberi penerangan.

Dalam kesibukan revolusi fisik maupun dalam bidang sosial politik,

pergerakan wanita berbenah diri untuk menggalang persatuan yang kuat. Kongres

pertama diadakan di Klaten pada bulan Desember 1945, dengan maksud

menggalang persatuan dan membentuk badan persatuan. Persatuan Wanita

Indonesia dan Wanita Negara Indonesia dilebur menjadi badan fusi dengan nama

Persatuan Wanita Republik Indonesia.

Pada bulan Februari 1946 di Solo, lahirlah Badan Kongres Wanita

Indonesia. Pada bulan juni 1946 diselenggarakan Kongres Wanita Indonesia di

Madiun, yang merupakan Kongres Wanita Indonesia ke 5. Sesuai dengan

kebijaksanaan pemerintah untuk menembus blokade ekonomi dan politik,

Kongres memutuskan antara lain mulai mengadakan hubungan dengan luar

negeri. Maka dari itu Kongres Wanita Indonesia menjadi anggota Women's

International Democratic Federation. Di jiwai oleh tekad untuk ikut serta dalam

pembangunan jaringan kerjasama Internasional, mendukung pergerakan wanita

selanjutnya menyusun program kerja, yang tidak hanya meliputi bidang

pembelaan negara, tetapi juga bidang sosial, politik, pendidikan dan lainnya sesuai

dengan derap perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan Republik pada

waktu itu.

Sesudah tahun 1950 masalah-masalah politik semakin banyak minta

perhatian. Bermacam persoalan yang berkaitan dengan masalah penyusunan

kekuatan partai-partai politik. Perhatian masyarakat mulai di sita oleh persiapan

(34)

1955. Makin banyak kegiatan kaum perempuan yang ditujukan kepada

masalah-masalah politik, mengingat usaha masing-masing aliran politik untuk tampil

sebagai pemenang dalam pemilihan umum. Tapi tidak dilupakan juga, masalah

rutin sebelumnya seperti memperjuangkan peraturan perkawinan yang tidak

merugikan kaum perempuan. Organisasi-organisasi yang berafiliasi pada partai

politik sibuk membantu partai induknya mempersiapkan diri menghadapi pemilu

sampai tahun 1965 dapat dikatakan bahwa lingkup perhatian dan wawasan kaum

perempuan cukup luas dan mendunia, di samping merupakan cerminan dari aliran

politik ditingkat nasional.

b. Periode Diktator Militer 1965-1990

Sejak golongan militer mendominasi panggung kekuasaan pemerintahan

Orde Baru, partisipasi politik masyarakat melalui organisasi politik dan organisasi

sosial semakin terbatas dan dikendalikan. Karena itu, nampaknya tidaklah terlalu

meleset jika dinyatakan bahwa arti sebenarnya dari istilah demokrasi Pancasila

tersebut adalah semakin dominannya peran pemerintah dalam hampir semua

aspek kehidupan masyarakat. Atas nama tuntutan pembangunan ekonomi yang

dinyatakan sebagai sarat utama membutuhkan stabilitas politik, pemerintah

menerapkan beberapa kebijakan bagi organisasi-organisasi massa termasuk

organisasi perempuan. Dalam hal ini, kebijakan utama yang dikenakan pada

organisasi perempuan adalah dilakukannya penyempitan jumlah, pemusatan

organisasi, penyatuan koordinasi, dan uniti jenis program.

Ekspansi gerakan organisasi bentukan pemerintah diatas dan lembaga

resmi yang mengkoordinasikannya, ditunjang oleh peraturan pemerintah sebagai

kekuatan dominan. Keberadaan kekuatan dominan tersebut telah menyulitkan

daya hidup dan ruang gerak organisasi-organisasi perempuan yang telah sejak

lama hidup dimasyarakat. Dengan demikian, akhirnya pada masa Orde Baru ini

muncul dua jenis organisasi perempuan, yaitu organisasi pemerintah dan non

pemerintah. Perkembangan terakhir ini menandai terjadinya polarisasi secara

tegas dalam gerakan perempuan serta berlangsungnya proses penyempitan ruang

(35)

c. Periode Reformasi

Bila sistem pemerintahan yang semakin demokratis dianggap paling

kondusif bagi pemberdayaan perempuan, maka di era reformasi ini semestinya

pemberdayaan perempuan di Indonesia semakin menemukan bentuknya. Bila

ukuran telah berdayanya perempuan di Indonesia dilihat dari kuantitas peran di

sejumlah jabatan strategis, baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif.

Hanya saja harus tetap diakui bahwa angka-angka peranan perempuan di

sektor strategis tersebut tidak secara otomatis menggambarkan kondisi perempuan

di seluruh tanah air. Bukti nyata adalah angka kekerasan terhadap perempuan

masih sangat tinggi. Bila pada jaman lampau kekerasan masih berbasis kepatuhan

dan dominasi oleh pihak yang lebih berkuasa dalam struktur negara dan budaya

termasuk dalam rumah tangga, maka kini diperlengkap dengan adanya basis

industrialisasi yang mensuport perempuan menjadi semacam komoditas.21

B. Bentuk Dan Karakteristik Gerakan Politik Perempuan Di Indonesia 1. Bentuk Formal Gerakan Politik Perempuan Di Indonesia

Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok

terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan

cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik

dan merebut kedudukan politik yang biasanya dengan cara konstitusional untuk

melaksanakan programnya. Politik adalah proses pembentukan dan pembagian

kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses keputusan

khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara

berbagai definisi yang berbeda mengenai hakekat politik yang dikenal dalam ilmu

politik. Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional

dan non konstitusional.22 Partai politik merupakan keharusan dalam kehidupan

politik yang modern dan demokratis. Sebagai suatu partai politik secara ideal

dimaksudkan untuk mengaktifkan dan memobilasi rakyat mewakili kepentingan

(36)

tertentu memberikan jalan kompromi bagi pendapat yang saling bersaing, serta

menyediakan sarana suksesi kepemimpinan secara legimasi dan damai.

Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2002 sebagai penyempurnaan atas

Undang-Undang No. 2 Tahun 1999 tentang partai politik sebagai organisasi yang

dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas

dasar persamaan kehendak cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota

masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan.

2. Bentuk Non Formal Gerakan Politik Perempuan Di Indonesia

Komunis adalah salah satu ideologi yang tumbuh dan berkembang hingga

saat ini, dimana faham ini berasal dari Manifest Der Kommunistischen yang

ditulis oleh Karl Marx dan Frederich Engels pada 21 Febuari 1848 sebagai koreksi

dari faham kapitalisme yang dianut dan berkembang di negara-negara Eropa yang

pada prinsipnya semua adalah direpresentasikan sebagai semua milik rakyat dan

oleh karena itu seluruh alat-alat produksi harus dikuasai oleh negara guna

kemakmuran rakyat secara merata oleh kita untuk kita. Akan tetapi dalam

perkembangan selanjutnya muncul beberapa fraksi internal dalam komunisme

antara penganut komunis teori dengan komunisme revolusioner yang dimana pada

masing-masing fraksi mempunyai teori dan cara perjuangan yang saling berbeda

dalam pencapaian sosialis untuk menuju dengan apa yang disebutkan sebagai

masyarakat utopia.

Kelahiran komunisme di Indonesia tak jauh dengan hadirnya orang-orang

buangan dari Belanda ke Indonesia dan mahasiswa-mahasiswa jebolan yang

beraliran kiri. Mereka diantaranya Sneevliet, Bregsma, dan Tan Malaka yang

terakhir masuk setelah Sarekat Islam di Semarang sudah terbentuk. Alasan kaum

pribumi yang mengikuti aliran tersebut di karenakan tindakan-tindakannya yang

melawan kaum kapitalis dan pemerintahan. Gerakan komunis di Indonesia diawali

di Surabaya, yakni didalam diskusi intern para pekerja buruh kereta api Surabaya

yang dikenal dengan nama Vereeniging Van Spoor En Tramweg Personal

(VSTP). Pada awalnya Vereeniging Van Spoor En Tramweg Personal (VSTP)

(37)

Salah satu anggota yang menjadi besar adalah Semaun kemudian menjadi

ketua Sarekat Islam Semarang. Komunisme Indonesia mulai aktif di Semarang

atau sering disebut dengan Kota Merah setelah basis Partai Komunis Indonesia

diera tersebut. Hadirnya Indische Sociaal Democratische Vereeniging (I.S.D.V)

dan masuknya para pribumi berhaluan kiri kedalam Sarekat Islam menjadikan

komunis sebagian cabangnya karena tak otonomi yang menciptakan Pemerintah

Kolonial atas organisasi lepas menjadi salah satu ancaman bagi pemerintah.

Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) menjadi salah satu

organisasi yang bertanggung jawab atas banyaknya pemogokan buruh di jawa.

Pada tanggal 23 Mei 1920, Indische Social Democratische Vereeniging

(I.S.D.V) yang didirikan di Semarang sepuluh tahun sebelumnya berganti nama

menjadi Perserikatan Komunis di India. Kata perserikatan dalam bahasa Melayu

merupakan terjemahan dari kata Belanda, yaitu Partij. Sedangkan nama Partai

Komunis Indonesia itu sendiri menurut dokumen awal dari organisasi tersebut

merupakan pendekatan dari bahasa Melayu Dalam kongres bulan Juni 1924 di

Weltervreden sekarang Jakarta pusat. Perserikatan Komunis di India diubah

namanya menjadi Partai Komunis Indonesia. Sejak tahun 1922 sudah terdapat

sebuah organisasi politik yang bernama Indonesiche Vereenigingyang kemudian

diterjemahkan menjadi Perhimpunan Indonesia. Tapi organisasi tersebut berada di

Nederland bukan di negeri jajahan.

Partai Komunis Indonesia juga merupakan salah satu organisasi politik

Indonesia pertama yang menggunakan konsepsi Partai dalam nama resminya

bahasa Melayu. Pergantian kata Perserikatan menjadi Partai merupakan bagian

dari konflik terbuka sejak tahun 1922 di dalam tubuh Sarekat Islam. Sejak awal

tahun 1910 dan di sepanjang tahun 1920, merupakan suatu gerakan sosial politik

yang berpengaruh suatu gerakan yang pertama kali mengambil corak sosial politik

di Indonesia, di mana organisasinya tidak lagi membatasi dalam lingkaran

tertentu, baik secara sosiologis maupun geografis dan berkembang tidak hanya di

Pulau Jawa melainkan juga di Sumatera dan kawasan lainnya. Untuk menegaskan

perbedaan tersebut, para pemimpin Sarekat Islam kemudian mengusulkan agar

(38)

Partij dan melarang anggotanya menjadi anggota partai yang lain pada saat yang

bersamaan.

Pada dasarnya, pandangan muslim mengenai perempuan yang berpolitik

ini tidaklah tunggal. Maksudnya, perempuan berpoltik tidak biasa dilihat dari satu

sisis saja. Karena suara perempuan juga diperlukan dalam dalam urusan

pemerintahan politik. Karena masalah yang dihadapi perempuan, perempuan itu

sendirilah yang mengetahuinya. Setidaknya menurut penuturan Syafiq Hasyim

ada tiga pendapat yang berkembang yang membicarakan perempuan didunia

politik yaitu :

a. Pendapat konservatif yang menyatakan bahwa Islam adalah fiqih, yaitu tidak

memperkenankan perempuan untuk terjun ke ruang politik. Hal ini dikarenakan

mereka menganggap bahwa tempat yang terbaik perempuan adalah rumahnya.

b. Pendapat liberal progresif yang menyatakan bahwa Islam sejak awal telah

mempekenankan konsep keterlibatan perempuan dalam bidang politik. Hal ini

dikarenakan mereka berpendapat bahwa istri Rasullah SAW juga aktif dalam

urusan pemerintah pada zaman itu.

c. Pendapat apologetis yang menyatakan bahwa ada bagian wilayah politik

tertentu yang bisa dimasuki perempuan dan ada bagian wilayah tertentu yang

sama sekali tidak boleh dijamah oleh perempuan.Wilayah yang sama sekali

tidak boleh dimasuki oleh perempuan yaitu menjadi kepala negara (Presiden).

Sedangkan yang boleh yaitu, hanya sebatas aktif di politik.

Partisipasi peran perempuan dalam politik di Indonesia merupakan salah

satu cerminan dari adanya keadilan di dalam demokrasi yang sekarang sedang

berusaha diwujudkan di dalam masa transisi. Aspek partisipsi perempuan di

dalam demokrasi bukanlah sesuatu yang dating tiba-tiba melainkan memerlukan

kesadaran dan kepedulian dari seluruh masyarakat kita.

Namun sayangnya kondisi partisipasi perempuan di panggung politik

masih sangat rendah, dimana sistem politik di Indonesia masih didominasi oleh

kaum laki-laki sehingga dengan sendirinya bila diberlakukan kondisi alamiah,

maka panggung politik tetap akan didominasi secara mayoritas oleh kaum

(39)

beragam persoalan yang dialami perempuan yang hak–haknya sering dirampas

dan belum di letakan sebagaimana mestinya oleh kebanyakan masyarakat di

mana masih tingginya tingkat kekerasan yang dialami oleh perempuan yang

dilakukan oleh oknum maupun institusi jelas merupakan pekerjaan besar yang

membutuhkan perhatian serius secara politik.23

C. Isu-isu Sentral Gerakan Politik Perempuan Di Indonesia 1. Isu Sentral Menurut Perkawinan

Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berkenaan

dengan mutlak adanya Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, maka

undang-undang perkawinan nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip

dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan

dan telah berlaku bagi berbagai golongan.24

Secara umum perkawinan dapat dikelompokkan kepada dua bentuk yang

utama yaitu Poligami dan Monogami.

a. Poligami

Kata Poligami terdiri dari poli dan gami. Secara etimologi kata poli berarti

banyak dan kata gami berarti isteri. Sedangkan secara terminologi poligami adalah

seorang laki-laki yang telah bersetatus sebagai seorang suami memiliki isteri lebih

dari satu atau beristeri lebih dari seorang tetapi di batasi sampai empat.25 Untuk

memastikan amalan poligami secara lebih adil dan dapat menjamin kesejahteraan

hidup umat, maka sebelum melakukan poligami seseorang haruslah memikirkan

secara baik perkara yang berkaitan dengan syarat-syarat berpoligami yang harus

wajib dipenuhi. Adapun syarat-syarat poligami adalah sebagai berikut :

23 Nelly Armayanti, Partisipasi Perempuan Dalam Gerakan Politik, (Medan: Universitas Sumatera Utara Press, 2007), h.58-59.

24 Prof.R.Subekti,S.H. Dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata(Bab Perkawinan), h.449.

(40)

1 Berkemampuan untuk menanggung nafkah isteri-isteri

Suami berkewajiban menanggung nafkah isteri zahir dan batin tidak kira sama

ada dia mempunyai seorang isteri atau lebih. Nafkah zahir yang dimaksudkan

seperti makan, minum, pakaian, kediaman dan perbutan. Sedangkan nafkah

batin ialah suami berkeupayaan memberikan kemampuan dalam melakukan

hubungan seks kepada isteri.

2 Mampu untuk berlaku adil kepada isteri-isteri

Menurut Abu al-Aynayn keadilan bermaksud penyamaratan terhadap semua

isteri tanpa wujud pilih kasih di antara mereka. Keadilan ini di dalam

perkara-perkara ikhtiari dan lahiriah yang melibatkan beberapa aspek yaitu seperti

nafkah, pakaian, penempatan, giliran bermalam dan musafir.26

Dalam sub-judul “Poligami dan Keadilan” tertulis meskipun dalam Islam

membolehkan poligami, namun syarat yang harus dipenuhi tidaklah main-main.

Keadilan yang tidak semua orang sanggup melaksanakannya. Bahkan dengan

tegas Allah SWT memastikan bahwa manusia tidak akan dapat berlaku adil dan

kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil terhadap istri-istrimu, walaupun

kamu sangat ingin berbuat demikian. Dengan argumentasi di atas tersebut, maka

tampaknya terdapat penegasan akan ketidakmungkinan pelaksanaan poligami

meski Islam membolehkannya.

b. Monogami

Kata monogami berasal dari bahasa yunani yaitu monos yang berarti satu

atau sendiri dan gamos yang berarti pernikahan. Monogami berarti perkawinan

antara seorang pria dan seorang wanita. Sebenarnya Undang-Undang Perkawinan

Republik Indonesia No. 1 tahun 1974 juga menganut asas monogami, akan tetapi

asas ini tidak dipegang teguh karena membuka pintu untuk poligami, tetapi tidak

untuk poliandri. Implikasi atau konsekuensi monogami disini lebih dipusatkan

pada hukum dan moral dengan berpangkal pada kesamaan hak pria dan wanita

yang setara sehingga poligami dan poliandri disamakan :

(41)

1. Mengesampingkan poligami simultan dituntut ikatan perkawinan dengan

hanya satu jodoh pada waktu yang sama.

2. Mengesampingkan poligami suksesif artinya berturut-turut kawin cerai,

sedangkan hanya perkawinan pertama yang dianggap sah sehingga perkawinan

berikutnya tidak sah. Kesimpulan ini hanya dapat ditarik berdasarkan posisi

dua sifat perkawinan seperti yang dicanangkan 1056 monogami eksklusif dan

tak terputuskannya ikatan perkawinan. Implikasi dan konsekuensi ini lain tetapi

hal ini termasuk moral ialah larangan hubungan intim dengan orang ketiga.27

2. Isu-Isu Gender Dalam Hukum Adat

Hukum adat sebagai hukum rakyat Indonesia dengan corak dan sifat

beraneka ragam yang sebagian besar tidak tertulis dan dibuat serta ditaati oleh

masyarakat terdiri dari hukum adat pidana, tata negara, kekeluargaan, perdata,

perkawinan dan waris.

Di Indonesia pada dasarnya terdapat tiga sistem kekeluargaan atau

kekerabatan yakni :

a. Sistem kekerabatan patrilinial, yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis

keturunan dari garis laki-laki, sistem ini dianut di Tapanuli, Lampung dan Bali.

b. Sistem kekerabatan matrilinial, yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis

keturunan dari garis perempuan, sistem ini dianut di Sumatra Barat daerah

terpencil.

c. Sistem kekerabatan parental, yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis

keturunan dari garis laki-laki dan perempuan, sistem ini dianut Jawa, Madura,

Sumatra Selatan dan lain-lainnya.28

Walaupun terdapat tiga sistem kekerabatan atau kekeluargaan yaitu sistem

kekerabatan matrilinial, patrilinial dan parental namun kekuasaan tetap berada di

tangan laki-laki hal ini sebagai akibat dari pengaruh idiologi patriarki. Sistem

kekerabatan dalam matrilinial yang dianut pada masyarakat Minangkabau di

27 Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, (Jakarta: Hidayakarya Agung, 1981), h.8.

Gambar

Tabel 1.1 Jumlah Anggota DPR RI hasil Pemilu Tahun 2004 ………………..
Tabel 1.1 Jumlah Anggota DPR RI hasil Pemilu Tahun 2004.13

Referensi

Dokumen terkait

DINAMIKA SOSIAL MASYARAKAT YOGYAKARTA MENGHADAPI TARIK ULUR NILAI TRADISIONAL DAN MODERNITAS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu..

Kedua inversi non-linier menggunakan pendekatan linier ini telah diuji menggunakan data sintetik anomali SP geometri lempeng dan diperoleh nilai estimasi parameter

54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta lampirannya, dan berdasarkan Berita Acara Hasil Evaluasi Dokumen Penawaran Nomor : 122 .8/ULP-PS-V/36.1/2017 tanggal

Namun dalam Tugas akhir ini, gedung tersebut akan dihitung dengan metode Sistem Rangka Pemikul Momen Menengah (SRPMM) karena terletak pada Kategori Resiko Struktur I

analisis sidik ragam dan uji BNT menunjukan bahwa ekstrak akar alang-alang berpengaruh sangat nyata terhadap persentase perkecambahan biji sawi putih yang di

Semakin tinggi proporsi tapioka yang ditambahkan, kadar air kerupuk mentah dan matang, volume pengembangan, dan daya serap minyak meningkat namun kerupuk menjadi lebih

Berdasarkan hasil penelitian beberapa peneliti tersebut, penelitian ini mencoba untuk mengidentifikasi lebih dalam mengenai tata kelola perusahaan dengan proksi

Although popular discourse holds that conservatives are more likely than liberals to believe that genes influence human characteristics, the results of our analysis show that