• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Kerangka Teori 1. Konsep Perlindungan Hukum - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum terhadap Perempuan sebagai Korban Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Ta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Kerangka Teori 1. Konsep Perlindungan Hukum - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum terhadap Perempuan sebagai Korban Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Ta"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

15 BAB II

KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A.Kerangka Teori

1. Konsep Perlindungan Hukum

Pada hakikatnya, salah satu ciri negara hukum adalah dengan

adanya asas persamaan di depan hukum (equality before the law). Menurut

R. Soeroso, SH, hukum adalah himpunan peraturan yang dibuat oleh yang

berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan masyarakat,

dengan ciri memerintah, melarang, serta mempunyai sifat memaksa dengan

menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya. Hukum juga dapat

diartikan sebagai peraturan yang bersifat memaksa yang dibuat oleh

penguasa, yang mengatur tingkah laku manusia, guna tercapainya suatu

keteraturan dalam masyarakat.

Perlindungan hukum terhadap setiap warga negara merupakan

suatu keharusan, karena merupakan bagian dari hak asasi manusia. Secara

umum, perlindungan dapat diartikan sebagai mengayomi seseorang atau

sesuatu dari hal-hal yang mengancam maupun membahayakan. Dalam

pengertian lain, perlindungan juga diartikan sebagai mengayomi pihak yang

lemah, supaya dapat merasa aman. Sehingga perlindungan hukum dapat

dikatakan sebagai perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum

dalam bentuk perangkat hukum, baik yang bersifat preventif maupun

represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.

Menurut Satjipto Raharjo, perlindungan hukum adalah

(2)

16 orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat

menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.1 Hukum bertujuan

untuk mengkoordinasikan dan mengintegrasikan berbagai kepentingan

dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan

terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara memberi

batas kepentingan pihak lain. Dapat disimpulkan bahwa perlindungan

hukum adalah mengayomi hak asasi korban yang telah dilanggar atau

dirugikan orang lain, dan supaya hak-hak korban dapat dipulihkan kembali.

Sementara perlindungan hukum menurut Undang-Undang No. 31

Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 13 Tahun 2006

tentang Perlindungan Saksi dan Korban adalah segala upaya pemenuhan

hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi

dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi

dan Korban atau lembaga lainnya sesuai ketentuan undang-undang.2

Suatu perlindungan dapat dikatakan sebagai perlindungan hukum

apabila mengandung unsur-unsur sebagai berikut :

1. Adanya pengayoman dari pemerintah terhadap warganya.

2. Adanya jaminan kepastian hukum.

3. Berkaitan dengan hak-hak warganegara.

4. Adanya sanksi hukuman bagi yang melanggarnya.

Sebagai negara hukum, korban juga harus mendapat pelayanan

hukum berupa perlindungan hukum. Bukan hanya tersangka atau terdakwa

1

Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, h. 54.

2

(3)

17

saja yang dilindungi hak-haknya, tetapi korban juga wajib dilindungi.3

Menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan

Saksi dan Korban, bahwa perlindungan korban berdasarkan pada :

1. Penghargaan atas harkat dan martabat manusia,

Asas penghargaan atas harkat dan martabat manusia adalah asas

dalam pemenuhan hak dan pemberian bantuan yang memandang setiap

manusia, khususnya sebagai saksi dan/atau korban, sebagai makhluk

ciptaan Allah, yang harus dihargai dan dilindungi, dan hak-hak tersebut

tidak boleh dikurangi oleh siapapun dan dalam keadaan apapun.

2. Rasa aman,

Asas rasa aman adalah asas dalam pemenuhan hak dan pemberian

bantuan kepada saksi dan/atau korban, berguna untuk menciptakan

kondisi dalam suasana tenteram baik lahiriah dan batiniah, baik secara

fisik maupun psikis.

3. Keadilan,

Asas keadilan adalah asas dalam pemenuhan hak dan pemberian

hukum kepada saksi dan/atau korban sesuai dengan hak-haknya, secara

proporsionalitas, prosedural, sesuai dengan kewajibannya memberikan

kesaksian dalam setiap tahap peradilan.

4. Tidak diskriminatif,

Asas tidak diskriminatif adalah asas dalam pemenuhan hak dalam

pemberian bantuan yang memandang setiap saksi dan/atau korban

3

(4)

18 memperoleh pengakuan yang dalam keadaan sama, harus diterapkan

secara sama di depan hukum, tanpa membedakan tingkat ekonomi,

golongan, ras, agama, suku bangsa, dan sebagainya.

5. Kepastian hukum.

Asas kepastian hukum, adalah asas dalam pemenuhan hak dan

pemberian bantuan di negara hukum yang mengutamakan landasan

peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap

kebijakan penyelenggara negara.4

Sebagai negara hukum, seharusnya aparat penegak hukum kita

dalam menegakkan hukum tidak semata-mata menegakkan peraturan

perundang-undangan saja. Kemampuan untuk menggali pemahaman hukum

sebagaimana diajarkan dalam teori hukum progresif oleh Prof. Dr. Satjipto

Rahardjo, S.H, yaitu bukan hanya sekedar memahami hukum positif yang

selama ini berlaku, tetapi juga bagaimana seorang penegak hukum itu

mampu mengangkat nilai-nilai hukum yang bermuara kepada sebuah

keadilan yang sesungguhnya, bukan hanya keadilan yang didasarkan pada

uraian kata-kata peraturan perundang-undangan saja, tetapi lebih kepada

keadilan yang sesungguhnya. Keadilan yang sesungguhnya itu sebagaimana

tergambar dalam benak dan hati sanubari setiap orang yang menghendaki

keteraturan yang mereka butuhkan. Melalui penggalian nilai-nilai keadilan

yang ada dalam masyarakat itulah yang seharusnya menjadi tujuan utama,

atau tujuan yang paling dalam tentang tujuan dan hakikat kebutuhan hukum

itu. Tujuan atau inti dari hukum itu harus dilandasi oleh penilaian hati

4

(5)

19 nurani dan makna hukum yang paling dalam. Di sinilah diperlukannya peran

hukum progresif. Hukum progresif adalah suatu tinjauan teori yang

dicetuskan oleh Satjipto Rahardjo tentang makna hukum yang

sesungguhnya, yaitu hukum yang benar-benar ingin mewujudkan jati

dirinya pada sebuah nilai keadilan yang sebenarnya, bukan hanya keadilan

menurut peraturan perundang-undangan saja, tetapi lebih kepada bagaimana

seharusnya manusia itu berperilaku.

2. Perlindungan Hak Korban

Membahas mengenai perlindungan perempuan sebagai korban tindak

kekerasan dalam rumah tangga, pertama-tama tentu harus memahami

definisi dari korban itu sendiri secara umum. Siapakah yang dimaksud

dengan korban? Beberapa sarjana memberikan definisi korban, sebagai

berikut :

1. I.S. Susanto mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan korban dalam

arti sempit adalah korban kejahatan. Sedangkan korban dalam arti luas

meliputi juga korban dalam berbagai bidang, seperti korban perang,

korban sewenang-wenangan dan lain sebagainya.5

2. Muladi mengatakan, bahwa korban kejahatan adalah seseorang yang

telah menderita kerugian sebagai akibat suatu kejahatan atau yang rasa

keadilannya secara langsung telah terganggu sebagai akibat

pengalamannya sebagai target (sasaran) kejahatan (“victim is a person

who hast just suffered damage as a result of a crime and/or whose sense

5

(6)

20 of justice has been directly disturbed by the experience on having been the target of crime”).6

3. Arif Gosita mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan korban adalah

mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan

dari orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau

orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang

menderita.7

Dapat dikemukakan ruang lingkup pengertian korban, dalam arti

luas maupun sempit. Dalam pengertian arti luas meliputi : penderitaan atau

kerugian yang dialami manusia, korporasi, baik secara fisik ataupun psikis

dan reduksi nilai-nilai dalam artian psikis secara luas, seperti perwujudan

fungsi hukum dalam mengakomodasi nilai hak asasi manusia, antara lain

nilai keadilan, nilai perlindungan, dan nilai demokrasi, karena perbuatan

kejahatan ataupun penyalahgunaan kekuasaan. Pengertian korban dalam arti

sempit adalah sebagai penderitaan atau kerugian yang dialami orang atau

sekelompok orang karena perbuatan jahat sebagaimana yang telah

dirumuskan dan dapat dipidana dalam hukum pidana. Untuk mempermudah

pemahaman mengenai korban, maka korban adalah seseorang yang

mengalami kerugian atau penderitaan akibat perbuatan jahat orang lain

maupun seseorang yang hak-haknya dan keadilannya dilanggar oleh orang

lain.

6

Bambang Dwi Baskoro, Bunga Rampai Penegakan Hukum Pidana, Badan Penerbitan Universitas Diponegoro, Semarang, 2001, h. 171.

7

(7)

21 Pada hakikatnya, perlindungan terhadap korban sebagai janji-janji

hukum oleh sistem peradilan pidana berusaha mewujudkan fungsi primer

hukum yang sebagaimana diungkapkan oleh I.S. Susanto dalam tiga hal :

1. Perlindungan

Hukum berfungsi untuk melindungi masyarakat dari ancaman

bahaya dan tindakan yang merugikan dari sesama dan kelompok

masyarakat termasuk yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan

(pemerintah dan negara) dan yang datang dari luar, yang ditujukan

terhadap fisik, jiwa, kesehatan, nilai-nilai, dan hak asasinya.

2. Keadilan

Hukum menjaga, melindungi dari keadilan bagi seluruh rakyat.

Secara negatif, dapat dikatakan bahwa hukum yang tidak adil yaitu

apabila hukum yang bersangkutan dipandang melanggar nilai-nilai dan

hak-hak yang dipercayai harus dijaga dan dilindungi bagi semua orang.

3. Pembangunan

Hukum dipakai sebagai kendaraan baik dalam menentukan arah,

tujuan, dan pelaksanaan pembangunan secara adil. Artinya, hukum

sekaligus digunakan sebagai alat pembangunan namun juga sebagai alat

kontrol agar pembangunan dilaksanakan secara adil.8

Dengan berkembangnya jaman, serta dilatarbelakangi oleh

bergesernya perspektif dari keadilan retributif kepada keadilan restoratif.

Keadilan restoratif (restorative justice) berpijak pada hubungan yang

manusiawi antara korban dengan pelanggar dan fokusnya pada dampak

8

(8)

22 yang ditimbulkan oleh kejahatan pada semua pihak, baik itu korban,

masyarakat, dan pelanggar hukum sendiri. Pelaku direstorasi melalui sistem

peradilan pidana sehingga mendorong terjadinya perdamaian antara korban

dan pelaku. Perdamaian itu dilakukan melalui mediasi, pertemuan, program

perbaikan ekonomi, dan pendidikan kejujuran. Konsep hukum pidana

menurut keadilan restoratif, orientasi keadilan ditujukan kepada orang yang

terlanggar haknya yang dilindungi oleh peraturan hukum (korban),

pelanggaran hukum pidana adalah melanggar hak perseorangan (korban),

dan korban kejahatan adalah orang yang dirugikan akibat

kejahatan/pelanggaran hukum pidana, yaitu orang-orang yang menderita

langsung akibat kejahatan (korban), masyarakat, negara, dan juga pelanggar

itu sendiri. Pergeseran ini merupakan pergeseran filsafat keadilan dari

hukum positif yang mendasarkan kepada asas hukum materiil dalam sistem

peradilan pidana. Pergeseran tersebut telah membawa cara pandang baru

dalam hukum pidana dan sistem peradilan pidana, yakni sebagai berikut :

1. Keadilan dalam hukum pidana berorientasi pada kepentingan atau

penderitaan korban (viktimisasi atau dampak kejahatan) dan

pertanggungjawaban pelanggar terhadap perbuatan dan akibatnya pada

diri korban.

2. Kejahatan atau pelanggaran hukum pidana adalah melanggar kepentingan

publik dan kepentingan korban adalah bagian pertama dan utama dari

kepentingan publik. Jadi kejahatan merupakan konflik antara pelanggar

dengan antarperseorangan (korban) sebagai bagian dari kepentingan

(9)

23

3. Korban adalah orang yang dirugikan karena kejahatan (pelanggaran

hukum pidana).

4. Penyelenggaraan peradilan pidana berfungsi sebagai sarana penyelesaian

konflik (conflict resolution).

5. Pidana dan jenis pidana yang hendak dijatuhkan kepada pelanggar adalah

bagian dari penyelesaian konflik dengan menekankan tanggung jawab

pelanggar terhadap perbuatan beserta akibat-akibatnya.

6. Korban, masyarakat, negara, dan pelanggar dalam proses peradilan

pidana bersifat aktif. 9

Korban harus mendapat pelayanan hukum berupa perlindungan

hukum. Bukan hanya tersangka atau terdakwa saja yang dilindungi hak-hak

nya, tetapi juga korban dan saksi wajib dilindungi. Wajar jika ada

keseimbangan antara perlindungan korban dan atau saksi.

Menurut Barda Nawawi Arief, bahwa hukum pidana positif saat ini lebih menekankan pada perlindungan korban “in abstrakto”, secara tidak

langsung. Hal ini dikarenakan tindak pidana positif menurut hukum pidana

positif tidak dilihat sebagai perbuatan menyerang/melanggar kepentingan

hukum seseorang (korban) secara pribadi dan konkret, tetapi hanya dilihat

sebagai pelanggaran norma/tertib hukum in abstrakto. Oleh karena itu,

pertanggungjawaban pidana terhadap korban bukanlah pertanggungjawaban

terhadap kerugian/penderitaan korban secara langsung dan konkret, tetapi

lebih tertuju kepada pertanggungjawaban pribadi.

9

(10)

24 Hak untuk memperoleh informasi mengenai perkembangan kasus,

putusan pengadilan, dan terpidana dibebaskan adalah berkaitan dengan hak

untuk memperoleh jaminan perlindungan, dan hak untuk memperoleh

kejelasan tentang proses perkembangan kasus tindak pidana yang terjadi dan

untuk kepentingan pembelaan diri, bagi korban maupun saksi.

Hak korban lain yakni berhak untuk mendapatkan identitas baru

dan mendapatkan kediaman yang baru merupakan bentuk-bentuk

perlindungan terhadap tempat-tempat (safe house), untuk kepentingan

kepada diri korban supaya terbebas dari ancaman, gangguan, dan

kenyamanan agar saksi dan korban dapat memberikan keterangan kesaksian

secara bebas tanpa tekanan fisik dan psikis.

Hak untuk memperoleh penggantian biaya transportasi dan

memperoleh bantuan biaya hidup merupakan salah satu bentuk wujud

bantuan restitusi atau kompensasi tertentu, karena selama proses penegakan

hukum terhadap tindak pidana yang berhubungan dengan dirinya, dipastikan

korban telah mengeluarkan biayanya sendiri, dan mempengaruhi terhadap

rasa aman dan kenyamanan pada dirinya sendiri. Sedangkan hak untuk

memperoleh bantuan hukum merupakan asas untuk memberikan jaminan

perlindungan hukum dan bantuan hukum, sebagai salah satu wujud

pengakuan atas hak asasi manusia.10

Hak-hak korban yang telah disebut diatas, selaras dengan pendapat

Van Boven yang dikutip oleh Rena Yulia :

” Hak-hak para korban adalah hak untuk tahu, hak atas keadilan, dan hak atas reparasi (pemulihan), yaitu hak yang menunjuk

10

(11)

25 kepada semua tipe pemulihan baik material maupun nonmaterial bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia. Hak-hak tersebut telah terdapat dalam berbagai instrumen-instrumen hak asasi manusia yang berlaku dan juga terdapat dalam yurisprudensi komite-komite hak asasi manusia internasional maupun pengadilan

regional hak asasi manusia.”

Perlindungan korban khususnya hak korban untuk memperoleh

ganti rugi merupakan bagian integral dari hak asasi di bidang kesejahteraan

dan jaminan sosial (social security). Hal ini pun mendapat pengakuan dalam

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yaitu Pasal 25 ayat 1 yang

menyatakan :

“Setiap orang berhak atas suatu standar kehidupan yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya serta keluarganya, termasuk makanan, pakaian, rumah, dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan hak atas keamanan pada masa menganggur, sakit, tidak mampu bekerja, menjanda, lanjut usia, atau kekurangan nafkah lainnya

dalam keadaan diluar kekuasaannya.11

Declaration of Basic Principle of Justice for Victims of Crime and the Abuse of Power yang disetujui oleh Majelis Umum PBB 29 November 1985 (resolusi 40/34) atas rekomendasi Kongres ketujuh, menyatakan

perlindungan korban antara lain dalam wujud sebagai berikut :

1. Korban kejahatan harus diperlakukan dengan penuh rasa hormat

terhadap martabatnya, serta diberi haknya untuk segera menuntut ganti

rugi. Mekanisme hukum dan administrasinya harus dirumuskan dan

disahkan untuk memungkinkan korban kejahatan memperoleh ganti

rugi.

11

(12)

26

2. Korban kejahatan harus diberi informasi mengenai peran mereka,

jadwal waktu, dan kemajuan yang telah dicapai dalam penanganan

kasus mereka. Penderitaan dan kepribadian korban kejahatan harus

selalu ditampilkan dan disampaikan pada setiap tingkatan proses. Jika

ganti rugi yang menyeluruh tidak dapat diperoleh dari pelaku

kenakalan, dalam kasus-kasus kerugian fisik atau mental yang parah,

negara berkewajiban memberi ganti rugi kepada korban kejahatan atau

keluarganya.

3. Korban kejahatan harus menerima ganti rugi kepada korban kejahatan

atau keluarganya.

Sebenarnya, perlindungan korban dan/atau saksi tidak serta merta

lahir oleh faktor internal dalam negeri. Sedikit banyak dipengaruhi pula oleh

dinamika global, baik berupa dinamika masyarakat ataupun memang

keharusan bahkan tekanan-tekanan, maupun keterikatan melaksanakan

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Landasan hukum, bagi perlindungan korban adalah konstitusi atau

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam

Pasal 1 UUD 1945 yang berbunyi :

1. Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik ;

2. Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD ;

3. Negara Indonesia adalah negara hukum ;

Kemudian dengan keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan

Korban sebagai lembaga yang menangani perlindungan terhadap saksi dan

(13)

27 korban atau saksi tindak kejahatan. Tugas dan fungsi LPSK sebagaimana

yang diatur oleh UU No. 31 tahun 2014, antara lain :

1. Memberikan layanan perlindungan dan bantuan kepada saksi dan korban

dalam setiap proses peradilan pidana.

2. Memfasilitasi langkah-langkah pemulihan bagi korban tindak pidana

khususnya dalam pengajuan kompensasi atau restitusi.

3. Melakukan kerja sama dengan instansi terkait dan berwenang dalam

pelaksanaan perlindungan saksi dan korban.

Menurut Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2008, tentang

Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban,

pengertian tentang kompensasi, restitusi, dan bantuan sebagai berikut :

a. Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena

pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang

menjadi tanggung jawabnya.

b. Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau

keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian

harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau

penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu.

c. Bantuan adalah layanan yang diberikan kepada korban dan/atau saksi

oleh LPSK dalam bentuk bantuan medis dan bantuan rehabilitasi

psiko-sosial.

Perlindungan terhadap saksi dan korban oleh Lembaga

Perlindungan Saksi dan Korban, merupakan wujud dari prinsip negara

(14)

28 Sedangkan hak-hak dari korban secara yuridis dapat dilihat dalam

perundang-undangan, salah satunya adalah UU No. 31 Tahun 2014. Dalam

pasal 5 undang-undang tersebut diatur beberapa hak korban dan saksi,

yakni sebagai berikut :

1. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta

bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian

yang akan, sedang, atau telah diberikannya.

2. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan

dan dukungan keamanan.

3. Memberikan keterangan tanpa tekanan.

4. Mendapat penerjemah.

5. Bebas dari pertanyaan menjerat.

6. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus.

7. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan.

8. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan.

9. Mendapat identitas baru.

10. Mendapatkan tempat kediaman baru.

11. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan.

12. Mendapat nasihat hukum.

13. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu

perlindungan berakhir.12

12

(15)

29 3. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari “straafbaarfeit”.

Istilah tersebut diterjemahkan oleh Prof. Mulyatno, S.H., menurut pendapat

beliau istilah perbuatan pidana menunjuk pada makna adanya suatu

kelakuan manusia yang menimbulkan akibat tertentu yang dilarang hukum

di mana pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana. Dapat diambil

kesimpulan bahwa yang disebut dengan tindak pidana adalah perbuatan

yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, dimana

pengertian perbuatan disini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan

sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat

pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).13

Biasanya tindak pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari

bahasa Latin yakni kata delictum. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

tercantum sebagai berikut : “Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan

hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana”. Sementara Moeljatno mendefinisikan delik sebagai :

“delik sebagai perbuatan pidana sebagai perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Larangan ini ditujukan kepada perbuatan (suatu keadaan atau kejadian) yang ditimbulkan oleh kelakuan orang sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian tersebut.”

Suatu perbuatan dikatakan telah melanggar hukum dan dapat

dikenakan sanksi pidana apabila memenuhi dua unsur, yakni adanya unsur

actus reus atau unsur esensial dari kejahatan (physical element) serta mens

13

(16)

30 rea (mental element), yakni keadaan sikap batin. Menurut Zainal Abidin

Farid, menyatakan bahwa actus reus merupakan unsur suatu delik,

sedangkan mens rea termasuk pertanggungjawaban pembuat. Asas legalitas

sebagai ukuran tindak pidana, dengan bahasa latin nullum crimen sine lege

dan nulla poena sine lege. Asas legalitas menentukan unsur suatu perbuatan dapat dipidana berdasarkan pada aturan-aturan hukum tertulis yang telah

menetapkan adanya sanksi pidana. Pendapat Muladi tentang asas legalitas

menyatakan bahwa :

1. Memperkuat kepastian hukum.

2. Menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa.

3. Mengefektifkan fungsi pencegahan dari sanksi pidana.

4. Mencegah penyalahgunaan kekuasaan.

5. Memperkokoh penerapan rule of law.14

Dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga, istilah tindak pidana juga digunakan untuk menyebut perbuatan

yang melanggar larangan undang-undang tersebut, meskipun dalam tataran

empirik istilah “Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga” kurang dikenal, karena istilah yang memasyarakat untuk menyebut hal tersebut adalah “kekerasan dalam rumah tangga” (KDRT), hal ini terutama karena

judul Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga juga tidak mencantumkan frasa “tindak pidana” di depan “kekerasan dalam

rumah tangga”, jadi terlihat UU PKDRT penekanannya pada “penghapusan

KDRT secara umum” bukan semata penghapusan pada tindak pidana

14

(17)

31 KDRTnya”. KDRT sendiri diartikan sebagai setiap perbuatan terhadap

seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau

penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaraan rumah

tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau

perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah

tangga (vide Pasal 1 angka 1 UU PKDRT). Dimana akibat dari kekerasan

tersebut tentunya akan menimbulkan korban, yakni orang yang mengalami

kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga (vide

Pasal 1 angka 3 UU PKDRT). Apabila pengertian “Kekerasan dalam Rumah

Tangga dan korban” tersebut dihubungkan dengan ketentuan Pasal 5 UU

PKDRT maka tindak pidana KDRT terwujud dalam 4 (empat) jenis yakni :

a. Kekerasan fisik;

b. Kekerasan psikis;

c. Kekerasan seksual; atau

d. Penelantaran rumah tangga.

Dengan demikian, bahwa “Tindak Pidana Kekerasan Dalam

Rumah Tangga” adalah setiap perbuatan berupa melakukan kekerasan fisik,

kekerasan psikis, kekerasan seksual atau penelantaran rumah tangga yang dilakukan oleh, dalam dan terhadap “orang dalam lingkup rumah tangga”. 15

Yang dapat menjadi pembuat/pelaku/subjek dari tindak pidana

KDRT adalah hanya orang dalam lingkup rumah tangga, dalam hal ini

meliputi :

a. Suami, isteri, dan anak.

15

(18)

32

b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang

sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah,

perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam

rumah tangga; dan/atau

c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah

tangga tersebut (dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu

selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan). (Vide Pasal 2

UU PKDRT).

Dalam Pasal 5 UU PKDRT menyatakan “setiap orang dilarang

melakukan Kekerasan dalam Rumah Tangga terhadap orang dalam lingkup

rumah tangganya, dengan cara :

a. Kekerasan fisik;

Kekerasan fisik yang diartikan sebagai perbuatan yang

mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat (Vide Pasal 6 UU

PKDRT). Pengertian ini serupa tapi tidak sama dengan pengertian “penganiayaan” yang tercantum dalam Pasal 351 KUHP. Perbedaannya

karena “kekerasan fisik” diberikan penafsiran otentik dalam Pasal 6 UU

PKDRT, sedangkan dalam Pasal 351 KUHP tidak dijelaskan pengertian dari “penganiayaan” tetapi hanya disebut kualifikasi deliknya yakni

“penganiayaan”.

b. Kekerasan psikis;

Menurut Pasal 5 huruf b UU PKDRT “setiap orang dilarang

melakukan kekerasan psikis yakni melakukan perbuatan yang

(19)

33 kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang” (Vide Pasal 7 UU PKDRT). Jenis tindak pidana “kekerasan psikis” adalah tindak pidana yang benar-benar baru

karena tidak ada padanannya dalam KUHP, berbeda dengan tindak

pidana KDRT dalam bentuk lainnya yang ada padanannya dalam KUHP,

yakni kekerasan fisik (penganiayaan), kekerasan seksual (kesusilaan)

serta penelantaran rumah tangga (penelantaran orang yang perlu

diberikan nafkah dan kehidupan).

c. Kekerasan seksual; atau

Menurut Pasal 5 huruf c UU PKDRT, setiap orang dilarang

melakukan kekerasan seksual yakni meliputi :

a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang

menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut dan

b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup

rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau

tujuan tertentu (Vide Pasal 8).

d. Penelantaran rumah tangga

Menurut Pasal 5 huruf d UU PKDRT setiap orang dilarang

melakukan penelantaran rumah tangga, yakni sebagaimana yang diatur

dalam Pasal 9 UU PKDRT, bahwa :

a. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah

tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena

persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan,

(20)

34

b. Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap

orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara

membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak didalam atau

di luar rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang

tersebut.16

4. Perlindungan Korban KDRT dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Orang yang mengalami kekerasan dan/atau kekerasan dalam lingkup

rumah tangga, terutama perempuan dalam Undang-Undang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga diberikan suatu jaminan untuk mendapat

perlindungan. Lembaga ini merupakan perwujudan dari upaya yang

ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh

pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan,

atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan

pengadilan (vide Pasal 1 angka 4 UU PKDRT).

Pembentukan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga sebagaimana dalam Pasal 4 UU No. 23 Tahun 2004 yakni :

a. Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;

b. Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;

c. Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga;

d. Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera;

16Ibid.,

(21)

35 Melihat latar belakang pembentukan UU PKDRT, dapat dilihat bahwa

pembentukan UU ini untuk melindungi perempuan dari kekerasan dalam

rumah tangga. Hal tersebut nampak pada :

- Bagian pertimbangan huruf c UU PKDRT menyatakan bahwa korban

kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan,

harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar

terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan,

penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat

kemanusiaan.

- Penjelasan umum UU PKDRT menyatakan bahwa pembaruan hukum

yang berpihak pada kelompok rentan atau tersubordinasi, khususnya

perempuan, menjadi sangat diperlukan sehubungan dengan banyaknya kasus kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga.

Perlindungan terhadap korban KDRT, bisa dilakukan dalam dua

bentuk :

a. Perlindungan sementara yakni perlindungan yang langsung diberikan

oleh Kepolisian dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum

dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari Pengadilan (Pasal 1

angka 5 UU PKDRT).

b. Perintah perlindungan adalah penetapan yang dikeluarkan oleh

Pengadilan untuk memberikan perlindungan kepada korban (Pasal 1

angka 6 UU PKDRT).17

17Ibid.,

(22)

36 Tata cara pemberian perlindungan sementara dan perintah perlindungan

sebagai berikut :

1. Apabila terjadi tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga di lingkup

keluarga, korban dan setiap orang yang melihatnya, mendengarnya dan

mengetahui peristiwa tersebut dapat melaporkan kepada pihak

kepolisian :

 Korban berhak untuk melaporkan secara langsung tindak KDRT

kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat

kejadian perkara (Pasal 26 ayat (1) UU PKDRT).

 Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain

untuk melaporkan tindak KDRT kepada Kepolisian baik di tempat

korban berada maupun di tempat kejadian perkara (Pasal 26 ayat

(2) UU PKDRT).

 Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan

oleh orang tua, wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan yang

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku (Pasal 27 UU PKDRT).

2. Pihak Kepolisian setelah mengetahui atau menerima laporan tentang

adanya KDRT maka wajib :

 Memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban untuk

mendapat pelayanan dan pendampingan (Pasal 18 UU PKDRT).

 Segera melakukan penyelidikan (Pasal 19 UU PKDRT).

 Menyampaikan kepada korban tentang :

(23)

37

- Kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatan terhadap

martabat kemanusiaan ; dan

- Kewajiban Kepolisian untuk melindungi korban (Pasal 20 UU

PKDRT).

3. Apabila setelah diberitahukan haknya oleh kepolisian, dan atau apabila

korban KDRT merasa ketakutan dan terancam jiwa serta

keselamatannya oleh pelaku KDRT (karena masih dalam lingkup

rumah tangga) maka korban dan orang-orang yang mendengar, melihat,

atau mengetahui terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga tersebut

dapat mengajukan perlindungan sementara kepada Kepolisian dan/atau

lembaga sosial atau pihak lain (Vide Pasal 1 angka 5 UU PKDRT).

4. Dalam hal permintaan perlindungan sementara diterima oleh Kepolisian

maka dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung

sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah

tangga, Kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara

pada korban (Vide Pasal 16 ayat (1) UU PKDRT).

5. Dalam memberikan perlindungan sementara, Kepolisian dapat bekerja

sama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping,

dan/atau pembimbing rohani untuk mendampingi korban (Pasal 17 UU

PKDRT).

6. Perlindungan sementara oleh Kepolisian diberikan kepada korban

paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani (Pasal

(24)

38

7. Kepolisian dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam

terhitung sejak pemberian perlindungan sementara wajib meminta surat

penetapan perintah perlindungan dari Pengadilan (Pasal 16 ayat (3) UU

PKDRT).

8. Permohonan perintah perlindungan disampaikan dalam bentuk lisan

atau tulisan kepada Pengadilan, dalam hal Permohonan diajukan secara

lisan, panitera Pengadilan Negeri setempat wajib mencatat permohonan

tersebut (Vide Pasal 30 ayat (1) dan (2) UU PKDRT).

9. Pengadilan memeriksa persyaratan formil dari permohonan perintah

perlindungan yakni jika yang mengajukan permohonan perintah

perlindungan diajukan oleh keluarga, teman korban, kepolisian, relawan

pendamping, atau pembimbing rohani maka korban harus ada

persetujuan dari korban.

10. Permohonan perintah perlindungan yang memenuhi syarat formil

tersebut, diajukan kepada Ketua Pengadilan.

11. Ketua Pengadilan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak

diterimanya permohonan, wajib mengeluarkan surat penetapan (Pasal

28 UU PKDRT).

12. Surat penetapan perlindungan berisi perintah perlindungan bagi korban

dan anggota keluarga lain dinamakan dengan Perintah Perlindungan

yakni penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan untuk memberikan

(25)

39

13. Perintah perlindungan dapat diberikan dalam waktu paling lama 1 (satu)

tahun, dan dapat diperpangjang atas penetapan Pengadilan (Pasal 32

ayat (1) dan ayat (2) UU PKDRT).

14. Permohonan perpanjangan Perintah Perlindungan diajukan 7 (tujuh)

hari sebelum berakhir masa berlakunya (Pasal 32 ayat (3) UU

PKDRT).18

Dalam pemberian perlindungan sementara dan perintah perlindungan

terlihat yang sangat berperan adalah pihak Kepolisian dan Pengadilan, tetapi

sebenarnya perlindungan sementara dan perintah perlindungan (Vide Pasal 1

angka 4, angka 5 dan angka 6 UU PKDRT), bahwa upaya untuk

memberikan rasa aman kepada korban KDRT melibatkan pihak keluarga,

advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak

lainnya. Jika melihat aturan UU PKDRT maka pihak lainnya adalah dalam

kualifikasi sebagai tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping,

dan/ atau pembimbing rohani. Pihak-pihak tersebut mempunyai peran dalam

memberikan perlindungan kepada korban dengan kewajiban-kewajiban

tertentu, yakni :

a. Keluarga

Keluarga memiliki kewajiban untuk membantu proses pengajuan

permohonan penetapan perlindungan dalam bentuk membantu membuat

permohonan untuk memperoleh surat perintah perlindungan.

b. Advokat

18Ibid.

(26)

40 Advokat adalah orang yang berprofesi dalam memberi jasa hukum,

seperti konsultasi, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili,

mendampingi, membela, melakukan tindakan hukum untuk kepentingan

klien di dalam maupun di luar persidangan. Dalam hal memberikan

perlindungan dan pelayanan kepada korban Advokat memiliki kewajiban

:

- Memberikan konsultasi hukum

- Mendampingi korban pada tahap-tahap penanganan perkara.

- Melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait.

c. Lembaga Sosial

Lembaga sosial adalah lembaga atau organisasi sosial yang peduli

terhadap masalah KDRT. Kewajiban lembaga sosial dalam memberikan

perlindungan yakni :

- Memberikan perlindungan langsung kepada korban KDRT sebelum

dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.

- Jika dimintai oleh Pihak Kepolisian dapat bekerja sama untuk

memberikan perlindungan sementara.

d. Tenaga Kesehatan

Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri

dalam bidang kesehatan, memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan

melalui pendidikan dibidang kesehatan yang untuk jenis tertentu

memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Kewajiban

(27)

41

- Bekerja sama dengan Kepolisian dalam memberikan perlindungan

sementara dalam bentuk mendampingi korban.

- Memberikan keterangan untuk membantu Pengadilan dalam membuat

tambahan perintah perlindungan, dan pemberian tambahan kondisi

dalam perintah perlindungan.

e. Pekerja Sosial

Pekerja sosial mempunyai kewajiban yakni : bekerjasama dengan

kepolisian dalam memberikan perlindungan sementara dalam bentuk

pendampingan, memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk

mendapat perlindungan dari kepolisian dan perintah perlindungan dari

pengadilan, dan mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat

tinggal alternatif.

f. Relawan Pendamping

Relawan pendamping adalah orang yang mempunyai keahlian

untuk melakukan konseling, terapi, dan advokasi guna penguatan dan

pemulihan diri korban kekerasan. Kewajiban relawan pendamping dalam

memberi perlindungan kepada korban yakni :

- Bekerja sama dengan Kepolisian dalam memberikan perlindungan

sementara dalam bentuk mendampingi korban.

- Meminta persetujuan korban dalam pengajuan Permohonan untuk

memperoleh surat perintah perlindungan.

- Memberikan keterangan untuk membantu pengadilan dalam membuat

tambahan perintah perlindungan dan tambahan kondisi dalam perintah

(28)

42

- Mengajukan laporan secara tertulis kepada pengadilan tentang adanya

dugaan pelanggaran terhadap perintah perlindungan.

g. Pembimbing Rohani

Pembimbing rohani berkewajiban untuk memberikan perlindungan

kepada korban yakni :

- Bekerja sama dengan Kepolisian dalam memberikan perlindungan

sementara dalam bentuk pendampingan korban.

- Mengajukan permohonan untuk memperoleh surat perintah

perlindungan, tambahan perintah perlindungan dan tambahan kondisi

dalam perintah perlindungan.

Sementara hak-hak korban KDRT yang diatur dalam Pasal 10 UU

No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,

yakni :

1. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan,

advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya, baik sementara maupun

berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;

2. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;

3. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;

4. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat

proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan;

5. Pelayanan bimbingan rohani.

Selain hal-hal tersebut diatas, UU PKDRT juga memberikan hak

(29)

43 bentuk “pemulihan korban”. Didalam pasal 43 UU PKDRT telah mengatur

ketentuan mengenai penyelenggaraan upaya pemulihan dan kerja sama

diatur dengan Peraturan Pemerintah, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 4

Tahun 2006 Tentang Penyelenggaraan dan Kerja Sama Pemulihan Korban

Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Menurut PP tersebut, tujuan dari upaya

penyelenggaraan pemulihan korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga pada

dasarnya untuk menjamin terlaksananya kemudahan pelayanan korban

kekerasan dalam rumah tangga, menjamin efektivitas dan efisiensi bagi

proses pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga dan terciptanya

kerja sama dan koordinasi yang baik dalam pemulihan korban kekerasan

dalam rumah tangga antar instansi, antar petugas pelaksana, dan antar

lembaga terkait lainnya. Pemulihan korban diartikan sebagai upaya untuk

penguatan bagi diri korban KDRT supaya lebih berdaya, secara fisik

maupun psikis. Pemulihan tersebut dilakukan dalam bentuk

“penyelenggaraan pemulihan” yakni segala tindakan yang meliputi

pelayanan dan pendampingan kepada korban KDRT yang dilakukan oleh

tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau

pembimbing rohani. (Vide Pasal 1 angka 1 dan angka 5 PP No. 4 Tahun

2006).

5. Tugas Pokok dan Fungsi Polisi Menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2002

Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah

(30)

44 yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden

sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Adapun tugas dari

Kepolisian Negara Republik Indonesia antara lain :

1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.

2. Menegakkan hukum.

3. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat (Pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002).

Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana diatas, Kepolisian Negara

Republik Indonesia bertugas :

1. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap

kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan.

2. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan,

ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan.

3. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat,

kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap

hukum dan peraturan perundang-undangan.

4. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional.

5. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum.

6. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap

kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk

pengamanan swakarsa.

7. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana

sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan

(31)

45

8. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,

laboratorium forensik, dan psikologi kepolisian untuk kepentingan

tugas kepolisian.

9. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan

lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk

memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak

asasi manusia.

10. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum

ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang.

11. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan

kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian, serta melaksanakan

tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.19

Didalam undang-undang No. 2 Tahun 2002 yang dimaksud fungsi

kepolisian diartikan sebagai tugas dan wewenang, sehingga fungsi

kepolisian yang dimaksud dalam pasal 2 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 yang menyebutkan “fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan

negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,

penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”, adalah merupakan tugas dan wewenang kepolisian yang

menjadi tanggungjawabnya secara kelembagaan. Sedangkan perannya untuk

memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum,

serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri,

19

(32)

46 merupakan keikutsertaannya dalam menjalankan fungsi pemerintahan,

dimana fungsi dimaksud merupakan salah satu fungsi pemerintahan, karena

dibentuknya Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk

mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya

keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum,

terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung

tinggi hak asasi manusia.20

Dari, konsep fungsi, peran, dan tujuan Kepolisian Negara Republik

Indonesia, bermuara pada terbentuknya suatu negara yang sejahtera, adil

dan makmur sebagaimana cita-cita dan tujuan Negara (staatsidee), yang

tersurat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga tujuan

akhir terselenggaranya fungsi kepolisian, untuk menciptakan dan atau

mewujudkan negara yang aman, tertib, sejahtera, adil dan makmur.

Disinilah yang dimaksudkan fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi

pemerintahan negara, karena tugas menciptakan kondisi dimaksud adalah

merupakan tugas dan wewenang serta tanggungjawab Pemerintah atau

Negara yang didelegasikan kepada Kepolisian Republik Indonesia.

Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam menjalankan tugasnya

sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan

hukum, memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat sebagaimana Undang-Undang No. 2 Tahun 2002,

menyelaraskan dengan teori keadilan restoratif. Teori ini menitikberatkan

20

(33)

47 bahwa dalam menyelesaikan suatu perkara pidana, dengan melibatkan peran

aktif dari korban, pelaku, keluarga korban maupun pelaku serta masyarakat

dan pihak-pihak lain yang berkepentingan. Karena perkara pidana

menyangkut kepentingan publik dan merugikan masyarakat, tidak hanya

korban saja.

B.HASIL PENELITIAN

1. Tugas Pokok dan Fungsi Unit Pelayanan Perempuan Dan Anak Sat Reskrim Polres Salatiga

Dengan diterbitkan Peraturan KAPOLRI No. 10 Tahun 2007 Tentang

Organisasi dan Tata Kerja, dibentuk unit yang bertugas untuk memberikan

pelayanan, perlindungan terhadap perempuan dan anak, yang dinamakan

dengan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA). Berdasarkan

ketentuan dalam Peraturan KAPOLRI tersebut tugas utama dari Unit PPA

adalah memberikan pelayanan dalam bentuk perlindungan terhadap

perempuan dan anak yang menjadi korban tindak kejahatan atau kekerasan

serta melakukan penegakan hukum terhadap pelaku. Sedangkan dalam

melaksanakan tugasnya, Unit PPA menyelenggarakan fungsi sebagaimana

berikut :

1. Penyelenggaraan pelayanan dan perlindungan hukum;

2. Penyelenggaraan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana;

3. Penyelenggaraan kerja sama dan koordinasi dengan instansi terkait.

Setelah penulis melakukan wawancara dengan Ipda Henri Widyoriani

(34)

48 Perempuan dan Anak (PPA) Polres Salatiga berkedudukan di bawah Sat

Reskrim (Satuan Reserse Kriminal) Polres Salatiga. Unit PPA Polres

Salatiga memiliki tugas sebagaimana berikut21:

“Unit PPA Polres Salatiga dalam menjalankan tugas dan fungsinya, antara lain : menerima laporan/aduan dari korban KDRT, memberikan bimbingan konseling kepada korban, mengantar dan mengirim korban ke rumah sakit terdekat guna dilakukan visum, memberi penjelasan pada pelapor tentang posisi kasus, hak dan kewajibannya, menjamin kerahasiaan info, menjamin keamanan dan kerahasiaan korban, koordinasi dengan lintas sektor, memberikan SP2HP kepada pelapor, serta membuat laporan kegiatan sesuai prosedur”.

2. Karakteristik KDRT yang Ditangani Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Sat Reskrim Polres Salatiga

Sebagaimana diketahui, tindakan KDRT yang diatur dalam Pasal 5

UU PKDRT meliputi kekerasan secara fisik, psikis, seksual atau

penelantaran rumah tangga. Fokus penulis ditujukan pada kekerasan fisik

terhadap perempuan. Kekerasan fisik dalam ranah KDRT yang dimaksud

adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat,

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 UU PKDRT. Dari pasal-pasal

terkait dalam undang-undang tersebut, memungkinkan sebagai sarana atau

upaya bagi aparat penegak hukum untuk dijadikan sebagai dasar untuk

bertindak. Berikut penulis akan menguraikan karakteristik kasus KDRT

yang ditangani oleh pihak kepolisian :

21

(35)

49 Tabel I

Jumlah Kasus KDRT Yang Ditangani Unit PPA Polres Salatiga sejak tahun 2015 – 2017 (Juni)

No. Tahun Jumlah Kasus KDRT

1. 2015 15

2. 2016 9

3. 2017 8

TOTAL 32

Sumber data : Unit PPA Polres Salatiga

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa, jumlah kasus KDRT yang

masuk dan ditangani oleh Unit PPA Polres Salatiga dari tahun 2015 sampai

Juni 2017 berjumlah 32. Pada tahun 2015, jumlah kasus KDRT yang

ditangani oleh Unit PPA Polres Salatiga berjumlah 15 (lima belas).

Kemudian pada tahun 2016, jumlah kasus KDRT yang ditangani oleh Unit

PPA Polres Salatiga mengalami penurunan menjadi 9 (sembilan) kasus.

Sedangkan pada tahun 2017 (sampai bulan Juni), jumlah kasus KDRT yang

ditangani oleh Unit PPA berjumlah 8 (delapan).

Berdasarkan tabel diatas, menunjukkan bahwa kasus KDRT yang

dilaporkan korban dan ditangani Unit PPA Polres Salatiga dari tahun 2015 –

(36)

50 Tabel II

Karakteristik Penanganan Kasus KDRT Yang Ditangani Oleh Unit PPA Polres Salatiga Sejak Tahun 2015 – 2017 (Juni)

No. Tahun Jumlah Kasus

Sumber data : Unit PPA Polres Salatiga

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa, pada tahun 2015 dari 15 kasus yang ditangani oleh Unit PPA Polres Salatiga, 9 kasus diselesaikan dengan

cara ADR (Alternative Dispute Resolution) dan 4 kasus berakhir dengan

dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Salatiga. Sementara pada tahun 2016, dari

9 kasus yang ditangani oleh Unit PPA Polres Salatiga, 7 kasus diselesaikan

dengan cara ADR, dan tidak ada kasus yang dilanjutkan ke Kejaksaan

Negeri Salatiga. Dan pada tahun 2017 bulan Juni, dari 8 kasus yang

ditangani oleh Unit PPA Polres Salatiga, 7 kasus diselesaikan melalui ADR,

sedangkan 1 kasus dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Salatiga. Dapat dilihat

bahwa dalam penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga di wilayah

hukum Polres Salatiga oleh Unit PPA, mayoritas kasus diselesaikan dengan

ADR, sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana, jika gagal baru

diajukan ke pengadilan. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam

penanganan perkara KDRT, aparat penegak hukum dalam hal ini kepolisian,

(37)

51 korban dan pelaku, yakni mempertemukan kedua belah pihak melalui ADR

(Alternative Dispute Resolution). Sehingga jika korban hanya ingin membuat pelaku jera, serta antara pelaku dan korban sudah berdamai, maka

hubungan antara kedua belah pihak dapat membaik seperti semula. Dalam

kasus KDRT yang ditangani oleh Unit PPA Polres Salatiga rata-rata korban

mencabut laporan atau aduannya. Hal tersebut didasarkan dari hasil

wawancara dengan Ipda Henri Widyoriani SH, selaku Kanit PPA Polres

Salatiga22 :

“Pada kasus KDRT yang ditangani oleh Unit PPA Polres Salatiga, mayoritas korban (perempuan) mencabut aduannya, karena niat korban untuk membuat aduan tersebut semata-mata hanya untuk membuat jera pelaku yang notabene adalah suami korban. Aduan korban dicabut, setelah aparat Unit PPA Polres Salatiga mempertemukan pelapor (korban) dengan terlapor (pelaku), untuk diselesaikan secara damai. Kemudian dibuat surat kesepakatan, dan pelaku berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi di lain waktu.”

Dengan banyaknya kasus KDRT yang diselesaikan secara

kekeluargan melalui ADR, menunjukkan bahwa aparat penegak hukum

dalam hal ini Unit PPA Polres Salatiga telah melaksanakan tugasnya dalam

menangani kasus KDRT sesuai dengan salah satu tujuan penghapusan

kekerasan dalam rumah tangga yang diatur dalam Pasal 4 UU PKDRT, yakni “memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera”.

22

(38)

52 Tabel III

Karakteristik Kasus KDRT Yang Ditangani Oleh Unit PPA Polres Salatiga ( Korban dan Pelaku)

No. Tahun Jumlah Kasus KDRT

Korban Pelaku

1. 2015 15 Isteri Suami

2. 2016 9 Isteri Suami

3. 2017 8 Isteri Suami

Sumber Data : Unit PPA Polres Salatiga

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa pada tahun 2015, dari 15 kasus

yang ditangani oleh Unit PPA Polres Salatiga, semua pelakunya adalah

suami. Sementara korbannya adalah isteri. Pada tahun 2016, dari 9 kasus

yang ditangani oleh Unit PPA Polres Salatiga, semua pelakunya adalah

suami, sementara korbannya adalah isteri. Sama halnya pada tahun-tahun

sebelumnya, pada tahun 2017 dari 8 kasus yang ditangani, semua pelakunya

adalah suami, sedangkan korban adalah isteri.

Berdasarkan data yang didapat oleh penulis, menunjukkan bahwa

dalam kasus-kasus yang ditangani oleh Unit PPA Polres Salatiga dari tahun

2015 – 2017, semua korban kekerasan dalam rumah tangga adalah

(39)

53 Tabel IV

Karakteristik Kasus KDRT Yang Ditangani Oleh Unit PPA Polres Salatiga ( Bentuk Tindak KDRT )

No. Tahun Jumlah Kasus Sumber Data : Unit PPA Polres Salatiga

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa pada tahun 2015 sampai dengan

2017, dari 32 kasus KDRT yang ditangani oleh Unit PPA Polres Salatiga,

bentuk tindak KDRT yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban adalah

kekerasan fisik, pasal yang dikenakan adalah Pasal 44 UU PKDRT.

Kekerasan fisik yang dilakukan seperti memukul, menampar, menendang,

dan menarik rambut korban. Seperti dalam kasus yang dialami oleh korban

KDRT yang bernama Titien Rukmana, dimana korban melaporkan tindak

KDRT pada tahun 2016. Korban mengalami kekerasan oleh pelaku yang

merupakan suaminya sendiri, bahwa kepala korban dipukul sebanyak 1 kali,

sehingga menyebabkan memar dan bengkak. Kemudian dalam kasus lain,

korban KDRT yang bernama Sisi Ariyani mengalami kekerasan oleh

(40)

54 tiga kali, di kepala dan lengan korban. Selanjutnya korban juga dibekap dan

diseret oleh pelaku. Pada tahun 2017, korban KDRT yang bernama Bekti

Lestari juga mengalami kekerasan oleh suaminya sendiri. Korban didorong

oleh pelaku hingga tubuhnya terbentur ke pintu rumah.

Sementara ketentuan pidana bagi pelaku, diatur dalam Pasal 44 UU

No. 23 Tahun 2004, antara lain :

(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup

rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana

dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling

banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana

dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda

paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).

(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling

lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00

(empat puluh lima juta rupiah).

(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan

penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata

pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara

paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00

(41)

55 3. Contoh Kasus dan Penanganan

a. Contoh Kasus

Kasus yang dipelajari penulis ialah kasus KDRT yang dialami oleh

korban yang bernama Titien Rukmana pada tahun 2014 dan Bekti Lestari

pada tahun 2017. Dalam kasus yang menimpa Titien Rukmana,

pelakunya adalah suami sendiri. Meskipun korban sudah pernah

melaporkan kasusnya ke Unit PPA Polres Salatiga pada tahun 2014,

tetapi kasusnya baru diproses setelah korban membuat surat aduan

kembali pada tahun 2016, setelah berkonsultasi dengan seorang advokat

yang bernama Komaruddin Nur, SH. Setelah penulis melakukan

wawancara dengan advokat korban, diperoleh keterangan sebagai berikut

:

“Pada awalnya, korban melapor kasus KDRT yang ditimpanya pada tahun 2014, tetapi karena kasus tersebut tidak ditindaklanjuti, kemudian korban meminta bantuan hukum dan akhirnya kembali melaporkan kasus tersebut pada tahun 2016. Bahwa korban hanya menginginkan keadilan, karena sebagai isteri, telah dianiaya dan tidak mendapatkan bagian apapun dari harta bersama.”23

Berdasarkan wawancara lebih lanjut dengan advokat yang ditemui

oleh penulis, didapat informasi sebagai berikut :

“Bahwa pelaku yang berinisial E.S melakukan kekerasan fisik terhadap korban dengan cara memukul kepala korban, sebanyak satu kali sehingga menyebabkan memar dan bengkak kemudian korban mengalami pusing. Pelaku sampai melakukan kekerasan terhadap korban, karena korban awalnya secara tidak sengaja menjatuhkan sepeda motor pelaku yang diparkir di teras rumah, sehingga pelaku marah dan melakukan kekerasan fisik terhadap korban. Kemudian korban memiliki inisiatif untuk melaporkan pelaku ke Polres Salatiga pada tahun 2014. Bahwa dihasilkan permufakatan, tetapi pelaku tidak pernah meminta maaf, tidak menyesal melakukan tindak KDRT tersebut dan korban merasa tidak puas dengan hasil mufakat. Karena korban menginginkan

23

(42)

56 keadilan, korbanpun melaporkan kembali kasus tersebut pada tahun 2016. Laporan korban akhirnya diterima dan ditindaklanjuti oleh aparat Unit PPA Polres Salatiga, dan kasusnya dilimpahkan ke kejaksaan untuk dilakukan penuntutan. Sampai proses persidangan selesai, pelaku dijatuhi pidana empat bulan penjara.”24

Sedangkan pada kasus KDRT yang menimpa Bekti Lestari, penulis

menemui korban melakukan wawancara secara langsung dengan korban.

Dari hasil wawancara tersebut, diperoleh informasi sebagai berikut : “Pada awalnya mau mengambil anak di rumah, karena sedang dalam proses perceraian, saya anggap hal itu wajar. Tetapi ketika sampai rumah, suami melarang saya untuk mengambil anak. Kemudian saya didorong oleh suami sampai tubuh saya membentur pintu rumah hingga terasa sakit.”25

Penulis juga mendapat informasi tambahan dari korban yakni : “Sebelum kasus ini saya laporkan, saya juga mengalami kekerasan dari suami. Tapi dia tidak menyesal melakukan perbuatannya, jadi saya sendiri berniat untuk melaporkannya supaya dia jera.”26

Setelah mengalami kekerasan dari suami, korban melaporkan

kejadiannya sendiri ke Unit PPA Polres Salatiga, karena sebelumnya

pelaku juga melakukan kekerasan terhadap korban dan tidak menyesali

perbuatannya.

Korban kemudian membuat laporan di kepolisian, supaya suaminya

jera. Kemudian Laporan Polisi dibuat, dan pada hari itu juga korban

diantar penyidik Unit PPA Polres Salatiga ke RSUD Kota Salatiga untuk

memeriksakan luka atau kesehatan korban, dan membuat pengantar

visum et repertum guna dilakukan visum. Pada hari berikutnya dilakukan pemeriksaan terhadap korban.

24

Wawancara dengan pengacara, Komaruddin Nur, SH pada hari Senin Tanggal 9 Oktober 2017.

25

Wawancara dengan korban, Bekti Lestari pada hari Kamis Tanggal 19 Oktober 2017.

26

(43)

57 b. Penanganan Kasus

Untuk penanganan kasus KDRT, penulis melakukan wawancara

secara terstruktur dengan Ipda Henri Widyoriani, SH beserta jajaran Unit

PPA Polres Salatiga. Didapat informasi sebagai berikut :

- Dalam kasus KDRT yang ditangani oleh Unit PPA Polres Salatiga,

prosedur yang dilakukan korban KDRT atau pelapor (dapat dilakukan

oleh orang tua, wali, pengasuh anak yang bersangkutan) ketika

melaporkan kejadian yang menimpanya, dengan membuat Laporan

Polisi atau disingkat LP.

- Korban dalam menjalani pemeriksaan di Unit P.P.A Polres Salatiga,

diperiksa oleh penyidik perempuan / polwan.

- Korban ditangani secara khusus, penyidik menjaga kerahasiaan

identitas korban.

- Kemudian penyidik membuat pengantar visum et repertum dan

mengantarkan korban ke RSUD Kota Salatiga untuk memeriksakan

luka atau kesehatan korban, dan guna diakukan visum.

- Tahapan selanjutnya penyidik melakukan pemeriksaan terhadap saksi,

yakni pelapor, korban KDRT yang bersangkutan, maupun orang yang

melihat, mendengar, dan mengetahui peristiwa tersebut.

- Apabila ada barang bukti yang ditemukan, maka akan diamankan oleh

penyidik.

- Melakukan koordinasi dengan Bapermas (Badan Pemberdayaan

Masyarakat) Kota Salatiga untuk melakukan perlindungan sementara

(44)

58 PPA Polres Salatiga antara lain : memberikan jaminan keamanan bagi

korban KDRT di kantor kepolisian, sehingga korban tidak mendapat

ancaman atau tekanan dari pelaku. Dan korban dipulangkan ke rumah

orangtua korban, karena belum ada tempat perlindungan sementara,

sebagaimana dalam Pasal 13 UU PKDRT, bahwa untuk penyediaan

ruang pelayanan khusus merupakan tugas pemerintah daerah.

- Terhadap delik aduan, penyidik melakukan langkah-langkah sebagai

berikut :

 Melengkapi administrasi penyidikan.

 Mengirim surat panggilan terhadap tersangka.

 Melakukan pemeriksaan terhadap tersangka.

 Melakukan pemantauan terhadap tersangka, dengan cara

mewajibkan pelaku untuk absen di kantor kepolisian pada hari

Senin dan Kamis.

 Mengadakan mediasi antara pihak korban dan pelaku.

 Apabila mediasi sukses dan berhasil didapat kesepakatan, maka

korban atau pelapor mencabut laporan polisi.

 Apabila penanganan sudah selesai, pelaku masih diawasi dan

diwajibkan absen pada hari Senin atau Kamis dan dilakukan

pengawasan lingkungan.

- Terhadap delik biasa, penyidik melakukan langkah-langkah sebagai

berikut :

 Melakukan penangkapan terhadap tersangka.

(45)

59

 Melakukan penahanan terhadap tersangka.

 Melengkapi berkas-berkas penyidikan, guna diteliti oleh jaksa

peneliti di Kejaksaan Negeri Salatiga.

 Apabila berkas-berkas penyidikan sudah dinyatakan lengkap dan

siap untuk dilimpahkan, diberi kode P21 guna dilimpahkan ke

Kejaksaan Negeri Salatiga.

 Selanjutnya penyidik melimpahkan tersangka dan barang bukti ke

Kejaksaan Negeri Salatiga dengan kode P22.

Dalam tahapan-tahapan diatas, penyidik menerbitkan SP2HP (Surat

Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan) untuk disampaikan

kepada korban. Penerbitan SP2HP bisa dilakukan pada awal penyidikan,

pertengahan penyidikan, dan akhir penyidikan (tergantung dari tingkat

kesulitan kasus). Sementara untuk perlindungan terhadap korban, Polres

Salatiga dan Pemerintah Kota Salatiga belum mempunyai rumah

perlindungan, jadi apabila ada korban KDRT, Unit PPA Polres Salatiga

melakukan koordinasi dengan Bapermas (Badan Pemberdayaan

Masyarakat) Kota Salatiga untuk bersama-sama melindungi korban.

Untuk kasus KDRT yang termasuk delik aduan, maka penanganan

dilakukan dengan ADR (Alternative Dispute Resolution). Bahwa tidak

semua kasus KDRT yang ditangani merupakan delik aduan. Kasus

KDRT yang merupakan delik aduan berdasarkan UU No. 23 Tahun 2004

antara lain :

 Kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga, dilakukan oleh suami

(46)

60 atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata

pencaharian atau kegiatan sehari-hari. (Vide Pasal 51)

 Perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga dilakukan

oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan

penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau

mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari. (Vide Pasal 52)

 Perbuatan kekerasan seksual yang dilakukan terhadap orang yang

menetap dalam lingkup rumah tangga. (Vide Pasal 53)

Dalam tahapan ADR tersebut, Unit PPA Polres Salatiga selalu

mendengarkan korban. Kemudian apabila ada kesepakatan dengan

pelaku, dibuat surat kesepakatan bersama, dengan diberi materai dan cap

RT dan RW setempat. Setelah ditemui kesepakatan antara korban dan

pelaku, kemudian korban atau pelapor mencabut Laporan Polisi yang

telah dibuat. Kepada pelaku masih dalam pengawasan dan diwajibkan

untuk absen selama waktu tertentu.

Mengenai peran penyidik dalam menangani kasus KDRT, bahwa

peran penyidik tersebut adalah netral (tidak berpihak). Selain itu,

penyidik juga berperan sebagai fasilitator bagi korban KDRT.

Selama penanganan di Unit PPA Polres Salatiga, bahwa posisi

korban dilindungi dan tidak ada ancaman dari pihak manapun. Setelah

penanganan kasus KDRT selesai, terhadap pelaku masih dilakukan

Gambar

Tabel I
Tabel II
Tabel III
Tabel IV

Referensi

Dokumen terkait

Pengantar Penelitian Hukum ( cetakan ke 3 ).. 6 Hal ini dilakukan untuk mengetahui pelaksanaan perlindungan hukum terhadap korban dan pelaku dalam tindak pidana kekerasan

23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KDRT DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN TERHADAP PEREMPUAN YANG.. MENJADI

belakang penelitian hukum ( legal research ), “ Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga ”.

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL YANG MENGALAMI BLAMING THE VICTIM DITINJAU DARI PERSPEKTIF VIKTIMOLOGI.. Penulisan

Sebagaimana pasal tersebut kemudian menjadi penting sekali dalam perlindungan hukum khususnya terhadap perempuan sebagai korban tindak pidana pornografi balas dendam

Berdasarkan data-data yang dikumpulkan dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa, Perlindungan Hukum yang diberikan Pengadilan Negeri Magetan terhadap korban

S, Perlindungan Korban Suatu Perspektif Viktimologi dan Kriminologi Widya Sari Press Salatiga 2010 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indoesia Rajawali Pers 2012 Maidin

Perlindungan hukum kepada korban dengan pertimbangan sosiologis dalam putusan tersebut tidak sepenuhnya terpenuhi dikarenakan perlindungan yang korban dapatkan hanya secara tidak