B. HASIL PENELITIAN
1. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban KDRT Dalam Ketentuan dan Implementasinya
a. Perlindungan Hukum Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Aparat penegak hukum khususnya Polri, memberikan perlindungan hukum terhadap korban KDRT dengan mengacu peraturan perundang-undangan, yakni UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Perlindungan hukum menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan. Tujuan dibentuknya UU PKDRT antara lain untuk mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga, melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga dan memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. Bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang diatur dalam UU PKDRT meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga. Dapat dikatakan dengan kehadiran UU PKDRT, guna menyelamatkan korban kekerasan dalam rumah tangga serta bagi korban
63 dapat dilindungi secara hukum, dan kepada pelaku dapat dilakukan penindakan atau penuntutan hukum. Sementara bagi aparat penegak hukum, dengan dibentuknya UU PKDRT menandakan bahwa peraturan
perundang-undangan tersebut menjadi landasan hukum dalam
melindungi korban KDRT. Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004, aparat kepolisian memberikan perlindungan hukum kepada perempuan korban KDRT, antara lain sebagai berikut :
1. Dalam waktu 1 x 24 jam (satu kali dua puluh empat jam), setelah
mengetahui atau menerima laporan adanya KDRT, aparat polisi wajib memberikan perlindungan sementara kepada korban. (Pasal 16 ayat 1)
2. Perlindungan sementara tersebut diberikan paling lama 7 hari setelah
korban ditangani. (Pasal 16 ayat 2)
3. Kepolisian dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam
terhitung sejak pemberian perlindungan sementara wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan setempat. (Pasal 16 ayat 3)
4. Dalam memberikan perlindungan sementara kepada korban,
kepolisian dapat bekerjasama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial,
relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani untuk
mendampingi korban. (Pasal 17)
5. Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak
64
6. Kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui
atau menerima laporan tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. (Pasal 19)
7. Kepolisian segera menyampaikan kepada korban tentang : identitas
petugas, kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, dan kewajiban kepolisian untuk melindungi korban. (Pasal 20)
Karena Undang-Undang No. 23 tahun 2004 memiliki ketentuan yang lebih spesifik dan komprehensif daripada peraturan perundang-undangan yang lain, maka selain perlindungan hukum terhadap korban, diatur hak-hak bagi korban kekerasan dalam rumah tangga. Hak tersebut antara lain sebagai berikut :
1. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan,
advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
2. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
3. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
4. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap
tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
5. Pelayanan bimbingan rohani. (Pasal 10)
Penulis berpendapat, dengan adanya pasal-pasal dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 sebagaimana sudah diuraikan diatas, memungkinkan sebagai sarana atau upaya bagi aparat penegak hukum
65 untuk dijadikan sebagi acuan tindakan bagi aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum dan melindungi korban KDRT khususnya perempuan.
b. Implementasi
Mengingat bahwa tindak KDRT bukan hanya sebatas tindakan kekerasan terhadap seorang perempuan, tetapi juga merupakan kejahatan yang menodai harkat dan martabat manusia. Benar bahwa wilayah rumah
tangga adalah wilayah privat yang merupakan otoritas dari keluarga itu
sendiri. Tetapi sebagai makhluk sosial dalam kehidupan bernegara, seharusnya sebuah keluarga dan urusan rumah tangga juga merupakan bagian dari masyarakat publik. Sehingga apabila terjadi permasalahan dalam ranah keluarga, seperti KDRT, maka hal ini sudah masuk ke dalam wilayah publik karena merupakan bentuk kejahatan kemanusiaan. Artinya, publik atau masyarakat mempunyai kewajiban untuk campur tangan. Esensi ini yang mendasari dikeluarkannya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, menjadi legitimasi negara bahwa KDRT tidak lagi bisa dianggap sebagai otoritas wilayah domestik keluarga yang tidak bisa diganggu gugat, melainkan telah menjadi wilayah publik dan menjadi tanggung jawab masyarakat dan negara beserta aparat penegak hukum berkewajiban untuk turut campur menghentikannya. Dengan telah menjadi urusan publik maka lahirlah ketentuan Pasal 15 UU PKDRT, ketentuan tersebut berisi kewajiban bagi setiap orang yang mendengar, melihat atau mengetahui
66 terjadinya KDRT untuk melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk mencegah berlangsungnya tindak pidana, memberikan perlindungan kepada korban, memberikan pertolongan darurat dan membantu proses pengajuan permohonan perlindungan. Konsekuensi dari ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut sesuai apabila merujuk pada Teori Keadilan Bermartabat. Teori ini berisi suatu sistem hukum yang mengemban empat fungsi antara lain :
a. Hukum yang dalam hal ini dibatasi pada kaidah dan asas-asas hukum
yang saling berkaitan dalam sistem menjadi bagian dari sistem kontrol sosial mengatur perilaku manusia individual maupun masyarakat.
b. Hukum yang dalam hal ini dibatasi pada kaidah dan asas-asas hukum
yang saling berkaitan dalam sistem adalah sebagai sarana untuk menyelesaikan sengketa.
c. Fungsi hukum yang dalam hal ini dibatasi pada kaidah dan asas-asas
hukum yang saling berkaitan dalam sistem menjadi bagian dari untuk melakukan rekayasa sosial.
d. Hukum berfungsi sebagai pemelihara sosial.30
Pada dasarnya, setelah mendapat fakta-fakta di lapangan, Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Polres Salatiga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Kapolri No. Pol. 10 Tahun 2007 Tentang Organisasi dan Tata Kerja yang bertugas untuk memberikan pelayanan, perlindungan terhadap perempuan dan anak. Penulis menganalisis bahwa dalam menangani kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga, Unit PPA Polres Salatiga sudah menerapkan teori keadilan restoratif. Keadilan
restoratif ( teori restorative justice) merupakan proses penyelesaian
perkara pidana dengan melibatkan korban, pelaku, keluarga korban maupun pelaku, serta masyarakat dan pihak-pihak yang berkepentingan
30
Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat, Perspektif Teori Hukum, Nusa Media, Bandung, 2015, (selanjutnya disingkat Teguh Prasetyo II).
67 dengan suatu tindak pidana yang terjadi untuk mencapai kesepakatan dan penyelesaian. Konsep keadilan restoratif mempunyai kerangka berpikir dalam upaya mencari alternatif penyelesaian sengketa pidana, untuk menciptakan keadilan yang berperikemanusiaan. Penyelesaian dilakukan dengan tetap memberikan hak masing-masing pelaku dan korban dalam
mediasi sebagai sentral dan pelaksanaan restorative justice. Penyelesaian
dengan keadilan restoratif diharapkan agar semua pihak yang merasa dirugikan akan terpulihkan kembali dan adanya penghargaan dan penghormatan terhadap korban kejahatan. Pelaku direstorasi melalui sistem peradilan pidana sehingga mendorong terjadinya perdamaian antara korban dan pelaku. Perdamaian itu dapat dilakukan melalui mediasi, pertemuan antara korban dan pelaku, program perbaikan ekonomi, dan pendidikan kejujuran. Dalam menangani kasus KDRT, Unit PPA Polres Salatiga menjalankan teori keadilan restoratif tersebut
melalui mediasi penal yakni ADR (Alternative Dispute Resolution).
Bahwa kedua belah pihak, yakni korban dan pelaku dipertemukan, dan didengar apa yang diinginkan. Apabila korban dan pelaku mencapai kesepakatan bersama, maka dibuat surat kesepakatan bersama, diberi
materai dan cap RT serta RW setempat. Setelah win-win solution dan
hak-hak korban terpenuhi, selanjutnya laporan polisi korban dicabut. Langkah-langkah diatas dilakukan, mengingat salah satu tujuan dibentuknya UU No. 23 Tahun 2004, yakni sebagaimana yang diharapkan dari teori keadilan restoratif, bahwa penyelesaian sengketa pidana untuk menciptakan keadilan yang berperikemanusiaan.
68 Merujuk pada teori keadilan restoratif, penulis berpendapat bahwa Unit PPA Polres Salatiga pada praktiknya di lapangan melaksanakan penegakan hukum progresif dalam menangani kasus KDRT. Penegakan hukum progresif memberikan makna hukum yang sesungguhnya, yaitu hukum yang benar-benar ingin mewujudkan jati dirinya pada sebuah nilai keadilan yang sebenarnya, bukan hanya keadilan menurut peraturan perundang-undangan saja, tetapi lebih kepada bagaimana seharusnya manusia itu berperilaku. Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum secara progresif bukan hanya sekedar memahami hukum positif yang selama ini berlaku saja, tetapi bagaimana seorang penegak hukum itu mampu mengangkat nilai-nilai hukum yang bermuara kepada sebuah keadilan yang sesungguhnya, bukan hanya keadilan yang berdasarkan rentetan kata-kata peraturan perundang-undangan saja, tetapi lebih kepada keadilan yang nyata. Keadilan yang nyata itu sebagaimana tergambar dalam benak dan hati sanubari setiap orang yang menghendaki keteraturan yang mereka butuhkan. Hal ini sesuai dengan apa yang telah dilakukan oleh Unit PPA Polres Salatiga dalam menangani kasus KDRT di wilayah hukumnya. Yakni, dengan mempertemukan korban dengan pelaku guna didengar apa yang sebenarnya diinginkan, dengan anggota Unit PPA Polres Salatiga sebagai fasilitator. Langkah-langkah tersebut
dilakukan, supaya dihasilkan win-win solution, serta hak-hak korban
terpenuhi sesuai dengan keadilan yang sebenarnya. Apabila sudah ditemukan kesepakatan, kemudian dibuat surat kesepakatan bersama yang diberi materai dan cap RT dan RW setempat. Dan laporan korban
69 dicabut. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan dari Ipda Henri Widyoriani, selaku Kanit PPA Polres Salatiga yang menyatakan bahwa :
“Peran kami sebagai penyidik, yakni mempertemukan korban dan pelaku, dan memfasilitasi kedua belah pihak supaya tercapai kesepakatan. Peran kami disini netral, mendengar kedua belah pihak. Bila kesepakatan sudah tercapai, dibuat surat kesepakatan bersama yang diberi materai dan cap RT dan RW setempat.”31
Setelah penulis menguraikan perlindungan hukum kepada korban berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 sebagaimana pada awal bab analisis, selanjutnya penulis akan menganalisis implementasi Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 terhadap perlindungan hukum kepada korban KDRT yang diberikan oleh Unit PPA Polres Salatiga dalam menangani kasus KDRT di wilayah hukum kota Salatiga. Dalam praktiknya terdapat ketentuan dalam undang-undang tersebut yang belum diterapkan secara optimal oleh aparat Unit PPA Polres Salatiga, yakni kewajiban hukum bagi polisi untuk meminta surat perintah penetapan perlindungan dari Pengadilan setempat belum dijalankan. Sesuai dengan pernyataan Kepala Unit PPA Polres Salatiga, yakni :
“Unit PPA Polres Salatiga dalam menangani kasus KDRT selama ini belum pernah meminta surat perintah penetapan perlindungan dari Pengadilan Negeri Salatiga.”32
Berikut akan penulis uraikan kewajiban polisi untuk memberi perlindungan hukum kepada perempuan korban KDRT berdasarkan undang-undang yang telah dijalankan secara optimal oleh Unit PPA Polres Salatiga. :
31
Wawancara dengan Kepala Unit PPA Polres Salatiga, Ipda Henri Widyoriani, SH pada hari Kamis Tanggal 19 Oktober 2017.
32
Wawancara dengan Kepala Unit PPA Polres Salatiga, Ipda Henri Widyoriani, SH pada hari Kamis Tanggal 19 Oktober 2017.
70
1. Bahwa Unit PPA Polres Salatiga, dalam waktu 1 x 24 jam (satu kali
dua puluh empat jam), setelah mengetahui atau menerima laporan adanya KDRT, telah memberikan perlindungan sementara kepada korban. Perlindungan sementara sebagaimana dimaksud diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani. Hal ini sejalan dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004. Perlindungan sementara yang diberikan oleh Unit PPA Polres Salatiga kepada korban KDRT dalam bentuk : memberikan jaminan keamanan bagi korban KDRT di kantor kepolisian, sehingga korban tidak mendapat ancaman atau tekanan dari pelaku. Kemudian setelah korban menjalani pemeriksaan di kantor polisi, korban dipulangkan ke rumah orangtua korban, supaya dalam kurun waktu tertentu tidak bertemu dengan pelaku sampai kasus yang menimpa korban selesai ditangani.
2. Unit PPA Polres Salatiga dalam memberikan perlindungan sementara
kepada korban, berkoordinasi dengan pihak lain seperti relawan sosial, tenaga kesehatan, pekerja sosial maupun pembimbing rohani. Berdasarkan informasi maupun data yang didapat penulis setelah melakukan wawancara dengan narasumber, bahwa Unit PPA Polres berkoodinasi bersama Bapermas (Badan Pemberdayaan Masyarakat) Kota Salatiga. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kepala Unit PPA Polres Salatiga, yakni :
“Kami melakukan koordinasi dengan Bapermas atau P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak)
71 Kota Salatiga untuk melakukan perlindungan sementara terhadap korban.”33
Karena Bapermas Kota Salatiga setelah berkoordinasi dengan Unit PPA Polres Salatiga, bekerja sama dengan instansi dan organisasi lain, baik dari pemerintahan maupun organisasi sosial kemasyarakatan dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memiliki kepedulian terhadap persoalan KDRT. Didalamnya termasuk pekerja sosial, relawan sosial, maupun pembimbing rohani. Sementara bentuk koordinasi dengan tenaga kesehatan yakni, penyidik membuat
pengantar visum et repertum dan mengantarkan korban ke RSUD
Kota Salatiga untuk memeriksakan luka atau kesehatan korban.
3. Unit PPA Polres Salatiga memberikan keterangan kepada korban
terkait dengan hak-hak korban. Unit PPA Polres Salatiga menjelaskan mengenai hak-hak korban KDRT kepada yang bersangkutan, bahwa pada dasarnya korban berhak mendapat perlindungan dari keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya. Kemudian hak korban untuk mendapat pelayanan kesehatan,
seperti pemeriksaan kesehatan maupun visum. Selain itu, identitas
korban dirahasiakan terkait penanganan secara khusus kepada korban. Selanjutnya korban diberi bantuan hukum, seperti pendampingan dari advokat.
4. Bahwa Unit PPA Polres Salatiga, setelah menerima laporan dari
korban KDRT, langsung menindaklanjuti laporan dengan melakukan
33
Wawancara dengan Kepala Unit PPA Polres Salatiga, Ipda Henri Widyoriani, SH pada hari Kamis Tanggal 19 Oktober 2017.
72 penyelidikan untuk menentukan dapat tidaknya kasus tersebut ditingkatkan statusnya ke penyidikan.
5. Unit PPA Polres Salatiga secara langsung menyampaikan kepada
korban mengenai identitas petugas yang memeriksa, KDRT merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, dan kewajiban Unit PPA untuk melindungi korban.
Untuk hak-hak korban yang didasarkan pada Pasal 10 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004, dalam praktiknya hampir semua diterapkan secara optimal oleh Unit PPA Polres Salatiga. Sementara hak korban yang belum dipenuhi secara optimal adalah hak untuk mendapat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan setempat. Berikut penulis akan uraikan hak-hak korban KDRT menurut undang-undang yang telah dijalankan secara optimal oleh Unit PPA Polres Salatiga :
1. Korban KDRT yang ditangani oleh Unit PPA Polres Salatiga
mendapat perlindungan dari keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial atau pihak lainnya. Perlindungan yang diberikan oleh Unit PPA dengan cara koordinasi lintas sektor dengan lembaga maupun organisasi terkait. Korban juga mendapat bantuan hukum dari advokat sebagaimana yang penulis cantumkan dalam hasil penelitian.
2. Korban mendapat pelayanan kesehatan, dengan cara diantarkan oleh
anggota Unit PPA Polres Salatiga ke RSUD Kota Salatiga, untuk
diperiksa terkait kesehatan korban dan dilakukan visum dengan dasar
73
3. Korban KDRT ditangani secara khusus, dengan cara penyidik
merahasiakan identitas korban.
4. Bahwa benar korban mendapatkan haknya dengan koordinasi antara
Unit PPA Polres Salatiga dan Bapermas (Badan Pemberdayaan Masyarakat), karena Bapermas mempunyai mitra kerja baik dari pemerintahan maupun organisasi sosial kemasyarakatan dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memiliki kepedulian terhadap persoalan KDRT.
5. Sementara hak korban untuk mendapat pelayanan bimbingan rohani
dilakukan dengan cara koordinasi antara Unit PPA Polres Salatiga dan Bapermas (Badan Pemberdayaan Masyarakat).
Setelah penulis uraikan diatas mengenai das sollen / apa yang
seharusnya dilakukan dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 dengan das sein / implementasi dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2004, terdapat ketentuan normatif yang belum diterapkan secara optimal oleh Unit PPA Polres Salatiga antara lain : Unit PPA Polres Salatiga dalam menangani kasus KDRT tidak meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
Mengenai dengan angka KDRT di Kota Salatiga yang ditangani oleh Unit PPA Polres Salatiga dari tahun 2015 sampai 2017 mengalami penurunan, yakni dari 15 kasus turun menjadi 9 kasus dan berkurang sampai 8 kasus. Dengan penurunan jumlah kasus KDRT tersebut, bukan berarti kasus kekerasan terhadap perempuan di Kota Salatiga hanya sedikit. Tetapi, dapat juga diakibatkan karena masyarakat atau korban
74 sendiri enggan melaporkan kasus kekerasan dalam rumah tangga ke aparat kepolisian. Kemudian, karena KDRT dilakukan dalam lingkup rumah tangga, sehingga masyarakat juga terbatas dalam mengetahui permasalahan-permasalahan dalam rumah tangga. Hal ini sesuai dengan pernyataan advokat Komaruddin Nur, SH bahwa :
“Kekerasan terhadap perempuan di kota Salatiga jumlahnya tidak dapat ditentukan secara pasti, terdapat kemungkinan banyak kasus KDRT yang tidak dilaporkan oleh korban karena berbagai alasan. Seperti korban merasa tidak enak terhadap suaminya sendiri apabila melaporkan KDRT yang dialaminya ke kepolisian. Bahkan, korban perlu dibujuk atau diberikan dorongan dan bantuan dari keluarganya sendiri maupun orang lain supaya berani untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya.”34
Kemudian berdasarkan wawancara dengan advokat Komaruddin Nur, SH bahwa terdapat kasus KDRT yang mendapat penanganan kurang responsif dari aparat Unit PPA Polres Salatiga sendiri, sebagaimana pernyataan :
“Korban Titiek Rukmana, pada tahun 2016 mengatakan kepada saya bahwa dia melaporkan kasusnya ke Unit PPA untuk kedua kalinya. Laporan pertama yang dibuat pada tahun 2014, hasil penanganan yang diperoleh dirasa kurang memuaskan korban. Sehingga dia berinisiatif
untuk melaporkan kembali kasusnya.”35
Dalam analisis penulis, Unit PPA Polres Salatiga dalam menangani kasus KDRT sudah berupaya semaksimal mungkin menjalankan ketentuan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004. Berdasarkan fakta-fakta yang didapat penulis, untuk pelaksanaan pemenuhan hak korban hampir semua diterapkan secara optimal. Hak korban yang telah dipenuhi secara optimal antara lain :
34
Wawancara dengan pengacara, Komaruddin Nur SH, pada hari Senin tanggal 9 Oktober 2017.
35
75
Mendapat perlindungan dari keluarga, kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, advokat, lembaga sosial atau pihak lainnya.
Mendapat pelayanan kesehatan.
Mendapat penanganan secara khusus.
Mendapatkan haknya dengan koordinasi antara Unit PPA Polres
Salatiga dan Bapermas (Badan Pemberdayaan Masyarakat) beserta mitra kerja.
Mendapat pelayanan bimbingan rohani dilakukan dengan cara
koordinasi antara Unit PPA Polres Salatiga dan Bapermas (Badan Pemberdayaan Masyarakat).
Selain hak-hak korban diatas, hak korban perempuan untuk memperoleh pemulihan fisik maupun psikis, dan pelayanan prima telah dijembatani oleh Unit PPA Polres Salatiga dengan menjalankan teori keadilan restoratif. Untuk fisik, korban diperiksakan kesehatannya di RSUD Kota Salatiga. Sedangkan untuk psikis, korban diberikan bimbingan maupun konseling. Untuk pelayanan prima, Aparat Unit PPA Polres Salatiga menjadi fasilitator bagi pihak korban (isteri) maupun pelaku (suami) dalam menyelesaikan kasus KDRT, dengan cara mendengarkan keluhan atau apa yang diinginkan, memberikan arahan, maupun bimbingan kepada korban. Korban juga tidak mendapat ancaman dan dilindungi. Apabila ada kesepakatan dengan pelaku, maka dibuat surat kesepakatan bersama untuk selanjutnya laporan polisi dicabut, tetapi pelaku masih diawasi dan diwajibkan absen pada hari tertentu sebagaimana yang telah penulis uraikan di hasil penelitian. Langkah-langkah tersebut dilakukan oleh Unit
76 PPA Polres Salatiga mengingat salah satu tujuan dari penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, yakni memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
Sementara hak-hak perempuan korban KDRT yang belum secara optimal terpenuhi antara lain Unit PPA Polres Salatiga tidak meminta surat penetapan perlindungan dari Pengadilan Negeri Salatiga, karena selama ini Unit PPA Polres Salatiga hanya memberikan perlindungan sementara kepada perempuan korban KDRT. Kemudian terdapat kasus KDRT, dimana korban kurang mendapat penanganan responsif dari anggota Unit PPA Polres Salatiga, sehingga sampai dua kali membuat laporan polisi. Hal ini menunjukkan, hak korban untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus, berkaitan dengan hak untuk mendapat jaminan
perlindungan belum terpenuhi, sebagaimana dalam Declaration of Basic
Principle of Justice for Victims of Crime and the Abuse of Power yang disetujui oleh Majelis Umum PBB 29 November 1985 (resolusi 40/34), bahwa salah satu perwujudan perlindungan korban adalah korban kejahatan harus diberi informasi mengenai peran mereka, jadwal waktu, dan kemajuan yang telah dicapai dalam penanganan kasus mereka.
Fakta di lapangan menunjukkan budaya malu atau perasaan tidak
enak yang masih melekat pada sebagian masyarakat, keengganan dari korban sendiri untuk melapor, juga memiliki andil besar terhadap penanganan kasus KDRT. Penanganan kasus KDRT di Unit PPA Polres Salatiga masih ditemukan beberapa kendala lain, sebagaimana yang telah penulis tuangkan dalam hasil penelitian, bahwa sarana dan prasarana yang
77 dimiliki Unit PPA Polres Salatiga masih terbatas, pelaku KDRT melarikan
diri, belum adanya shelter (tempat perlindungan) bagi korban, dan terdapat
korban KDRT yang mendapat penanganan dari anggota yang kurang responsif.