• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM

B. Bentuk dan Syarat Sah Perjanjian

Dari uraian di atas dapatlah di simpulkan bahwa untuk terjadinya perjanjian itu haruslah ada dua belah pihak di dalamnya dan sedikitnya terdapat satu hak dan satu kewajiban.

I. Bentuk Perjanjian

Suatu perjanjian merupakan suatu hubungan hukum antara dua belah pihak yang telah sepakat untuk masing-masing memenuhi prestasi yang telah di perjanjikan. Melihat dari macamnya atau bentuknya perjanjian itu dapat di bagi kedalam tiga hal yaitu : 12

a. Menyerahkan Sesuatu

Perjanjian untuk menyerahkan sesuatu adalah suatu perbuatan atau prestasi berupa jual beli, tukar-menukar, penghibahan, sewa-menyewa, pinjam pakai, dan sebagainya.

Hal ini dapat kita lihat dalam Pasal 1352 Kitab undang-Undang Hukum Perdata yang dapat di kategorikan sebagai perjanjian bernama, yaitu perjanjian yang di lahirkan dan timbul karena Undang-Undang.

11

Sutarno, SH, MM, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, (Bandung : Alfabeta), 2003, Hal. 71.

12

b. Melakukan Sesuatu

Dalam Pasal 1241 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di jelaskan tentang perjanjian untuk melakukan sesuatu bahwa jika perjanjian tidak di laksanakan ( wanprestasi ) maka kreditur boleh juga di kuasakan supaya dia sendirilah yang mengusahakan pelaksanaannya atas biaya si debitur. c. Tidak Melakukan Sesuatu

Misalnya : perjanjian untuk tidak mendirikan tambok atau perjanjian untuk tidak mendirikan suatu perusahaan yang sejenis dengan orang lain. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata buku III perjanjian dapat di kategorikan kedalam dua bagian (dapat di lihat dalam Pasal 1352 dan 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) :

1. Perjanjian Bernama

Ialah : suatu perjanjian dengan memakai nama tertentu dan tunduk kepada salah satu nama perjanjian yang di atur secara khusus dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Artinya ketentuan-ketentuan khusus tentang perjanjian bernama yang bersangkutan berlaku terhadap perjanjian yang di buat oleh para pihak.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenal 15 perjanjian yang termasuk kedalam perjanjian bernama, antara lain : 13

a) Perjanjian jual beli

b) Perjanjian sewa- menyewa c) Perjanjian Tukar Menukar d) Pemberian Hibah

e) Persekutuan 13

f) Perjanjian pinjam meminjam g) Perjanjian pinjam pakai

Dari perjanjian bernama tersebut timbullah suatu perikatan. Adapun macam- macam perikatan itu antara lain : 14

a) Perikatan bersyarat

b) Perikatan dengan ketetapan waktu c) Perikatan manasuka (alternatif) d) Perikatan tanggung menanggung

e) Perikatan dapat di bagi dan tidak dapat di bagi f) Perikatan dengan ancaman hukuman

2. Perjanjian Umum

Ialah : perjanjian yang tidak termasuk kedalam salah satu jenis yang di sebut dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka terhadap perjanjian yang seperti ini hanya berlaku ketentuan-ketentuan umum yang di atur juga dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, di samping juga berlaku ketentuan- ketentuan yang di atur sendiri oleh para pihak dalam perjanjian yang bersangkutan di tambah dengan kebiasaan-kebiasaan dan yurisprudensi yang berlaku.

Mengenai perjanjian kredit, ada pendapat yang menggolongkan perjanjian kredit sebagai perjanjian bernama jadi bukan termasuk kedalam perjanjian umum. Menurut Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman , SH mengatakan bahwa dalam hubungan dengan perjanjian kredit jika uang telah di serahkan kepada pihak peminjam, baru lahirlah perjanjian pinjam mengganti dalam pengertian Undang- Undang menurut bab XIII Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 15

14

Ibid

15

Mariam Darus Badrulzaman, SH, Perjanjian Kredit Bank, (Bandung : Alumni), 1978, Hal. 24.

II. Syarat Sah Perjanjian

Untuk membuat suatu perjanjian harus memenuhi syarat-syarat supa ya perjanjian di akui dan mengikat para pihak yang membuatnya. Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian. Syarat-syarat yang di perlukan tersebut yaitu : 16

1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Artinya orang-orang yang membuat perjanjian tersebut harus sepakat atau setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang di buat dan juga sepakat mengenai syarat-syarat lain untuk mendukung sepakat mengenai hal-hal yang pokok. Contohnya dalam perjanjian jual beli, pihak penjual menghendaki uang sebagai harga jual sedangkan pihak pembeli menghendaki barang yang di beli. Harga jual dan barang tersebut merupakan kesepakatan mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian jual beli, sedangkan dimana barang harus di serahkan dan kapan penyerahannya merupakan kesepakatan di luar sepakat mengenai hal-hal yang pokok.

Sepakat juga mengandung arti apa yang di kehendaki pihak yang satu juga di kehendaki pihak lainnya. Jadi pihak-pihak dalam perjanjian harus mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan itu harus di nyatakan secara tegas atau diam. Contoh kemauan yang di nyatakan secara tegas ialah dalam membuat perjanjian sewa menyewa, perjanjian jual beli, dan lainnya. Contoh yang dinyatakan secara diam misalnya orang naik bis kota atau angkutan kota, seorang penumpang membayar ongkos angkutan dan seorang supir mengangkut penumpang sesuai jurusannya atau trayeknya. Secara diam-diam antara penumpang dan supir telah sepakat mengadakan perjanjian pengangkutan yang masing-masing mempunyai hak dan kewajiban timbal balik, penumpang membayar ongkos dan supir berkewajiban mengangkut penumpang tersebut. Sepakat juga berarti ada kebebasan para pihak dan tidak ada unsur tekanan yang mengakibatkan adanya cacat dari kebebasan itu. Kesepakatan itu di anggap tidak ada apabila sepakat itu di berikan karena kekhilafan atau di perolehnya dengan paksaan atau penipuan.

Paksaan terjadi jika salah satu pihak dalam perjanjian memberikan persetujuan karena takut ada ancaman. Misalnya ancaman akan di bunuh jika tidak bersedia menandatangani perjanjian. Dengan ancaman ini berarti tidak ada kemauan bebas bagi orang yang menandatangani perjanjian bahkan orang tersebut sebenarnya tidak menginginkan adanya perjanjian. Perlu di pahami bahwa ancaman disini harus berupa ancaman yang bertentangan dengan Undang-Undang misalnya di ancam akan di bunuh, akan di sandera, dan lainnya. Ancaman yang bertentangan dengan Undang- Undang tidak dapat di anggap sebagai paksaan, misalnya akan di gugat secara perdata

16

melalui pengadilan. Ancaman berupa gugatan melalui pengadilan tidak di anggap sebagai ancaman yang mengakibatkan adanya unsur paksaan.

2) Cakap untuk membuat suatu perjanjian

Cakap artinya orang-orang yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum. Seorang yang telah dewasa atau akil baligh, sehat jasmani dan rohani di anggap cakap menurut hukum sehingga dapat membuat suatu perjanjian. Orang- orang yang di anggap tidak cakap menurut hukum di tentukan dalam Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu :

a) Orang-orang yang belun dewasa

b) Orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan

c) Perempuan dalam hal-hal yang di tetapkan oleh Undang-Undang dan semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Persyaratan kecakapan seseorang yang membuat suatu perjanjian sangat di perlukan karena hanya orang yang cakap yang mampu memahami dan melaksanakan isi perjanjian yang di buat. Membuat perjanjian berarti terikat dan bertanggung jawab untuk melaksanakan apa yang di janjikan bahkan harta kekayaan orang tersebut akan menjadi jaminan apa yang telah di janjikan. Orang yang sakit ingatan berarti tidak sehat pikirannya, orang seperti itu sudah tentu tidak mampu memahami dan melaksanakan apa yang di janjikan sehingga tidak cakap. Orang yang di taruh di bawah pengampuan tidak bebas berbuat terhadap harta kekayaannya, tetapi di bawah pengawasan pangampu. Orang yang seperti itu di samakan dengan orang yang belum dewasa.

3) Mengenai hal atau objek tertentu

Artinya dalam membuat perjanjian, apa yang di perjanjikan harus jelas sehingga hak dan kewajiban para pihak bisa di tetapkan. Misalnya perjanjian hutang- piutang harus jelas berapa besarnya hutang, berapa jangka waktu pengembalian dan bagaimana cara mengembalikannya. Contoh lagi dalam perjanjian jual beli barang, barang yang menjadi objek jual beli harus jelas jenisnya misalnya rumah atau ruko, dan sebagainya.

4) Suatu sebab (causa) yang halal

Artinya suatu perjanjian harus berdasarkan sebab yang halal atau yang di perbolehkan oleh Undang-Undang. Kriteria atau ukuran sebab yang halal adalah :

a) Perjanjian yang di buat tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang. Misalnya perjanjian yang menyanggupi untuk melakukan pembunuhan dengan imabalan tertentu. Ini perjanjian yang di dasarkan sebab atau causa tidak halal dan bertentangan dengan Undang-Undang Pidana Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sebab atau causa yang yang bertentangan dengan Undang-Undang jelas dan mudah nampak, perjanjian seperti ini adalah batal demi hukum, artinya sejak semula perjanjian di anggap tidak pernah ada, para pihak tidak terikat untuk melaksanakan perjanjian itu.

b) Perjanjian tidak bertentangan dengan kesusilaan. Lebih mudah untuk menentukan sebab atau causa yang bertentangan dengan Undang-Undang karena sifatnya jelas dan nampak, tetapi sebab atau causa yang bertentangan dengan kesusilaan adalah relatif tidak sama wujudnya di seluruh dunia, mungkin di Indonesia suatu perbuatan tertentu bertentangan dengan kesusilaan tetapi di negara barat perbuatan tersebut di anggap tidak bertentangan dengan kesusilaan. Jadi tergantung pada anggapan masyarakat terhadap perbuatan itu. Perjanjian yang bertentangan dengan kesusilaan misalnya perjanjian dengan seorang penyanyi yang berpakaian mini dan terlihat agak porno.

c) Perjanjian tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum. Tidak mudah untuk menetapkan suatu ukuran yang bertentangan dengan ketertiban umum. Ketertiban umum sebagai lawan atau kebalikan dari kepentingan orang-perorangan. Sebagian besar dari hal-hal yang berkaitan dengan ketertiban umum terletak pada bagian ketatanegaraan dari hukum. Perjanjian pengangkutan yang melebihi daya muat alat pengangkut dapat membahayakan ketertiban umum. Demonstrasi yang dilakukan di tengah jalan raya dapat di anggap mengganggu ketertiban umum.

Syarat pertama dan kedua di sebut dengan syarat subjektif karena menyangkut orang-orang atau pihak-pihak yang membuat perjanjian. Orang-orang atau pihak- pihak ini sebagai subjek yang membuat perjanjian. Sedangkan syaat yang ketiga dan keempat di sebut sebagai syarat objektif karena menyangkut objek yang di perjanjikan oleh orang-orang atau subjek yang membuat perjanjian.

Syarat subjektif apabila tidak di penuhi maka perjanjian dapat di batalkan. Sedangkan untuk syarat ketiga dan keempat atau syarat objektif apabila tidak di penuhi maka perjanjian itu dengan sendirinya batal demi hukum. Ke empat syarat di atas mutlak harus di taati oleh pihak-pihak yang berencana untuk membuat suatu perjanjian.

Dokumen terkait