• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bentuk Sosiokultural Keagamaan dan Non Keagamaan a) Sosikultural Keagamaan

Dalam dokumen BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI (Halaman 26-32)

a. Selametan

Kutipan deskripsi sebelumnya tentang sosiokultural keagamaan merupakan hasil proses pemikiran dan perilaku sosial budaya yang mengandung nilai-nilai etis masyarakat dan nilai-nilai sakral (suci) keyakinan dan kepercayaan yang terafiliasi pada keyakinan tertentu, yang dalam konteks penelitian ini berkaitan dengan Islam.

Karateristik sosiokultur keagamaan, terafiliasi pada satu ritual atau upacara yang didalamnya terkandung berbagai macam atau jenis slametan mulai dari megengan, kupatan hingga slametan kematian.

Meskipun slametan saat ini lebih condong pada konteks sebagai budaya, namun dapat dijelaskan dalam perspektif sosiokultural keagamaan, bahwa slametan merupakan proses dalam mengkonseptualisasikan hubungan budaya sosial masyarakat dengan agama. Realitas tumbuhnya aspek sosiokultur keagamaan, tidak bisa dilepaskan atas konsepsi, penafsiran dan pemaknaan terhadap agama itu sendiri yang dapat dilihat dalam berbagai sudut pandang yang berbeda, sehingga agama bisa tampil

36

dengan “seribu wajah” disebabkan fleksibilitas dan kontekstualisasi yang digunakan dalam menafsirkan agama itu sendiri. Keterpaduan nilai-nilai etis dengan simbol-simbol budaya yang dihubungkan dengan ritual atau upacara tertentu dalam satu proses pelaksanaan. Meskipun nampak ambigu, namun hal tersebut merupakan bagian fakta dan realitas terjadinya dimensi intepretasi msayarakat akan doktrin-doktrian agama yang berusaha dipahami sesuai dengan perspektifnya (Kholil, 2008;

Woodward, 2011).

Perkembangan sosiokultur keagamaan, khususnya pada masyarakat Jawa, dapat dicarikan legitimasinya pada karya Geertz penelitian tentang “Islam Jawa’, dimana hasil eksplorasi penelitian bahwa tipologi msayarakat Islam di Jawa terbagi pada tiga kelas yaitu priyayi, santri dan abangan. Menafikan dimensi lain terkaiat dengan keberadaan Islam dan politik identitas yang terjadai pada saat itu, namun fakta ini memberikan gambaran bahwa perkembangan hubungan budaya dan agama dalam masyarakat dapat tumbuh subur, dikarenakan kompleksitas kemampuan dalam memahami doktrin agama secara genuine sehingga pada tataran aplikatif. Tatanan atau kelompok masyarakat dengan berbagai profesi yang berbeda-beda dari petani hingga kaum elit, sehingga dapat menciptakan budaya dengan ciri agama atau bahkan sebaliknya agama dengan muatan budaya (Amaliyah, 2018; Subair, 2015; Tago, 2017).

Berkaitan dengan slametan, seperti yang telah disinggung bahwa merupakan hasil hubungan konseptualisasi budaya dan agama pada kehidupan masyarakat, secara etimologi berasal dari kata “slamet” atau selamat dalam bahasa Indonesia, memiliki akar dari kata Arab “salamah” yang bermakna selamat, bahagia, sentosa dan sejahtera (Sari, 2018; Fitrahayunitisna, 2018). Slametan atau selamatan secara terminologi merupakan bagian dari sikap spritualitas masyarakat jawa dengan kearifan lokal, yang mempunyai kekhususan dan kekhasan berkaitan dengan waktu pelaksanaan, tujuan, pertunjukan dan perangkat atau ornamen tertentu sebagai indikator untuk menunjukkan perbedaan pada setiap kegiatan ritual atau upacara slametan (Sutiyono, 2006; Setiawati, 2019; Nasir, 2019).

Fungsi slametan secara esensial sebagai permintaan atau do’a dari berbagai hal yang dapat mendatangkan kesusahan dimana dalam proses dikolaborasikan dengan tradisi kenduri atau sajian makanan. Ciri khas “slametan” sebagai proses dalam

37

melakukan do’a, tidak bisa dipisahkan atas makna do’a itu sendiri yang memiliki makna permintaan, minta tolong, pujian, sembahan dan juga sebagai dakwah atau seruan Hal ini tidak bisa dilepasakan bahwa tradisi, khususnya berkaitan dengan sosiokultur keagamaan dapat difungsikan sebaga media dan wahana dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan agama, karena didalam “slametan” dapat dilihat adanya nilai profetik yang terkandung (Geerts, 1989; Rosyidi, 2012; Maisyanah &

Inayati, 2019; Muqoyyidin, 2016; Annisa & Wardana, 2020).

Berkaitan dengan “slametan”, terdapat 4 macam tipologi yang berkembang dan lestari dalam tradisi kehidupan masyarakat, yakni: pertama, berhubungan dengan siklus kehidupan dari kelahiran hingga kematian; kedua, berkaitan dengan perayaan hari besar; ketiga, bersangkutan dengan kondisi dan situasi lingkungan; dan empat, bersifat situasional berkaitan dengan kejadian atau kebutuhan (Sari, 2018).

Berdasarkan deskripsi tersebut, beberapa macam kegiatan yang merupakan bagian dari kegiatan “slametan” sesuai dengan tipologi di atas, antara lain:

b. Megengan

Pelaksanaan “slametan” dalam kegiatan “megengan” merupakan bagain dari ekspresi keberagamaan masyarakat khususnya Jawa. Meskipun secara historis, asal muasal dan kapan pertama kali “megengan’ dilakukan tidak bisa ditelusuri secara eksplisit, namun kegiatan ini sudah menjadi tradisi yang berisfat turun temurun dilakukan dalam masyarakat Jawa khususnya. Tradisi “megengan” secara umum dilakukan menjelang datangnya bulan ramadhan yang dalam istilah bulan Jawa disebut

“poso”. Pelaksanaan “megengan” berkaitan dengan adanya persepsi bulan baik atau suci yang diyakini oleh masyarakat Jawa diantara bulan Muharram dengan proses tradisi yang dikenal dengan istilah “suroan”, sya’ban atau bulan “ruwah” dimana tradisi “megengan dilaksanakan hingga muludan yang merupakan tradisi yang dilakukan pada bulan “rabiul awal’ dalam kalender Islam (Ridho, 2019).

Tradisi “megengan” dalam kalender jawa yang jatuh pada “ruwah” sangat erat kaitannya dengan nilai filosofi atas penamaan bulan tersebut dengan konsep arwah.

Karateristik tradisi “megengan” identik dengan ziarah kubur, kirab santri dan kegiatan lainnya yang dilakukan menjelang datangnya bulan ramadhan atau poso dalam bahasa Jawa. Maksud dan tujuan pelaksanaan tradisi “megengan” sebagai proses ritual untuk menyampaikan do’a atau permohonan kepada Allah, agar kekuatan lahir dan batin

38

senantiasa hadir dalam diri untuk menghadapi dan menjalani bulan ramadhan. Disisi lain tardisi “megengan” dianggap sebagai timing atau waktu yang tepat dalam mendoakan leluhur yang telah meninggal. Tradisi “megengan” sebagai bagaian dari proses “slametan” yang identik dengan kenduri, maka dalam pelaksanaannya menyajikan makanan sebagai pelengkap seperti ambeng (tumpeng), ketan dalam bentuk jadah dan lainnya (Aibak, 2010; Indahsari, 2017; Safi'i, 2018). Tradisi ritual

“megengan” pada masyarakat kudus dikenal istilah “dandangan” sebagai penanda datangnya bulan ramadhan (Suciati & Erzad, 2018). Ilustrasi kalimat sederhana atas tradisi “megengan” sebagai sosiokultur keagamaan masyarakat merupakan proses dalam menghormati akan datangnya bulan ramadhan dengan berbagai ritual yang dilakukan.

c. Kupatan

Tradisi kupatan sebagai bagian dari sosiokultur keagamaan dengan identitas simbol utama “kupat” atau “ketupat” yaitu makanan yang terbuat dari beras dibungkus dengan daun muda kelapa atau yang populer dengan istilah “janur” dengan bentuk diagonal (Ridho, 2019). Simbolisasi dari pelaksanaan tradisi “kupatan” sebagai media untuk mempererat dimensi silaturahmi atau persaudaraan/kekeluargaan. Disisi lain juga berfungsi untuk menjaga tali silaturahmi antar warga dan saudara. Kekerabatan, persadaudaraan, berbagai rejeki, membangun nilai-nilai religius merupakan filosofi yang terkandung dalam tradisi kupatan (Ningsih, 2020).

Praktek pelaksanaan tradisi kupatan di samping dengan proses menghantar sajian ketupat kepada beberapa sanak saudara, juga disediakan dirumah sebagai sajian ketika ada sanak atau kerabat yang berkunjung (Amin, 2017). Keletarian tradisi kupatan tidak bisa lepas atas pemaknaan yang tidak hanya pada konteks tradisi, namun juga dianggap sebagai dimensi keagamaan yang dapat dilakukan sebagai bagian dari proses keimanan. Tradisi kupatan yang dilakukan pasca 7 hari setalah iedul fitri, secara nyata merupakan perilaku keberagamaan masyarakat Islam khususnya pada kelompok abangan. Fakta ini tidak bisa lepas atas fenomena bahwa tradisi kupatan merupakan peninggalan leluhur yang harus tetap dilaksanakan sebagai norma dan kaidah peninggalan nenek moyang(Ridho, 2019).

39 d. Muharram (syuroan)

Kebermacaman corak masyarakat Indonesia, secara tidak langsung mampu menumbuhkan berbagai tradisi dengan atau tanpa dikaitkan dan disandarakan pada unsur keagamaan. Alamanat atau kalender yang berlaku pada masyarakat Indonesia bersandar pada 3 rujukan utama yaitu kalander Arab atau Hijriah, kalender Jawa dan kalender masehi. Bulan awal apda kalender Arab disebut bulan Muharram sedangkan pada kalender Jawa disebut bulan Syuro. Awal tanggal 1 pada bulan ini yaitu Muharram atau Asyuro, terdapat tradisi yang hingga saat ini masih dilestarikan dan dilakukan sebagai bagain dari sosiokultur keagamaan masyarakat Indonesia. Simbol utama perayaan Muharram atau syuroan adalah bubur “merah putih” sebagai simbolisasi kebaikan dan kejelakan. Disisi lain perayaan pada tradisi ini juga diisi oleh ritual-ritual yang dianggap sakral untuk dilaksanakan seperti mencuci atau membersihkan keris atau pusaka yang dianggap “suci” atau memiliki kekuatan (Japarudin, 2017; Kurniawan, 2019).

Kultur, suku dan pola adat-istiadat yang berbeda-beda, berakibat pada kemajemukan perayaan tradisi suroan di Indonesia. Beberapa kegiatan tersebut seperti kirab di solo dan Yogyakarta, di Aceh dengan nama bulan Asan Usen, di Bengkulu dengan istilah tradisi tabut, sedangkan di Sumbar dengan istilah tabuik. Adapun di Madura dengan simbol “tajin sora” difahami tradisi ini sebagai implementasi larangan untuk bepergian dan penggambaran atas kesucian sayyidan Husein. Perbedaan mendasar perayaan malam tahun baru Muharram atau Asyuro adalah konteks kemeriahan, dimana pada malam tersebut tidak ada hiruk pikuk atau euforia namun cenderung sunyi karena lebih dipahami sebagai proses refleksi dan intropeksi diri (Japarudin, 2017).

Perayaan Muharram atau Asyuro pada berbagai daerah pada dasarnya di samping sebagai proses intropeksi dan refleksi diri, juga sebagai ungkapan kecintaan masyarakat Islam terhadap rasulullah melalui kecintaan masyarakat kepada cucu-cucnya. Tradisi suroan sebagai sebuah fenomena dan fakata, diyakini merupakan ajaran yang diberikan oleh Walisongo, sehingga merayakan syuroan merupakan proses napak tilas terhadap ajaran Walisongo yang dianggap sebagai pembangun pondasi dalam penyebaran Islam di Indonesia khususnya Jawa (Safera & Huda, 2020).

Pelaksanaan tradisi syuroan di samping didasari aspek tersebut, juga dapat difungsikan

40

dalam menanamkan nilai-nalai pendidikan Islam yang terkandung di dalam tradisi syuroan (Krismoniansyah et al., 2020).

e. Selametan Kematian

Ungkapan pada deskripsi di atas, bahwa esensi selamatan atau “slamaten”

sebagai sebuah tradisi yang bersifat keagamaan yang berkembang pada masyarakat merupakan bagian dari ekspresi pengalaman dan keberagamaan. Konteks keyakinan khususnya pada masyarakat Jawa, “slametan” dapat difungsikan sebagai proses mencari jalan selamat bagi yang hidup ataupun yang sudah mati. Nilai “slametan”

sanga identik dengan pemahaman bahwa roh atau arwah dapat dikirimkan doa sebagai bekal setalah meninggal. Sedangkan bagi yang hidup “slametan” merupakan media dalam menaklukkan kekuatan “supranatural” yang dapat mengganggu kedamaian hidup (Sari, 2018; Amin, 2002).

Tradisi “slametan” setelah kematian yang saat ini masih dilakukan oleh masyarakat, merupakan proses ritual untuk mendoakan arwah agar selamat dan diterima oleh sang khaliq. Proses pelaksanaan dengan berdoa, merupakan bentuk partisipasi masyarakat atau tetangga dalam hal belasungkawa. Tujuan utama praktek tradisi ini yaitu agar roh selamat sampai keakherat. Fakat ini tidak bisa dilepaskan atas kuatnya pemahaman terhadap roha atau arwah akan terkendala dalam proses menunuju Tuhan. Istilah “slametan” pasca kematian lebih dikenal atau populer dengan nama tahlilan (Sari, 2018).

Tradisi selametan setelah kematian sampai sekarang masih banyak dilakukan masyarakat karena hal itu didorong oleh sistem keyakinan dan kepercayaan yang kuat terhadap sistem nilai dan adat istiadat yang sudah berjalan turun temurun. Adat dan upacara kematian merupakan fase atau tingkatan hidup yang terakhir dalam kehidupan manusia di dunia. Adat atau upacara kematian dilakukan agar orang yang meninggal dapat terhindar dari bahaya. Selain itu, hal itu bertujuan agar perjalanan roh selamat sampai ke akherat. Beberapa macam tahapan kegiatan “slametan” pasca kematian atau tahlilan antara lain :surtanah, nelung dina, mitung dina, 40 dina, nyatus dina, mendhak pisan, mendhak pindo dan nyewu dino (Geertz, 1989; Sari, 2018). Tahapan-tahapan tersebut tentu memiliki nilai, makna baik filosofis maupun teologis bagi masyarakat khususnya pihak yang masih melestarikan dan melaksanakan tradisi tersebut.

41 b) Sosiokultur Non Keagamaan

Kemajemukan masyarkat merupakan lahan subur atas lahirnya sosiokultur baik yang bersifat keagamaan maupun non keagamaan dalam bentuk kesenian.

Beberapa kesenian yang dapat dipetakan berbasis sosiokultur masyarakat antara lain reog, kesenian topeng dengan istilah khas pada masing-masing daerah seperti tapuk pada kultur jawa hingga hudog dalam terminologi suku dayak. Bentuk topeng sendiri bermacam-macam dari topeng besar, boneka dan wayang hingga topeng dan rias (Yurisma & Bahruddin, 2020;. Hidayanto, 2012).

Dalam dokumen BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI (Halaman 26-32)

Dokumen terkait