15 BAB II
KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A.Kerangka Teori
1. Konsep Perlindungan Hukum
Pada hakikatnya, salah satu ciri negara hukum adalah dengan
adanya asas persamaan di depan hukum (equality before the law). Menurut
R. Soeroso, SH, hukum adalah himpunan peraturan yang dibuat oleh yang
berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan masyarakat,
dengan ciri memerintah, melarang, serta mempunyai sifat memaksa dengan
menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya. Hukum juga dapat
diartikan sebagai peraturan yang bersifat memaksa yang dibuat oleh
penguasa, yang mengatur tingkah laku manusia, guna tercapainya suatu
keteraturan dalam masyarakat.
Perlindungan hukum terhadap setiap warga negara merupakan
suatu keharusan, karena merupakan bagian dari hak asasi manusia. Secara
umum, perlindungan dapat diartikan sebagai mengayomi seseorang atau
sesuatu dari hal-hal yang mengancam maupun membahayakan. Dalam
pengertian lain, perlindungan juga diartikan sebagai mengayomi pihak yang
lemah, supaya dapat merasa aman. Sehingga perlindungan hukum dapat
dikatakan sebagai perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum
dalam bentuk perangkat hukum, baik yang bersifat preventif maupun
represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.
Menurut Satjipto Raharjo, perlindungan hukum adalah
16 orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat
menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.1 Hukum bertujuan
untuk mengkoordinasikan dan mengintegrasikan berbagai kepentingan
dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan
terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara memberi
batas kepentingan pihak lain. Dapat disimpulkan bahwa perlindungan
hukum adalah mengayomi hak asasi korban yang telah dilanggar atau
dirugikan orang lain, dan supaya hak-hak korban dapat dipulihkan kembali.
Sementara perlindungan hukum menurut Undang-Undang No. 31
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban adalah segala upaya pemenuhan
hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi
dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban atau lembaga lainnya sesuai ketentuan undang-undang.2
Suatu perlindungan dapat dikatakan sebagai perlindungan hukum
apabila mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
1. Adanya pengayoman dari pemerintah terhadap warganya.
2. Adanya jaminan kepastian hukum.
3. Berkaitan dengan hak-hak warganegara.
4. Adanya sanksi hukuman bagi yang melanggarnya.
Sebagai negara hukum, korban juga harus mendapat pelayanan
hukum berupa perlindungan hukum. Bukan hanya tersangka atau terdakwa
1
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, h. 54.
2
17
saja yang dilindungi hak-haknya, tetapi korban juga wajib dilindungi.3
Menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan
Saksi dan Korban, bahwa perlindungan korban berdasarkan pada :
1. Penghargaan atas harkat dan martabat manusia,
Asas penghargaan atas harkat dan martabat manusia adalah asas
dalam pemenuhan hak dan pemberian bantuan yang memandang setiap
manusia, khususnya sebagai saksi dan/atau korban, sebagai makhluk
ciptaan Allah, yang harus dihargai dan dilindungi, dan hak-hak tersebut
tidak boleh dikurangi oleh siapapun dan dalam keadaan apapun.
2. Rasa aman,
Asas rasa aman adalah asas dalam pemenuhan hak dan pemberian
bantuan kepada saksi dan/atau korban, berguna untuk menciptakan
kondisi dalam suasana tenteram baik lahiriah dan batiniah, baik secara
fisik maupun psikis.
3. Keadilan,
Asas keadilan adalah asas dalam pemenuhan hak dan pemberian
hukum kepada saksi dan/atau korban sesuai dengan hak-haknya, secara
proporsionalitas, prosedural, sesuai dengan kewajibannya memberikan
kesaksian dalam setiap tahap peradilan.
4. Tidak diskriminatif,
Asas tidak diskriminatif adalah asas dalam pemenuhan hak dalam
pemberian bantuan yang memandang setiap saksi dan/atau korban
3
18 memperoleh pengakuan yang dalam keadaan sama, harus diterapkan
secara sama di depan hukum, tanpa membedakan tingkat ekonomi,
golongan, ras, agama, suku bangsa, dan sebagainya.
5. Kepastian hukum.
Asas kepastian hukum, adalah asas dalam pemenuhan hak dan
pemberian bantuan di negara hukum yang mengutamakan landasan
peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap
kebijakan penyelenggara negara.4
Sebagai negara hukum, seharusnya aparat penegak hukum kita
dalam menegakkan hukum tidak semata-mata menegakkan peraturan
perundang-undangan saja. Kemampuan untuk menggali pemahaman hukum
sebagaimana diajarkan dalam teori hukum progresif oleh Prof. Dr. Satjipto
Rahardjo, S.H, yaitu bukan hanya sekedar memahami hukum positif yang
selama ini berlaku, tetapi juga bagaimana seorang penegak hukum itu
mampu mengangkat nilai-nilai hukum yang bermuara kepada sebuah
keadilan yang sesungguhnya, bukan hanya keadilan yang didasarkan pada
uraian kata-kata peraturan perundang-undangan saja, tetapi lebih kepada
keadilan yang sesungguhnya. Keadilan yang sesungguhnya itu sebagaimana
tergambar dalam benak dan hati sanubari setiap orang yang menghendaki
keteraturan yang mereka butuhkan. Melalui penggalian nilai-nilai keadilan
yang ada dalam masyarakat itulah yang seharusnya menjadi tujuan utama,
atau tujuan yang paling dalam tentang tujuan dan hakikat kebutuhan hukum
itu. Tujuan atau inti dari hukum itu harus dilandasi oleh penilaian hati
4
19 nurani dan makna hukum yang paling dalam. Di sinilah diperlukannya peran
hukum progresif. Hukum progresif adalah suatu tinjauan teori yang
dicetuskan oleh Satjipto Rahardjo tentang makna hukum yang
sesungguhnya, yaitu hukum yang benar-benar ingin mewujudkan jati
dirinya pada sebuah nilai keadilan yang sebenarnya, bukan hanya keadilan
menurut peraturan perundang-undangan saja, tetapi lebih kepada bagaimana
seharusnya manusia itu berperilaku.
2. Perlindungan Hak Korban
Membahas mengenai perlindungan perempuan sebagai korban tindak
kekerasan dalam rumah tangga, pertama-tama tentu harus memahami
definisi dari korban itu sendiri secara umum. Siapakah yang dimaksud
dengan korban? Beberapa sarjana memberikan definisi korban, sebagai
berikut :
1. I.S. Susanto mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan korban dalam
arti sempit adalah korban kejahatan. Sedangkan korban dalam arti luas
meliputi juga korban dalam berbagai bidang, seperti korban perang,
korban sewenang-wenangan dan lain sebagainya.5
2. Muladi mengatakan, bahwa korban kejahatan adalah seseorang yang
telah menderita kerugian sebagai akibat suatu kejahatan atau yang rasa
keadilannya secara langsung telah terganggu sebagai akibat
pengalamannya sebagai target (sasaran) kejahatan (“victim is a person
who hast just suffered damage as a result of a crime and/or whose sense
5
20 of justice has been directly disturbed by the experience on having been the target of crime”).6
3. Arif Gosita mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan korban adalah
mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan
dari orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau
orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang
menderita.7
Dapat dikemukakan ruang lingkup pengertian korban, dalam arti
luas maupun sempit. Dalam pengertian arti luas meliputi : penderitaan atau
kerugian yang dialami manusia, korporasi, baik secara fisik ataupun psikis
dan reduksi nilai-nilai dalam artian psikis secara luas, seperti perwujudan
fungsi hukum dalam mengakomodasi nilai hak asasi manusia, antara lain
nilai keadilan, nilai perlindungan, dan nilai demokrasi, karena perbuatan
kejahatan ataupun penyalahgunaan kekuasaan. Pengertian korban dalam arti
sempit adalah sebagai penderitaan atau kerugian yang dialami orang atau
sekelompok orang karena perbuatan jahat sebagaimana yang telah
dirumuskan dan dapat dipidana dalam hukum pidana. Untuk mempermudah
pemahaman mengenai korban, maka korban adalah seseorang yang
mengalami kerugian atau penderitaan akibat perbuatan jahat orang lain
maupun seseorang yang hak-haknya dan keadilannya dilanggar oleh orang
lain.
6
Bambang Dwi Baskoro, Bunga Rampai Penegakan Hukum Pidana, Badan Penerbitan Universitas Diponegoro, Semarang, 2001, h. 171.
7
21 Pada hakikatnya, perlindungan terhadap korban sebagai janji-janji
hukum oleh sistem peradilan pidana berusaha mewujudkan fungsi primer
hukum yang sebagaimana diungkapkan oleh I.S. Susanto dalam tiga hal :
1. Perlindungan
Hukum berfungsi untuk melindungi masyarakat dari ancaman
bahaya dan tindakan yang merugikan dari sesama dan kelompok
masyarakat termasuk yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan
(pemerintah dan negara) dan yang datang dari luar, yang ditujukan
terhadap fisik, jiwa, kesehatan, nilai-nilai, dan hak asasinya.
2. Keadilan
Hukum menjaga, melindungi dari keadilan bagi seluruh rakyat.
Secara negatif, dapat dikatakan bahwa hukum yang tidak adil yaitu
apabila hukum yang bersangkutan dipandang melanggar nilai-nilai dan
hak-hak yang dipercayai harus dijaga dan dilindungi bagi semua orang.
3. Pembangunan
Hukum dipakai sebagai kendaraan baik dalam menentukan arah,
tujuan, dan pelaksanaan pembangunan secara adil. Artinya, hukum
sekaligus digunakan sebagai alat pembangunan namun juga sebagai alat
kontrol agar pembangunan dilaksanakan secara adil.8
Dengan berkembangnya jaman, serta dilatarbelakangi oleh
bergesernya perspektif dari keadilan retributif kepada keadilan restoratif.
Keadilan restoratif (restorative justice) berpijak pada hubungan yang
manusiawi antara korban dengan pelanggar dan fokusnya pada dampak
8
22 yang ditimbulkan oleh kejahatan pada semua pihak, baik itu korban,
masyarakat, dan pelanggar hukum sendiri. Pelaku direstorasi melalui sistem
peradilan pidana sehingga mendorong terjadinya perdamaian antara korban
dan pelaku. Perdamaian itu dilakukan melalui mediasi, pertemuan, program
perbaikan ekonomi, dan pendidikan kejujuran. Konsep hukum pidana
menurut keadilan restoratif, orientasi keadilan ditujukan kepada orang yang
terlanggar haknya yang dilindungi oleh peraturan hukum (korban),
pelanggaran hukum pidana adalah melanggar hak perseorangan (korban),
dan korban kejahatan adalah orang yang dirugikan akibat
kejahatan/pelanggaran hukum pidana, yaitu orang-orang yang menderita
langsung akibat kejahatan (korban), masyarakat, negara, dan juga pelanggar
itu sendiri. Pergeseran ini merupakan pergeseran filsafat keadilan dari
hukum positif yang mendasarkan kepada asas hukum materiil dalam sistem
peradilan pidana. Pergeseran tersebut telah membawa cara pandang baru
dalam hukum pidana dan sistem peradilan pidana, yakni sebagai berikut :
1. Keadilan dalam hukum pidana berorientasi pada kepentingan atau
penderitaan korban (viktimisasi atau dampak kejahatan) dan
pertanggungjawaban pelanggar terhadap perbuatan dan akibatnya pada
diri korban.
2. Kejahatan atau pelanggaran hukum pidana adalah melanggar kepentingan
publik dan kepentingan korban adalah bagian pertama dan utama dari
kepentingan publik. Jadi kejahatan merupakan konflik antara pelanggar
dengan antarperseorangan (korban) sebagai bagian dari kepentingan
23
3. Korban adalah orang yang dirugikan karena kejahatan (pelanggaran
hukum pidana).
4. Penyelenggaraan peradilan pidana berfungsi sebagai sarana penyelesaian
konflik (conflict resolution).
5. Pidana dan jenis pidana yang hendak dijatuhkan kepada pelanggar adalah
bagian dari penyelesaian konflik dengan menekankan tanggung jawab
pelanggar terhadap perbuatan beserta akibat-akibatnya.
6. Korban, masyarakat, negara, dan pelanggar dalam proses peradilan
pidana bersifat aktif. 9
Korban harus mendapat pelayanan hukum berupa perlindungan
hukum. Bukan hanya tersangka atau terdakwa saja yang dilindungi hak-hak
nya, tetapi juga korban dan saksi wajib dilindungi. Wajar jika ada
keseimbangan antara perlindungan korban dan atau saksi.
Menurut Barda Nawawi Arief, bahwa hukum pidana positif saat ini lebih menekankan pada perlindungan korban “in abstrakto”, secara tidak
langsung. Hal ini dikarenakan tindak pidana positif menurut hukum pidana
positif tidak dilihat sebagai perbuatan menyerang/melanggar kepentingan
hukum seseorang (korban) secara pribadi dan konkret, tetapi hanya dilihat
sebagai pelanggaran norma/tertib hukum in abstrakto. Oleh karena itu,
pertanggungjawaban pidana terhadap korban bukanlah pertanggungjawaban
terhadap kerugian/penderitaan korban secara langsung dan konkret, tetapi
lebih tertuju kepada pertanggungjawaban pribadi.
9
24 Hak untuk memperoleh informasi mengenai perkembangan kasus,
putusan pengadilan, dan terpidana dibebaskan adalah berkaitan dengan hak
untuk memperoleh jaminan perlindungan, dan hak untuk memperoleh
kejelasan tentang proses perkembangan kasus tindak pidana yang terjadi dan
untuk kepentingan pembelaan diri, bagi korban maupun saksi.
Hak korban lain yakni berhak untuk mendapatkan identitas baru
dan mendapatkan kediaman yang baru merupakan bentuk-bentuk
perlindungan terhadap tempat-tempat (safe house), untuk kepentingan
kepada diri korban supaya terbebas dari ancaman, gangguan, dan
kenyamanan agar saksi dan korban dapat memberikan keterangan kesaksian
secara bebas tanpa tekanan fisik dan psikis.
Hak untuk memperoleh penggantian biaya transportasi dan
memperoleh bantuan biaya hidup merupakan salah satu bentuk wujud
bantuan restitusi atau kompensasi tertentu, karena selama proses penegakan
hukum terhadap tindak pidana yang berhubungan dengan dirinya, dipastikan
korban telah mengeluarkan biayanya sendiri, dan mempengaruhi terhadap
rasa aman dan kenyamanan pada dirinya sendiri. Sedangkan hak untuk
memperoleh bantuan hukum merupakan asas untuk memberikan jaminan
perlindungan hukum dan bantuan hukum, sebagai salah satu wujud
pengakuan atas hak asasi manusia.10
Hak-hak korban yang telah disebut diatas, selaras dengan pendapat
Van Boven yang dikutip oleh Rena Yulia :
” Hak-hak para korban adalah hak untuk tahu, hak atas keadilan, dan hak atas reparasi (pemulihan), yaitu hak yang menunjuk
10
25 kepada semua tipe pemulihan baik material maupun nonmaterial bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia. Hak-hak tersebut telah terdapat dalam berbagai instrumen-instrumen hak asasi manusia yang berlaku dan juga terdapat dalam yurisprudensi komite-komite hak asasi manusia internasional maupun pengadilan
regional hak asasi manusia.”
Perlindungan korban khususnya hak korban untuk memperoleh
ganti rugi merupakan bagian integral dari hak asasi di bidang kesejahteraan
dan jaminan sosial (social security). Hal ini pun mendapat pengakuan dalam
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yaitu Pasal 25 ayat 1 yang
menyatakan :
“Setiap orang berhak atas suatu standar kehidupan yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya serta keluarganya, termasuk makanan, pakaian, rumah, dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan hak atas keamanan pada masa menganggur, sakit, tidak mampu bekerja, menjanda, lanjut usia, atau kekurangan nafkah lainnya
dalam keadaan diluar kekuasaannya.11
Declaration of Basic Principle of Justice for Victims of Crime and the Abuse of Power yang disetujui oleh Majelis Umum PBB 29 November 1985 (resolusi 40/34) atas rekomendasi Kongres ketujuh, menyatakan
perlindungan korban antara lain dalam wujud sebagai berikut :
1. Korban kejahatan harus diperlakukan dengan penuh rasa hormat
terhadap martabatnya, serta diberi haknya untuk segera menuntut ganti
rugi. Mekanisme hukum dan administrasinya harus dirumuskan dan
disahkan untuk memungkinkan korban kejahatan memperoleh ganti
rugi.
11
26
2. Korban kejahatan harus diberi informasi mengenai peran mereka,
jadwal waktu, dan kemajuan yang telah dicapai dalam penanganan
kasus mereka. Penderitaan dan kepribadian korban kejahatan harus
selalu ditampilkan dan disampaikan pada setiap tingkatan proses. Jika
ganti rugi yang menyeluruh tidak dapat diperoleh dari pelaku
kenakalan, dalam kasus-kasus kerugian fisik atau mental yang parah,
negara berkewajiban memberi ganti rugi kepada korban kejahatan atau
keluarganya.
3. Korban kejahatan harus menerima ganti rugi kepada korban kejahatan
atau keluarganya.
Sebenarnya, perlindungan korban dan/atau saksi tidak serta merta
lahir oleh faktor internal dalam negeri. Sedikit banyak dipengaruhi pula oleh
dinamika global, baik berupa dinamika masyarakat ataupun memang
keharusan bahkan tekanan-tekanan, maupun keterikatan melaksanakan
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Landasan hukum, bagi perlindungan korban adalah konstitusi atau
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam
Pasal 1 UUD 1945 yang berbunyi :
1. Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik ;
2. Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD ;
3. Negara Indonesia adalah negara hukum ;
Kemudian dengan keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban sebagai lembaga yang menangani perlindungan terhadap saksi dan
27 korban atau saksi tindak kejahatan. Tugas dan fungsi LPSK sebagaimana
yang diatur oleh UU No. 31 tahun 2014, antara lain :
1. Memberikan layanan perlindungan dan bantuan kepada saksi dan korban
dalam setiap proses peradilan pidana.
2. Memfasilitasi langkah-langkah pemulihan bagi korban tindak pidana
khususnya dalam pengajuan kompensasi atau restitusi.
3. Melakukan kerja sama dengan instansi terkait dan berwenang dalam
pelaksanaan perlindungan saksi dan korban.
Menurut Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2008, tentang
Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban,
pengertian tentang kompensasi, restitusi, dan bantuan sebagai berikut :
a. Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena
pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang
menjadi tanggung jawabnya.
b. Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau
keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian
harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau
penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu.
c. Bantuan adalah layanan yang diberikan kepada korban dan/atau saksi
oleh LPSK dalam bentuk bantuan medis dan bantuan rehabilitasi
psiko-sosial.
Perlindungan terhadap saksi dan korban oleh Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban, merupakan wujud dari prinsip negara
28 Sedangkan hak-hak dari korban secara yuridis dapat dilihat dalam
perundang-undangan, salah satunya adalah UU No. 31 Tahun 2014. Dalam
pasal 5 undang-undang tersebut diatur beberapa hak korban dan saksi,
yakni sebagai berikut :
1. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta
bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian
yang akan, sedang, atau telah diberikannya.
2. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan
dan dukungan keamanan.
3. Memberikan keterangan tanpa tekanan.
4. Mendapat penerjemah.
5. Bebas dari pertanyaan menjerat.
6. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus.
7. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan.
8. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan.
9. Mendapat identitas baru.
10. Mendapatkan tempat kediaman baru.
11. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan.
12. Mendapat nasihat hukum.
13. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu
perlindungan berakhir.12
12
29 3. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari “straafbaarfeit”.
Istilah tersebut diterjemahkan oleh Prof. Mulyatno, S.H., menurut pendapat
beliau istilah perbuatan pidana menunjuk pada makna adanya suatu
kelakuan manusia yang menimbulkan akibat tertentu yang dilarang hukum
di mana pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana. Dapat diambil
kesimpulan bahwa yang disebut dengan tindak pidana adalah perbuatan
yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, dimana
pengertian perbuatan disini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan
sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat
pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).13
Biasanya tindak pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari
bahasa Latin yakni kata delictum. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
tercantum sebagai berikut : “Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan
hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana”. Sementara Moeljatno mendefinisikan delik sebagai :
“delik sebagai perbuatan pidana sebagai perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Larangan ini ditujukan kepada perbuatan (suatu keadaan atau kejadian) yang ditimbulkan oleh kelakuan orang sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian tersebut.”
Suatu perbuatan dikatakan telah melanggar hukum dan dapat
dikenakan sanksi pidana apabila memenuhi dua unsur, yakni adanya unsur
actus reus atau unsur esensial dari kejahatan (physical element) serta mens
13
30 rea (mental element), yakni keadaan sikap batin. Menurut Zainal Abidin
Farid, menyatakan bahwa actus reus merupakan unsur suatu delik,
sedangkan mens rea termasuk pertanggungjawaban pembuat. Asas legalitas
sebagai ukuran tindak pidana, dengan bahasa latin nullum crimen sine lege
dan nulla poena sine lege. Asas legalitas menentukan unsur suatu perbuatan dapat dipidana berdasarkan pada aturan-aturan hukum tertulis yang telah
menetapkan adanya sanksi pidana. Pendapat Muladi tentang asas legalitas
menyatakan bahwa :
1. Memperkuat kepastian hukum.
2. Menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa.
3. Mengefektifkan fungsi pencegahan dari sanksi pidana.
4. Mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
5. Memperkokoh penerapan rule of law.14
Dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga, istilah tindak pidana juga digunakan untuk menyebut perbuatan
yang melanggar larangan undang-undang tersebut, meskipun dalam tataran
empirik istilah “Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga” kurang dikenal, karena istilah yang memasyarakat untuk menyebut hal tersebut adalah “kekerasan dalam rumah tangga” (KDRT), hal ini terutama karena
judul Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga juga tidak mencantumkan frasa “tindak pidana” di depan “kekerasan dalam
rumah tangga”, jadi terlihat UU PKDRT penekanannya pada “penghapusan
KDRT secara umum” bukan semata penghapusan pada tindak pidana
14
31 KDRTnya”. KDRT sendiri diartikan sebagai setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaraan rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga (vide Pasal 1 angka 1 UU PKDRT). Dimana akibat dari kekerasan
tersebut tentunya akan menimbulkan korban, yakni orang yang mengalami
kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga (vide
Pasal 1 angka 3 UU PKDRT). Apabila pengertian “Kekerasan dalam Rumah
Tangga dan korban” tersebut dihubungkan dengan ketentuan Pasal 5 UU
PKDRT maka tindak pidana KDRT terwujud dalam 4 (empat) jenis yakni :
a. Kekerasan fisik;
b. Kekerasan psikis;
c. Kekerasan seksual; atau
d. Penelantaran rumah tangga.
Dengan demikian, bahwa “Tindak Pidana Kekerasan Dalam
Rumah Tangga” adalah setiap perbuatan berupa melakukan kekerasan fisik,
kekerasan psikis, kekerasan seksual atau penelantaran rumah tangga yang dilakukan oleh, dalam dan terhadap “orang dalam lingkup rumah tangga”. 15
Yang dapat menjadi pembuat/pelaku/subjek dari tindak pidana
KDRT adalah hanya orang dalam lingkup rumah tangga, dalam hal ini
meliputi :
a. Suami, isteri, dan anak.
15
32
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang
sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah,
perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam
rumah tangga; dan/atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah
tangga tersebut (dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu
selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan). (Vide Pasal 2
UU PKDRT).
Dalam Pasal 5 UU PKDRT menyatakan “setiap orang dilarang
melakukan Kekerasan dalam Rumah Tangga terhadap orang dalam lingkup
rumah tangganya, dengan cara :
a. Kekerasan fisik;
Kekerasan fisik yang diartikan sebagai perbuatan yang
mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat (Vide Pasal 6 UU
PKDRT). Pengertian ini serupa tapi tidak sama dengan pengertian “penganiayaan” yang tercantum dalam Pasal 351 KUHP. Perbedaannya
karena “kekerasan fisik” diberikan penafsiran otentik dalam Pasal 6 UU
PKDRT, sedangkan dalam Pasal 351 KUHP tidak dijelaskan pengertian dari “penganiayaan” tetapi hanya disebut kualifikasi deliknya yakni
“penganiayaan”.
b. Kekerasan psikis;
Menurut Pasal 5 huruf b UU PKDRT “setiap orang dilarang
melakukan kekerasan psikis yakni melakukan perbuatan yang
33 kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang” (Vide Pasal 7 UU PKDRT). Jenis tindak pidana “kekerasan psikis” adalah tindak pidana yang benar-benar baru
karena tidak ada padanannya dalam KUHP, berbeda dengan tindak
pidana KDRT dalam bentuk lainnya yang ada padanannya dalam KUHP,
yakni kekerasan fisik (penganiayaan), kekerasan seksual (kesusilaan)
serta penelantaran rumah tangga (penelantaran orang yang perlu
diberikan nafkah dan kehidupan).
c. Kekerasan seksual; atau
Menurut Pasal 5 huruf c UU PKDRT, setiap orang dilarang
melakukan kekerasan seksual yakni meliputi :
a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang
menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut dan
b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup
rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau
tujuan tertentu (Vide Pasal 8).
d. Penelantaran rumah tangga
Menurut Pasal 5 huruf d UU PKDRT setiap orang dilarang
melakukan penelantaran rumah tangga, yakni sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 9 UU PKDRT, bahwa :
a. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan,
34
b. Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap
orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara
membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak didalam atau
di luar rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang
tersebut.16
4. Perlindungan Korban KDRT dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Orang yang mengalami kekerasan dan/atau kekerasan dalam lingkup
rumah tangga, terutama perempuan dalam Undang-Undang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga diberikan suatu jaminan untuk mendapat
perlindungan. Lembaga ini merupakan perwujudan dari upaya yang
ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh
pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan,
atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan
pengadilan (vide Pasal 1 angka 4 UU PKDRT).
Pembentukan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga sebagaimana dalam Pasal 4 UU No. 23 Tahun 2004 yakni :
a. Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;
b. Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;
c. Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga;
d. Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera;
16Ibid.,
35 Melihat latar belakang pembentukan UU PKDRT, dapat dilihat bahwa
pembentukan UU ini untuk melindungi perempuan dari kekerasan dalam
rumah tangga. Hal tersebut nampak pada :
- Bagian pertimbangan huruf c UU PKDRT menyatakan bahwa korban
kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan,
harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar
terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan,
penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat
kemanusiaan.
- Penjelasan umum UU PKDRT menyatakan bahwa pembaruan hukum
yang berpihak pada kelompok rentan atau tersubordinasi, khususnya
perempuan, menjadi sangat diperlukan sehubungan dengan banyaknya kasus kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga.
Perlindungan terhadap korban KDRT, bisa dilakukan dalam dua
bentuk :
a. Perlindungan sementara yakni perlindungan yang langsung diberikan
oleh Kepolisian dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum
dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari Pengadilan (Pasal 1
angka 5 UU PKDRT).
b. Perintah perlindungan adalah penetapan yang dikeluarkan oleh
Pengadilan untuk memberikan perlindungan kepada korban (Pasal 1
angka 6 UU PKDRT).17
17Ibid.,
36 Tata cara pemberian perlindungan sementara dan perintah perlindungan
sebagai berikut :
1. Apabila terjadi tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga di lingkup
keluarga, korban dan setiap orang yang melihatnya, mendengarnya dan
mengetahui peristiwa tersebut dapat melaporkan kepada pihak
kepolisian :
Korban berhak untuk melaporkan secara langsung tindak KDRT
kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat
kejadian perkara (Pasal 26 ayat (1) UU PKDRT).
Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain
untuk melaporkan tindak KDRT kepada Kepolisian baik di tempat
korban berada maupun di tempat kejadian perkara (Pasal 26 ayat
(2) UU PKDRT).
Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan
oleh orang tua, wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan yang
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (Pasal 27 UU PKDRT).
2. Pihak Kepolisian setelah mengetahui atau menerima laporan tentang
adanya KDRT maka wajib :
Memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban untuk
mendapat pelayanan dan pendampingan (Pasal 18 UU PKDRT).
Segera melakukan penyelidikan (Pasal 19 UU PKDRT).
Menyampaikan kepada korban tentang :
37
- Kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatan terhadap
martabat kemanusiaan ; dan
- Kewajiban Kepolisian untuk melindungi korban (Pasal 20 UU
PKDRT).
3. Apabila setelah diberitahukan haknya oleh kepolisian, dan atau apabila
korban KDRT merasa ketakutan dan terancam jiwa serta
keselamatannya oleh pelaku KDRT (karena masih dalam lingkup
rumah tangga) maka korban dan orang-orang yang mendengar, melihat,
atau mengetahui terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga tersebut
dapat mengajukan perlindungan sementara kepada Kepolisian dan/atau
lembaga sosial atau pihak lain (Vide Pasal 1 angka 5 UU PKDRT).
4. Dalam hal permintaan perlindungan sementara diterima oleh Kepolisian
maka dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung
sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah
tangga, Kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara
pada korban (Vide Pasal 16 ayat (1) UU PKDRT).
5. Dalam memberikan perlindungan sementara, Kepolisian dapat bekerja
sama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping,
dan/atau pembimbing rohani untuk mendampingi korban (Pasal 17 UU
PKDRT).
6. Perlindungan sementara oleh Kepolisian diberikan kepada korban
paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani (Pasal
38
7. Kepolisian dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam
terhitung sejak pemberian perlindungan sementara wajib meminta surat
penetapan perintah perlindungan dari Pengadilan (Pasal 16 ayat (3) UU
PKDRT).
8. Permohonan perintah perlindungan disampaikan dalam bentuk lisan
atau tulisan kepada Pengadilan, dalam hal Permohonan diajukan secara
lisan, panitera Pengadilan Negeri setempat wajib mencatat permohonan
tersebut (Vide Pasal 30 ayat (1) dan (2) UU PKDRT).
9. Pengadilan memeriksa persyaratan formil dari permohonan perintah
perlindungan yakni jika yang mengajukan permohonan perintah
perlindungan diajukan oleh keluarga, teman korban, kepolisian, relawan
pendamping, atau pembimbing rohani maka korban harus ada
persetujuan dari korban.
10. Permohonan perintah perlindungan yang memenuhi syarat formil
tersebut, diajukan kepada Ketua Pengadilan.
11. Ketua Pengadilan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak
diterimanya permohonan, wajib mengeluarkan surat penetapan (Pasal
28 UU PKDRT).
12. Surat penetapan perlindungan berisi perintah perlindungan bagi korban
dan anggota keluarga lain dinamakan dengan Perintah Perlindungan
yakni penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan untuk memberikan
39
13. Perintah perlindungan dapat diberikan dalam waktu paling lama 1 (satu)
tahun, dan dapat diperpangjang atas penetapan Pengadilan (Pasal 32
ayat (1) dan ayat (2) UU PKDRT).
14. Permohonan perpanjangan Perintah Perlindungan diajukan 7 (tujuh)
hari sebelum berakhir masa berlakunya (Pasal 32 ayat (3) UU
PKDRT).18
Dalam pemberian perlindungan sementara dan perintah perlindungan
terlihat yang sangat berperan adalah pihak Kepolisian dan Pengadilan, tetapi
sebenarnya perlindungan sementara dan perintah perlindungan (Vide Pasal 1
angka 4, angka 5 dan angka 6 UU PKDRT), bahwa upaya untuk
memberikan rasa aman kepada korban KDRT melibatkan pihak keluarga,
advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak
lainnya. Jika melihat aturan UU PKDRT maka pihak lainnya adalah dalam
kualifikasi sebagai tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping,
dan/ atau pembimbing rohani. Pihak-pihak tersebut mempunyai peran dalam
memberikan perlindungan kepada korban dengan kewajiban-kewajiban
tertentu, yakni :
a. Keluarga
Keluarga memiliki kewajiban untuk membantu proses pengajuan
permohonan penetapan perlindungan dalam bentuk membantu membuat
permohonan untuk memperoleh surat perintah perlindungan.
b. Advokat
18Ibid.
40 Advokat adalah orang yang berprofesi dalam memberi jasa hukum,
seperti konsultasi, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili,
mendampingi, membela, melakukan tindakan hukum untuk kepentingan
klien di dalam maupun di luar persidangan. Dalam hal memberikan
perlindungan dan pelayanan kepada korban Advokat memiliki kewajiban
:
- Memberikan konsultasi hukum
- Mendampingi korban pada tahap-tahap penanganan perkara.
- Melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait.
c. Lembaga Sosial
Lembaga sosial adalah lembaga atau organisasi sosial yang peduli
terhadap masalah KDRT. Kewajiban lembaga sosial dalam memberikan
perlindungan yakni :
- Memberikan perlindungan langsung kepada korban KDRT sebelum
dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
- Jika dimintai oleh Pihak Kepolisian dapat bekerja sama untuk
memberikan perlindungan sementara.
d. Tenaga Kesehatan
Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri
dalam bidang kesehatan, memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan
melalui pendidikan dibidang kesehatan yang untuk jenis tertentu
memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Kewajiban
41
- Bekerja sama dengan Kepolisian dalam memberikan perlindungan
sementara dalam bentuk mendampingi korban.
- Memberikan keterangan untuk membantu Pengadilan dalam membuat
tambahan perintah perlindungan, dan pemberian tambahan kondisi
dalam perintah perlindungan.
e. Pekerja Sosial
Pekerja sosial mempunyai kewajiban yakni : bekerjasama dengan
kepolisian dalam memberikan perlindungan sementara dalam bentuk
pendampingan, memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk
mendapat perlindungan dari kepolisian dan perintah perlindungan dari
pengadilan, dan mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat
tinggal alternatif.
f. Relawan Pendamping
Relawan pendamping adalah orang yang mempunyai keahlian
untuk melakukan konseling, terapi, dan advokasi guna penguatan dan
pemulihan diri korban kekerasan. Kewajiban relawan pendamping dalam
memberi perlindungan kepada korban yakni :
- Bekerja sama dengan Kepolisian dalam memberikan perlindungan
sementara dalam bentuk mendampingi korban.
- Meminta persetujuan korban dalam pengajuan Permohonan untuk
memperoleh surat perintah perlindungan.
- Memberikan keterangan untuk membantu pengadilan dalam membuat
tambahan perintah perlindungan dan tambahan kondisi dalam perintah
42
- Mengajukan laporan secara tertulis kepada pengadilan tentang adanya
dugaan pelanggaran terhadap perintah perlindungan.
g. Pembimbing Rohani
Pembimbing rohani berkewajiban untuk memberikan perlindungan
kepada korban yakni :
- Bekerja sama dengan Kepolisian dalam memberikan perlindungan
sementara dalam bentuk pendampingan korban.
- Mengajukan permohonan untuk memperoleh surat perintah
perlindungan, tambahan perintah perlindungan dan tambahan kondisi
dalam perintah perlindungan.
Sementara hak-hak korban KDRT yang diatur dalam Pasal 10 UU
No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
yakni :
1. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan,
advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya, baik sementara maupun
berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
2. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
3. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
4. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat
proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
5. Pelayanan bimbingan rohani.
Selain hal-hal tersebut diatas, UU PKDRT juga memberikan hak
43 bentuk “pemulihan korban”. Didalam pasal 43 UU PKDRT telah mengatur
ketentuan mengenai penyelenggaraan upaya pemulihan dan kerja sama
diatur dengan Peraturan Pemerintah, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 4
Tahun 2006 Tentang Penyelenggaraan dan Kerja Sama Pemulihan Korban
Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Menurut PP tersebut, tujuan dari upaya
penyelenggaraan pemulihan korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga pada
dasarnya untuk menjamin terlaksananya kemudahan pelayanan korban
kekerasan dalam rumah tangga, menjamin efektivitas dan efisiensi bagi
proses pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga dan terciptanya
kerja sama dan koordinasi yang baik dalam pemulihan korban kekerasan
dalam rumah tangga antar instansi, antar petugas pelaksana, dan antar
lembaga terkait lainnya. Pemulihan korban diartikan sebagai upaya untuk
penguatan bagi diri korban KDRT supaya lebih berdaya, secara fisik
maupun psikis. Pemulihan tersebut dilakukan dalam bentuk
“penyelenggaraan pemulihan” yakni segala tindakan yang meliputi
pelayanan dan pendampingan kepada korban KDRT yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau
pembimbing rohani. (Vide Pasal 1 angka 1 dan angka 5 PP No. 4 Tahun
2006).
5. Tugas Pokok dan Fungsi Polisi Menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2002
Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah
44 yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Adapun tugas dari
Kepolisian Negara Republik Indonesia antara lain :
1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.
2. Menegakkan hukum.
3. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat (Pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002).
Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana diatas, Kepolisian Negara
Republik Indonesia bertugas :
1. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap
kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan.
2. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan,
ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan.
3. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat,
kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap
hukum dan peraturan perundang-undangan.
4. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional.
5. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum.
6. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap
kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk
pengamanan swakarsa.
7. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana
sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan
45
8. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,
laboratorium forensik, dan psikologi kepolisian untuk kepentingan
tugas kepolisian.
9. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan
lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk
memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak
asasi manusia.
10. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum
ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang.
11. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan
kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian, serta melaksanakan
tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.19
Didalam undang-undang No. 2 Tahun 2002 yang dimaksud fungsi
kepolisian diartikan sebagai tugas dan wewenang, sehingga fungsi
kepolisian yang dimaksud dalam pasal 2 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 yang menyebutkan “fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan
negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,
penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”, adalah merupakan tugas dan wewenang kepolisian yang
menjadi tanggungjawabnya secara kelembagaan. Sedangkan perannya untuk
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum,
serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri,
19
46 merupakan keikutsertaannya dalam menjalankan fungsi pemerintahan,
dimana fungsi dimaksud merupakan salah satu fungsi pemerintahan, karena
dibentuknya Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk
mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya
keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum,
terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung
tinggi hak asasi manusia.20
Dari, konsep fungsi, peran, dan tujuan Kepolisian Negara Republik
Indonesia, bermuara pada terbentuknya suatu negara yang sejahtera, adil
dan makmur sebagaimana cita-cita dan tujuan Negara (staatsidee), yang
tersurat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga tujuan
akhir terselenggaranya fungsi kepolisian, untuk menciptakan dan atau
mewujudkan negara yang aman, tertib, sejahtera, adil dan makmur.
Disinilah yang dimaksudkan fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi
pemerintahan negara, karena tugas menciptakan kondisi dimaksud adalah
merupakan tugas dan wewenang serta tanggungjawab Pemerintah atau
Negara yang didelegasikan kepada Kepolisian Republik Indonesia.
Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam menjalankan tugasnya
sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan
hukum, memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat sebagaimana Undang-Undang No. 2 Tahun 2002,
menyelaraskan dengan teori keadilan restoratif. Teori ini menitikberatkan
20
47 bahwa dalam menyelesaikan suatu perkara pidana, dengan melibatkan peran
aktif dari korban, pelaku, keluarga korban maupun pelaku serta masyarakat
dan pihak-pihak lain yang berkepentingan. Karena perkara pidana
menyangkut kepentingan publik dan merugikan masyarakat, tidak hanya
korban saja.
B.HASIL PENELITIAN
1. Tugas Pokok dan Fungsi Unit Pelayanan Perempuan Dan Anak Sat Reskrim Polres Salatiga
Dengan diterbitkan Peraturan KAPOLRI No. 10 Tahun 2007 Tentang
Organisasi dan Tata Kerja, dibentuk unit yang bertugas untuk memberikan
pelayanan, perlindungan terhadap perempuan dan anak, yang dinamakan
dengan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA). Berdasarkan
ketentuan dalam Peraturan KAPOLRI tersebut tugas utama dari Unit PPA
adalah memberikan pelayanan dalam bentuk perlindungan terhadap
perempuan dan anak yang menjadi korban tindak kejahatan atau kekerasan
serta melakukan penegakan hukum terhadap pelaku. Sedangkan dalam
melaksanakan tugasnya, Unit PPA menyelenggarakan fungsi sebagaimana
berikut :
1. Penyelenggaraan pelayanan dan perlindungan hukum;
2. Penyelenggaraan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana;
3. Penyelenggaraan kerja sama dan koordinasi dengan instansi terkait.
Setelah penulis melakukan wawancara dengan Ipda Henri Widyoriani
48 Perempuan dan Anak (PPA) Polres Salatiga berkedudukan di bawah Sat
Reskrim (Satuan Reserse Kriminal) Polres Salatiga. Unit PPA Polres
Salatiga memiliki tugas sebagaimana berikut21:
“Unit PPA Polres Salatiga dalam menjalankan tugas dan fungsinya, antara lain : menerima laporan/aduan dari korban KDRT, memberikan bimbingan konseling kepada korban, mengantar dan mengirim korban ke rumah sakit terdekat guna dilakukan visum, memberi penjelasan pada pelapor tentang posisi kasus, hak dan kewajibannya, menjamin kerahasiaan info, menjamin keamanan dan kerahasiaan korban, koordinasi dengan lintas sektor, memberikan SP2HP kepada pelapor, serta membuat laporan kegiatan sesuai prosedur”.
2. Karakteristik KDRT yang Ditangani Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Sat Reskrim Polres Salatiga
Sebagaimana diketahui, tindakan KDRT yang diatur dalam Pasal 5
UU PKDRT meliputi kekerasan secara fisik, psikis, seksual atau
penelantaran rumah tangga. Fokus penulis ditujukan pada kekerasan fisik
terhadap perempuan. Kekerasan fisik dalam ranah KDRT yang dimaksud
adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat,
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 UU PKDRT. Dari pasal-pasal
terkait dalam undang-undang tersebut, memungkinkan sebagai sarana atau
upaya bagi aparat penegak hukum untuk dijadikan sebagai dasar untuk
bertindak. Berikut penulis akan menguraikan karakteristik kasus KDRT
yang ditangani oleh pihak kepolisian :
21
49 Tabel I
Jumlah Kasus KDRT Yang Ditangani Unit PPA Polres Salatiga sejak tahun 2015 – 2017 (Juni)
No. Tahun Jumlah Kasus KDRT
1. 2015 15
2. 2016 9
3. 2017 8
TOTAL 32
Sumber data : Unit PPA Polres Salatiga
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa, jumlah kasus KDRT yang
masuk dan ditangani oleh Unit PPA Polres Salatiga dari tahun 2015 sampai
Juni 2017 berjumlah 32. Pada tahun 2015, jumlah kasus KDRT yang
ditangani oleh Unit PPA Polres Salatiga berjumlah 15 (lima belas).
Kemudian pada tahun 2016, jumlah kasus KDRT yang ditangani oleh Unit
PPA Polres Salatiga mengalami penurunan menjadi 9 (sembilan) kasus.
Sedangkan pada tahun 2017 (sampai bulan Juni), jumlah kasus KDRT yang
ditangani oleh Unit PPA berjumlah 8 (delapan).
Berdasarkan tabel diatas, menunjukkan bahwa kasus KDRT yang
dilaporkan korban dan ditangani Unit PPA Polres Salatiga dari tahun 2015 –
50 Tabel II
Karakteristik Penanganan Kasus KDRT Yang Ditangani Oleh Unit PPA Polres Salatiga Sejak Tahun 2015 – 2017 (Juni)
No. Tahun Jumlah Kasus
Sumber data : Unit PPA Polres Salatiga
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa, pada tahun 2015 dari 15 kasus yang ditangani oleh Unit PPA Polres Salatiga, 9 kasus diselesaikan dengan
cara ADR (Alternative Dispute Resolution) dan 4 kasus berakhir dengan
dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Salatiga. Sementara pada tahun 2016, dari
9 kasus yang ditangani oleh Unit PPA Polres Salatiga, 7 kasus diselesaikan
dengan cara ADR, dan tidak ada kasus yang dilanjutkan ke Kejaksaan
Negeri Salatiga. Dan pada tahun 2017 bulan Juni, dari 8 kasus yang
ditangani oleh Unit PPA Polres Salatiga, 7 kasus diselesaikan melalui ADR,
sedangkan 1 kasus dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Salatiga. Dapat dilihat
bahwa dalam penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga di wilayah
hukum Polres Salatiga oleh Unit PPA, mayoritas kasus diselesaikan dengan
ADR, sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana, jika gagal baru
diajukan ke pengadilan. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam
penanganan perkara KDRT, aparat penegak hukum dalam hal ini kepolisian,
51 korban dan pelaku, yakni mempertemukan kedua belah pihak melalui ADR
(Alternative Dispute Resolution). Sehingga jika korban hanya ingin membuat pelaku jera, serta antara pelaku dan korban sudah berdamai, maka
hubungan antara kedua belah pihak dapat membaik seperti semula. Dalam
kasus KDRT yang ditangani oleh Unit PPA Polres Salatiga rata-rata korban
mencabut laporan atau aduannya. Hal tersebut didasarkan dari hasil
wawancara dengan Ipda Henri Widyoriani SH, selaku Kanit PPA Polres
Salatiga22 :
“Pada kasus KDRT yang ditangani oleh Unit PPA Polres Salatiga, mayoritas korban (perempuan) mencabut aduannya, karena niat korban untuk membuat aduan tersebut semata-mata hanya untuk membuat jera pelaku yang notabene adalah suami korban. Aduan korban dicabut, setelah aparat Unit PPA Polres Salatiga mempertemukan pelapor (korban) dengan terlapor (pelaku), untuk diselesaikan secara damai. Kemudian dibuat surat kesepakatan, dan pelaku berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi di lain waktu.”
Dengan banyaknya kasus KDRT yang diselesaikan secara
kekeluargan melalui ADR, menunjukkan bahwa aparat penegak hukum
dalam hal ini Unit PPA Polres Salatiga telah melaksanakan tugasnya dalam
menangani kasus KDRT sesuai dengan salah satu tujuan penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga yang diatur dalam Pasal 4 UU PKDRT, yakni “memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera”.
22
52 Tabel III
Karakteristik Kasus KDRT Yang Ditangani Oleh Unit PPA Polres Salatiga ( Korban dan Pelaku)
No. Tahun Jumlah Kasus KDRT
Korban Pelaku
1. 2015 15 Isteri Suami
2. 2016 9 Isteri Suami
3. 2017 8 Isteri Suami
Sumber Data : Unit PPA Polres Salatiga
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa pada tahun 2015, dari 15 kasus
yang ditangani oleh Unit PPA Polres Salatiga, semua pelakunya adalah
suami. Sementara korbannya adalah isteri. Pada tahun 2016, dari 9 kasus
yang ditangani oleh Unit PPA Polres Salatiga, semua pelakunya adalah
suami, sementara korbannya adalah isteri. Sama halnya pada tahun-tahun
sebelumnya, pada tahun 2017 dari 8 kasus yang ditangani, semua pelakunya
adalah suami, sedangkan korban adalah isteri.
Berdasarkan data yang didapat oleh penulis, menunjukkan bahwa
dalam kasus-kasus yang ditangani oleh Unit PPA Polres Salatiga dari tahun
2015 – 2017, semua korban kekerasan dalam rumah tangga adalah
53 Tabel IV
Karakteristik Kasus KDRT Yang Ditangani Oleh Unit PPA Polres Salatiga ( Bentuk Tindak KDRT )
No. Tahun Jumlah Kasus Sumber Data : Unit PPA Polres Salatiga
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa pada tahun 2015 sampai dengan
2017, dari 32 kasus KDRT yang ditangani oleh Unit PPA Polres Salatiga,
bentuk tindak KDRT yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban adalah
kekerasan fisik, pasal yang dikenakan adalah Pasal 44 UU PKDRT.
Kekerasan fisik yang dilakukan seperti memukul, menampar, menendang,
dan menarik rambut korban. Seperti dalam kasus yang dialami oleh korban
KDRT yang bernama Titien Rukmana, dimana korban melaporkan tindak
KDRT pada tahun 2016. Korban mengalami kekerasan oleh pelaku yang
merupakan suaminya sendiri, bahwa kepala korban dipukul sebanyak 1 kali,
sehingga menyebabkan memar dan bengkak. Kemudian dalam kasus lain,
korban KDRT yang bernama Sisi Ariyani mengalami kekerasan oleh
54 tiga kali, di kepala dan lengan korban. Selanjutnya korban juga dibekap dan
diseret oleh pelaku. Pada tahun 2017, korban KDRT yang bernama Bekti
Lestari juga mengalami kekerasan oleh suaminya sendiri. Korban didorong
oleh pelaku hingga tubuhnya terbentur ke pintu rumah.
Sementara ketentuan pidana bagi pelaku, diatur dalam Pasal 44 UU
No. 23 Tahun 2004, antara lain :
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup
rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda
paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00
(empat puluh lima juta rupiah).
(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata
pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00
55 3. Contoh Kasus dan Penanganan
a. Contoh Kasus
Kasus yang dipelajari penulis ialah kasus KDRT yang dialami oleh
korban yang bernama Titien Rukmana pada tahun 2014 dan Bekti Lestari
pada tahun 2017. Dalam kasus yang menimpa Titien Rukmana,
pelakunya adalah suami sendiri. Meskipun korban sudah pernah
melaporkan kasusnya ke Unit PPA Polres Salatiga pada tahun 2014,
tetapi kasusnya baru diproses setelah korban membuat surat aduan
kembali pada tahun 2016, setelah berkonsultasi dengan seorang advokat
yang bernama Komaruddin Nur, SH. Setelah penulis melakukan
wawancara dengan advokat korban, diperoleh keterangan sebagai berikut
:
“Pada awalnya, korban melapor kasus KDRT yang ditimpanya pada tahun 2014, tetapi karena kasus tersebut tidak ditindaklanjuti, kemudian korban meminta bantuan hukum dan akhirnya kembali melaporkan kasus tersebut pada tahun 2016. Bahwa korban hanya menginginkan keadilan, karena sebagai isteri, telah dianiaya dan tidak mendapatkan bagian apapun dari harta bersama.”23
Berdasarkan wawancara lebih lanjut dengan advokat yang ditemui
oleh penulis, didapat informasi sebagai berikut :
“Bahwa pelaku yang berinisial E.S melakukan kekerasan fisik terhadap korban dengan cara memukul kepala korban, sebanyak satu kali sehingga menyebabkan memar dan bengkak kemudian korban mengalami pusing. Pelaku sampai melakukan kekerasan terhadap korban, karena korban awalnya secara tidak sengaja menjatuhkan sepeda motor pelaku yang diparkir di teras rumah, sehingga pelaku marah dan melakukan kekerasan fisik terhadap korban. Kemudian korban memiliki inisiatif untuk melaporkan pelaku ke Polres Salatiga pada tahun 2014. Bahwa dihasilkan permufakatan, tetapi pelaku tidak pernah meminta maaf, tidak menyesal melakukan tindak KDRT tersebut dan korban merasa tidak puas dengan hasil mufakat. Karena korban menginginkan
23
56 keadilan, korbanpun melaporkan kembali kasus tersebut pada tahun 2016. Laporan korban akhirnya diterima dan ditindaklanjuti oleh aparat Unit PPA Polres Salatiga, dan kasusnya dilimpahkan ke kejaksaan untuk dilakukan penuntutan. Sampai proses persidangan selesai, pelaku dijatuhi pidana empat bulan penjara.”24
Sedangkan pada kasus KDRT yang menimpa Bekti Lestari, penulis
menemui korban melakukan wawancara secara langsung dengan korban.
Dari hasil wawancara tersebut, diperoleh informasi sebagai berikut : “Pada awalnya mau mengambil anak di rumah, karena sedang dalam proses perceraian, saya anggap hal itu wajar. Tetapi ketika sampai rumah, suami melarang saya untuk mengambil anak. Kemudian saya didorong oleh suami sampai tubuh saya membentur pintu rumah hingga terasa sakit.”25
Penulis juga mendapat informasi tambahan dari korban yakni : “Sebelum kasus ini saya laporkan, saya juga mengalami kekerasan dari suami. Tapi dia tidak menyesal melakukan perbuatannya, jadi saya sendiri berniat untuk melaporkannya supaya dia jera.”26
Setelah mengalami kekerasan dari suami, korban melaporkan
kejadiannya sendiri ke Unit PPA Polres Salatiga, karena sebelumnya
pelaku juga melakukan kekerasan terhadap korban dan tidak menyesali
perbuatannya.
Korban kemudian membuat laporan di kepolisian, supaya suaminya
jera. Kemudian Laporan Polisi dibuat, dan pada hari itu juga korban
diantar penyidik Unit PPA Polres Salatiga ke RSUD Kota Salatiga untuk
memeriksakan luka atau kesehatan korban, dan membuat pengantar
visum et repertum guna dilakukan visum. Pada hari berikutnya dilakukan pemeriksaan terhadap korban.
24
Wawancara dengan pengacara, Komaruddin Nur, SH pada hari Senin Tanggal 9 Oktober 2017.
25
Wawancara dengan korban, Bekti Lestari pada hari Kamis Tanggal 19 Oktober 2017.
26
57 b. Penanganan Kasus
Untuk penanganan kasus KDRT, penulis melakukan wawancara
secara terstruktur dengan Ipda Henri Widyoriani, SH beserta jajaran Unit
PPA Polres Salatiga. Didapat informasi sebagai berikut :
- Dalam kasus KDRT yang ditangani oleh Unit PPA Polres Salatiga,
prosedur yang dilakukan korban KDRT atau pelapor (dapat dilakukan
oleh orang tua, wali, pengasuh anak yang bersangkutan) ketika
melaporkan kejadian yang menimpanya, dengan membuat Laporan
Polisi atau disingkat LP.
- Korban dalam menjalani pemeriksaan di Unit P.P.A Polres Salatiga,
diperiksa oleh penyidik perempuan / polwan.
- Korban ditangani secara khusus, penyidik menjaga kerahasiaan
identitas korban.
- Kemudian penyidik membuat pengantar visum et repertum dan
mengantarkan korban ke RSUD Kota Salatiga untuk memeriksakan
luka atau kesehatan korban, dan guna diakukan visum.
- Tahapan selanjutnya penyidik melakukan pemeriksaan terhadap saksi,
yakni pelapor, korban KDRT yang bersangkutan, maupun orang yang
melihat, mendengar, dan mengetahui peristiwa tersebut.
- Apabila ada barang bukti yang ditemukan, maka akan diamankan oleh
penyidik.
- Melakukan koordinasi dengan Bapermas (Badan Pemberdayaan
Masyarakat) Kota Salatiga untuk melakukan perlindungan sementara
58 PPA Polres Salatiga antara lain : memberikan jaminan keamanan bagi
korban KDRT di kantor kepolisian, sehingga korban tidak mendapat
ancaman atau tekanan dari pelaku. Dan korban dipulangkan ke rumah
orangtua korban, karena belum ada tempat perlindungan sementara,
sebagaimana dalam Pasal 13 UU PKDRT, bahwa untuk penyediaan
ruang pelayanan khusus merupakan tugas pemerintah daerah.
- Terhadap delik aduan, penyidik melakukan langkah-langkah sebagai
berikut :
Melengkapi administrasi penyidikan.
Mengirim surat panggilan terhadap tersangka.
Melakukan pemeriksaan terhadap tersangka.
Melakukan pemantauan terhadap tersangka, dengan cara
mewajibkan pelaku untuk absen di kantor kepolisian pada hari
Senin dan Kamis.
Mengadakan mediasi antara pihak korban dan pelaku.
Apabila mediasi sukses dan berhasil didapat kesepakatan, maka
korban atau pelapor mencabut laporan polisi.
Apabila penanganan sudah selesai, pelaku masih diawasi dan
diwajibkan absen pada hari Senin atau Kamis dan dilakukan
pengawasan lingkungan.
- Terhadap delik biasa, penyidik melakukan langkah-langkah sebagai
berikut :
Melakukan penangkapan terhadap tersangka.
59
Melakukan penahanan terhadap tersangka.
Melengkapi berkas-berkas penyidikan, guna diteliti oleh jaksa
peneliti di Kejaksaan Negeri Salatiga.
Apabila berkas-berkas penyidikan sudah dinyatakan lengkap dan
siap untuk dilimpahkan, diberi kode P21 guna dilimpahkan ke
Kejaksaan Negeri Salatiga.
Selanjutnya penyidik melimpahkan tersangka dan barang bukti ke
Kejaksaan Negeri Salatiga dengan kode P22.
Dalam tahapan-tahapan diatas, penyidik menerbitkan SP2HP (Surat
Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan) untuk disampaikan
kepada korban. Penerbitan SP2HP bisa dilakukan pada awal penyidikan,
pertengahan penyidikan, dan akhir penyidikan (tergantung dari tingkat
kesulitan kasus). Sementara untuk perlindungan terhadap korban, Polres
Salatiga dan Pemerintah Kota Salatiga belum mempunyai rumah
perlindungan, jadi apabila ada korban KDRT, Unit PPA Polres Salatiga
melakukan koordinasi dengan Bapermas (Badan Pemberdayaan
Masyarakat) Kota Salatiga untuk bersama-sama melindungi korban.
Untuk kasus KDRT yang termasuk delik aduan, maka penanganan
dilakukan dengan ADR (Alternative Dispute Resolution). Bahwa tidak
semua kasus KDRT yang ditangani merupakan delik aduan. Kasus
KDRT yang merupakan delik aduan berdasarkan UU No. 23 Tahun 2004
antara lain :
Kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga, dilakukan oleh suami
60 atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata
pencaharian atau kegiatan sehari-hari. (Vide Pasal 51)
Perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga dilakukan
oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau
mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari. (Vide Pasal 52)
Perbuatan kekerasan seksual yang dilakukan terhadap orang yang
menetap dalam lingkup rumah tangga. (Vide Pasal 53)
Dalam tahapan ADR tersebut, Unit PPA Polres Salatiga selalu
mendengarkan korban. Kemudian apabila ada kesepakatan dengan
pelaku, dibuat surat kesepakatan bersama, dengan diberi materai dan cap
RT dan RW setempat. Setelah ditemui kesepakatan antara korban dan
pelaku, kemudian korban atau pelapor mencabut Laporan Polisi yang
telah dibuat. Kepada pelaku masih dalam pengawasan dan diwajibkan
untuk absen selama waktu tertentu.
Mengenai peran penyidik dalam menangani kasus KDRT, bahwa
peran penyidik tersebut adalah netral (tidak berpihak). Selain itu,
penyidik juga berperan sebagai fasilitator bagi korban KDRT.
Selama penanganan di Unit PPA Polres Salatiga, bahwa posisi
korban dilindungi dan tidak ada ancaman dari pihak manapun. Setelah
penanganan kasus KDRT selesai, terhadap pelaku masih dilakukan