• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

10 BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI

A. Kajian Pustaka 1. Kajian Terdahulu

Review kajian terdahulu peneliti ingin memaparkan tentang hasil penelitian terdahulu yang peneliti jadikan sebagai rujukan awal dalam penelitian yang hendak dilakukan. Merujuk pada hasil penelitian terdahulu di Kecamatan Wuluhan tentang pendidikan agama Islam pada petani, mengemukakan bahwa masyarakat petani telah menyadari bahwa pendidikan sangatlah penting untuk kemajuan masyarakat khususnya bagi anak-anaknya agar mampu mengikuti perkembangan zaman. Hasil penelitian ini merupakan dasar utama peneliti dalam mengelaborasi lebih jauh berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan. Konteks ini penting untuk dijelaskan sebagai bagian dari penegasan posisi penelitian yang akan dilakukan dengan riset-riset yang telah dihasilkan.

Di samping rujukan literatur di atas, ada beberapa sumber kajian terdahulu yang menjadi inspirasi bagi penulis, seperti yang tertabulasi sebagai berikut:

Tabel 2.1. Judul Penelitian Sumber Kajian Pustaka Terdahulu

(2)

11

Pertama, berdasarkan tabulasi di atas, penelitian yang memaparkan tentang seberapa dalamkah pemahaman para petani tentang pentingnya pendidikan bagi anak- anaknya. Berdasarkan riset tersebut beberap hal yang menjadi kesimpulan penelitian antara lain :(1). Pemahaman msayarakat petani terhadap pendidikan merupakan dimensi penting yang harus dienyam atau ditempuh sebagai proses untuk mencari ilmu, pengembangan pengetahuan sebagai bekal hidup; (2). Urgensi pendidikan sebagai proses yang harus ditempuh oleh setiap anak merupakan esensi pemahaman yang ada pada masyarakat petani di Wuluhan; (3). Terbentuknya kepribadian, moralitas positif dan sebagai fasilitator merupakankontribusi perananan orang tua dalam pendidikan anak (Sofyan, 2018)

Kedua, riset dengan tema seperti yang tercantum pada nomor dua, hasil penelitian dengan pendekatan kualitatif dengan jenis studi kasus, menjabarkan tentang gambaran pola yang ada dalam pendidikan agama pada milleu atau lingkungan keluarga petani(Yanti, 2015). Penelitian yang hampir sama dengan mengambil sasarana penelitian sebagai responden riset yaitu pada masyarakat, namun lebih fokus

(3)

12

pada struktur masyarakat yang cenderung pluralis. Konteks ini disebabkan dimana area atau lingkungan pendidikan agama Islam berada pada wilayah yang mayoritas non muslim. Penelitian ini yang bertempat di wilayah Klungkung-Bali, menyoroti kinerja pengajaran agama Islam pada sekolah setingkat SMA, di Kabupaten Klungkung-Bali, yang dilakukan di luar kelas.Kebutuhan untuk memahami agama tidak hanya dari konsep ritual tetapi juga lebih dari itu. Fakta ini didukung oleh realitas jamak Klungkung. Penelitian ini untuk mendeskripsikan perkembangan pengajaran agama Islam, salah satunyamateri pelajaran atau metode pengajaran di sekolah menengah atas di Kabupaten Klungkung.Hasil penelitian adalah bahwa (1) pengajaran agama Islam telah berkembang sejak saat itu1960-1970 dan pada saat yang sama, mengajar agama Islam di sekolah menengah atasdilakukan oleh para guru yang dikerjakan oleh Departemen Agamakarena kurangnya guru agama pada waktu itu.

Kondisi ini dibuatpengajaran agama Islam dilakukan di luar kelas. (2) Apa yang harus diajarkandiselaraskan dengan kurikulum yang digunakan pada waktu itu, yang berfokus pada kepercayaanterintegrasi dalam setiap mata pelajaran berdasarkan ayat- ayat suci Kuran. Metodeyang digunakan adalah mengajar secara lisan, memberi contoh secara analog, bertanya dan bertanya, danmembaca dengan keras. (3) kontekstualisasi teks keagamaan (Libriyanti, 2009).

Keempat, hasil riset yang dilakukan oleh Riyadi (2015), dengan fokus riset yang tertuju pada pembelajaran berbasis emansipatoris ini menghasilkan penekanan pada konteks Islam sebagai agama yang mempunyai orientasi pada dimensi kemanusiaan. Penelitian ini secara umum menyimpulkan bahwa pendidikan agama Islam tidak hanya pada konteks teosentris tetapi juga harus mampu menghadirkan aspek yang bersifat antrophosentris. Merujuk pada fakta tersebut, materti pembelajaran dalam pendidikan agama Islam harus memiliki penegasan pada universalisme Islam dalam artian adanya keseimbangan antara sisi ketuhanan dan sisi kemanusiaan. Hasil penelitian juga mengeksplorasi, bahwa tema-tama pembelajaran lebih ditekankan pada bagaimana Islam mampu memahami dan berperan aktif dalam menjawab perkemabangan problematika kemanusiaan di era kontemporer. Teks-teks dan paradigma keagamaan Islam yang bersifat doktriner lebih terfokus pada dogma- dogma yang bersifat doktrin, historistas dan telaah kontemporer, untuk menemukan dan menghubungkan secara langsung terhadap pernanan Islam dalam menjawab

(4)

13

dinamika kehidupan manusia sebagai usaha dalam menghasilkan pemahaman yang sesuai dengan teks dan konteks.

Kelima, penelitian yang dilakukan oleh Nurlaila,terkait belajar pendidikan Islam (PAI), sebagai pelajaranmengandung ajaran Islam dan dasar-dasar kehidupan Islam,perludikejar melalui pengembangan model untuk pengajaran yang dapat mempengaruhi pilihan, keputusan, dan pengembangankehidupan pelajar.

Pengembangan model PAI meliputi: a) dikotomismodel; menyebabkan dualisme dalam sistem pendidikan, yaitu pendidikan nonagama dan agama. b) model mekanisme; melihatkehidupan terdiri dari berbagai aspek, dan pendidikan dipandang sebagaiinvestasi dan pengembangan seperangkat nilai-nilai kehidupan, masing- masing bergerakdan berjalan sesuai fungsinya. c) model organisme; melihatkegiatan pendidikan sebagai suatu sistem yang terdiri dari hidup bersama danbekerja bersama secara terpadu menuju tujuan spesifikpembentukan kehidupan keagamaan atau kehidupan yang diilhami oleh nilai-nilai agama(Nurlaila, 2011).

Penelitian keenam, tentang riset yang secara tematik mempunyai keterkaitan dengan judul penelitian yang akan dilakukan, di mana riset ini pada titik pijak latar belakang merujuk pada dimensi keberagamaan orang tua terkait dengan kemampuannya dalam membaca al-Qur’an. Tingkat kemampun dalam para orang tua masih kurang dan kemampuan dalam membaca doa pada ibadah mahadah yaitu sholat, dimana kedua aspek tersebut merupakan asas agama Islam. Latar belakang masalah penelitian juga dideskripsikan tentang proses pendirian lembaga informal untuk meningkatkan kemampuan membaca al-Qur’an dan ibadah sholat. Berdasarkan rumusan masalah, hasil penelitian menguraikan bahwa proses pendidikan agama Islam pada orang tua dalam hal ini membaca al-Qur’an dan sholat, dapat ditingkatkan dengan bebrapa model pembelajaran mengacu pada gaya dan karateristik belajar orang tua (Meilani: 2013).

Ketujuh, karya tulisan hasil penelitian berupa artikel yang ditulis oleh Padjrin (2016), didasari pada latar belakang penelitian tentang bangunan keluarga yang merupakan institusi terkecil pada tatanan masyarakat, terbentuk dikarenakan proses perkawinan yang di dalamnya terkandung tahapan dalam menciptakan dan mempertahankan budaya. Latar belakang masalah juga menggambarkan fungsi keluraga dalam pengembangan dan peningkatan fisik, mental atau psikologi,

(5)

14

emosional dan sosial pada seluruh komponen anggota yang ada dalam keluarga. Pola asuh orang tua yang dikembangkan harus bersifat seperti demokratis; otoriter;

permisif; dan penelantar (acuh tak acuh). Hasil penelitian ini secara uumum menggambarkan bahwa model pola asuh yang dikembangkan oleh orang tua setidaknya didasarkan bagaimana contoh yang diberikan rasulullah dalam pendidikan anak (Padjrin, 2016).

Kedelapan, artikel tulisan ini mempunyai esensi latar belakang yang dijdaikan pijakan atau asas dalam penelitian ini, menegaskan bahwa manfaat pendidikan merupakan proses investasi dalam meningkatkan dan mengembangkan kepribadaian anak yang unggul, berakhlaq baik, mampu berinteraksi seacra luas dalam masyarakat yang lebih dikenal dengan istilah konsep insan kamil. Manfaat pendidikan dalam MSDM atau manajemen sumberdaya manusia menjadi kontibutor yang tidak bisa ditawar dan dikesampingkan sehingga menajdai sumberdaya manusia yang berkualitas dan akuntabel. Institusi kerluarga merupakan lingkungan utama dan awal bagi proses pendidikan anak. Sumbangsih institusi keluarga dalam pendidikan mencakup beberap hal berkaitan erat dengan pembentukan kepribadian atau karakter, sikap anak meliputi sosial dan keagamaan. Hasil penelitian ini tidak bisa dilepaskan bahwa sebagai aset atau modal penting dalam memajukan dan mengembangkan tidak hanya keluarga namun juga peranannya sebagi penerus agama dan bangsa. Kesalahan dalam proses mengembangkan kemampuan interaksi dan adaptasi anak akan berpengaruh negatif terhadap keberhasilan dalam mencetak penerus agama dan bangsa yang kompeten dan berkualitas, sehingga pendidikan dalam keluarga dengan anak sebagai aktor utama harus merujuk pada dimensi nilai-nilai, aturan dan rambu-rambu yang menjadi dasar dalam proses pendidikan anak. Konsep nilai rahmatan lil alamin, harus mampu dijiwai dan dijadikan semboyan serta simbol orang tua atas perannya dalam pendidikan anak(Baharun, 2016).

Kajian penelitian terdahulu pada kesembilan sebagai upaya pemetaan pustaka agar novelty yang menjadi instisari proses penelitian dapat direalisasikan merujuk pada artikel hasil penelitian tentang “Pembelajaran Pendidikan Agama Islam”. Penelitian ini memiliki fokus pentingnya pendidikan agam Islam pada anak sejak usia dini.

Legalitas atas fakta tersebut dapat dirujuk pada sunnah dan nash al-Qu’an surat at- Tahrim: 6, yang memiliki kandungan tentang perintah terhadap pelaksanaan

(6)

15

pendidikan anak di era awal perkembangan anak baik secara psikologis maupun fisik.

Hasil penelitian ini mendeskripsikan bahwa di era modernisasi, dimana terjadinya perkembangan secara masif teknologi informasi, dalam bebragai varian dan bentuknya dapat difungsikan untuk melaksanakan pembelajaran pendidikan agama Islam kepada anak sejak dini, salah satunya adalah android atau smartphone. Konten dan aplikasi yang dapat disematkan pada andorid, dapat difungsikan dalam proses pelaksanaan pembelajaran pendidikan agama Islam, sehingga dapat menanamkan nilai, norma, ajaran dan hal lainnya tentang Islam secara efektif dan efisien (Salim, 2014).

Mengacu pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Mo’tasim (2017), yang merupakan studi pustaka terkait dengan dimensi sosiokultural pendidikan Islam.

Penelitian ini dengan jenis studi pustaka (library reseacrh) bertujuan memaparkan secara gamblang tentang hubungan pendidikan agama Islam dengan interaksi sosial.

Hasil riset ini menjelaskan bahwa pendekatan dalam mengembangkan dimensi belajar, serta pembentukan kepribadian akan dipengaruhi secara nyata dan konkrit atas hasil interaksi pada lingkungan sosialnya. Proses interaksi sosial dapat difungsikan sebagai pendekatan untuk pelakasanaan proses pendidikan. Proses pendidikan agama Islam tidak pada konteks lingkungan sosial, tidak hanya mengembangak dimensi aqliyah atau pikiran pada kemampuan lahirah namun juga pada dimensi batiniah. Konsep inilah yang kemudian lebih populer dengan sitilah insan kamil, sebagai basis orientasi pendidikan agama Islam. Penegasan sebagai hamba Allah, merupakan wujud utama dari hasil proses pendidikan agama Islam yang dilakukan. Hal ini tidak bisa lepas atas konsepsi insan kamil yang menjadi tujuan utama pendidikan agama Islam, memiliki karateristik indikator yang melekat yaitu adanaya keseimbangan dunia-ukhrawi, kepribadaian yang unggul, pola pikir yang kompeten.

Corak riset berbasi kualitatif dengan jenis studi kasus, memiliki fokus latar belakang penelitian dengan menjelaskan bahwa model dan strategi pendidikan pada masyarakat memiliki karateristik yang berbeda-beda sehingga kesesuian atas realitas tersebut harus menjadi pertimbangan utama dalam pelaksanaan pembinaan keluarga Islam. Hasil riset ini lebih lanjut mengeksplorasi bahwa aspek akomodatif dapat dijadikan dasar untuk mengintegrasikan nilai-nilai budaya pada masyarakat secara inovatif, kretaif dan integratif dengan tetap memegang prinsip dasar dan utama substansi keagamaan. Basis riset ini yang menggunakan sosio kultural, menjadi sisi

(7)

16

pendekatan yang sangat tepat dalam mendalami corak dan kultur masyarakat dalam pendidikan agama, yang secara tipologi dapat secara spesifik menunjukkan ciri masyarakat tersebut. Pendek kata, lingkungan keluarga menjadi aspek fundamental dalam mengajarkan anak-anak untuk beradaptasi dan bertindak sesuai dnegan nilai budaya yang tidak menegasikan nilai agama (Muchtar & Juhanis, 2018).

Judul kajian literatur keduabelas, hasil penelitian ini secara spesifik menjelaskan secara gamblang tentang peranan kearifan lokal dan membentuk dan meningkatkan peserta didik pada perilaku dan sikap keberagamaannya. Secara eksplisit tiga komponen yang menjadi esensi hasil riset ini yaitu berkaitan dengan

“lokal genius”, “indigeniuous knowledge” atau dengan istilah yang populer “local wisdom” dapat digali secara mendalam terhadap kultur atau budaya yang ada pada masyarakat. Penggalian terhadap tradisi budaya atau kultur masyarakat secara mendalam, pada penelitian ini menjelaskan bahwa konsep atau dimensi etos kerja dapat ditemukan sumbernya baik secara filosofis dan terminologis pada local wisdom yang ada dan menjadai budaya masyarakat. Karateristik budaya pada setiap masyarakat yang memiliki perbedaan menjadi ciri khsusus yang dapat dikembangkan dan diintegrasikan dengan proses pembentukan karakter anak. Transformasi secara arif dan bijaksana atas kearifan lokal kepada anak atau generasi penerus, dapat mendorong terbentuknya karakter anak atau siswa secara kuat (Affandy, 2019).

Ketigabelas, Artikel dengan judul pengajian dan transformasi sosiokultural dalam masyarakat muslim tradisionalis Banjar. Dalam artikel ini menjelaskan bahwa pengajian adalah sejenis dakwah Islam yang telah ditemukan di komunitas muslim tradisional di Banjar, Kalimantan Selatan. Pengajian adalah asal mula munculnya pondok pesantren. Meskipun pesantren sudah berkembang begitu cepat, pengajian dapat mempertahankan keberadaannya di komunitas muslim tradisional Banjar.

Bahkan berfungsi sebagai Lembaga yang bisa menjadi dinamika dan motivator transformasi sosiokultural di masyarakat(Alfisyah, 1970).

Judul keempatbelas seperti yang tercantum pada tabulasi di atas, dengan fokus penelitian tentangpendidikan karakter berwawasan sosiokultural. Penelitian ini mengungkapkan bahwa esensi dari isi pada definisi pendidikan dalam sisdiknas, adalah pengembangan dan peningkatan secara totalitas terhadap seluruh dimensi yang menjadai potensi kompetensi siswa meliputi dari sisi keagamaan seperti keimanan dan

(8)

17

ketaqwaan, dari sisi kognisi berkaitan dengan cara berfikir yang kreatif, mandiri, dari sisi sikap berkaitan dengan unsur akhlaq mulia dan sisi kehidupan sosial mampu bersikap demokratis dan bertanggung jawab. Pengembangan potensi-potensi tersebut, dalam konteks pendidikan formal merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam proses pembelajaran, namuan dalam konteks kehidupan masyarakat dapat dihubungkan dengan aspek sosio kultural yang menjadi ciri keniscayaan yang ada pada masyarakat. (Sukitman, 2012)

Kelimabelas, Artikel dengan judul, perspektif agama dan kebudayaan dalam kehidupan masyarakat Indonesia sebuah tinjauan sosiologi agama. Dalam artikel ini dijelaskan bahwa hubungan agama, budaya dan masyarakat sangat penting atau merupakan system kehidupan karena berkaitan satu sama lain. Namun pertanyaan keberagamaan dan pembangunan social tidak akan lengkap jika hanya dilihat dari satu aspek tertentu saja. Untuk itu dalam memandang persoalan masyarakat harus melalui pendekatan holistic. Diperlukan studi tentang sosiologi agama dan sebaliknya. Ini berarti studi tentang kehidupan keberagamaan masyarakat tidak akan selesai tanpa melibatkan sosiologi. Kehidupan beragama memandang orang dalam berpikir, berperilaku atau bersikap merupakan perwujudan sikap hidup religious seseorang dalam menerima sesame yang berbeda agama. Agama sebagai pedoman hidup manusia yang diciptakan oleh Tuhan untuk dijalani dalam kehidupannya. Sedangkan budaya adalah sebagai kebiasaan atau prosedur hidup manusia yang diciptakan oleh manusia sendiri dari kekuatan hak cipta, rasa, karsanya yang diberikan oleh Tuhan.

Agama dan budaya saling mempengaruhi. Agama mempengaruhi budaya, kelompok dan orang. Budaya cenderung berubah ubah sesuai dengan setiap orang dan kelompok masing masing, dan perubahan tersebut akan menjadi harmoni, persaudaraan, kedamaian dan kenyamanan dalam kehidupan masyarakat. Karena agama telah mengajarkan kebenaran dan kebaikan, menghilangkan semua pertikaian, diskriminasi dan lainnya. (Bauto, 2016)

Tema penelitian nomor enambelas pada tabel di atas, riset ini dilatar belakangi adanya fakta kerukunan natar umat bergama disatu sisi dan budaya atau kultur masyarakat pada sisi yang lain. Aspek perbedaan seperti ras, suku dan agama menjadi embrio yang dapat menumbuhkan kesenjangan dan perpecahan antar kompenen masayarkat yang majemuk. Penelitian ini yang mengambil tempat penelitian pada

(9)

18

daerah Gayo, yang secara daerah masayarakatnya lebih condong pada penegakan syariat Islam. Riset ini secara jelas mendeskripsikan bahwa proses pendidikan agama Islam pada tatanan masyarakat yang majemuk dapat memanfaatkan seni sebagai media atau sarana dalam proses pendidikan agam Islam. Konteks pada masyrakat Gayo yang dapat digunakan dalam hal tersebut adalah seni “Didong”, yang berisi nilai-nilai etis masyarakat setempat yang bersifat intekonektif dengan pendidikan agama Islam (Akbar (2015).

Judul penelitian nomor tujuh belasa pada tabel, tentang pengembangan pendidikan karakter berbasis kearifan lokal pada masyarakat minoritas, menjelaskan bahwa pembangunan dan penegasan identitas bangsa sebagai sebuah karakter yang melekat pada masyaratnya, merupakan intisari yang dibangun dari “core ethical values” yang secara nyata bagian yang tak terpisahkan dari kandungan “religion value”, falsafah negara dan budaya yang ketiganya merupakan dasar atas terbentuknya tatanan masyarakat. Ketiga dimensi tersebut yaitu nilai agama, falsafah negara dan budaya berisi nilai-nilai yang dapat diadopsi dan diadaptasi dalam mengembangkan karakteristik unggul siswa. Mengintegrasikan seluruh nilai yang ada pada budaya masyarakat dari yang minoritas hingga mayoritas baik dari aspek agama maupun jumlah penduduk, dapat difungsikan sebagai alat untuk proses pendidikan. Riset ini dengan pendekatan antropologi bduaya, dengan menyoroti fenomena pada masyarakat Badui Banten, menemukan bahwa nilai-nilai yang bersifat kearifan lokal seperti dapat difungsikan untuk pembentukan karakter seperti karakter peduli lingkungan, bekerjasama atau gotong royong dalam istilah keindonesiaan, mentaati hukum yang berlaku pada masyarakat atau hukum adat, bersikap sederhana dan mandiri, mempunyai sifat mau bekerja keras, menjunjung nilai-nilai kejujuran, bersikap demokratis dan karakter etis lainnya. Lestarinya nilai-nilai tersebut dalam masyarakat Badui Banten dikarenakan adanya proses pengajaran, pembiasaan, peneladanan dan penegakan aturan atau tata nilai secara tegas (Hasanah, 2012).

Rujukan pustaka kedelapan belas, berangkat pada dasar teori keagamaan atau religious yang dikemukakan oleh Cornwall, bahwa tatanan masyarakat akan banyak dipengaruhi oleh komunitas yang memiliki legitimasi yang kuat. Riset ini mencoba mencermati kampung naga sebagai sebuah komunitas adat yang berada di daerah Tasikmalaya, memiliki prinsip kuat dalam memegang teguh kepercayaan, dengan

(10)

19

tetap melaksanakan berbagai tradisi kearifan lokal yang menjadai ciri khasnya. Tradisi adat menjadi nilai tertinggi yang harus dipatuhi dan ditaati tanpa terkecuali. Dimensi hak asasi individu atau personal dibatasi secara nyata dan jelas oleh tradisi adat masyarakat setempat. Adapun ritual-ritual keagamaan diserahkan secara bebas pada masing-masing personal dengan intensitas masing-masing. Riset ini menjelaskan bahwa tradisi adat yag bersifat komunal lebih penting daripada ritual keagamaan yang bersifat personal. Ketaatan akan aturan-aturan terhadap konsensus secara umum, menjadai produk hukum tertinggi yang harus dipatuhi. Penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa pelestarian tradisi adat dapat menjadia basic dalam proses pembentukan karater masyarakat, dalam konteks pendidikan, tentu saja berkaitan dengan anak (Hamid et al., 2018).

Rujukan penelitian terdahulu yang menjadi basis eksplorasi peneliti memiliki fokus tema riset yaitu Islam dan kearifan lokal. Keinginan penelitian ini secara terang mencoba mengeksplorasi secara lebih jauh berkaitan dengan nilai-nilai etis sperti hukum waris dalam Islam dapat bersifat bekrlanjutan dalam artian bersifat “qothi” atau final. Hukum etis Islam secara tegas mengatur tentang hukum waris yang tertuang dalam nash al-Qur’an. Disisi lain keariafan lokal kadang memiliki dimensi hukum yang berbeda dalam hal tata nilai waris. Penelitian secara lanjut memberikan gambaran bahwa perubahan yang terjadi pada masyarakat sebaiknya diikuti oleh tata nilai atau hukum agama yang juga berubah. Ortodoksi keagamaan harus mampu dipahami secara kontekstual sehingga tidak mengaburkan tujuan Tuhan yang lebih Besar. Riset ini juga menyimpulkan bahwa kontektualisasi perubahan pada masyarakat juga merupakan kehendak Tuhan yang harus dipahami secara komprehensif (Rajafi, 2016).

Meskipun penelitian ini memiliki dimensi persinggungan pemikiran yang kuat, namun menurut peneliti dapat dijadaikan rujukan dalam mengkonstruksi tema penelitian yang akan dilakukan.

Gambaran kajian pustaka di atas, secara jelas dapat dipetakan dalam tiga tema besar yang menjadi fokus riset dengan berbagai pendekatan yang digunakan seperti antorpologi, fenomenologi dan lainnya. Tiga tema besar, seperti yang tercantum dalam tabulasi di atas meliputi: pendidikan agama Islam, sosio kultural dan kearifan lokal.

Ketiga komponen tersebut dalam sudut pandang peneliti, masing-masing belum terintegrasi menjadi satu kesatuan fokus pada proses penelitian. Karaterisik penelitian

(11)

20

sepanjang eksplorasi penelitian, hanya mengerucut pada satu tema apakah itu pada pendidikan agama Islam pada masyarakat, atau hanya membahas pada kearifan lokal atau sosio kulturalnya saja.

Berdasarkan deskrpsi penelitian terdahulu di atas menunjukkan bahwa penelitian yang akan dilakukan oleh penulis sangat berbeda dengan kajian terdahulu yang membedakannya adalah bahwa penulis ingin melakukan penelitian terkait dengan Pendidikan agama Islam dalam keluarga petani studi etnografi di Wuluhan.

Penelitian lebih memfokuskan kepada sosiokultural keagamaan komunitas petani dan kearifan lokal komunitas petani di Wuluhan dalam pendidikan agama Islam. Untuk lebih jelasnya peta literatur atau peta kepustakaan pada penelitian ini terdapat dalam bagan 2.1 sebagai berikut :

Bagan 2.1 : Peta Literatur Kajian Terdahulu diadaptasi dari Cresswell (2014)

(12)

21 B. Kajian Teori

1. Masyarakat dalam Perspektif Etimologi dan Terminologi

Istilah masyarakat dalam sudut pandang etimologi dapat dihubungkan pada dua bahasa yaitu: pertama, dalam bahasa inggris yang populer dengan istilah

“society”, merupakan turunan dari istilah latin “socius” memiliki terjemahan “kawan”;

kedua, dalam bahasa Arab yang merujuk pada kata “syakara” yang memiliki makna

“ikut serta” atau “berpartisipasi”. Definisi masyarakat dalam konteks terminologi, dimaknai sebagai kumpulan manusia yang saling “berinteraksi” dan “bergaul” dalam kehidupan sosial. Konteks yang lain tentang pengertian masyarakat sebagai kesatuan struktur sosial dengan keteraturan sistem yang mengatur tata kehidupan dan pergaulan.

Masyarakat secara terminologi juga ditafsirkan sebagai orang yang menghuni pada suatu area atau wilayah baik secara langsung maupun tidak langsung dalam berinteraksi untuk saling melengkapi berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan, solidaritas dan kebutuhan lainnya seperti politik, kebudayaan (Koentjaraningrat, 2009, Susanto, 1999, Sinaga, 1988). Berdasarkan deskripsi definisi tersebut, maka masyarakat secara sederhana dapat dimaknai sebagai satu kesatuan atau kelompok didasarkan pada adanya kesamaan yang meliputi tradisi, sikap, perasaan dan kultur sehingga mampu menghasilkan keteraturan yang menjadi sistem tata nilai yang dipatuhi.

Secara tipologi, konsep dan teori masyarakat terbagi atas dua yaitu masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Kedua macam tipe masyarakat yaitu tradisional dan modern memiliki karakteristik dan ciri khusus sebagai pembeda diantara keduanya. Dimensi keterikatan terhadap “habit” atau kebiasaan, adat istiadat, kultur yang bersifat turun termurun, antipati terhadap aspek yang cenderung bersifat rasional dan bersifat baru serta kecenderungan untuk tidak bersifat kritis tetapi lebih pada sikap statis merupakan ciri khas masyarakat tradisional (Sinaga, 1988). Stagnasi pada pola kehidupan sehari-hari merupakan karakter yang melekat pada masyarakat tradisional.

Pendeknya kecenderungan pada ciri dan pola tipologi masyarakat tradisional adalah kultur atau budaya dan adat istiadat sebagai patokan utama dan bersifat sebgai hukum positif yang harus dipatuhi dan ditaati.

Kdengan masyarakat modern, lebih merncerminkan pada aspek yang bersifat rasionalistik daripada yang bersifat adati. Dinamisasi proses perubahan-perubahan

(13)

22

yang terjadi dalam kehidupan merupakan tanda utama ciri masyarakat modern.

Mengadaptasi dan mengadopsi value atau nilai yang bersifat positif dapat mendorong kemajuan yang ditandai dengan kebaruan ide-ide yang dapat diterima (Sinaga, 1988).

Ciri lain yang melakat pada masyarakat modern adalah adanya sikap solidaritas sosial organis sebagai bentuk sikap saling ketergantungan (Amiruddin, 2010). Kemunculan sikap solidaritas organis, berdasarkan spesialisasi atau kekhususan. Adanya sikap solidaritas organis dipicu kesamaan ketergantungan baik secara fungsional maupun tidak. Perbedaan secara fungsional dan ketergantungan anatar anggota masyarakat menjadi tolak ukur atas kontruksi masayarakat modern (Chairuddin, 1993) solidaritas organis didasarkan atas spesialisasi. Solidaritas ini muncul karena rasa saling ketergantungan secara fungsional antara yang satu dengan yang lain dalam satu kelompok masyarakat. Spesialisasi dan perbedaan fungsional yang seperti diungkapkan tersebut memang kerap dijumpai pada masyarakat modern.

Ciri lain yang membedakan msayarakat modern dengan tradisional, di samping adanya aspek solidaritas organis, juga berkaitan dengan hukum restruktif, yang dipahami sebagai perangkat yang berfungsi untuk merekontruksi atau membangun kembali pada kondisi sedia kala serta berfungsi untuk menormalkan keadaan yang kacau atau chaos. Migrasi masyarakat modern dari pola adat istiadat yang berbasis kultural sebagai hukum positif kearah proses dinamisasi kehidupan dengan konsep solidaritas organis dan hukum restruktif. Stagnasi proses kehidupan menjadi domaian yang bertetangan dengan karakteristik masyarakat modern (Amiruddin, 2010).

Skala perbandingan masyarakat modern dengan tradisional, lebih lanjut dapat dihubungkan dengan keberadaan alam sebagai anugerah kehidupan manusia.

Kencenderungan masyarakat tradisional memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap alam, sedangkan masyarakat modern lebih memiliki kecenderungan sebaliknya. Mensinergikan kehidupan dengan alam sekitar yang ditandai dengan keselarasan dalam pemanfaatan alam menjadai domain yang tak terpisahkan dari msayarakat modern (Bouman, 1980).

Beberapa ciri dan karakteristik khusus yang melekat pada masyarakat tradisional, merujuk pada dua pendapat dapat disajikan dalam tabulasi di bawah ini :

(14)

23

Tabel 2.2. Ciri Masyarakat Tradisional

Berdasarkan ilustrasi data karakteristik masyarakat tradisional di atas, secara esensial dapat dideskripsikan merujuk pada tabel data pertama yaitu: pola berfikir, bertumpu pada bidang agraris, pendidikan bukan kebutuhan primer, ketergatungan pada alam, kekuatan hubungan kekeluargaan, tingkat rasio jumlah penduduk rendah, turun temurun dan kompetensi diri menjadi faktor utama dalam penentuan pimpinan atau kekuasaan. Adapun pada teori kedua, lebih terfokus pada landasan sistem dalam menjabarkan ciri dan karakteristik masyarakat tradisiondal. Bentuk yang homogen, kepentingan bersama, dan budaya malu yang masih menjadi pondasi kuat bagai masyarakat tradisional dalam berlaku dan bersikap dalam kehidupan sehari-hari.

Perbedaan mendasar antara masyarakat tradisional dan modern, dapat juga dilihat dalam kacamata analisis perspektif konsep solidaritas. Masyarakat tradisional lebih pada solidaritas sosial mekanis, sedangkan masyarakat modern pada solidaritas sosial yang bersifat organis. Kesamaan pada konteks cipta, rasa, karsa menjadi tolak ukur yang digunakan masyarakat tradisional. Kesamaan tidak hanya pada konteks komunitas atau kelompok, tetapi menyentuh pada dimensi terkecil yaitu masing-

(15)

24

masing individu yang berada pada masyarakat tradisional. Konsensus menjadi aturan yang harus ditaati oleh seluruh anggota msayarakat, sehingga kesamaan hak asasi merupakan dimensi yang sangat dijunjung tinggi tanpa melihat status sosial yang ada pada masyarakat (Amiruddin , 2010, Chairuddin, 1993).

1) Masyarakat Tani a) Masyarakat Desa

Berdasarkan pensarian dari KBBI, bahasan dan definisi masyarakat, seperti yang telah dideskripsikan sebelumnya, merupakan komunitas manusia yang terikat pada domaian yang sama seperti budaya, tata nilai atau aturan. Adapun berkaitan dengan makna masyarakat desa, yang secara teritorial merupakan kelompok manusia yang tinggal di desa dengan sumber pendapatan atau pancaharian pada bidang pertanian hingga peternakan atau bentuk usaha yang merupakan combaine dari bidang-bidang tersebut. Identitas mata pencaharian atau penghasilan tersebut didukung dengan sistem sosial dan budaya yang berlaku dan ditaati oleh anggota masyarakat.

Istilah masyarakat di samping dihubungkan dengan etimologi “society”, juga dapat ditelisik dari kata “community” yang dapat dimaknai sebagai masayarakat setempat, ditandai sebagai karateristiknya pada kehidupan sosial adalah adanya kesamaan pada berbagai aspek, khususnya kesamaan hubungan sosial. Pembahasan lebih lanjut tentang ciri msayarakat, tertuju pada aspek kehidupan meliputi kebersamaan, waktu interaksi dalam kurun waktu yang cukup lama, dan kesadaran akan dimensi satu-kesatuan dan meyakini suatu sistem sebagai dasar untuk kehidupan berdampingan dan bersama (Soekanto, 2006; Koentjoroningrat, 2009).

Berdasarkan deskripsi di atas, lebih mengerucut pada ditinjau dari sifat sebagai ciri masyarakat pedesaan, adalah sifat gradual yang menajdia hakikatnya. Deskripsi ini menjelaskan bahwa masyarkat cenderung bersikap bertahap dalam berbagai hal dalam konteks kehidupan. Tingkat keeratan dan perasaan terikat pada anggota masyarakat lebih kuat daridapa dengan komunitas diluar masyarakat. Deskripsi sebelum yang menerang bahwa masyarakat pedesaan lebih dominan sektor kerjanya pada bidang pertanian, meskipun fenomena pekerjaan sebagai mata pencaharian seperti tukang bangunan hingga bidang kerajinan genteng dan lainnya. Tanda utama masyarakat sebagai cirinya adalah adanya interaksi, kekhususan pola tingkah dan laku

(16)

25

pada keseluruhan aspek kehidupan, dengan sifat yang melekat sebagai jatidiri atau identitas kelompok (Soekanto, 2006)

b) Ciri-Ciri Masyarakat Desa

Ciri-ciri masyarakat desa atau pedesaan, setidaknya merujuk pada 4 identitas utama yang dapat digunakan sebagai alat analisis, anatara lain adanya interaksi, ikatan pada pola tingkah laku yang khas pada semua bentuk interkasi yang berifat mantap dan kontinue, adanya rasa identitas merujuk pada kelompok yang menjadai komunitasnya dan personal individu sebagai anggota masyarakat (Basrowi, 2005;

Waluya, 2001). Bentuk kehidupan atau pergaulan, masyarakat memiliki ciri-ciri utama yaitu : pertama, manusia yang hidup bersama; kedua, beritneraksi, bergaulan atau bercampur dalam kurun waktu yang tidak sebentar; ketiga, kesadaraan antar anggota masayarkat sebagai satu kesatuan dan empat, adanya sistem bersama sebagai sebuah konsesus atau kesepakatan yang disepakati bersama-sama (Soekanto, 2006).

Ciri-ciri masyarakat di atas selaras dengan definisi masyarakat yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa masyarakat adalah kelompok manusia yang terbesar dan mempunyai kebiasan, tradisi, sikap dan perasaan yang sama. Masyarakat itu meliputi pengelompokan-pengelompokan yang lebih kecil yang mempunyai hubungan yang erat satu sama lain. Habit atau kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan yang equal atau sama dengan keterkaitan anatar kelompok yang ada pada sebuah masyarakat.

Memperkuat penjelasana tersebut, masyarakat tergambar dengan keberadaan sejumlah manusia pada area tertentu, memiliki sistem hubungan, kepentingan bersama sebagai landasan dalam kehidupan sehari-hari, memiliki tujuan dan kerjamasa, solidaritas, interdependensi, mempunyai aturan atau norma dan kultur. Konteks tersebut berlaku pada semua jenis masyarakat dari desa hingga kota, dengan fokus pada dimensi aktivitas kehidupan (Soelaman, 1992).

Masyarakat desa sebagai labelisasi identitas atas masyarakat tradisonal dalam istilah ilmiah disebut dengan “gemeinschaft” memiliki ciri antara lain: afektifitas, orientasi kolektif, partikularisme, askripsi dan kekabaran atau diffuseness.Berdasarkan penjelasan tentang “gemeinschaft” didasarkan eksplorasi teori Parsons, meskipun dianggap sebagai penghambat modernisasi sebagai ciri masyarakat pedesaan pada sisi negatif (Murdiyanto, 2008), namun dalam sudut pandang sisi positif masyarakat pedesaan masih menyimpan dan melestarikan budaya

(17)

26

atau kultur dan kearifan lokal sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam proses kehidupan.

Pendapat Parson di atas tentang ciri masyarakat pedesaan tidak bisa dilepaskan atas pandangan Tonnies tentang gemeinschaf atau paguyuban/komunitas – gesellschaft atau patembayan (Hasanah, 2017; Rahayu & Mayastuti, 2016;

Simangunsong & Hutasoit, 2017). Disisi lain teoritis tentang masayarakat pedesaan dapat dirujuk pada beberapa tokoh kunci dalam bidang sosiologi seperti Cooley untuk membedakan pedesaan dan perkotaan menggunakan istilah “primary-secondary group”, Dukheim dengan istilah “solidaritas mekanik-organik” (Murdiyanto, 2008).

Berkaitan dengan masyarakat pedesaan secara sederhana dapat dijelaskan bahwa cirinya lebih cenderung pada aspek kekeluargaan dan pertanian atau bercocok tanam sebagai mata pencaharian. Identitas masyarakat pedesaan identiik dengan pertanian atau bercocok tanam dan kegiatan lainnya seperti ternak sebagai mata pencaharian, tidak bisa dilepaskan atas potensi alam yang dimiliki pada lingkungan pedesaan.

2) Tinjauan Petani 1. Pengertian Petani

Pertanian sebagai aktivitas ekonomi masyarakat desa, yang pelakunya disebut dengan petani. Konteks petani sebagai status sosial yang disadang hampir pada seluruh penduduk pedesaan, tidak hanya bergerak pada bidang tetapi juga mencakup perikanan, peternakan dan pemunguatan hasil laut (Hernanto, 1996). Kategorisasi petani dalam konteks keindonesiaan, setidaknya terbagai atas tiga kelompok besar yaitu petani pemilik, petani penggarap/penyangkap atau bagi hasil, petani penyewa dan buruh tani. Perspektif lain, terkait dengan klasifikasi petani, ada 4 macam dengan memunculkan petani penyewa sebagai tambahan (Sandy, 1985; Malik, Wahyuni, &

Widodo, 2018; Nasriah, Nuddin, & Irmayani, 2019; Sihaloho, Purwandari, & Ita, 2010; Tola, 2016). Jenis petani pemilik sendiri terbagi atas 2 yaitu petani pemilik dengan model mengerjakan sendiri dan petani pemilik dengan model menyewakan lahannya (Hanafi, 2007). Berlandaskan pada padangan tersebut, secara lebih rinci dapat dijelaskan bahwa petani pemilik adalah pihak yang memiliki lahan pertanian, petani penggarap atau penyangkap lebih pada sistem bagi hasil atas hasil pertanian, petani penyewa dimana lahan pertanian yang diolah merupakan sewaan dan buruh tani lebih pada aspek pemanfaatan jasa dalam pengolahan lahan pertanian.

(18)

27

Klasifikasi klas petani di atas, tidak bisa dipisahkan dari hasil observasi terhadap realitas dilapangan. Setidaknya observasi berkaitan dengan karateristi petani meliputi 6 komponen yang melekat berhubungan dengan aspek umur, pendidikan, lama berusaha tani, jumlah tanggungan, luas lahan dan kompetensi (Mandang, Sondakh, & Laoh, 2020; Manyamsari & Mujiburrahmad, 2014). Menindaklanjuti penjelsan tersebut, secara universal bahwa adanya klasifikasi kelas petani tersebut juga akan berimbasa pada dimensi sosial ekonomi masyarakat pedesaan. Disisi lain, kondisi tersebut juga akan berimbas pada dimensi sosial, kultural dan keagamaan masyarakat pedesaan. Hal ini mengacu pada konteks tipologi masyarakat akan menentukan dimensi sosial kultur dan local wisdomatau kearifan lokal akan terus dilestarikan atau stagnan dan hilang seiring dengan kemajuan dan perubahan struktur masyarakat khususnya pada masyarakat petani. Merujuk pada beberapa hasil penelitian, status sebagai petani kecil pada masyarakat pedesaan lebih dominan dibandingan dengan pemilik lahan, sehingga pola kehidupan masyarakat cenderung stagnan sesuai dengan ciri masyarakat pedesaan atau tradisional (Soekarwati, 1986).

2. Agama dan Budaya Dalam Terminologi Clifford Geertz

Agama dan budaya dapat dipahami sebagai dua mata sisi yang saling terintegrasi dan terkoneksi dalam kehidupan. Agama sebagai basis keimanan dan keyakinan dimaknai way of life dalam menwujudkan kebahagian dan kemuliaan. Agama sebagai institusi yang mengakomodir kepercayaan yang bersifat ghaib. Agama mencakup nilai-nilai yang bersifat sakral. (Marzuki, 2010; Miskahuddin, 2017; Muhammad, 2013; Nurmadiah, 2019; Putra, 2020). Geertz sendiri sebagai tokoh pemerhati dalam bidang antropologi mengungkapkan bahwa agama merupakan rangkaian simbol-simbol yang memiliki koneksi instrinsik (conection instrinsik) yang dipahami sebagai realitas aspek (aspect reality) dan sebgai representasi dari realitas (its representation) simbol itu sendiri (Geertz, 1993; Pals, 1997;

Wendry, 2016).

Budaya secara esensial dapat dimaknai sebagai nilai yang besifat profan dalam kehidupan masyarakat atau komunitas. Budaya segala sesuatu yang meliputi pengatahuan, kepercayaan, seni, hukum dan kemampuan yang menjad kebiasaan masyarakat (Anderson- Levitt, 2012; Kroeber & Kluckhohn, 1954; Medeiros & Cowal, 2017). Geertz sendiri mengintepretasikan budaya lebih pada konteks kebiasaan yang memiliki sistem makna dan simbol untuk mengintepretasikan kehidupannya. Budaya sarat akan nilai-nilai yang bersifat

(19)

28

simbolik sebagi dimensi untuk mengungkapkan sikap-sikap yang ada dalam konteks kehidupan (Geertz, 1974; Reinhardt, 2020; Ramli, 2012).

Dimensi agama yang juga dapat diekspresikan dengan simbol-simbol begitu juga pada budaya, sehingga kedua aspek ini memiliki korelasi yang terintegrasi. Agama dan budaya menjadi dimensi yang tak terpisahkan pada kehidupan manusia. Agama sebagai aspek yang berkaitan dengan dimensi spiritual dan keyakinan dan budaya sebagai nilai etis yang ditaati oleh anggota masyarakat. Integrasi agama dan budaya dalam tataran kehidupan, mampu mengkostruksi sebagai berbagai praktek baru dalam kehidupan komunitas atau masyarkat. Keduanya memiliki sifat hubungan yang simbiosis mutualis bersinergi saling menguatkan sebagai landasan dasar kehidupan komunitas dan masyarakat.(Duryadi, 2017;

Mahfuz, 2019; Hariyanto, 2015; White, 2007).

Kajian tentang hubungan atau relasi agama dan budaya dalam konteks keindonesiaan tidak bisa lepas dari konsepsi yang dibangun oleh Clifortd Greetz. Pandangan Geertz tentang relasi agama dan budaya merupakan dapat ditelisik pada teori tentang trikotomi masyarakat Jawa. Disisi lain teori Geertz juga dijadikan dasar dalam kajian tentang hubungan atau integrasi agama dan budaya khususnya dalam perspektif pendekatan sosiologis dan antropologis (Burhani, 2017; Darwati, 2018; Hamali, 2018; Kuntarto, 2016;

Potabuga, 2020)

Karya Geertz lain yang menggambarkan agama sebagai sistem budaya dan adanya relasi antara keduanya dapat ditelisik Islam Observed yang pada bahasannya secara eksplisit mendeskripsikan adanya relasi Islam dan budaya. Bagian “Two Countries, Two Culture”

secara gamblang menggambarkan corak keberagamaan masyarakat Islam kedua negara yang berbeda. Keberagamaa muslim Maroko cenderung fanatik, sedangkan di Indonesia lebih kepada sifat kebatinan, tenang dan perasa. Geertz melanjutkan perspektifnya tentang kebudayaan masyarakat pada karyanya yang berjudul “Local Knowledge”, dimana kembali menegaskan bahwa budaya atau kebudayaan tidak bisa dipahami secara tampilan, namun harus ditelisik lebih mendalam. Budaya tidak bersifat negatif, namun memiliki makna positif berdasarkan pengetahuan yang diyakini oleh masyarakat setempat (Geertz, 1971;

Geertz, 1983) .

Agama sebagai dasar keyakinan tentu akan memiliki pengaruh terhadap budaya dan cara pandang masyarakat (Santoso & Wisman, 2020). Hubungan agama dengan budaya pada tataran kehidupan komunitas atau masyarakat dapat dilihat pada tradisi sosiokultural

(20)

29

yang berbasis kegamaan. Realitas ini dapat dilihat secara kasat mata pada kehidupan sehari- hari komunitas atau masyarakat. Relasi yang harmonis antara agama dan budaya menjelma menjadi tradisi baru dalam kehidupan masyarakat atau komunitas dengan corak yang lebih Islami. Simbolisasi Islam dalam praktek tradisi dapat dijadikan indikator utama sebagai penegas bahwa hubungan agama (Islam) dan budaya terintegrasi secara baik. Beberapa tradisi yang bercorak sosiokulrual keagamaan seperti sakaten di Jogjakarta, Toron di Madura (Djakfar, 2012; Marjan & Hariati, 2018; Wekke, 2013). Pemikiran Geertz terkait konsep trikotomi secara mendalam tertuju pada tradisi slametan yang menjadi budaya yang sering dilaksanakan oleh kaum abangan. Corak masyarakat Jawa yang bersifat complicated disebabkan benturan budaya dari animisme hingga dinamisme, Hindu dan Islam, slametan dianggap sebagai ritual (rites) yang dalam terminologi kajian agama dapat dimaknai sebagai ibadah (Adiansyah, 2017; Syah & Muhid, 2020; Nasrudin, 2013).

Geertz bagi pemerhati relasi agama dan budaya dianggap sebagai tokoh central yang tidak bisa dipungkiri meskipun era sebelumnya ada tokoh-tokoh seperti Max Weber yang mengemukakan bahwa pergesaran nilai yang dianut mampu merubah kontruksi kehidupan masyakat. Pemerhati yang dapat diklasifikasikan sebagai pengikut Geertz dalam mencermati hubungan agama dan sastra, salah satu tokohnya di Indonesia dapat dirujuk pada sosok Kuntowijoyo. Beberapa kajian yang mencermati pemikiran tokoh ini mengisyarkatkan bahwa pemikirannya banyak bersinggungan dengan dimensi sosio kultural yang memiliki corak Islam (Mulia, 2018; Khotimah, 2019).

Tipologi karya Kuntowijoyo yang cenderung pada bidang sastra, banyak mengeksplrorasi hubungan agama dengan sosial budaya masyarakat. Nilai-nilai profetik istilah yang digunakan Kuntowijoyo, ditujukan untuk menggambarkan dimensi keagamaan masyarakat yang terimplemnetasikan dalam kehidupan (Astuti, 2017; El Farouq Ghazali &

Machmudah, 2020; Untoro, 2016; Wasi’ah, Saripah, Stiyanti, & Mustika, 2018).

Disamping Kuntowijoyo yang dapat diafiliasikan pada area pendukung Geertz, tokoh lain yang dapat dirujuk sebagai kritikus Geertz khususnya terkait dengan konsep trikotominya adalah Mark Woodward, Andrew Betty, Marshall Hodgson. Penulis da pemerhati Indonesia yang secara mendalam mengkritisi teori trikotominya Geertz diantaranya Zaini Muhtarom, Zainudin Maliki dan Bahtiar. Khusus pandangan Woodward terkait bantahan terhadap teori trikotomi Geertz, Woodward menganalisis berdasarkan fenomena keberagaman Islam Jawa di Yogyakarta. Bagi Woodward apa yang disampaikan

(21)

30

oleh Geertz tidak mencerminkan Islam Indonesia secara keseluruhan. Woordward melihat Islam Jawa sebagai konsepsi keagamaan, dimana Geertz lebih melihat Islam Jawa sebagai fenomena sinkretik (Fawaid & Khatimah, 2018; Tago, 2017).

Pemikiran Geertz setidaknya dipengaruhi oleh empat ilmuwan dalam bidang antropolog yaitu seperti, Franz Boas, Alfred Lous Kroeber, Ruth Benedict dan Robert H. Lowie. Corak utama studi kebudayaan masyarakat yang dikembangkan oleh Geertz tidak bisa lepas dari pengaruh tokoh-tokoh tersebut dengan basis etnografi. Hal tersebut dapat dijelaskan melalui gambar berikut :

Gambar 2.1. Tokoh yang berpengaruh terhadap pemikiran Geertz

Salah satu tokoh yang berpengaruh terhadap Geertz yaitu Frans Boas terkait konsep relativisme budaya yang dikemukannya. Relativisme budaya sebagai suatu padangan bahwa kebudayaan bersifat relatif dimana norma etikal moral masyarakat tidak bersifat universal. Masing-masing kebudayaan berdiri sendiri dan harus mengedepankan aspek saling memahami dan menghormati. Konteks relativime budaya dalam pandangan Boas, lebih dipahami sebagai tata nilai norma moral yang bersifat lokal tidak universal. Konteks relativisme budaya inilah pada akhirnya memberikan sebuah legitimasi adanya perbedaan kebudayaan atau bersifat multikultural (Brown, 2008; Fernandez, 2015; Stoking, Jr., 1966; Park, 2011).

Pandangan-pandangan Geertz terkait dengan studi antropologi juga dipengaruhi oleh Kroeber yang mengusung teori difusi atau penyebaran budaya. Bagi Kroeber yang merupakan Boasian, adanya sebuah kebudayaan pasti dipengaruhi oleh kebudayaan lainnya. Kroeber menegaskan bahwa interaksi merupakan dimensi yang

Franz Boas (Relativisme

Kebudayaan Alfred Lous Kroeber

(Penyebaran Budaya) Robert H. Lowie

(culture in mind ) Ruth Benedict

(Culture Gestalt)

Clifford Geertz Marshall Hodgson Mark Woodward

Religion as culture system

(22)

31

dapat menimbulkan perubahan bagi kebudayaan yang menerima unsur kebudayaan lain. Proses difusi atau penyebaran terjadi manakala memiliki terpenuhinya empat unsur yang meliputi inovasi, komunikasi inovasi, sistem sosial sebagai tempat, dan waktu. Melihat dari unsur ini proses difusi dapat dipahami bahwa penyebaran suatu kebudayaan merupakan proses yang membutuhkan nilai baru, proses pemaknaan dan sosialisasi, tempat penyebaran dan waktu. Kroeber sebagai Boasian proses studi antropologi lebih menitik beratkan pada linguistik atau hermeneutik (Kroeber, 1940;

Steward et al., 1961; Jacknis, 2002; Maybin & Tusting, 2011; Rizal, 2012).

Ruth Benedict yang juga sebagai Boasian, memiliki dasar pendekatan dan perspektif yang sama dengan koleganya yaitu Kroeber. Meskipun demikian Benedict memiliki perspektif sendiri berkaitan dengan kebudayaan. Bagi Benedict yang sudut pandangnya dipengaruhi teori gestalt/konfigurasi, kebudayaan merupakan ekspresi nilai yang ada dalam masyarakat. Kebudayaan tidak hanya dimensi yang bersifat kasat mata seperti tindakan atau tingkah laku suatu masyarakat (Benedict, 2006; Bennett, 2015; Young, 2005). Tokoh lain yang menjadi barometer study antropologi pada saat itu yaitu Robert H. Lowie dengan karyanya yang berjudul "Primitive Society". Lowie memberikan pendapat bahwa kebudayaan merupakan abstraksi dari perilaku nyata masyarakat. Pandangan Lowie lebih merujuk pada dimensi "mind" atau pikiran tentang kebudayaan. Esensi dari padangan Lowie tersebut adalah bahwa kebudayaan merupakan hasil proses pemikiran yang bersifat abstrak yang kemudian menjelma menjadi norma nilai bukan merupakan kesinambungan dan inovasi perilaku masyarakat (Lowie, 1920; Adimihardja & Salura, 2004; Bargheer, 2017).

Study antropologi yang dibangun sejak Boas hingga Lowie lebih pada model etnografi dari pada perbandingan di era tersebut menjadi salah satu pendekatan studi yang popular. Gagasan studi antropologi dengan pendekatan etnografi inilah yang kemudian menjadi dasar hasil penelitian Geertz. Meskipuan demikian, bahwa etnografi berpengaruh, namun fokus pendekatan studi kebudayaan Geertz berbeda dengan pendahulunya. Kajian Geertz dalam mengupas budaya lebih pada dimensi symbol, sedangkan Boas dan para pengikutnya lebih pada konteks linguistik- hermenuetik dan mind atau pikiran yang dikemukan oleh Lowie. Geertz lebih banyak mencermati budaya sebagai intepretatif simbolik maupun sistem simbolik. Konteks

(23)

32

ini dapat dilihat dari karya-karya Geertz yang lebih banyak mencermati simbol-simbol yang ada dalam masyarakat.

Salah satu tulisan Geertz yang mencerminkan konsetrasi studinya terhadap kebudayaan dengan mencermati simbol-simbol dapat dirujuk pada karyanya yang berjudul "Tafsir Kebudayaan atau Interpretation of Culture". Karya Geertz ini mencoba menelisik secara lebih mendalam tentang simbol-simbol yang ada dalam kebudayaan dalam perspektif palaku budaya atau masyarakat setempat. Meskipun Geertz secara kontroversial menjelaskan bahwa manusia laksana hewan yang terjebak pada jarring-jaring makna berkaitan dengan kebudyaan. Disisi lain Geertz menjelaskan bahwa kebudayaan bersifat kontekstual mengandung makan yang mendalam terkait dengan sebuah tradisi diman Geertz memberikan contoh pada tulisannya dengan tradisi sabung ayam. Bagi Geertz tradisi tersebut tidak hanya dipahami sebagai praktek sabung ayam, namun ada simbol-simbol yang bersifat intepretatif seperti kehormatan, harga diri, kekuatan. Geertz berusaha dengan model etnografi menggambarkan secara jelas dari sebuah budaya yang dikaji dan ditelitinya (Dadze-Arthur, 2017; Geertz, 1973).

Penjelasan di atas menguraikan bahwa model kajian Geertz berbeda dari pada mentornya seperti Boas, Kroeber dan Lowie meskipun secara metodologis secara pengaruh terlihat pada etnografi sebagai basis studi Gertz tentang budaya. Penegasan gagasan Geertz tentang budaya yang bersifat intepretatif dan kontektual juga dapat ditelusuri pada karya lainnya yaitu Mojokunto sebagai sebuah dinamika sosial masyarakat Jawa. Buku ini merupakan secara keterkaitan dapat disebut sebagai kesinambungan karyanya yang berjudul Islam Jawa (Islam Javanese). Konsep trikotomi yang sangat nampak pada Islam Jawa, pada Mojokunto Geertz menggambarkan bahwa perbedaan dan jarak antar kelompok atau golongan masyarakat sudah tereduksi dengan adanya modernisasi dalam bidang sosial masyarakat. Geertz lebih rinci mendeskripsikan kelompok-kelompok masyarakat pada karya Mojokunto, meskipun tetap dalam ruang teori trikotomi yang digagasnya.

Kajian dan studi Geertz tentang Islam Jawa dan kebudayaan, seperti yang telah disinggung di atas, dikritisi oleh Mark Woodward dan Marshal Hodgson. Meskipun demikian, perkembangan tradisi masyarakat Islam Jawa tidak bisa dipahami dalam konteks dahulu. Bagi Geertz tradisi seperti slametan yang dulu dijelaskan sebagai basis

(24)

33

kaum abangan, saat ini haru ditafsirkan kembali sebagai upaya untuk memahami budaya masyarakat secara lebih jernih dan jelas. Tafsir terhadap kebudayaan tidak bersifat statis namun kontekstual sebagai basis sosiokultural masyarakat.

Integrasi dan relasi agama dan budaya pada tataran realita berubah menjadi tradisi yang bersifat sosiokultural keagamaan, sedangkan kebiasaan yang menjadi nilai etis masyakat dapat dipahami sebagai kearifan lokal. Kedua konsep ini dalam kehidupan masyarakat dapat difungsikan sebagai basis pendidikan agama Islam (Mufidah, 2015; Putri, 2019). Pemahaman Geertz terhadap budaya merupakan fakta simbolik yang didasari oleh keyakinan atau kepercayaan yang bersifat sakral sebagai dimensi agama. Simbol-simbol yang melekat pada sebuah budaya merupakan “par excellence” dari sebuah kepercayaan yang diyakini. Konteks tersebut dapat dimaknai secara sederhana, bahwa dalam perspektif Geertz budaya merupakan citra agama.

Berdasarkan ekplorasi deskripsi di atas, maka secara ontologis bahwa agama dan budaya memiliki relasi yang tidak bisa dipisakan dari kehidupan masyarakat. Agama dan budaya merupakan sisi yang saling terintegrasi dan mewarnai. Agama sebagai gambaran dimensi ketuhanan dan spirtualitas, sedangkan budaya sebagai nilai etis yang ada pada masyarakat. Tinjauan epistemologis agama dan budaya dibahas tentang makna agama dan budaya serta relasi agama dan budaya dalam perspektif Geertz, yang memiliki corak berbeda pada setiap masyarakat. Adapun secara aksiologis, relasi agama dan budaya dapat melahirkan tradisi atau ritual masyarakat yang menggambarkan simbolisasi nilai-nilai sakral atau profetik dan profan yang terkemas dalam bentuk sosiokultur keagamaan dan kearifan lokal. Sejalan dengan paparan deskprisi di atas, pemikiran Geertz dapat dielaborasi dalam gambar bagan sebagai berikut.

Gambar 2.2.

Overview Pandangan Clifford Geertz Agama sebagai Sistem Budaya

(25)

34 3. Sosiokultural Keagamaan

Pengertian tentang sosiokultural keagamaan harus ditafsirkan sebagai dua komponen yang terintegrasi menjadi satu istilah yang utuh yaitu sosiokultural dan keagamaan. Mencari definisi istilah tersebut secara untuh , kemungkinan besar tidak dapat dilakukan tanpa melalui proses penafsiran dengan dua pengertain dalam satu maksud definisi. Istilah sosiokultural sendiri merupakan dua istilah yang menjadai satu penafsiran atau pemaknaan definisi tersendiri. Sosiokultural secara definitif terdiri atas dua istilah dengan disiplin keilmuan berbeda. Sosio atau kata “socius” merupakan domain keilmuan sosiologi, sedangkan kultur atau kultural domain disiplin ilmu antropolgi, sehingga sosiokultural dapat dimaknai sebagai keseluruhan yang berkaitan dengan masyarakat dan budaya (Poerwadarminta, 1983; Thabroni, 2020). Sosial budaya atau sosiokultural merupakan hasil adanya proses interaksi yang tak terpisahkan antara pemikiran disatu sisi dan budaya disisi lainnya. Lahirnya budaya terkontribusi oleh tindakan dan perilaku tertentu atau spesifik yang dilakukan oleh masyarakat. Sosiokultural dapat berfungsi dan difungsikan sebagai tata nilai yang harus ditaati oleh seluruh komponen masyarakat (Sukitman, 2012).

Dimensi spesifik sosiokultural dapat dijadikan sebuah gambaran secara esensial atas sebuah tatanan masyarakat, karena mengandung nilai-nilai berkaitan dengan habit atau kebiasaan, art atau seni, serta seperangkat simbol dan indikator yang dapat menajdai pembeda antara satu msayarakat dengan msayarakat lainnya.

Sosiokultulan merupakan bagian atas manifestasi yang bersifat turun temurun dan mendarah daging sebagai sebuah penanda atas entitas atau kelompok tertentu.

Kebrlanjutan dari proses sosiokultural yang secara sadar ditanamkan sebagai doktrin yang harus dipatuhi dan dipahami secara komprehensif akan melahirkan karakter masyarakat, yang secara esensial keduanya antara sosiokultural dan karakter menjadi dua sisi yang saling mencerminkan (Sukitman, 2012).

Istilah keagamaan sendiri merupakan turunan dari kata agama. Beberapa istilah agama dalam berbagai perspektif, yang secara umum terwakili pada dua bahasa yaitu

“religion” dan “din” atau “ad-din”. Agama secara etimologi dimaknai berkaitan erat dengan aspek kepercayaan atau keyakinan (belief) dan ritual atau upacara serta aspek yang bersifat “trancends experience”, dalam kacamata Geertz agama lebih identik dengan budaya. Adapun berkaitan dengan sudut padangan terminologi agama adalah

(26)

35

keyakinan terhadap yang ghaib yang didalamnya terdapat ritual/ibadah/upacara (Joevarian, 2012; Khoiruddin, 2016; Mazarli, 2016; Aziza, 2016; Tamrin, 2019).

Istilah keagamaan yang secara studi bahasa merujuk pada kata agama dengan imbuhan “ke” dan “an”, menjadi kata yang lebih konkrit. Makna keagamaan sendiri, lebih tertuju pada dimensi aplikatif secara kontinue dalam mentaati, menjalankan dan melaksanakan nilai-nilai yang menjadi dasar etis. Maknanya adalah bahwa dimensi keagamaan dapat diukur dan diamati karena lebih bersifat fakta dan nyata sebagai bentuk perilaku yang dilakukan. Dimensi keagamaan mencerminkan dua tataran yang bersifat vertical dan horisontal, dimensi kemanusiaan dan ketuhanan (Budiman, 2017).

Berdasarkan deskripsi dan gambaran tentang kerangka sosiokultur dan keagamaan tersebut, maka istilah sosiokultural keagamaan dapat dijelaskan sebagai hasil pemikiran budaya yang didalamnya terdapat nilai-nilai etis yang diyakini dan ditaati sebagai bagain dari proses aplikasi keagamaan baik secara individual maupun masyarakat. Keyakinan masyarakat akan nilai-nilai etis yang bersifat lahiriah dihubungkan dengan nilai-nilai sakral (suci) agama sehingga menjadi praktek/ritual/upacara yang memiliki sifat keniscayaan untuk dilaksanakan.

1) Bentuk Sosiokultural Keagamaan dan Non Keagamaan a) Sosikultural Keagamaan

a. Selametan

Kutipan deskripsi sebelumnya tentang sosiokultural keagamaan merupakan hasil proses pemikiran dan perilaku sosial budaya yang mengandung nilai-nilai etis masyarakat dan nilai-nilai sakral (suci) keyakinan dan kepercayaan yang terafiliasi pada keyakinan tertentu, yang dalam konteks penelitian ini berkaitan dengan Islam.

Karateristik sosiokultur keagamaan, terafiliasi pada satu ritual atau upacara yang didalamnya terkandung berbagai macam atau jenis slametan mulai dari megengan, kupatan hingga slametan kematian.

Meskipun slametan saat ini lebih condong pada konteks sebagai budaya, namun dapat dijelaskan dalam perspektif sosiokultural keagamaan, bahwa slametan merupakan proses dalam mengkonseptualisasikan hubungan budaya sosial masyarakat dengan agama. Realitas tumbuhnya aspek sosiokultur keagamaan, tidak bisa dilepaskan atas konsepsi, penafsiran dan pemaknaan terhadap agama itu sendiri yang dapat dilihat dalam berbagai sudut pandang yang berbeda, sehingga agama bisa tampil

(27)

36

dengan “seribu wajah” disebabkan fleksibilitas dan kontekstualisasi yang digunakan dalam menafsirkan agama itu sendiri. Keterpaduan nilai-nilai etis dengan simbol- simbol budaya yang dihubungkan dengan ritual atau upacara tertentu dalam satu proses pelaksanaan. Meskipun nampak ambigu, namun hal tersebut merupakan bagian fakta dan realitas terjadinya dimensi intepretasi msayarakat akan doktrin-doktrian agama yang berusaha dipahami sesuai dengan perspektifnya (Kholil, 2008;

Woodward, 2011).

Perkembangan sosiokultur keagamaan, khususnya pada masyarakat Jawa, dapat dicarikan legitimasinya pada karya Geertz penelitian tentang “Islam Jawa’, dimana hasil eksplorasi penelitian bahwa tipologi msayarakat Islam di Jawa terbagi pada tiga kelas yaitu priyayi, santri dan abangan. Menafikan dimensi lain terkaiat dengan keberadaan Islam dan politik identitas yang terjadai pada saat itu, namun fakta ini memberikan gambaran bahwa perkembangan hubungan budaya dan agama dalam masyarakat dapat tumbuh subur, dikarenakan kompleksitas kemampuan dalam memahami doktrin agama secara genuine sehingga pada tataran aplikatif. Tatanan atau kelompok masyarakat dengan berbagai profesi yang berbeda-beda dari petani hingga kaum elit, sehingga dapat menciptakan budaya dengan ciri agama atau bahkan sebaliknya agama dengan muatan budaya (Amaliyah, 2018; Subair, 2015; Tago, 2017).

Berkaitan dengan slametan, seperti yang telah disinggung bahwa merupakan hasil hubungan konseptualisasi budaya dan agama pada kehidupan masyarakat, secara etimologi berasal dari kata “slamet” atau selamat dalam bahasa Indonesia, memiliki akar dari kata Arab “salamah” yang bermakna selamat, bahagia, sentosa dan sejahtera (Sari, 2018; Fitrahayunitisna, 2018). Slametan atau selamatan secara terminologi merupakan bagian dari sikap spritualitas masyarakat jawa dengan kearifan lokal, yang mempunyai kekhususan dan kekhasan berkaitan dengan waktu pelaksanaan, tujuan, pertunjukan dan perangkat atau ornamen tertentu sebagai indikator untuk menunjukkan perbedaan pada setiap kegiatan ritual atau upacara slametan (Sutiyono, 2006; Setiawati, 2019; Nasir, 2019).

Fungsi slametan secara esensial sebagai permintaan atau do’a dari berbagai hal yang dapat mendatangkan kesusahan dimana dalam proses dikolaborasikan dengan tradisi kenduri atau sajian makanan. Ciri khas “slametan” sebagai proses dalam

(28)

37

melakukan do’a, tidak bisa dipisahkan atas makna do’a itu sendiri yang memiliki makna permintaan, minta tolong, pujian, sembahan dan juga sebagai dakwah atau seruan Hal ini tidak bisa dilepasakan bahwa tradisi, khususnya berkaitan dengan sosiokultur keagamaan dapat difungsikan sebaga media dan wahana dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan agama, karena didalam “slametan” dapat dilihat adanya nilai profetik yang terkandung (Geerts, 1989; Rosyidi, 2012; Maisyanah &

Inayati, 2019; Muqoyyidin, 2016; Annisa & Wardana, 2020).

Berkaitan dengan “slametan”, terdapat 4 macam tipologi yang berkembang dan lestari dalam tradisi kehidupan masyarakat, yakni: pertama, berhubungan dengan siklus kehidupan dari kelahiran hingga kematian; kedua, berkaitan dengan perayaan hari besar; ketiga, bersangkutan dengan kondisi dan situasi lingkungan; dan empat, bersifat situasional berkaitan dengan kejadian atau kebutuhan (Sari, 2018).

Berdasarkan deskripsi tersebut, beberapa macam kegiatan yang merupakan bagian dari kegiatan “slametan” sesuai dengan tipologi di atas, antara lain:

b. Megengan

Pelaksanaan “slametan” dalam kegiatan “megengan” merupakan bagain dari ekspresi keberagamaan masyarakat khususnya Jawa. Meskipun secara historis, asal muasal dan kapan pertama kali “megengan’ dilakukan tidak bisa ditelusuri secara eksplisit, namun kegiatan ini sudah menjadi tradisi yang berisfat turun temurun dilakukan dalam masyarakat Jawa khususnya. Tradisi “megengan” secara umum dilakukan menjelang datangnya bulan ramadhan yang dalam istilah bulan Jawa disebut

“poso”. Pelaksanaan “megengan” berkaitan dengan adanya persepsi bulan baik atau suci yang diyakini oleh masyarakat Jawa diantara bulan Muharram dengan proses tradisi yang dikenal dengan istilah “suroan”, sya’ban atau bulan “ruwah” dimana tradisi “megengan dilaksanakan hingga muludan yang merupakan tradisi yang dilakukan pada bulan “rabiul awal’ dalam kalender Islam (Ridho, 2019).

Tradisi “megengan” dalam kalender jawa yang jatuh pada “ruwah” sangat erat kaitannya dengan nilai filosofi atas penamaan bulan tersebut dengan konsep arwah.

Karateristik tradisi “megengan” identik dengan ziarah kubur, kirab santri dan kegiatan lainnya yang dilakukan menjelang datangnya bulan ramadhan atau poso dalam bahasa Jawa. Maksud dan tujuan pelaksanaan tradisi “megengan” sebagai proses ritual untuk menyampaikan do’a atau permohonan kepada Allah, agar kekuatan lahir dan batin

(29)

38

senantiasa hadir dalam diri untuk menghadapi dan menjalani bulan ramadhan. Disisi lain tardisi “megengan” dianggap sebagai timing atau waktu yang tepat dalam mendoakan leluhur yang telah meninggal. Tradisi “megengan” sebagai bagaian dari proses “slametan” yang identik dengan kenduri, maka dalam pelaksanaannya menyajikan makanan sebagai pelengkap seperti ambeng (tumpeng), ketan dalam bentuk jadah dan lainnya (Aibak, 2010; Indahsari, 2017; Safi'i, 2018). Tradisi ritual

“megengan” pada masyarakat kudus dikenal istilah “dandangan” sebagai penanda datangnya bulan ramadhan (Suciati & Erzad, 2018). Ilustrasi kalimat sederhana atas tradisi “megengan” sebagai sosiokultur keagamaan masyarakat merupakan proses dalam menghormati akan datangnya bulan ramadhan dengan berbagai ritual yang dilakukan.

c. Kupatan

Tradisi kupatan sebagai bagian dari sosiokultur keagamaan dengan identitas simbol utama “kupat” atau “ketupat” yaitu makanan yang terbuat dari beras dibungkus dengan daun muda kelapa atau yang populer dengan istilah “janur” dengan bentuk diagonal (Ridho, 2019). Simbolisasi dari pelaksanaan tradisi “kupatan” sebagai media untuk mempererat dimensi silaturahmi atau persaudaraan/kekeluargaan. Disisi lain juga berfungsi untuk menjaga tali silaturahmi antar warga dan saudara. Kekerabatan, persadaudaraan, berbagai rejeki, membangun nilai-nilai religius merupakan filosofi yang terkandung dalam tradisi kupatan (Ningsih, 2020).

Praktek pelaksanaan tradisi kupatan di samping dengan proses menghantar sajian ketupat kepada beberapa sanak saudara, juga disediakan dirumah sebagai sajian ketika ada sanak atau kerabat yang berkunjung (Amin, 2017). Keletarian tradisi kupatan tidak bisa lepas atas pemaknaan yang tidak hanya pada konteks tradisi, namun juga dianggap sebagai dimensi keagamaan yang dapat dilakukan sebagai bagian dari proses keimanan. Tradisi kupatan yang dilakukan pasca 7 hari setalah iedul fitri, secara nyata merupakan perilaku keberagamaan masyarakat Islam khususnya pada kelompok abangan. Fakta ini tidak bisa lepas atas fenomena bahwa tradisi kupatan merupakan peninggalan leluhur yang harus tetap dilaksanakan sebagai norma dan kaidah peninggalan nenek moyang(Ridho, 2019).

(30)

39 d. Muharram (syuroan)

Kebermacaman corak masyarakat Indonesia, secara tidak langsung mampu menumbuhkan berbagai tradisi dengan atau tanpa dikaitkan dan disandarakan pada unsur keagamaan. Alamanat atau kalender yang berlaku pada masyarakat Indonesia bersandar pada 3 rujukan utama yaitu kalander Arab atau Hijriah, kalender Jawa dan kalender masehi. Bulan awal apda kalender Arab disebut bulan Muharram sedangkan pada kalender Jawa disebut bulan Syuro. Awal tanggal 1 pada bulan ini yaitu Muharram atau Asyuro, terdapat tradisi yang hingga saat ini masih dilestarikan dan dilakukan sebagai bagain dari sosiokultur keagamaan masyarakat Indonesia. Simbol utama perayaan Muharram atau syuroan adalah bubur “merah putih” sebagai simbolisasi kebaikan dan kejelakan. Disisi lain perayaan pada tradisi ini juga diisi oleh ritual-ritual yang dianggap sakral untuk dilaksanakan seperti mencuci atau membersihkan keris atau pusaka yang dianggap “suci” atau memiliki kekuatan (Japarudin, 2017; Kurniawan, 2019).

Kultur, suku dan pola adat-istiadat yang berbeda-beda, berakibat pada kemajemukan perayaan tradisi suroan di Indonesia. Beberapa kegiatan tersebut seperti kirab di solo dan Yogyakarta, di Aceh dengan nama bulan Asan Usen, di Bengkulu dengan istilah tradisi tabut, sedangkan di Sumbar dengan istilah tabuik. Adapun di Madura dengan simbol “tajin sora” difahami tradisi ini sebagai implementasi larangan untuk bepergian dan penggambaran atas kesucian sayyidan Husein. Perbedaan mendasar perayaan malam tahun baru Muharram atau Asyuro adalah konteks kemeriahan, dimana pada malam tersebut tidak ada hiruk pikuk atau euforia namun cenderung sunyi karena lebih dipahami sebagai proses refleksi dan intropeksi diri (Japarudin, 2017).

Perayaan Muharram atau Asyuro pada berbagai daerah pada dasarnya di samping sebagai proses intropeksi dan refleksi diri, juga sebagai ungkapan kecintaan masyarakat Islam terhadap rasulullah melalui kecintaan masyarakat kepada cucu- cucnya. Tradisi suroan sebagai sebuah fenomena dan fakata, diyakini merupakan ajaran yang diberikan oleh Walisongo, sehingga merayakan syuroan merupakan proses napak tilas terhadap ajaran Walisongo yang dianggap sebagai pembangun pondasi dalam penyebaran Islam di Indonesia khususnya Jawa (Safera & Huda, 2020).

Pelaksanaan tradisi syuroan di samping didasari aspek tersebut, juga dapat difungsikan

(31)

40

dalam menanamkan nilai-nalai pendidikan Islam yang terkandung di dalam tradisi syuroan (Krismoniansyah et al., 2020).

e. Selametan Kematian

Ungkapan pada deskripsi di atas, bahwa esensi selamatan atau “slamaten”

sebagai sebuah tradisi yang bersifat keagamaan yang berkembang pada masyarakat merupakan bagian dari ekspresi pengalaman dan keberagamaan. Konteks keyakinan khususnya pada masyarakat Jawa, “slametan” dapat difungsikan sebagai proses mencari jalan selamat bagi yang hidup ataupun yang sudah mati. Nilai “slametan”

sanga identik dengan pemahaman bahwa roh atau arwah dapat dikirimkan doa sebagai bekal setalah meninggal. Sedangkan bagi yang hidup “slametan” merupakan media dalam menaklukkan kekuatan “supranatural” yang dapat mengganggu kedamaian hidup (Sari, 2018; Amin, 2002).

Tradisi “slametan” setelah kematian yang saat ini masih dilakukan oleh masyarakat, merupakan proses ritual untuk mendoakan arwah agar selamat dan diterima oleh sang khaliq. Proses pelaksanaan dengan berdoa, merupakan bentuk partisipasi masyarakat atau tetangga dalam hal belasungkawa. Tujuan utama praktek tradisi ini yaitu agar roh selamat sampai keakherat. Fakat ini tidak bisa dilepaskan atas kuatnya pemahaman terhadap roha atau arwah akan terkendala dalam proses menunuju Tuhan. Istilah “slametan” pasca kematian lebih dikenal atau populer dengan nama tahlilan (Sari, 2018).

Tradisi selametan setelah kematian sampai sekarang masih banyak dilakukan masyarakat karena hal itu didorong oleh sistem keyakinan dan kepercayaan yang kuat terhadap sistem nilai dan adat istiadat yang sudah berjalan turun temurun. Adat dan upacara kematian merupakan fase atau tingkatan hidup yang terakhir dalam kehidupan manusia di dunia. Adat atau upacara kematian dilakukan agar orang yang meninggal dapat terhindar dari bahaya. Selain itu, hal itu bertujuan agar perjalanan roh selamat sampai ke akherat. Beberapa macam tahapan kegiatan “slametan” pasca kematian atau tahlilan antara lain :surtanah, nelung dina, mitung dina, 40 dina, nyatus dina, mendhak pisan, mendhak pindo dan nyewu dino (Geertz, 1989; Sari, 2018). Tahapan-tahapan tersebut tentu memiliki nilai, makna baik filosofis maupun teologis bagi masyarakat khususnya pihak yang masih melestarikan dan melaksanakan tradisi tersebut.

Gambar

Tabel 2.1. Judul Penelitian Sumber Kajian Pustaka Terdahulu
Tabel 2.2. Ciri Masyarakat Tradisional
Gambar 2.1. Tokoh yang berpengaruh terhadap pemikiran Geertz

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil perhitungan Rasio Likuiditas diatas menunjukkan nilai rata-rata Likuiditas baik untuk Bank Umum Konvensional maupun Bank Umum Syariah tidak

Berdasarkan latarbelakang masalah yang dipaparkan sebelumnya, permasalahan dalam penelitian ini adalah “Apakah penggunaan teknik time out berpengaruh untuk mengurangi

PA/KPA Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah/Institusi Lainnya (K/L/D/I) Kabupaten Klungkung (Dinas Kesehatan) Alamat Jl... Ni Made Adi

Puji Syukur Kehadirat Allah SWT yang maha Esa karena atas nikmat-Nya penyusunan Laporan Kuliah Kerja Magang (KKM) STIE PGRI Dewantara Jombang dapat diselesaikan tepat

Tujuan penelitian ini untuk mengkaji aspek biologis Udang Kelong, beberapa parameter pertumbuhan yang meliputi hubungan panjang karapas dan bobot tubuh, distribusi sebaran

Sernakin jauh jarak antara penerirna dan pengirim maka dayanya sernakin besar danjuga

Hal ini dapat dibuktikan pada statistik deskriptif rata-rata risiko litigasi yang menunjukkan data bersifat fluktuatif, hasil ini tidak sesuai dengan hasil

Komisi PSE Keuskupan Bandung dan Prodi Akuntansi dan Prodi Manajemen UNPAR adalah mitra yang memang sudah direncanakan sebagai pihak yang akan melakukan kerjasama (tertulis