• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Pembayaran

Pembayaran dalam konteks ini harus dipahami secara luas. Artinya lebih mengarah pada pengertian pemenuhan prestasi (performance) dalam suatu perjanjian. Pembayaran, dalam hal ini tidak hanya dalam bentuk penyerahan sejumlah uang semata, akan tetapi juga termasuk pada pelaksanaan prestasi lainnya sesuai dengan bentuk ataupun jenis dari perjanjian yang telah disepakati.

Pasal 1382 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan bahwa pembayaran merupakan suatu tindakan pemenuhan kewajiban

46

terhadap tiap-tiap perikatan dari orang-orang yang berkepentingan untuk itu. Tidak dibatasi hanya dalam pemenuhan kewajiban debitur dalam perjanjian utang piutang semata, akan tetapi pada seluruh bentuk perikatan ataupun perjanjian yang meletakkan bahwa pihak yang terikat untuk melaksanakan kewajiban sebagai debitur yang berutang.

Pihak yang berhak untuk menerima pembayaran diatur dalam Pasal 1385 Kitab Undang-Undang Perdata, yaitu

a. Kreditur sendiri sebagai pihak yang langsung berkpentingan; b. Kepada seseorang yang telah diberi kuasa oleh kreditur;

c. Kepada orang yang telah ditunjuk hakim untuk berhak menerima pembayaran;

d. Ataupun orang-orang yang ditetapkan oleh undang-undang.47

2. Penawaran Pembayaran Tunai Diikuti dengan Penyimpanan atau Penitipan

Pelunasan hutang dengan menawarkan pembayaran secara tunai yang diikuti dengan konsinyasi atau penitipan pembayaran tersebut kepada pengadilan dimungkinkan oleh undang-undang terhadap debitur dalam hal kreditur menolak pembayaran yang dilakukan oleh debitur tersebut kepadanya, padahal secara kontraktual sebenarnya debitur tersebut berhak untuk melakukan pembayaran seperti yang ditawarkannya tersebut. Dengan kata lain, atas hak yang dimilikinya untuk melakukan pembayaran tersebut ke pengadilan sebagai dasar dari

47

perlindungan haknya, untuk tidak dapat dihukum wanprestasi (default) dan segera mengakhiri ataupun menghapuskan perjanjian yang menjadi dasar kewajibannya untuk melakukan pembayaran tersebut. Pembayaran dengan cara menitipkan uang tersebut ke pengadilan secara hukum akan membebaskan si berutang dari kewajibannya dan menjadi dasar dari hapusnya perjanjian yang melahirkan kewajiban dari si berutang tersebut sepanjang dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 1412 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata.

Apabila dalam langkah penawaran tunai ternyata mendapat penolakan dari pihak kreditur, maka debitur dapat melakukan penyimpanan ataupun penitipan uang tersebut ke pengadilan. Dalam Pasal 1406 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ditegaskan bahwa penyimpanan ataupun penitipan pembayaran tunai sebagai dasar dari pelunasan terhadap kreditur tidak perlu harus berada di bawah penguasaan hakim.

Dalam hal si kreditur tidak datang untuk menerima berita acara penyimpanan tersebut, maka berita acara penyimpanan tersebut akan diberitahukan kepadanya dengan peringatan untuk juga mengambil pembayaran tunai yang telah dititipkan tersebut. Jika kreditur sama sekali tidak menyangkal tentang sah atau tidaknya penyimpanan tersebut dalam waktu lebih dari satu tahun sejak pemberitahuan tersebut diberikan kepada kreditur, maka debitur yang telah melakukan pembayaran melalui penitipan tersebut akan dibebaskan dari hutangnya, begitu juga dengan si penanggung. Artinya pembayaran yang dititpkan tersebut telah dapat

secara hukum dianggap sebagai pelunasan utangnya. Pelunasan hutang melalui cara penitipan tersebut juga menjadi sah apabila pengadilan memutuskan bahwa penawaran tunai yang telah dititipkan tersebut dinyatakan secara sah.48

3. Pembaharuan Hutang (Novasi)

Pembaharuan hutang novasi merupakan peristiwa hukum yang dapat menghapuskan perjanjian yang diperbaharuinya. Artinya, dengan adanya suatu kesepakatan lama akan menjadi hapus dengan sendirinya. Dalam Pasal 1413 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dijelaskan tiga bentuk pembaharuan hutang yang diperbolehkan, sebagai berikut :

a. Apabila debitur dan krediturnya sepakat untuk membuat suatu perjanjian yang baru menggantikan perjanjian yang lama, yang membuat perjanjian lama hapus karenanya atau yang disebut juga dengan novasi objektif;

b. Apabila seorang debitur baru ditunjuk untuk menggantikan debitur lama yang membebaskan debitur lama dari kewajibannya atau yang disebut juga dengan novasi positif.

c. Apabila si kreditur lama digantikan oleh si kreditur baru, dimana sebagai akibatnya debitur dibebaskan dari kewajibannya terhadap kreditur lama, karena telah beralih kepada kreditur baru atau yang disebut juga dengan novasi subjektif aktif.

Seluruh bentuk-bentuk pembaharuan hutang tersebut di atas haruslah dilakukan oleh orang-orang yang berwenang untuk

48

melakukannya dan pembaharuan hutang tersbut harus dengan tegas dinyatakan tidak dapat dilakukan secara lisan. Begitu juga tentang pembebasan debitur dari kewajibannya yang didasarkan perjanjian yang lama (yang telah diperbaharui) menjadi syarat utama yang harus ecara tegas diperjanjikan dalam pembaharuan hutang baik yang bersifat subjektif maupun objektif tersebut.49

4. Perjumpaan Hutang atau Kompensasi

Kompensasi adalah perjumpaan hutang antara debitur dan kreditur yang sama-sama mempunyai piutang ataupun tagihan antara kedua belah pihak. Kompensasi ini umumnya terjadi dengan sendirinya (Pasal 1426 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) sebagai suatu reaksi antara debitur dan kreditur untuk menyederhanakan pemenuhan prestasi antara kedua belah pihak yang mempunyai hak dan kewabjiban yang sama dalam dua perjanjian hutang piutang, dimana dalam perjanjian, yang satu berkedudukan sebagai debitur, sementara dalam perjanjian yang satu lagi sebagai kreditur.50

5. Percampuran Hutang

Percampuran hutang terjadi apabila kedudukan sebagai pihak debitur dan kreditur berkumpul pada satu orang yang meberi konsekuensi hukum hutang tersebut menjadi hapus.

6. Pembebasan Hutang

Pembebasan hutang dapat terjadi apabila kreditur dengan tegas menyatakan tidak mengkehendaki lagi prestasi dari debitur dan

49

Ibid, 2014, hlm 127. 50

melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian. Dengan pembebasan ini, perjanjian menjadi lenyap dan hapus. Dengan pengertian tersebut, berarti pembebasan hutang merupakan hak kreditur dalam menghapuskan hutang debitur dengan cara dibebaskan dari kewajiban membayar hutangnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 1438 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pembebasan tidak boleh berdasarkan persangkaan, melainkan harus dibuktikan. Bukti tersebut dapat dipergunakan, misalnya dengan pengembalian surat piutang asli oleh kreditur kepada debitur secara sukarela (Pasal 1439 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).51

7. Musnahnya Barang yang Terutang

Apabila benda yang menjadi objek dari suatu perjanjian musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang, berarti telah terjadi suatu keadaan memaksa (overmacht, force majuer) sehingga undang-undang perlu mengadakan pengaturan tentang akibat-akibat dari perjanjian tersebut. Berdasarkan Pasal 1444 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, untuk perjanjian sepihak dalam overmacht, hapuslah perjanjiannya karena musnahnya barang berada diuar kehendak debitur, misalnya karena bencana alam. Dalam Pasal 1237 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dinyatakan, dalam hal adanya perjanjian untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, kebendaan tersebut semenjak perjanjian dilakukan merupakan tanggungan kreditur. Apabila kreditur lalai menyerahkannya, semenjak kelalaian, keendaan menjadi tanggungan debitur. Adapun

51

menurut ketentuan Pasal 1438 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, apabila benda tertentu yang menjadi objek perjanjian musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang diluar kekuasaan debitur dan sebelum ia lalai menyerahkannya pada waktu yang telah ditentutkan, perjanjian tersebut menjadi hapus. Akan tetapi, bagi mereka yang memperoleh benda tersebut secara tidak sah, misalnya karena pencurian, musnah atau hilangnya benda tersebut tidak membebaskan debitur untuk mengganti harganya.52

8. Kebatalan atau Pembatalan

Kebatalan atau pembatalan suatu perjanjian dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:

Berdasarkan Pasal 1446 – 1456 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pembatalan dapat terjadi apabila :

a. Dilakukan oleh orang-orang yang tidak cakap dalam perbuatan hukum, misalnya orang gila, anak belum dewasa dan yang berada di bawah pengampuan;

b. Tidak mengindahkan bentuk perjanjian yang disyaratkan oleh undang-undang

c. Adanya cacat kehendak.

Batalnya perjanjian atau hapusnya perjanjian dapat disebabkan batal demi hukum dan batal karena dapat dibatalkan. Disebut batal demi hukum karena pembatalannya terjadi berdasarkan undang-undang. Batal demi hukum berakibat perbuatan hukum yang bersangkutan oleh hukum

52

Agus Sardjono, Yetty Komalasari Dewi, Rosewitha Irawaty, Togi Pangaribuan, Pengantar Hukum Dagang, RajaGrafinda Persada, Jakarta, 2012, hlm. 15.

dianggap tidak pernah terjadi. Sedangkan batal karena dapat dibatalkan mempunyai akibat setelah ada putusan hakim yang membatalkan perbuatan tersebut. Sebelum ada putusan, perbuatan hukum yang bersangkutan tetap berlaku53

9. Berlakunya Syarat Batal

Syarat adalah ketentuan isi perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak. Syarat yang dipenuhi mengakibatkan perjanjian batal sehingga perjanjian menjadi hapus disebut syarat batal. Syarat batal selalu berlaku surut, yaitu sejak perjanjian dilahirkan. Syarat ini mengakibatkan suatu konsekuensi bahwa kedua belah pihak tidak pernah melakukan perjanjian.

Berbeda halnya dengan syarat batal yang dimaksudkan sebagai ketentuan isi perjanjian, yang jika dipenuhi, perjanjian tersebut menjadi batal dalam arti berakhir atau berhenti atau hapus. Akan tetapi, akibatnya tidak sama dengan syarat batal yang bersifat objektif. Dipenuhinya syarat batal menyebabkan perjanjian menjadi batal dan pemulihan tidak berlaku surut, melainkan hanya sebatas pada sejak dipenuhinya syarat tersebut.54

10. Kadaluarsa

Berdasarkan Pasal 1946 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang dinamakan kadaluarsa atau lewat waktu adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Kadaluarsa untuk memperoleh hak milik atas suatu

53

Ibid, hlm. 17.

54

barang dinamakan kadaluarsa acquisitive, yang dibahas dalam hukum kebendaan. Sedangkan kadaluarsa untuk dibebaskan dari suatu perjanjian/suatu tuntutan dinamakan kadaluarsa extinnctive. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata masalah kadaluarsa diatur dalam buku IV.55

55

Dokumen terkait