• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam memasarkan atau menjual barang dagangannya, para pedagang kaki lima mengunakan bermacam-macam sarana untuk mendukung kegiatan perekonomiannya berdasarkan jenis barang dagangannya. Adapun bentuk sarana yang digunakan para pedagang kaki lima menurut Waworoentoe, yaitu sebagai berikut: Satu, gerobak atau kereta dorong. Bentuk sarana tersebut dikategorikan dalam bentuk aktivitas pedagang kaki lima yang permanen (Static) atau menetap (mangkal) di lokasi, dan juga bisa di sebut pedagang semi permanen (Semi Static) berpindah-pindah atau menetap hanya sementara. Dua, pikulan atau keranjang. Bentuk sarana perdagangan ini di kategorikan semi permanen (Semi Static) dan sering digunakan oleh pedagang kaki lima keliling (Mobile Hawkers). Tiga, warung semi permanen. Bentuk sarana ini dikategorikan dalam bentuk aktivitas pedagang kaki lima permanen (Static), karena sarana yang menggunakan sarana bongkar dan pasang, serta dalam melakukan kegiatan perekonomiannya menetap di lokasi, bahkan sering juga berpindah-pindah. Sarana ini terdiri dari beberapa gerobak atau kereta dorong yang diatur sedemikian rupa secara berderet dan dilengkapi dengan kursi dan meja. Empat, kios. Bentuk sarana pedagang kaki lima ini menggunakan papan, kayu, dan bahan-bahan material, yang di bentuk menyerupai sebuah bangunan semi permanen. Pedagang kaki lima ini dikategorikan sebagai pedagang permanen (Static) atau menetap bahkan sarana tersebut juga dijadikan tempat tinggal. Kelima, gelaran atau alas. Sarana ini berupa tikar, kain, dan papan untuk menjajakan

dagangannya. Berdasarkan sarana tersebut, pedagang ini dapat dikategorikan dalam aktivitas semi permanen (Semi Static).24

D. Teori

1. Teori Fungsional Struktural

a. Teori Fungsional Struktural Talcott Parsons

Dalam teori Fungsionalisme Struktural, masyarakat sebagai suatu sistem yang bagian-bagiannya saling berkaitan satu sama lain, dan tidak dapat berfungsi jika tidak adanya hubungan dengan yang lainnya. Menurut Talcott Parson, dalam setiap sistem masyarakat harus menjalankan setiap fungsi demi keberlangsungan hidupnya. Dalam fungsi tersebut terdapat 4 bentuk, yaitu sebagai berikut: Adaptasi (Adaptation), merupakan penyesuaian terhadap lingkungan yang ditempati dengan menggunakan sarana dan fasilitas yang dimiliki individu untuk dapat hidup dan eksis. Tujuan (Goal), dalam pencapaian tujuan, terdapat tiga persyaratan yaitu Satu, harus ada suatu tujuan. Dua, harus ada anggota atau tenaga yang dapat mencapai tujuan sehingga dapat menarik atau mengarahkan suatu individu baru untuk menggantikan lama. Tiga, harus ada kewaspadaan, ketelitian, keterbukaan dan kebijaksanaan berkenaan dengan kebutuhan sistem dan perubahan zaman. Integrasi (Integration), suatu individu atau kelompok masyarakat yang mengatur hubungan diantara komonen-komponennya berdasarkan peranan mereka. Pemeliharaan Pola-pola (Latency), merupakan

24

Ari Susilo Budi, Kajian Karakteristik Berlokasi Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Preferensi PKL Serta persepsi Masyarakat Sekitar di Kota Pemalang, h: 36-37.

suatu tindakan yang mempertahankan pola atau nilai budaya yang sudah terbentuk dalam individu masyarakat. 25

Keempat fungsi tersebut, diterapkan pada semua sistem tindakan yaitu sebagai berikut: Satu, Sistem Organisme. Kesatuan yang paling dasar dalam arti biologis, yakni aspek fisik dari manusia itu. Hal lain yang termasuk ke dalam aspek fisik ini ialah lingkungan fisik di mana manusia itu hidup. Dua, Sistem Kepribadian. Kesatuan yang paling dasar dari unit ini ialah individu yang merupakan aktor atau pelaku. Pusat perhatiannya dalam analisa ini ialah kebutuhan-kebutuhan, motif-motif, dan sikap-sikap, seperti motivasi untuk mendapat kepuasan atau keuntungan. Tiga, Sistem Sosial. Sistem sosial adalah interaksi antara dua atau lebih individu di dalam suatu lingkungan tertentu. Tetapi interaksi itu tidak terbatas antara individu-individu melainkan juga terdapat antara kelompok, institusi, masyarakat, dan organisasi-organisasi internasional. Sistem sosial selalu terarah kepada equilibitium (keseimbangan). Empat, Sistem Budaya. Dalam sistem ini, unit analisis yang paling dasar adalah kepercayaan religius, bahasa, dan nilai-nilai. 26

25

K. J. Veeger, Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu Masyarakat Dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama 1993), h: 208.

26

Ferryroen, ³Talcott Parsons: Teori Struktur Fungsional´, Ferryroen, 30 Agustus 2011, h: 2. Diakses pada tanggal 14 April 2012 http://ferryroen.wordpress.com/tag/talcott-parsons-teori-struktur-fungsional/

Selanjutnya, sistem tindakan Talkott Parson terdapat 4 komponen skema tindakan, yaitu: Satu, pelaku atau aktor. Parson melihat aktor sebagai termotivisir untuk mencapai tujuan. Dua, Tujuan (Goal). Tujuan yang dicapai harus sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat. Tiga, Situasi. Tindakan untuk mencapai tujuan ini biasanya terjadi dalam situasi (Prasarana dan Kondisi). Empat, Standar-standar Normatif: Skema ini sangat penting untuk mencapai tujuan, dalam pencapaian tujuan aktor harus memenuhi sejumlah standar atau aturan yang berlaku di masyarakat. 27

b. Teori Fungsional Struktural Robert K. Merton

Robert K. Merton seorang fungsionalis yang menggunakan terminologi fungsionalisme taraf menengah, Teori ini dikemukakan oleh Robert. K. Merton yang berorientasi pada kelas. Namun secara teoretis, Merton memiliki perspektif yang sama dengan sosiolog fungsionalisme.

Merton telah mengutip 3 postulat yang ia kutip dari analisa fungsional, diantaranya ialah: Pertama, kesatuan fungsional masyarakat yang dapat dibatasi sebagai suatu keadaan dimana seluruh bagian dari system sosial bekerjasama dalam suatu tingkatan keselarasan atau konsistensi internal yang memadai, tanpa menghasilkan konflik berkepanjangan yang tidak dapat diatasi atau diatur. Atas postulat ini, Merton memberikan koreksi bahwa kesatuan fungsional yang sempurna dari satu masyarakat adalah bertentangan dengan fakta. Hal ini disebabkan

27

karena dalam kenyataannya dapat terjadi sesuatu yang fungsional bagi satu kelompok, tetapi dapat pula bersifat disfungsional bagi kelompok yang lain.

Kedua, yaitu fungionalisme universal yang menganggap bahwa seluruh

bentuk sosial dan kebudayaan yang sudah baku memiliki fungsi-fungsi positif. Terhadap postulat ini dikatakan bahwa sebetulnya disamping fungsi positif dari sistem sosial terdapat juga dwifungsi. Beberapa perilaku sosial dapat dikategorikan kedalam bentuk atau sifat disfungsi ini. Dengan demikian dalam analisis keduanya harus dipertimbangkan. Ketiga, yaitu Indispensability. yang menyatakan bahwa dalam setiap tipe peradaban, setiap kebiasaan, ide, objek materil dan kepercayaan memenuhi beberapa fungsi penting, memiliki sejumlah tugas yang harus dijalankan dan merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan sistem sebagai keseluruhan. Menurut Merton, postulat yang kertiga ini masih kabur, dalam artian tak memiliki kejelasan apakah suatu fungsi merupakan keharusan.28

Dalam teori fungsionalisme taraf menengah, Merton juga mencoba menjelaskan perilaku deviasi dengan membagi norma sosial menjadi 2 jenis yaitu: Satu, Tujuan Sosial (Sociate Goals). Dua, Sarana yang tersedia (Means). Dalam kontaks ini, Robert K. Merton mengemukakan 5 bentuk kemungkinan adaptasi yang dilakukan setiap anggota kelompok masyarakat berkaitan dengan tujuan (Goals) dan tata cara yang telah membudaya

28

Shvoong, ³Pokok-pokok Teori Struktur Fungsional´. Shvoong, 30 Juni 2011. h: 3. Diakses pada tanggal 20 April 2012. http://id.shvoong.com/law-and-politics/contemporary-theory/2180241-pokok-pokok-teori-struktural-fungsional/#ixzz1oRAim3fI

(Means), yaitu: Pertama, Konformitas (Conformity), yaitu suatu keadaan di mana anggota masyarakat tetap menerima tujuan dan sarana yang terdapat dalam masyarakat sebab adanya tekanan moral yang melingkupinya. Kedua, Inovasi (Inovation) terjadi manakala tujuan yang terdapat dalam masyarakat diakui dan dipertahankan tetapi dilakukan perubahan sarana yang dipergunakan sebagai alat untuk meneapai tujuan tersebut. Ketiga, Ritualisme (Ritualism) adalah suatu keadaan di mana warga masyarakat menolak tujuan yang telah ditetapkan namun masih tetap memilih sarana atau tata cara yang telah ditentukan. Keempat. Penarikan Diri (Retreatisme) merupakan keadaan di mana warga masyarakat menolak tujuan dan sarana yang telah tersedia dalam masyarakat. Retreatisme ini mencerminkan mereka-mereka yang terlempar dari kehidupan masyarakat. Kelima. Pemberontak (Rebellion). yakni suatu keadaan di mana tujuan dan sarana yang terdapat dalam masyarakat ditolak serta berupaya untuk mengganti dan mengubah seluruhnya.29

2. Teori Konflik Ralf Dahrendorf

Pada dasarnya, teori konflik sama dengan fungsionalisme struktural, yaitu pada studi struktur dan institusi sosial dan melihat masyarakat sebagai satu sistem, yang terdiri dari bagian-bagian.30 Tetapi, persepktif fungsionalis menganggap masyarakat statis atau masyarakat berada dalam keadaan berubah secara seimbang. Sedangkan, perspektif konflik melihat bahwa masyarakat setiap saat tunduk pada proses perubahan. Fungsionalis

29

Dr. Ir. Herien puspitawati, Teori Struktural Fungsional Dan Aplikasinya Dalam Kehidupan Keluarga (Bogor: Ikk Fema 2009), h: 17-18

30

menekankan keteraturan sebagai sumber integrasi dan keseimbangan, teoritisi konflik menekankan konflik sebagai sumber perubahan.31

Teori konflik yang dikemukakan Ralf Dahrendorf merupakan teori

NRQIOLNGLDOHNWLN0HQXUXW'DKUHQGRUI³PDV\DUDNDWPHPSXQ\DLGXDZDMDK \DNQL NRQIOLN GDQ NRQVHQVXV´ 'DKUHQGRUI EHUVDQGDU SDGD IXQJVLRQDO

struktural, dan mengatakan bahwa dalam struktural fungsional keseimbangan atau kestabilan bisa bertahan karena kerjasama yang sukarela atau karena konsensus yang bersifat umum, sedangkan dalam teori-teori konflik kesetabilan atau keseimbangan terjadi karena pemaksaan. Hal itu berarti, dalam masyarakat ada beberapa posisi yang mendapat kekuasaan dan otoritas untuk menguasai orang lain sehingga kesetabilan bisa dicapai. 32

Pernyataan di atas membawa Dharendorf membawa kepada tesis penting yang dikemukakannya yakni, distribusi otoritas atau kekuasaan yang berbeda-beda merupakan faktor yang menentukan bagi terciptanya konflik sosial yang sistematis. Berdasarkan tesis tersebut, posisi yang ada di dalam masyarakat memiliki otoritas atau kekuasaan dengan intensitas yang berbeda-beda, kekuasaan atau otoritas tidak terdapat secara interistik didalam pribadi-pribadi melainkan posisi-posisi yang mereka tempati. Kekuasaan atau otoritas selalu mengandung dua unsur, yaitu penguasa (orang yang berkuasa) dan orang yang dikuasai atau bawahan. Mereka yang

31

George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern. (Jakarta: Pranada Media, 2005), h: 153.

32

Zainuddin Malik, Narasi Agung: Tiga Teori Sosial Hegemonik (Surabaya: LPAM 2003), h: 207

menduduki posisi sebagai penguasa atau atasan diharapkan untuk mengontrol orang-orang yang dikuasai atau bawahannya. Dengan demikian, kekuasaan atau otoritas itu adalah sesuatu yang sah (Legitimate), dengan demikian sah pula sangsi-sangsi yang dikenakan terhadap orang-orang yang melawan kekuasaan tersebut. 33

Selanjutnya, Dahrendorf menjelaskan pertalian antara konflik dan perubahan sosial. Konflik dapat berfungsi untuk melahirkan perubahan. Dia menyatakan apabila kelompok-kelompok bertentangan muncul, dengan demikian mereka akan terlibat dalam tindakan, yang mengarah pada perubahan didalam stuktur sosial.34 Dalam teori konflik atau paksaan

(Koersi), Dharendorf menempatkan suatu kerangka yang menjelaskan

proses-proses terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat, yaitu: Satu, setiap masarakat di segala bidangnya mengalami proses-proses perubahan sosial, karena manusia tidak pernah puas akan apa yang telah dicapai. Dua, tiap manusia memperlihatkan perbantahan (Dissensus) dan konflik disegala bidangnya. Tiga, setiap masyarakat terdiri atas dasar paksaan yang dikenakan oleh segelintir anggota yang mempunyai otoritas ke sesama anggota lain. Empat, setiap unsur dalam masyarakat menyumbang disintegrasi dan perubahannya.35

33

Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern (Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2007), h: 53-58 34

Bernard, Teori Sosiologi Modern, h: 78. 35

K. J. Veeger, Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu Masyarakat Dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama 1993), h: 213.

Dharendorf melihat masyarakat dari segi pandang teori konflik terbagi menjadi 2 kategori yaitu, orang yang berkuasa dan orang yang dikuasai. Dualisme tersebut, merupakan struktur- struktur dan hakikat tiap-tiap kehidupan bersama, mengakibatkan kepentingan yang berbeda-beda dan mungkin saling berlawanan.36 Diferensiasi kepentingan melahirkan kelompok-kelompok yang saling berbenturan, yaitu kekuasaan atau otoritas mengandung 2 unsur yaitu orang yang berkuasa dan orang yang dikuasai

(Superordinasi) atau dengan kata lain atasan dan bawahan (Subordinasi).

Kelompok dibedakan atas tiga tipe antara lain: Satu, Kelompok Semu

(Quasi Group). Dua, Kelompok Kepentingan (Manifes). Tiga, kelompok

konflik kelompok semu. Sejumlah pemegang posisi dengan kepentingan yang sama tetapi belum menyadari keberadaannya, dan kelompok ini juga termasuk dalam tipe kelompok kedua, yakni kelompok kepentingan dan karena kepentingan inilah melahirkan kelompok ketiga yakni kelompok konflik sosial. Sehingga dalam kelompok akan terdapat dalam 2 perkumpulan, yakni kelompok yang berkuasa (atasan) dan kelompok yang dibawahi (bawahan). Kedua kelompok ini mempunyai kepentingan berbeda. Bahkan, menurut Dharendorf, mereka dipersatukan oleh kepentingan yang sama. Mereka yang berada pada kelompok atas (penguasa) ingin tetap

36

K. J. Veeger, Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu Masyarakat Dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi, h: 214.

mempertahankan status quo sedangkan mereka berada di bawah (yang dikuasai atau bawahan ingin supaya adaperubahan.37

E. Resistensi Sektor Informal

Pada penulisan skripsi ini juga penulis mengurai tentang resistensi untuk berupaya mengetahui tindakan-tindakan individu, masyarakat, dan kelompok yang berada di dalam konflik, karena kajian resistensi ini menjadi titik tengah dari kecenderungan teori konflik yang melihat fenomena dari stuktur atau dari atas ketimbang sebaliknya. Oleh karena itu, kajian resistensi lebih menitikberatkan pada tindakan-tindakan individu. Disamping itu, pandangan ini juga dipengaruhi oleh pemikiran-pimikiran antropologi yang memandang manusia sebagai subjek analisis, bukan objek.38

1. Pengertian Resistensi

Resistensi menurut kamus Besar Ilmu Pengetahuan mendefenisikan sebagai perlawanan, daya tahan, ketahanan, keawetan.39 James Scott mendefinisikan resistensi adalah, setiap tindakan para anggota kelas masyarakat yang rendah yang tujuannya untuk meredam, melunakkan atau menolak tuntutan-tuntutan yang dikenakan pada kelas kelas yang lebih atas.

37

K. J. Veeger, Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu Masyarakat Dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi, h: 215-218.

38

Yusran Darmawan, ³5HVLVWHQVLGDODP.DMLDQ$QWURSRORJL´Timur Angin, Agustus 2009. Diakses pada 2 Pebruari 2011 dari http://timurangin.blogspot.com/2009/08/resistensi-dalam-kajian-antropologi.html

39

Seve M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Lembaga Pengkajian Kebudyaan Nusantara/LPKN, 1997).

Dengan demikian resistensi merupakan gerakan atau perlawanan yang terjadi karena adanya ketidakpuasan terhadap sesuatu hal.40

Dokumen terkait