• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II INDUSTRI MINYAK GORENG SAWIT DI INDONESIA

B. Bentuk Pemasaran Minyak Goreng Sawit

Kelapa Sawit bukanlah tanaman asli dari Indonesia. Tanaman ini berasal dari Afrika Barat yang mulai diperkenalkan di Indonesia sejak tahun 1848 melalui Hortus Botanicus Amsterdam sebagai tanaman hias di taman kebun raya Bogor. Oleh karena cocok ditanam di Indonesia dengan iklim dan jenis tanah yang ada, maka pada tahun 1911 dikembangkan secara besar-besaran di Sumatera Utara.25

Kelapa sawit sangat penting artinya bagi Indonesia. Selama kurun waktu 20 tahun terakhir, kelapa sawit menjadi komoditas andalan ekspor dan komoditas yang

25

Endang Tjitroresmi, Peran Industri Perkelapasawitan Dalam Pasar Global, dapat diakses di www.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog.pdf, hlm. 136, terakhir diakses tanggal 25 April 2012.

diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan harkat petani pekebun serta para transmigran di Indonesia.26

Untuk pengembangan yang bersifat ekonomis maka tanaman kelapa sawit berkembang luas dengan berbagai bentuk seperti : perkebunan milik pemerintah (BUMN/PTP), perusahaan inti rakyat-perkebunan (PIR-BUN), perkebunan inti rakyat khusus (PIR-SUS), perkebunan inti rakyat transmigrasi (PIR-TRANS), Perusahaan Besar Swasta Nasional (PBSN) dan perkebunan rakyat.

Kelapa sawit merupakan komoditas primadona dari sub sektor perkebunan yang diunggulkan untuk pasar domestik maupun ekspor. Sebelum mengenal kelapa sawit sebagai bahan baku minyak goreng, penduduk Indonesia pada umumnya menggunakan kelapa biasa sebagai bahan baku pembuatan minyak nabati. Pohon kelapa ini banyak tumbuh di Indonesia di berbagai pelosok wilayah dan sudah dikenal sebagai bahan baku minyak goreng. Disamping minyak kelapa dikenal pula minyak kacang, minyak jagung, minyak bunga matahari, dan sebagainya. Namun produk minyak lain tersebut sangat sedikit (jarang masyarakat yang memproduksi sendiri), sementara minyak goreng dari kelapa merupakan kebutuhan yang dapat diproduksi sendiri dan memang sejak dahulu merupakan primadona minyak nabati masyarakat. Dengan bertambahnya jumlah penduduk Indonesia maupun dunia membutuhkan minyak nabati yang tidak sedikit jumlahnya, oleh karena itu berkembanglah minyak yang berbahan baku kelapa sawit.

26

Maruli Pardamean, Panduan Lengkap Pengelolaan Kebun dan Pabrik Kelapa Sawit, (Jakarta: PT. AgroMedia Pustaka, 2008), hlm. 1.

Pada mulanya teknologi pengolahan kelapa sawit menjadi minyak goreng juga cukup sederhana sehingga hasilnya kurang menguntungkan karena harus cepat dimasak untuk menghindari menurunnya kualitas produk, yaitu berbau tengik. Kelapa sawit maksimal 24 jam setelah panen harus diproses untuk diolah menjadi bahan kasar minyak sawit (Crude Palm Oil/CPO). Hal ini harus dilakukan untuk menghindari bau minyak yang kurang enak (tengik). Dengan menggunakan bahan baku kelapa biasa hal tersebut tidak akan terjadi karena sebelum diolah menjadi minyak kelapa, maka diproses terlebih dahulu menjadi kopra. Dengan demikian, hasilnya juga lebih bagus, walaupun dengan teknologi yang masih sangat sederhana. Namun dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) pemasakan tandan buah sagar (TBS) kelapa sawit dapat dilakukan dengan lebih baik dan dapat menghilangkan bau tengik. Akhirnya bahan baku kelapa sawit dapat bersaing dengan kelapa biasa dan bahkan memiliki keunggulan dalam hal warna, rasa, penampilan dan keawetan. Kelapa sawit juga bisa diuraikan menjadi bahan turunan yang bisa dipergunakan untuk keperluan lain baik sebagai bahan dasar olahan makanan maupun industri kecantikan, kesehatan dan sebagainya.

Dalam era globalisasi dimana persaingan antara negara-negara penghasil komoditi sejenis begitu ketatnya maka untuk menghadapinya tentunya harus mulai dipersiapkan agar produk dari Indonesia bisa ikut berperan di pasar dunia. Strategi keunggulan kompetitif di sektor perkebunan harus dimanfaatkan secara maksimal untuk menghasilkan bahan baku berkualitas bagi sektor industri. Keunggulan kompetitif ini akan menciptakan daya saig produk yang tinggi bagi

komoditi perkebunan karena memanfaatkan keunggulan tenaga kerja, iklim tropis (sinar matahari dan curah hujan merata sepanjang tahun), ketersediaan lahan yang luas, serta ditambah dengan dukungan pemerintah dalam pendanaan investasi.27

Dengan potensi lahan dan kemampuan berbudidaya yang cukup berpengalaman serta kemampuan produksi yang sudah mencapai peringkat 2 (dua) dunia seharusnya lebih terpacu lagi untuk dapat bersaing.

Di dunia dikenal 40 (empat puluh) jenis minyak dan lemak yang dapat dikonsumsi manusia, namun yang sudah masuk perdagangan internasional hanya 17 (tujuh belas) jenis yang diperdagangkan oleh lebih dari 120 (seratus dua puluh) negara.28

Saat ini minyak kelapa sawit merupakan salah satu minyak nabati yang paling popular karena keunggulannya yaitu bisa diproduksi secara besar-besaran dan dapat dipasarkan hampir di seluruh dunia serta menghasilkan volume minyak yang paling besar per satuan hektar tanaman dibandingkan produk minyak dari bahan baku lain.

Akhir-akhir ini timbul pertentangan mengenai penggunaan CPO sebagai bahan baku minyak goreng, diantaranya menyebutkan CPO kelapa sawit dapat menimbulkan kolesterol tinggi, namun ternyata dari hasil penelitian tidak menunjukkan hal demikian.29

Selain keunggulan per satuan luas dalam menghasilkan minyak, terdapat manfaat CPO dan hasil olahan lainnya yaitu: pertama, mengandung karoten, tokofenol dan antioksidan yang bermanfaat untuk kesehatan diantaranya merupakan sumber provitamin A, obat antikanker, dan

27

Iyung Pahan, Panduan Lengkap Kelapa Sawit Manajemen Agribisnis Dari Hulu Hingga Hilir, (Jakarta:PenebarSwadaya, 2008), hlm. 1.

28

Endang Tjitroresmi, Op.Cit., hlm. 138.

29

mencegah jantung koroner, kedua: asam lemak yang berasal dari CPO kelapa sawit adalah asam lemak tak jenuh yang dapat menurunkan kadar kolesterol dalam darah.30

Sekitar 80% (delapan puluh persen) penduduk dunia, khususnya di negara berkembang masih berpeluang meningkatkan konsumsi perkapita untuk minyak dan lemak terutama untuk minyak yang harganya murah.31

Di samping faktor penduduk, peningkatan konsumsi juga disebabkan oleh efek substitusi dan pendapatan. Faktor lain yang memperbesar peluang CPO adalah bergesernya industri yang menggunakan bahan baku minyak bumi ke bahan yang lebih bersahabat dengan lingkungan seperti oleokimia hasil CPO, seperti di negara-negara Amerika Serikat, Eropa Barat dan Jepang.

Saat ini Indonesia memasok 31% (tiga puluh satu persen) kebutuhan minyak kelapa sawit (CPO) dunia, dengan posisi ini seharusnya bisa ditingkatkan atau paling tidak bertahan dan tidak mudah tergoyahkan oleh negara pesaing yang kemungkinan akan lebih giat memacu produksinya.32

Selain itu, permintaan domestik terhadap komoditas minyak sawit juga terus meningkat dari tahun ke tahun yang diperkirakan pada tahun 2010 mencapai lebih dari 3 (tiga) juta ton per tahun. Dalam prediksi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) kebutuhan minyak kelapa sawit akan terus meningkat dari 2,6 juta ton per tahun pada tahun 1998, menjadi 3,4 juta ton pada tahun 2010.33

Sementara di pasar dunia akhir-akhir ini kebutuhan terhadap minyak sawit mentah (CPO) dan

30

Ibid., hlm. 185.

31

Endang Tjitroresmi, Op.Cit., hlm. 139.

32

Ibid., hlm. 139.

33

turunannya juga semakin meningkat, menggeser kedudukan minyak nabati jenis lain, seperti minyak kedelai.

Secara relatif pangsa konsumsi minyak sawit menduduki pangsa terbesar dalam total konsumsi minyak goreng Indonesia, kemudian diikuti minyak goreng lainnya (minyak kedelai, minyak jagung) dan minyak goreng kelapa. Hal yang menarik adalah pangsa konsumsi minyak kelapa cenderung meningkat. Hal ini secara ekonomi lebih baik karena ada kecenderungan diversifikasi dalam konsumsi minyak goreng sawit. Konsumsi minyak goreng yang terlalu bertumpu pada satu jenis minyak goreng seperti minyak goreng sawit mengandung resiko secara ekonomi khususnya dari segi stabilitas harga. Selain itu, mengingat minyak sawit adalah komoditas ekspor Indonesia, peningkatan konsumsi yang terlalu bertumpu pada minyak goreng sawit dapat mengurangi kesempatan Indonesia memperoleh devisa dari ekspor.

Peningkatan pangsa konsumsi minyak goreng non sawit juga diharapkan akan mendorong peningkatan produksi bahan baku minyak goreng non sawit khususnya kelapa dan jagung yang potensial di Indonesia. Hal ini selain diversifikasi, produksi bahan baku minyak nabati juga akan melestarikan plasma nutfah kelapa dan jagung secara lintas generasi.

Secara nasional, konsumsi minyak goreng sawit sebagian besar dikonsumsi masyarakat dalam bentuk minyak goreng curah, yakni mencapai 80% (delapan puluh persen). Sisanya, yakni 20% (dua puluh persen) dalam bentuk

kemasan (bermerek).34

Selain karena harga minyak goreng curah lebih murah (20% (dua puluh persen) - 30% (tiga puluh persen)) di bawah harga minyak goreng kemasan), masyarakat Indonesia tampaknya belum banyak menuntut atribut produk yang lebih rinci (brand minded) sebagaimana diperoleh dari minyak goreng kemasan.

Meskipun pangsa pasar minyak goreng bermerek hanya sekitar 20% (dua puluh persen), telah cukup banyak produk minyak goreng di pasar. Beberapa diantaranya adalah Bimoli, Filma, Tropical, Fortune, Sania, Kunci Mas, Madina, Rolebrand, Delima, Sunco, Avena, Sarimurni. Hal ini berarti, pada segmen pasar minyak goreng bermerek cenderung terjadi persaingan monopolistik (monopolistic competition) yang sangat intensif. Sebagaimana struktur pasar persaingan monopolistik, persaingan yang terjadi bukanlah pada tingkat harga melainkan pada variabel di luar harga (non price competition) seperti promosi/iklan. Beberapa minyak goreng sawit bermerek mempromosikan diri sebagai minyak goreng nonkolesterol. Padahal semua minyak goreng yang bahan bakunya dari tumbuh-tumbuhan, tidak mengandung kolesterol.

Mengingat masih terbatasnya pangsa minyak goreng bermerek di Indonesia, serta tingginya persaingan pada segmen ini, sebagian produsen minyak goreng sawit menyiasati dengan menghasilkan keduanya yakni minyak goreng curah dan minyak goreng bermerek. Sekitar 32% (tiga puluh dua persen) produsen minyak goreng yang ada menghasilkan minyak goreng bermerek sekaligus minyak goreng curah. Dengan cara ini, produsen dapat memanfaatkan pasar

34

Tungkot Sipayung, Ekonomi Agribisnis Minyak Sawit, (Bogor:PT. Penerbit IPB Press, 2012), hlm. 85.

minyak goreng curah (umumnya konsumen kelas berpendapatan menengah ke bawah) dan pasar minyak goreng bermerek (konsumen kelas berpendapatan menengah ke atas).

Perbedaan harga antara minyak goreng curah dengan minyak goreng bermerek tampaknya menarik beberapa supermarket/hypermart untuk membuat minyak goreng kemasan semi bermerek dan dipasarkan dengan tingkat harga antara minyak goreng bermerek dengan minyak goreng curah. Segmen pasar yang dibidik minyak goreng semi bermerek ini adalah konsumen bagian atas kelas berpendapatan rendah, dan bagian bawah kelas berpendapatan tinggi atau lazim disebut konsumen kelas menengah.

Secara keseluruhan dibandingkan dengan volume produksi minyak goreng yang dihasilkan daya serap pasar domestik yakni konsumsi minyak goreng masih terbatas. Akibatnya sebagian besar produksi minyak goreng nasional ditujukan untuk ekspor.

Kecenderungan peningkatan ekspor dari produksi minyak goreng nasional secara ekonomi menguntungkan Indonesia. Nilai tambah yang diperoleh melalui ekspor minyak goreng secara umum lebih besar daripada bila mengekspor CPO. Selain itu, kecenderungan yang demikian mencerminkan bahwa pasar ekspor lebih menarik bagi produksi minyak goreng daripada pasar domestik.35

Sistem pemasaran dalam minyak goreng dapat dilihat dari jenis minyak goreng yang dipasarkan dimana untuk minyak goreng kemasan (bermerek), produsen menunjuk satu perusahaan sebagai distributor untuk melakukan

35

distribusi ke seluruh wilayah pemasarannya termasuk namun tidak terbatas ke seluruh retail modern. Pemilihan distributor tersebut dapat dilakukan terhadap perusahaan yang merupakan afiliasinya maupun perusahaan lain yang sama sekali tidak mempunyai afiliasi. Berdasarkan pemeriksaan dalam kasus kartel minyak goreng, diperoleh informasi bahwa kontrol produsen terhadap harga minyak goreng kemasan (bermerek) hanya sampai ditributornya saja dimana distributor mendapatkan marketing fee sebesar 5% (lima persen).36

Sebaliknya hal tersebut tidak terjadi pada sistem pemasaran minyak goreng curah, sebagian produsen tidak menunujuk distributor dan melakukan penjualan secara langsung. Hal tersebut terkait dengan karakteristik produk itu sendiri yang sangat berfluktuasi harganya dan daya tahan produk yang tidak terlalu lama. Produsen biasanya hanya melayani pembelian dalam jumlah besar kepada konsumen antara (pembeli besar) dengan sistem jual beli putus. Oleh karena itu, produsen tidak mempunyai kontrol harga di tingkat konsumen akhir. kontrol harga dilakukan produsen minyak goreng curah hanya pada harga jual langsung pada saat minyak goreng akan dijual dan dikeluarkan dari gudang produsen.

Dokumen terkait