• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bentuk Patologi Birokrasi yang Terjadi Dalam Pelayanan

BAB IV PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

C. Bentuk Patologi Birokrasi yang Terjadi Dalam Pelayanan

Patologi birokrasi adalah penyakit perilaku negatif, atau penyimpangan yang dilakukan pejabat atau lembaga birokrasi dalam rangka melayani publik, melaksanakan tugas dan menjalankan program pembangunan. Bentuk patologi birokrasi yang terdiri dari: (1) penyalahgunaan wewenang dan jabatan, dan (2) diskriminasi. Hasil penelitian terhadap kedua bentuk patologi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Penyalahgunaan Wewenang dan Jabatan

Penyalahgunaan wewenang dan jabatan, yaitu perilaku disfungsional yang sering terjadi dalam birokrasi pemerintahan. Jika terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan jabatan , yang terjadi ialah (a) pemanfaatan kekuasaan dan jabatan seseorang untuk kepentingan diri sendiri atau kelompok tertentu dengan mengorbankan kepentingan yang lebih penting dan lebih luas, dan (b) memperlambat proses penyelesaian.

a. Pemanfaatan kekuasaan dan jabatan.

Semakin tingginya jabatan seorang aparat pemerintah ternyata tidak lantas membuatnya mampu bersikap adil dalam pemberian pelayanan masyarakat secara menyeluruh dan tanpa pandang buluh, seperti yang dikatakan salah satu pengurus paspor dibagian pengisian formulir dalam wawancara sebagai berikut:

“saya menemani ibu saya mengurus paspor beberapa bulan yang lalu, ibu saya diharuskan membayar sejumlah uang yang harus diselipkan kedalam map formulir yang kata seorang pegawai demi memperlancar proses penyelesaian agar tidak berbelit-belit” (NS, 15/06/2015)

Tindakan di atas menunjukkan adanya perilaku pemanfaatan kekuasaan dengan dalih untuk mempercepat proses penyelesaian paspor, yang tentu saja tidak dibenarkan dalam aturan dan tergolong dalam penyalahgunaan wewenang. Hal tersebut kemudian kembali dibantah oleh Kepala Seksi Lantaskim kantor Imigrasi kelas 1 Makassar, yang mengatakan bahwa:

“segala bentuk pembayaran dalam proses pembuatan paspor sudah sejak 5 tahun lalu tidak pernah dilakukan di kantor melainkan di Bank yang sudah kami tentukan, jadi tahapan yang dilakukan di kantor hanya tahapan pendaftaran yang juga bisa dilakukan melalui online diwebsite kami, kemudian melengkapi dokumen pribadi, wawancara, dan yang terakhir foto biometrik dan pengambilan sidik jari. Benar-benar tidak ada transaksi pembayaran apapun yang terjadi di kantor” (KM, 06/07/2015)

Pernyataan di atas tidak membenarkan adanya transaksi berupa pembayaran apapun yang terjadi di kantor dalam proses pembuatan paspor, namun yang dialami oleh pengurus paspor di atas merupakan perilaku yang negatif pegawai yang ingin mendapat keuntungan sediri. Hal ini juga diperjelas kembali oleh KAUR Kepegawaian kantor Imigrasi kelas 1 Makassar yang mengatakan:

“tindakan korup merupakan perilaku yang memang sulit diendus meski pengawasan terhadap tindakan tersebut makin diperketat, sebab pelakunya juga semakin “canggih” dalam mengakali masyarakat dengan memberi keistimewaan sendiri dalam pelayananannya. Pihak kantor sendiri sering kecolongan terhadap pegawai yang berperilaku demikian, kadang sudah berjalan lama baru terkuak kepimpinan. Jujur saja ini adalah tantangan terbesar kami dalam memberi pelayanan yang prima kepada masyarakat, sehingga kami pun meminta kepada masyarakat agar bisa ikut mengawasi hal seperti ini agar

bisa secepatnya melapor kepada pihak kami apabila dalam pemberian pelayanan, ada pegawai yang dengan sengaja meminta “imbalan” agar kami bisa memberi tindakan dengan cepat”. (SH,27/07/2015)

Penjelasan dari KAUR Kepegawaian di atas memberi peringatan juga kepada masyarakat agar lebih waspada dengan tindakan pegawai diluar prosedur pelayanan seperti meminta imbalan sebab hal tersebut adalah pemanfaatan jabatan yang hanya akan merugikan tidak hanya masyarakat tapi juga dirinya sendiri, kemudian nada yang sama juga dilontarkan oleh Kepala Seksi Wasdakim yang mengatakan bahwa:

“imbalan dalam bentuk apapun tidaklah dibenarkan untuk memperoleh pelayanan yang cepat dan tanpa hambatan dan sebaiknya masyarakat juga jangan sampai terjebak oleh pegawai yang memakai jabatannya untuk menarik keuntungan. Kalau pun dokumennya bermasalah tentu harus diselesaikan bukannya menyogok agar dokumennya dilancarkan saja, karena disembunyi seperti apapun pasti akan tetap ketahuan dan sebenarnya tindakan korup pegawai itu ada karena masyarakat itu sendiri yang dengan sengaja memberi peluang”. (MB, 08/07/2015)

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa dokumen yang salah akan tetap salah meski berusaha disembunyikan sebab semua dokumen akan diproses dengan aplikasi komputer yang secara otomatis akan memperlihatkan hasil yang sebenarnya, dan sebagai masyarakat yang cerdas juga harus bisa waspada dan ikut mengawasi aparat yang memberi pelayanan dengan memanfaatkan jabatannya. Seperti penjelasan terakhir yang disampaikan oleh Kepala Seksi Insarkom berikut: “cepat atau lambatnya pembuatan paspor itu tergatung dokumen itu sendiri, jika dokumennya bermasalah sedikit saja pasti akan memakan waktu yang lama juga karena kesalahan satu huruf saja itu bisa memakan waktu satu hari proses penyelesaian tidak bisa menggunakan cara instan apalagi menyogok pegawai”. (IS, 08/07/2015)

Kesimpulan hasil wawancara di atas, bahwa memang dalam menangani tindakan korup yang dilakukan oleh pegawai yang dengan sengaja memanfaatkan jabatannya harus melibatkan masyarakat dalam membantu mengawasi agar perilaku negatif seperti korupsi bisa diatasi sedini mungkin sebelum merugikan orang lain.

b. Memperlambat proses penyelesaian

Tidak hanya pemanfaatan kekuasaan yang menjadi bentuk patologi yang terdapat dalam pelayanan pengurusan paspor, ada pula masalah keterlambatan proses penyelesaian seperti yang dikatakan oleh salah satu masyarakat yang sedang mengurus paspor bahwa:

“seharusnya paspor saya sudah bisa selesai sejak kemarin, tapi karena ada yang menjadi prioritas lain dari pihak pegawai yang menyebabkan penyelesaian paspor saya diundur hari ini. Akhirnya saya juga harus mengundur jadwal keberangkatan saya untuk menemui saudara saya yang sedang sakit di Thailand, saya juga sempat melihat berkas yang sengaja dikelompokkan menjadi 3 bagian diatas meja pegawai” (SY, 17/06/2015)

Pernyataan ini menunjukkan sikap mementingkan diri sendiri dibanding kepentingan masyarakat yang imbasnya membuat tahap penyelesaian paspor menjadi lambat dan tidak sesuai dengan target waktu yang telah disepakati. Kemudian hal ini kembali diklarifikasi oleh Kepala Seksi Lantaskim Kantor Imigrasi Kelas 1 Makassar yang mengatakan:

“dalam tahap pembuatan paspor, kami tidak memprioritaskan pihak tertentu, hanya saja kami membatasi kuota bagi masyarakat yang akan mengurus paspor dengan melayani sekitar 100 orang per hari tujuannya untuk lebih mengefektifkan waktu penyelesaian agar lebih cepat. Sehingga dalam waktu satu hari semua tahapan dapat terlewati hanya tinggal menunggu pencetakan paspor yang bisa selesai paling lambat 2 sampai 4 hari setelah semua tahapan prosesnya selesai. Kami selalu berusaha untuk lebih professional dalam

memberi pelayanan kepada semua kalangan masyarakat tanpa pernah membedakan sedangkan berkas yang memang sengaja kami pisah menjadi 3 bagian ini merupakan berkas yang memiliki masalah tertentu, misalnya kelengkapan data diri yang masih belum lengkap adapun beberapa data yang tidak sinkron dengan data yang lain sehingga harus dipisah agar bisa dilengkapi kembali oleh pengurus yang bersangkutan. (KM, 06/07/2015)

Penjelasan dari Kepala Seksi Lantaskim Kantor Imigrasi Kelas 1 Makassar menunjukkan bahwa professionalitas merupakan bagian yang amat dijunjung tinggi dalam pelayanan masyarakat meski terkadang dalam penyelenggaraannya masih sering ditemui adanya kesulitan yang tidak diketahui oleh masyarakat umum, sama halnya dengan pernyataan dari KAUR Kepegawaian berikut ini:

“maksud dari permohonan paspor yang sengaja dipisah seperti itu bukan berarti membedakan golongannya, melainkan membedakan dokumen yang sudah lengkap dan dokumen yang masih menunggu kelengkapan lainnya, hal ini dimaksudkan sebagai kebijakan dari petugas untuk mempermudah pengurusan paspor.” (SH, 27/07/2015)

Kemudian hal tersebut dibenarkan oleh pengurus paspor lain yang dokumennya sempat disimpan untuk diberikan waktu guna melengkapi berkas permohonannya tanpa perlu membawanya kembali sehingga tidak akan merepotkan untuk dibawa kembali seperti berikut:

“paspor suami saya ingin diganti karena hilang tapi syaratnya harus membawa surat keterangan hilang dari kantor polisi setempat, jadi sebagian berkasnya memang disimpan kemudian diberi keterangan untuk segera dilengkapi paling lambat 2 hari.” (ST, 22/06/2015)

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa petugas kantor tidak pernah memberatkan masyarakat dengan selalu berusaha memberi pelayanan yang optimal, dimaksudkan agar dokumen yang sudah ada tidak tercecer. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Kepala Seksi Lantaskim seperti berikut:

“penyimpanan dokumen yang sudah ada dimaksudkan agar dokumen tersebut tidak tercecer apabila dibawa kembali oleh pemohon sehingga kami hanya memberikan keterangan dokumen apa saja yang dirasa kurang untuk melengkapi permohonan pembuatan paspor” . (KM, 06/07/2015)

Kesimpulan dari hasil wawancara di atas bahwa setiap tindakan pegawai kantor selalu diandasi dengan alasan yang tidak lain demi kepentingan masyarakat yang akan menerima pelayanan itu sendiri.

2. Diskriminasi

Diskriminasi merupakan perilaku yang menggambarkan ketidak adilan terhadap masyarakat dalam memberikan pelayanan.yaitu, (a) pertimbangan primordialisme (kesukuan dan kedaerahan atau ras), (b) satu almamater, (c) status sosial, dan (d) status kekeluargaan.

a. Primordialisme Dalam Pelayanan

Pentingnya keterbukaan suatu birokrasi dalam arti kejelasan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar bertindak, agar tidak terjadi perbandingan dalam pemberian pelayanan seperti yang dikatakan oleh salah satu pengurus paspor berikut ini:

“saya sudah mengantri lama, bahkan dijam istirahat saya tetap duduk disini sampai jam istirahat selesai untuk foto tapi tadi ada seorang bapak yang langsung masuk saja ke ruangan foto. Saya dan sebagian orang yang masih mengantri sangat ingin marah karena saya pikir masih jam istirahat sedangkan bapak tadi dilayani tanpa harus mengantri apalagi bapak tadi masuk bersama salah satu pegawai kantor disini dengan memberi kode dengan bahasa daerah yang tidak saya mengerti, jadi saya hanya bisa sabar saja”. (HW, 15/06/2015)

Pernyataan dari pihak pengurus paspor menunjukkan terjadinya tindakan diskriminasi yang dengan sengaja lebih mengutamakan kesukuan terhadap pengurus paspor lain ketimbang pengurus paspor yang memang sudah menaati

peraturan yang ada dengan sabar mengantri sampai mendapat giliran. Sementara pernyataan dari pihak Kepala Seksi Wasdakim Kantor Imigrasi kelas 1 Makassar menegaskan bahwa:

“secara tehnis, budaya mengantri adalah hal yang paling sulit diawasi dengan baik. Kami kembalikan lagi kepada masyarakat dalam menyikapi setiap perilaku negatif yang sebenarnya timbul karena tidak adanya kesadaran diri sendiri, cenderung menyalahkan sepenuhnya kepada pihak kantor yang dinilai membandingkan pelayanan. Padahal kami sudah memberi banyak kemudahan dan kenyamanan agar dalam mengantri menjadi tidak membosankan, tapi sebagian masyarakat memang dengan sengaja meminta bantuan kepada pihak pegawai untuk diberi pelayanan khusus apalagi mereka menganggap punya sanak saudara yang memiliki kesamaan suku bisa membantu sedangkan disi lain, sanak saudara yang menjadi pegawai tersebut juga sulit menolak permintaan karena dasar unsur kedaerahan tadi. Jadi dapat dikatakan serba salah juga jika harus menerima dan harus menolak”. (MB, 08/07/2015)

Pernyataan di atas secara tidak langsung membenarkan adanya tindakan diskriminasi yang cukup sulit dihindari meskipun sebenarnya bisa diberikan pengertian kepada sanak kelurga agar bisa menerima sikap professional dalam bekerja, seperti yang diungkapkan oleh salah satu pengurus paspor berikut :

“saya juga punya kenalan disini, kami dari daerah yang sama tapi karena saya mengerti bahwa prosedur tetap harus dijalankan sebagaimana mestinya dimana kita sebagai masyarakat harus ikut mendukung dalam menjunjung tinggi keadilan terutama dalam hal pelayanan”. (NS, 15/06/2015)

Pernyataan tersebut membuktikan bahwa sebagai masyarakat kita tidak boleh egois dan mementingkan diri sendiri, setidaknya membantu pegawai dalam menjalankan tugasnya dengan baik adalah suatu keharusan jika ingin menuntut keadilan. Pernyataan yang sama juga diberikan oleh Kepala Seksi Insarkom berikut ini:

“saya sering memberi pengertian kepada keluarga dan teman-teman saya yang kebetulan sedang mengurus paspor atau pengurusan lainnya yang berhubungan dengan kantor ini, saya mengajarkan mereka agar bisa membedakan kondisi yang tepat untuk minta tolong karena adanya saya disini adalah untuk melayani masyarakat tanpa memandang status apapun”.(IS, 08/07/2015)

Pernyataan dari pihak kantor semakin mempertegas bagaimana profesionalitas sangat dijunjung meski masih ada sebagian pegawai yang masih sulit menerapkannya dengan alasan status orang yang dilayani bahkan dengan terang-terangan menjelaskannya seperti KAUR Kepegawaian berikut ini:

“bukannya tidak professional tetapi memberikan pengertian kepada sanak keluarga bukanlah hal yang mudah dikarenakan setiap anggota keluarga tidak semuanya bisa menerima alasan kita, maka dari itu kita hanya bisa memperkecil peluang timbulnya diskriminasi bukan menghilangkan”. (SH, 27/07/2015)

Kesimpulan wawancara di atas menunjukkan bahwa semua tahapan dalam proses pelayanan masyarakat di kantor Imigrasi kelas 1 Makassar dapat berjalan dengan baik apabila adanya kerjasama antara pegawai kantor yang professional dengan masyarakat yang sadar akan peraturan yang berlaku dalam ruang lingkup kantor tersebut sehingga terwujud pelayanan yang optimal tanpa merugikan orang lain.

b. Satu Almamater

Sama dengan halnya primordialisme yang mendahulukan kepentingan pribadi dalam hal ini satu almamater juga memiliki arti yang sama bahwa hanya yang memiliki teman saja yang mendapat pelayanan khusus. Seperti pengakuan salah satu pengurus paspor di kantor Imigrasi kelas 1 Makassar yang merasakan hal tersebut:

“sebenarnya saya belum mendapat giliran untuk foto, karena antrian saya masih harus menunggu 8 orang lagi tapi untung saja saya punya teman semasa sekolah yang bekerja disini jadi saya bisa langsung masuk tanpa harus menunggu lama. Meskipun rasanya tidak enak hati dengan orang lain yang sudah mengantri dari sejak pagi”.(ST, 22/06/2015)

Pernyataan tersebut membenarkan adanya celah diskriminasi dalam pemberian pelayanan hanya dengan alasan karena satu almamater, meskipun sadar betul bahwa tindakan tersebut dapat merigukan orang lain yang sudah mengantri. Hal ini kemudian ditanggapi oleh Kepala Seksi Lantaskim kantor Imgrasi kelas 1 Makassar yang mengatakan bahwa:

“kami tidak pernah membenarkan bahwa adanya status teman bisa membantu proses pengurusan paspor di tahapan mana pun karena kami sendiri sudah memberi kebijakan apabila dalam kepengurusan paspor mendapat masalah dan kami merasa kebijakan yang kami berikan selalu bisa diterima dengan baik oleh masyarakat tanpa harus membawa nama teman. Dan sekali lagi bahwa kami sangat berusaha professional dalam memberikan pelayanan jadi tanpa perlu bantuan dari siapapun termasuk teman juga bisa mengurus paspor dengan mudah”. (KM, 06/07/2015)

Pernyataan di atas dapat dijabarkan bahwa sebenarnya masyarakat sendiri yang menjadi alasan mengapa ada perbedaan pelayanan yang terjadi dalam pembuatan pengurusan paspor di kantor Imigrasi Kelas 1 kota Makassar. Begitu pula yang disampaikan oleh salah satu pengurus paspor berikut ini:

“kebanyakan orang memang tahu kalau perbuatan mereka merugikan orang lain, tapi tetap juga dilakukan dengan berbagai alasan yang sebenarnya tidak masuk akal, seperti tidak bisa menunggu lama padahal antrinya cuma sebentar”. (HW, 15/06/2015)

Pernyataan di atas menjelaskan bahwa adapun kesadaran masyarakat yang memang bisa mengikuti prosedur meski harus mengantri untuk dapat giliran, seharusnya ini bisa menjadi contoh yang baik untuk masyarakat lain. Senada

dengan pernyataan diatas, juga disampaikan oleh Kepala Seksi Wasdakim seperti berikut:

“tidak ada waktu yang terbuang sia-sia jika bisa menunggu giliran, sebab kami sendiri sudah memperhitungkan dengan baik bahwa semua pemohon paspor yang sudah mengambil nomor antrian sudah pasti bisa dilayani hari itu juga kecuali ada dokumen yang memang belum dilengkapi atau sistem operator yang sedang bermasalah yang bisa saja memperlambat proses pengiriman dokumen ke kantor pusat. Tapi kami selalu bisa mengatasi dengan baik tanpa mengorbankan waktu masyarakat itu sendiri”. (MB, 08/07/2015)

Masalah jaringan memang selalu menjadi masalah yang cukup mengganggu ketika pelayanan yang sudah dianggap optimal tapi kembali menuai masalah karena dokumen harus bisa mendapat persetujuan terlebih dahulu dari kantor pusat kemudian bisa mendapatkan ijin untuk mencetak paspor. Selama semua dilakukan sesuai prosedur tentu tak akan ada masalah, seperti pernyataan dari KAUR Kepegawaian yang mengatakan bahwa:

“sebenarnya tanpa perlu dibantu secara pribadi, masyarakat sudah pasti mendapat pelayanan yang optimal sampai paspor selesai jika dilakukan dengan baik dan menaati semua syarat dan ketentuan yang berlaku”. (SH, 27/07/2015)

Kesimpulan dari wawancara di atas bahwa masyarakat itu sendiri yang merugikan orang lain meskipun mereka tahu tindakan tersebut tidaklah benar. Sedangkan dari pihak pegawai yang dimintai pertolongan tentu berasumsi bahwa siapa saja yang minta pertolongan jelas harus dibantu tanpa pandang buluh.

c. Status Sosial

Penyakit satu ini adalah penyakit yang paling sering ditemukan dalam proses pelayanan masyarakat dan paling mendapat sorotan terbanyak, seperti yang dialami salah satu pengurus paspor berikut ini :

“saya pernah menemani ibu saya mengurus paspor, saat berada di tempat duduk antrian untuk foto biometric, tiba-tiba saja datang seorang perempuan yang berpakaian sangat rapi seperti layaknya seorang pejabat tanpa dipanggil langsung memasuki ruangan foto, saya kaget dan sedikit marah.Kemudian setelah perempuan itu keluar, saya melihat pegawai yang tadinya berwajah sangat galak berubah menjadi sangat ramah dan tidak hentinya melempar senyum kepada perempuan tadi. Saat itu saya berpikir apa pelayanan di kantor ini dibedakan berdasarkan pakaian seseorang atau status sosialnya? Padahal sudah terlihat jelas bahwa motto pelayanan adalah melayani dengan tulus”.(KJ, 17/06/2015)

Pernyataan di atas menggambarkan protes atas ketidakadilan yang dirasakan oleh salah satu pengurus paspor yang sebenarnya sudah bertindak benar dengan mengantri sesuai nomor urutnya, namun akhirnya kecewa karena adanya oknum pengurus paspor yang tidak ingin ambil pusing dengan menyerobot masuk tanpa perlu antri dan sudah pasti menyalahi aturan. Sementara itu hasil wawancara dengan Kepala Seksi Lantaskimkantor Imigrasi kelas 1 Makassar menyatakan bahwa:

“masalah seperti ini sangat sering kami temui, seringnya pegawai dianggap pilih kasih terhadap masyarakat dalam arti membedakan status sosial. Sebenarnya kami tidak mungkin membedakan pelayanan karena semua masyarakat dapat kami layani dengan sepenuh hati, hanya saja disisi lain kami juga tidak mungkin memperlakukan orang-orang yang berada jauh diatas kami sama seperti yang lain sehingga kami hanya meminta pengertian masyarakat bahwa kepentingan kalangan tertentu bisa didahulukan dan tentu saja kami juga tidak akan merugikan masyarakat lain sebab kami sendiri sudah memperhitungkan semuanya atau dalam arti bahwa kmi sudah mempersiapkan kemungkinan akan terjadinya hal seperti itu”. (KM,06/07/2015)

Pernyataan dari pihak kantor itu sendiri membenarkan adanya tindakan diskriminasi terhadap kalangan tertentu seperti halnya pejabat setempat yang tidak ingin repot mengantri dengan alasan adanya urusan lain yang lebih penting.

Kemudian tanggapan lain mengenai pernyataan diatas mendapat respon lain dari pengurus paspor berikut ini:

“saya pernah mendengar pengalaman teman saya yang beberapa waktu lalu mengurus paspor juga, hampir sama dengan yang dialami dengan pengurus paspor diatas yang pelayanannya dibedakan. Saya merasa jika memang harus dibedakan seperti itu, kenapa tidak membagi loketnya saja menjadi 2. Dimana loket 1 melayani khusus masyarakat kalangan menengah ke atas dan loket 2 melayani masyarakat kalangan menengah kebawah, setidaknya hal ini bisa lebih bisa dimengerti daripada harus secara sembunyi-sembunyi dipisah yang akhirnya merugikan orang lain yang sudah rela mengantri. Meskipun sebenarnya masukan seperti ini tentu menyalahi aturan professional dan keadilan” (SY, 17/06/2015)

Pernyataan dari salah satu pengurus paspor tersebut mungkin bisa menjadi teguran kepada pihak kantor, apabila memang berniat agar pelayanan bagi orang yang memiliki status sosial tinggi butuh pelayanan yang ekstra maka mereka pun harus punya loket sendiri tanpa perlu ikut mengantir berlama-lama atau bahkan merugikan orang lain. Tetapi hal tersebut kembali dibantah oleh Kepala Seksi Insarkom berikut :

“kalaupun ada tindakan yang kurang menyenangkan dalam proses pengurusan, seharusnya masyarakat bisa segera memberi tahu kami agar kami bisa langsung memberi teguran kepada oknum pegawai yang dengan sengaja melakukan diskriminasi dalam pemberian pelayanan”. (IS, 08/07/2015)

Fungsi pegawai memang tidak hanya sebagai pelayan masyarakat tetapi juga bisa menjadi pengawas bagi pegawai lain untuk menghindari perilaku negatif, hal yang sama juga disampaikan oleh KAUR Kepegawaian yang mengatakan bahwa:

“ saya sering menekankan kepada bawahan saya bahwa dalam memberi pelayanan kepada masyarakat, hendaklah juga mengawasi tindakan rekan atau sesama pegawai yang melakukan hal diluar prosedur pelayanan yang

sebenarnya karena kami tidak segan memberi tegurankepada bawahan yang melakukan hal negative apalagi kami sangat berusaha memberi contoh yang baik kepada masyarakat terutama dalam keadilan pelayanan”. (SH. 27/07/2015)

Hasil dari wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa penyakit status sosial adalah masalah yang secara tidak langsung sudah menjadi budaya dalam pelayanan masyarakat, yang selalu dipandang biasa saja bagi para aparat birokrat padahal sama sekali tidak memiliki sisi positif cenderung merugikan masyarakat lain. Dan seharusnya pegawai harus lebih teliti tidak hanya kepada masyarakat yang dilayani tetapi juga kepada pegawai lain yang memberi pelayanan.

d. Status kekeluargaan

Diantara banyak masalah diskriminasi, mungkin status kekeluargaan yang menjadi penyumbang terbanyak setelah status sosial, sebab penyakit ini paling sensitif untuk dijabarkan. Meskipun pada teori professionalitas tidak mengenal kata keluarga tapi dalam realita berkata lain, seperti penuturan Kepala Seksi Lantaskim berikut ini:

“teori pelayanan manapun tentu sangat tidak membenarkan adanya istilah keluarga untuk memperoleh layanan yang cepat. rasanya tidak mungkin menghilangkan sisi keluarga ketika harus menjadi professional di lapangan, seperti tidak berguna jika harus membiarkan anggota keluarga menjalani

Dokumen terkait