• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Mengenai Jual Beli Alat-Alat Kimia Pada Pabrik Kelapa Sawit (Studi Pada CV. Madani Sejahtera)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Yuridis Mengenai Jual Beli Alat-Alat Kimia Pada Pabrik Kelapa Sawit (Studi Pada CV. Madani Sejahtera)"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN HUKUM MENGENAI PERJANJIAN

A. Pengertian dan Sejarah Perkembangan Perjanjian

Sebelum kita membahas lebih jauh mengenai pembahasan skripsi ini, ada baiknya terlebih dahulu untuk kita meninjau apa sebenarnya yang dimaksud dengan perjanjian tersebut.

Teradapat definisi tentang perjanjian telah diberikan masing-masing bergantung kepada bagian-bagian mana dari perjanjian [beberapa ahli menyebutnya kontrak (perjanjian yang dibuat secara tertulis)] yang dianggap sangat penting, dan bagian-bagian tersebutlah yang ditonjolkan dalam definisi tersebut.

Salah satu definisi perjanjian adalah yang diberikan oleh salah satu kamus, bahwa perjanjian adalah suatu kesepakatan yang diperjanjikan (promissory agreement) di antara dua belah pihak yang dapat menimbulkan, memodifikasi, atau menghilangkan hubungan hukum.7

Selanjutnya ada juga yang memberikan pengertian kepada suatu perjanjian, atau serangkaian perjanjian dimana hukum memberikan ganti rugi terhadap wanprestasi terhadap perjanjian tersebut, atau terhadap pelaksanaan kontrak tersebut oleh hukum dianggap sebagai suatu tugas.8

7

Black, Henry Campbell, 1968 : 394.

8

(2)

Akan tetapi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan pengertian kepada perjanjian yaitu “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang

lain atau lebih.” Vide Pasal 1313 Kitab Undang-Udang Hukum Perdata.

Pasal di atas menerangkan secara sederhana tentang pengertian perjanjian yang menggambarkan tentang adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri. Pengertian ini sebenarnya tidak begitu lengkap, tetapi dengan pengertian ini, sudah jelas bahwa dalam perjanjian itu terdapat satu pihak mengikatkan diri kepada pihak lain.

Pengertian ini sebenarnya seharusnya menerangkan juga tentang adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri tentang sesuatu hal. Artinya kalau hanya disebutkan bahwa satu pihak mengikatkan diri kepada pihak lain, maka tampak seolah-olah yang dimaksud adalah perjanjian sepihak, tetapi kalau disebutkan juga tentang adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri, maka pengertian perjanjian ini meliputi perjanjian sepihak maupan perjanjian dua pihak.9

1. Sejarah Hukum Perjanjian di Zaman Romawi

Sebagaimana tercatat dalam sejarah hukum bahwa hukum Romawi kuno tertulis yang paling tua yang pernah sampai ke tangan kita saat ini

adalah apa yang di tulis dalam dokumen yang dikenal dengan “Hukum

12 (Dua Belas) Pasal” (Twelve Tables), yang merupakan kodifikasi

hukum yang tertua yang ada pada zaman Romawi yang pernah diketahui

9

(3)

oleh sejarah. Hukum tentang Twelve Tables tersebut yang disebut juga

dengan “Hukum dari Raja” (The Law of The King) yang dibuat sekitar

tahun 451 – 450 Sebelum Masehi, yang ditulis di lempengan tembaga, merupakan gambaran bagaimana kaidah-kaidah hukum dan kebiasaan yang saat itu berlaku di Romawi.

Sedangkan mengenai perjanjian, khususnya tentang perjanjian mengenai utang-piutang, diatur dalam Pasal III (Table III) (mengenai utang-piutang) ayat (1), yang merupakan cikal bakal lembaga sandera, pengakuan hutang murni, dan fiat eksekusi untuk pengakuan hutang seperti yang dikenal saat ini.

Ketika Romawi di bawah Raja Trajan, sebuah panggung teater beratap dibangun kembali di sekitar tahun 100 Masehi untuk pertunjukan-pertunjukan musik. Pada dinding dari teater tersebut, dilengkapi dengan Kitab Undang-Undang Gortyn yang terkenal. Kitab Undang-Undang ini ditulis di sekitar abad ke lima Sebelum Masehi. Ketentuan-ketentuan dalam Kitab UndangUndang Gortyn ini merefleksi berlakunya adat kebiasaan kolektif yang merupakan perubahan dari hukum primitif kepada hukum yang lebih modern di zaman Romawi.

Di masa Romawi, kontrak dikenal dengan istilah “nexus”. Di

samping itu, dikenal pula obligation dan pact (convention). Pact atau

Convention merupakan perjanjian di antara 2 (dua) pihak atau lebih. Manakala kepada Pact atau Convention diberikan suatu Obligation

(4)

Obligation itu sendiri terdiri dari dua bentuk, yaitu perjanjian dan

wrong/delict10

Mengenai perjanjian standar telah dikenal dalam Hukum Romawi. Yang banyak digunakan adalah perjanjian standar yang disebut dengan

Sociates (partnership). Umumnya partnership dibuat antara orang – orang yang mempunyai hubungan pertemanan atau hubungan kekeluargaan. Sedangkan bentuk partnership yang paling tua dalam

sejarah hukum Romawi adalah apa yang disebut dengan ”Ercto Non

Cito”, yang menyatakan bahwa jika salah seorang meninggal dunia,

maka ahli warisnya segera masing – masing menjadi partner terhadap harta orang yang meninggal tersebut.

Salah satu penemuan hukum dalam Hukum Romawi yang sangat fantastis adalah doktrin kontrak konsensual, yakni perjanjian sudah dianggap ada pada saat terdapatnya kata sepakat, tanpa memerlukan suatu formalitas tertentu. Bentuk perjanjian yang paling tua yang memakai doktrin ini adalah perjanjian jual beli, yang sudah dijalankan siat konsensualnya sejak tahun 200 Sebelum Masehi. Di samping terhadap perjanjian jual beli.

Mengenai cara mengeksekusi perjanjian jika debitur cidera janji dari perjanjian yang telah dibuatnya, hukum Romawi yang paling tua membenarkan dilakukan penyanderaan terhadap si debitur dan si sandera baru dilepas setelah debitur membayar kewajibannya menurut perjanjian. Kemudian, berkembang cara ganti rugi finansial dalam jumlah yang

10

(5)

besar atau permohonan kepailitan oleh pihak kreditur. Di samping itu, dalam hukum Romawi dikenal pula paksaan untuk menjalankan perjanjian (specific performance) bagi pihak yang melakukan

wanprestasi, yang disebut dengan istilah Actio Arbitraria.11

2. Sejarah Hukum Kontrak di Negara- Negara Eropa Kontinental

Sistem hukum di negara-negara yang berlaku tradisi hukum Eropa Kontinental, termasuk di Belanda dan karenanya juga di Indonesia, mempunyai dasar yang yang berasal dari hukum Romawi, yang berawal dari Peraturan 12 (Dua Belas) Pasal (The Twelve Tables) di Romawi pada sekitar tahun 450 Sebelum Masehi.

Kemudian, banyak kodifikasi hukum perdata dibuat, kodifikasi mana juga memuat hukum kontrak, terutama dilakukan setelah masa Revolusi Perancis. Akan tetapi, sebelumnya ada juga kodifikasi-kodifikasi, salah satunya yang sangat monumental adalah apa yang disebut dengan Corpus Juris Civillis yang dipublikasi di Konstantinopel pada tahun 533 Masehi oleh Justinian, yang merupakan seorang Raja Romawi yang berkedudukan di Konstantinopel.

Salah satu hal yang menonjol dalam sejarah hukum Eropa Kontinental adalah diberlakukannya suatu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang di dalamnya terdapat banyak pasal yang mengatur tentang perjanjian. Ketentuan-ketentuan hukum perjanjian tersebut banyak dipengaruhi oleh hukum Romawi. Dalam Kode Sipil Perancis, seperti juga yang terdapat dalam Kode-kode Sipil di negara Eropa Kontinental

11

(6)

lainnya, kedudukan perjanjian sangat mendapat tempat. Bahkan, kekuatan suatu perjanjian (misalnya yang dibuat oleh pribadi-pribadi) sama dengan kekuatan undang-undang (yang dibuat oleh parlemen dan pemerintah). Dari pertama perkembangan hukum perdata di Eropa Kontinental, sampai kepada para ahli hukum metafisis pada abad ke – 19, semua mengulang-ulang doktrin bahwa kontrak sama kekuatannya dengan undang-undang yang dibuat oleh parlemen.

Pada prinsipnya kontrak di negara-negara yang berlaku sistem hukum Eropa Kontinental, termasuk Indonesia bersifat konsensual (Solo Consensus), sehingga pada umumnya perjanjian tidak perlu ditulis, tetapi secara lisan sudah cukup. Bahkan, dengan isyarat/sikap tindak pun masih

mungkin tercipta suatu kontrak, yakni yang disebut dengan “tacit

agreement”. Hanya terhadap perjanjian-perjanjian tertentu saja, yang jumlahnya sangat terbatas, oleh hukum di negara-negara yang berlaku sistem hukum Eropa Kontinental dipersyaratkan perjanjian tertulis.

Namun di kemudian hari, semakin lama semakin banyak jenis perjanjian yang mengharuskan dibuat secara tertulis bahkan ada juga perjanjian yang harus disertakan dengan akta notaris.

Di kebanyakan negara-negara yang berlaku sistem hukum Eropa Kontinental, perjanjian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, baik pengaturannya secara umum maupun pengaturannya terhadap perjanjian – perjanjian tertentu, seperti jual beli, sewa menyewa, tukar menukar dan sebagainya.12

12

(7)

3. Sejarah Hukum Perjanjian di Indonesia

Sebagaimana diketahui bahwa sebelum para penjajah Indonesia memberlakukan hukumnya di Indonesia ini, yang berlaku adalah hukum adat dari berbagai wilayah hukum adat di Indonesia, yang satu wilayah dengan wilayah lainnya saling berbeda-beda. Hukum perjanjian merupakan salah satu bagian dari hukum adat tersebut.

Perjanjian yang paling meluas dilakukan dalam hukum adat tentu perjanjian jual beli, tetapi tempo dulu sebelum mata uang meluas dipakai, perjanjian tukar-menukarlah atau disebut dengan barter yang banyak dilakukan. Misalnya para petani padi membawa hasil panennya yang berupa beras ke pasar untuk ditukar atau dibarter dengan barang-barang keperluan rumah tangga lainnya semisal dengan pakaian.

(8)

meskipun merupakan suatu unsur dalam perjanjian, tetapi bukan merupakan unsur perjanjian yang terpenting.

Sedangkan perjanjian mengenai tanah atau yang berkenaan dengan tanah juga memiliki sifat yang riil, tetapi sering perjanjian tersebut dibuat dalam bentuk tertulis, meskipun perjanjian tertulis tersebut dibuat dalam bentuk yang sangat sederhana.

Perjanjian mengenai tanah atau yang bersinggungan dengan tanah juga memiliki sifat tunai dan terang. “Tunai” dalam arti kata perjanjian tersebut timbul bersamaan dengan peralihan hak atas tanah dan pemberian kontra prestasi, seperti membayar harga tanah, atau

setidak-tidaknya setelah pembayaran uang panjar. “Terang” dalam artian

pelaksanaan perjanjian tersebut haruslah dilakukan di hadapan pejabat tertentu, in casu di hadapan penguasa adat/kepala desa setempat. Dengan perkataan lain, suatu perjanjian atas tanah adat haruslah dibuat secara transparan.

(9)

Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia tepatnya pada Buku III. Di Indonesia Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mulai berlaku sejak tahun 1848 berdasarkan asas konkordansi.13

Adapun yang merupakan prinsi – prinsip utama dari hukum perjanjian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata antara lain adalah Kebebasan Berkontrak, Prinsip Konsensual, Prinsip Obligatoir, Prinsip Pacta Sunt Servanda.

Kebebasan berkontrak pada dasarnya merupakan perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia yang mana perkembangannya dilandasi semangat liberalisme yang mengagungkan kebebasan individu. Perkembangan ini seiring dengan penyusunan BW (Burgerlijk Wetboek) di negeri Belanda dan semangat liberalisme ini juga dipengaruhi semboyan Revolusi Perancis “liberte, egalite et fraternite

yang artinya kebebasan, persamaan, dan persaudaraan. Menurut paham individualisme setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendaki, sementara itu di dalam hukum perjanjian ini diwujudkan dalam asas kebebaasan berkontrak.

Buku III Kitab Undang – Undang Hukum Perdata menganut sistem terbuka, yang artinya hukum memberi keleluasaan kepada para pihak untuk mengatur sendiri pola hubungan hukumnya. Apa yang diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya sekedar mengatur dan melengkapi (regelend recht-aanvullendrecht). Hal ini berbeda dengan pengaturan Buku II Kitab Undang – Undang Hukum

13

(10)

Perdata yang menganut sistem tertutup atau bersifat memaksa (dwinged recht), dimana para pihak dilarang menyimpangi aturan-aturan yang ada di dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut.14

Dengan demikian menurut asas kebebasan berkontrak ini seseorang pada umumnya mempunyai pilihan bebas untuk mengadakan perjanjian. Di dalam asas ini terkandung suatu pandangan bahwa orang bebas untuk melakukan atau tidak melakukan perjanjian, bebas dengan siapa saja ia mengadakan perjanjian, bebas tentang apa yang diperjanjikan dan bebas untuk menetapkan syarat-syarat perjanjian.15

Konsensualisme sebagaimana terdapat dalam Pasal 1320 Kitab Undang -Undang Hukum Perdata angka (1) kesepakatan dimana menurut asas ini perjanjian itu telah lahir cukup dengan adanya kata sepakat. Disini yang ditekankan adalah adanya persesuaian kehendak (meeting of mind) sebagai inti dari hukum perjanjian. Hal ini tersimpul dari kesepakatan para pihak, namun demikian pada situasi tertentu terdapat perjanjian yang tidak mencerminkan wujud kesepakatan yang sesungguhnya. Hal ini disebabkan adanya cacat kehendak (wilsgebreke) yang mempengaruhi timbulnya perjanjian. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata cacat kehendak meliputi antara lain Kesesatan (dwaling), Penipuan (Bedrog), Paksaan (dwang).16

14

Firman Floranta Adonara, Aspek – Aspek Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, 2014, hlm 90.

15

Peter Mahmud Marzuki, Batas – Batas Kebebasan Berkontrak, Yurika, Jakarta, 2003, hlm. 195 – 196.

16

(11)

Obligatoir adalah suatu prinsip yang mengajarkan bahwa jika suatu perjanjian telah dibuat, maka pihak telah terikat, tetapi keterikatannya itu hanya sebatas timbulnya hak dan kewajiban semata-mata, dan haknya belum beralih sebelum dilakukan penyerahan (levering).

Pacta Sunt Servanda dalam pandangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata daya mengikat perjanjian dapat dicermati dalam rumusan Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Perdata yang menyatakan

bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Pengertian berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya menunjukkan bahwa undang-undang sendiri mengakui dan menempatkan posisi para pihak dalam perjanjian sejajar dengan pembuat undang-undang.17

Menurut L.J. van Apeldoorn, ada analogi tertentu antara perjanjian atau kontrak dengan undang-undang. Hingga batas tertentu para pihak yang terikat perjanjian bertindak sebagai pembentukan undang-undang (legislator swasta). Tentunnya selain persamaan tersebut di atas, terdapat perbedaan di antara keduanya, yaitu terkait dengan daya berlakunya. Undang-undang dengan segala proses dan prosedurnya berlaku dan mengikat untuk semua orang dan bersifat abstrak. Sementara itu perjanjian mempunyai daya berlaku terbatas pada para pihak, selain itu dengan perjanjian para pihak bermaksud melakukan perbuatan konkrit18

17

Firman Floranta Adonara, Op.cit., 2014, hlm 101.

18

(12)

Selanjutnya, dalam perkembangan dari hukum perjanjian, asas kebebasan berkontrak banyak dibatasi oleh berbagai hal, antara lain oleh berbagai perundang-undangan yang berlaku. Misalnya, dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, maka banyak pembatasan yang diberikan kepada para pihak dalam mebuat klausula-klausula dalam suatu perjanjian di bidang perdagangan19

B. Jenis-Jenis Perjanjian

1. Perjanjian Sepihak dan Timbal Balik

Perjanjian sepihak ialah suatu perjanjian yang dinyatakan oleh salah satu pihak saja, tetapi mempunyai akibat dua pihak, yaitu pihak yang memiliki hak tagih yang dalam bahasa bisnis disebut kreditur, dan pihak yang dibebani kewajiban yang dalam bahasa bisnis disebut debitur.20

Contoh perjanjian sepihak adalah “hibah” yang diatur dalam Pasal

1666 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa :

“Suatu persetujuan dengan mana si penghibah, sewaktu hidupnya

dengan cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan suatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan

itu.”21

19

Munir Fuady, Op.cit., 2003, hlm 51.

20

I Ketut Oka Setiawan, Hukum Perikatan, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hlm. 49.

21

(13)

Contoh lain dari perjanjian sepihak terjadi dalam wasiat (testament) yang diatur dalam Pasal 875 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi :

“... Suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tanpa apa yang

dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia, dan yang

olehnya dapat dicabut kembali lagi.”22

Dengan kedua ketentuan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa isi perjanjian sepihak itu berupa pernyataan sepihak, tetapi menimbulkan akibat bagi kedua pihak, yaitu penghibah atau pemberi wasiat, dengan pernyataannya menjadikan dirinya sebagai pihak yang terbebani kewajiban (debitur), terhadap pemberi atau penerima wasiat.

Mengenai Perjanjian Timbal Balik ini ialah perjanjian yang memuat hak pada salah satu pihak, dan hak tersebut sekaligus menjadi kewejiban bagi pihak lawannya. Contoh dari Perjanjian Timbal Balik ini adalah perjanjian jual beli yang diatur dalam Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Perdata, yang menyatakan bahwa :23

“Jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu

mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak

yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.24

2. Perjanjian Cuma – Cuma dan atas Beban

Kedua jenis perjanjian ini diatur dalam Pasal 1314 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa :

22

Ibid, hlm. 232.

23

I Ketut Oka Setiawan, Op.cit., 2015, hlm. 49-50.

24

(14)

“... Suatu persetujuan adalah suatu persetujuan dengan mana pihak

yang satu dengan pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. Suatu persetujuan atas beban, adalah suatu persetujuan yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak

berbuat sesuatu”.25

Berdasarkan ketentuan diatas, dapat dikatakan bahwa perjanjian cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak. Misal ketentuan Pasal 1666 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang hibah dan Pasal 845 tentang warisan, yang isinya telah dibahas sebelumnya.26

Adapun Perjanjian atas Beban adalah Perjanjian yang menyatakan prestasi dari pihak yang selalu terdapat tegen prestasi dari pihak lawannya dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya atas suatu titel tertentu, misalnya, jual beli, tukar menukar, dan lain sebagainya.

3. Perjanjian Bernama dan Tidak Bernama

Mengenai kedua jenis ini dapat dilihat dalam Pasal 1319 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu :

”Semua persetujuan, baik yang mempunyai suatu nama khusus,

maupun yang tidak terkenal, dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang

lalu”.27

25

R. Subekti, Op.cit., hlm. 338.

26

I Ketut Oka Setiawan, Op.cit. hlm. 51.

27

(15)

Berdasarkan ketentuan pasal di atas, terdapat dua macam perjanjian, yaitu perjanjian yang oleh undang-undang diberikan suatu nama khusus yang dapat disebut sebagai Perjanjian Bernama (benoemde). Adapun perjanjian yang dalam undang-undang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, yang dapat disebut sebagai Perjanjian Tidak Bernama (onbenoemde).

Mengenai Perjanjian Bernama, nama itu tidak saja disebutkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, seperti jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, perjanjian kerja, dan lain sebagainya. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang juga menyebukan Perjanjian Bernama, seperti perjanjian wesel, perjanjian asuransi dan lain sebagainya, bahkan akan ada juga undang-undang yang memberikan nama tersendiri. Kecuali undang-undang itu memberi nama, juga undang-undang itu memberi pengaturannya.

Mengenai Perjanjian Tidak Beranama, dalam kehidupan sehari-hari mempunyai sebutan atau nama tertentu yang tidak diatur dalam undang-undang, contohnya seperti perjanjian sewa beli.

(16)

4. Perjanjian Konsensual dan Riil

Perjanjian Konsensual adalah perjanjian yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih, di mana bila mereka telah mencapai persesuaian (persetujuan) kehendak untuk mengadakan perikatan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata perjanjian tersebut sudah mempunyai kekuatan mengikat bagaikan undang-undang bagi mereka.28

Mengenai perjanjian Riil terjadi sebaliknya yaitu perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadi penyerahan barang. Misalnya perjanjian penitipan barang yang diatur dalam Pasal 1694 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi :

“Penitipan adalah terjadi, apabila seseorang menerima suatu barang

dari seseorang lain, dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan

mengembalikannya dalam wujud asalnya”.29

Contoh lainnya adalah perjanjian pinjam pakai yang diatur dalam Pasal 1740 Kitab Undang-Undang Hukum perdata yang menegaskan bahwa :

“Pinjam Pakai adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang

satu memberikan suatu barang kepada pihak yang lainnya, untuk dipakai dengan Cuma-cuma, dengan syarat bahwa yang menerima barang itu setelah memakainya atau setelah lewatnya suatu waktu tertentu akan

mengembalikannya”.30

28

I Ketut Oka Setiawan, Op.cit., hlm. 51-52.

29

Prof. R. Subekti, S.H., Op.cit., hlm. 441.

30

(17)

Dengan demikian, Perjanjian Riil adalah Perjanjian antara dua orang atau lebih, di mana ketrikatan mereka ditentukan, bukan karena konsensus (kesepakatan), tetapi terjadi setelah dilakukan penyerahan (perbuatan riil) atas barang yang dijanjikan itu. Berdasarkan hal itu, Perjanjian Riil merupakan suatu perjanjian yang mengingkari asas konsensus.

5. Perjanjian Obligatoir dan Kebendaan

Perjanjian Obligatoir adalah perjanjian yang menyoalkan keseakatan para pihak untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain. Hal ini dianut oleh sistem dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Misalnya, dalam jual beli, walau telah tercapai kesepakatan antara penjual dengan pembeli tentang barang dan harga, belumlah mengakibatkan beralihnya hak milik atas benda itu dari tangan penjual ke tangan pembeli.

Untuk itu diperlukan Perjanjian Kebendaan, yaitu suatu perjanjian dengan mana seseorang menyerahkan haknya atas suatu benda kepada pihak lain, atau suatu perjanjian yang membebankan kewajiban pihak, untuk menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain. Penyerahan itu sendiri merupakan perjanjian kebendaan.31

Dalam jual beli benda tetap, perjanjian jual belinya disebut perjanjian jual beli sementara, sedangkan dalam jual beli benda bergerak, Perjanjian Obligatoir dan Perjanjian Kebendaan berlangsung dalam waktu bersamaan. Eksistensi dari kedua perjanjian itu sangat erat

31

(18)

bahkan sangat menentukan karena bila Perjanjian Obligatoir-nya (konsensusnya) cacat, maka sudah barang tentu perjanjian kebendaannya (penyerahannya) juga menjadi cacat.

6. Pejanjian Formal

Perjanjian Formal adalah suatu perjanjian yang tidak hanya harus memenuhi asas konsensus, tetapi juga harus dituangkan dalam suatu bentuk tertentu atau harus disertai dengan formalitas tertentu. Contoh : perjanjian kuasa pembebanan hak tanggungan. Perjanjian ini harus dibuat dalam bentuk autentik yang dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau Notaris.

7. Perjanjian Liberatoir

Perjanjian Liberatoir atau perjanjian yang menghapuskan perikatan adalah perjanjian antara dua pihak yang isinya adalah untuk menghapuskan perikatan yang ada diantara mereka. Contohnya disebutkan dalam Pasal 1438 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa :

“Pembebasan sesuatu utang tidak dipersangkakan, tetapi harus di

buktikan”.

Contoh lainnya diatur dalam Pasal 1442 :

“Pembebasan sesuatu utang atau pelepasan menurut perjanjian,

yang diberikan kepada si berutang utama membebaskan para penanggung

utang...”.32

32

(19)

8. Perjanjian Pembuktian

Perjanjian Pembuktian adalah perjanjian yang memuat keinginan para pihak untuk menetapkan alat-alat bukti yang dapat digunakan dalam hal terjadi perselisihan antara pihal kelak. Di dalam perjanjian itu dapat juga ditetapkan kekuatan pembuktian sebagaimana dikehendaki oleh pihak-pihak terhadap alat bukti tertentu. Misalnya tanda terima uang yang sulit untuk ditemukan maka seringkali para pihak dalam perjanjian menetukan bahwa perjanjian-perjanjian yang mereka tutup mengandung pernyataan adanya pembayaran, dan mereka mengakui mempunyai kekuatan (alat bukti) juga sebagai kuitansi (tanda terima uang).

Jadi, para pihak menerima (menganggap) akta yang bersangkutan (misalnya jual beli, sewa menyewa, dan lain lain) berlaku juga sebagai tanda bukti penerimaan uang (kuitansi) pembayaran pembelian atau uang sewa. Dengan contoh tersebut, dapat diduga bahwa pada umumnya perjanjian seperti ini merupakan bagian (onderdeel) dari perjanjian lain yang lebih luas.

Oleh karena itu, perjanjian ini bermanfaat dalam proses perkara, dan disebut juga sebagai Perjanjian Hukum Acara (proses

(20)

9. Perjanjian Untung – Untungan

Perjanjian untung-untungan adalah perjanjian yang yang prestasi atau objeknya ditentukan kemudian. Hal ini dapat dijumpai dalam ketentuan Pasal 1774 Kitab Undang – Udang Hukum Perdata yang berbunyi :

“Suatu perjanjian untung-untungan adalah suatu perjanjian yang

hasilnya mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak, maupun bagi sementara pihak, bergantung kepada suatu kejadian yang belum tentu. Demikian adalah perjanjian penanggungan, bunga cagak hidup, perjudian dari pertaruhan. Perjanjian yang pertama diatur dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Dagang”.33

10. Perjanjian Campuran

Perjanjian Campuran adalah perjanjian yang mempuyai ciri-ciri dari dua atau lebih perjanjian bernama. Jenis perjanjian ini tidak diatur dalam undang-undang, tetapi di dalamnya mempunyai nama sendiri, yang unsur-unsurnya mirip atau sama dengan unsur-unsur perjanjian bernama, yang terjalin satu sedemikian rupa sehingga tak dapat dipisah-pisahkan sebagai perjanjian yang berdiri sendiri.

11. Perjanjian Garansi

Perjanjian Garansi adalah suatu perjanjian di mana salah satu pihak menjamin pihak lain (orang ketiga) yang ada di luar perjanjian bahwa lawan janjinya akan melakukan suatu perbuatan atau tidak melakukan

33

(21)

suatu perbuatan terhadap pihak lain (orang ketiga) itu, dan kalau sampai lawan janjinya tidak berprestasi maka ia bertanggung jawab untuk itu.34

12. Perjanjian Bersyarat

Perjanjian Bersyarat adalah perjanjian yang digantungkan pada suatu peristiwa yang akan datang dan peristiwa tersebut belum tentu akan terjadi. Perjanjian bersyarat ini dapat dibagi dua, yaitu perjanjian dengan syarat tangguh dan perjanjian syarat batal.

Suatu perjanjian disebut perjanjian dengan syarat tangguh jika untuk lahirnya perjanjian tersebut digantungkan pada suatu peristiwa tertentu yang akan datang dan belum tentu akan terjadi, sedangkan suatu perjanjian disebut perjanjian dengan syarat batal jika untuk batalnya atau berakhirnya perjanjian tersebut digantungkan pada suatu peristiwa yang akan datang dan belum tentu akan terjadi.

13. Perjanjian dengan Ketepatan Waktu

Berbeda dengan perjanjian bersyarat, perjanjian dengan ketetapan waktu ini tidak menangguhkan terjadinya atau lahirnya perjanjian, melainkan menangguhkan perlaksanaan perjanjian.

Sebagai contoh bahwa dalam suatu perjanjian para pihak menetapkan suatu waktu tertentu untuk melakukan pembayaran. Ini berarti perjanjiannya sudah lahir hanya pembayarannya yang ditentukan pada suatu waktu yang akan datang. Dengan demikian, pihak kreditur tidak boleh menagih pembayaran tersebut dalam waktu yang telah disepakati telah sampai. Akan tetapi, jika debitur membayar sebelum

34

(22)

jangka waktu tersebut telah sampai, pembayaran tersebut tidak dapat ditarik kembali.

Penetapan waktu tertentu untuk melaksanakan suatu prestasi tertentu dainggap selalu dibuat untuk kepentingan debitur, kecuali secara nyata jangka waktu tersebut dibuat untuk kepentingan kreditur.

14. Perjanjian Mana Suka atau Alternatif

Perjanjian mana suka atau alternatif ini mungkin jarang kita temui dalam prkatik, tetapi hal ii dimungkinkan dalam hukum perjanjian.

Dalam hal ini terjadi perjanjian mana suka ini, debitur diperkenankan untuk memilih salah satu dari beberapa pilihan yang ditentukan dalam perjanjian, misalnya yang menjadi pilihan dalam perjanjian tersebut apakah debitur akan menyerahkan dua ekor kuda atau tiga ekor kerbau, atau tiga ekor sapi. Dengan demikian, apabila debitur menyerahkan salah satu dari tiga kemungkinan tersebut, debitur dinyatakan telah memenuhi prestasi, namun debitur tidak boleh memaksa kreditur untuk menerima sebagian dari alternatif yang satu dan sebagian dari alternatif yang lain. Jadi, pada contoh di atas, debitur tidak boleh memaksa kreditur untuk menerima dua ekor kerbau dan satu ekor sapi, walaupun mungkin harganya sama atau bahkan lebih mahal.

15. Kontrak Tanggung Renteng atau Tanggung Menanggung

(23)

utang kepada salah seorang kreditur akan membebaskan debitur pada kreditur lainnya. Dengan demikian, apabila debitur belum digugat di depan pengadilan, debitur berhak memilih kepada siapa dia akan membayar utangnya.

16. Perjanjian yang Dapat Dibagi dan Tak Dapat Dibagi

Suatu perjanjian digolongkan dapat dibagi atau tidak dapat dibagi tergantung kepada perjanjian yang prestasinya berupa barang atau jasa yang dapat dibagi atau tidak dapat dibagi, baik secara nyata maupun secara perhitungan. Namun demikian, walaupun barang atau jasa tersebut sifatnya dapat dibagi, suatu perjanjian dianggap tidak dapat dibagi jika berdasarkan maksud perjanjian penyerahan barang atau pelaksanaan jasa tersebut tidak dapat dibagi.

17. Perjanjian dengan Ancaman Hukuman

Ancaman hukuman merupakan suatu klausul perjanjian yang memberikan jaminan kepada kreditur bahwa debitur akan memenuhi prestasi, dan ketika debitur tidak memenuhi prestasi tersebut, debitur diwajibkan melakukan sesuatu atau menyerahan sesuatu.

Ancaman hukuman ini boleh diubah oleh hakim manakala debitur telah memenuhi sebagian prestasinya, ancaman hukuman ini hanya merupakan pestasi tambahan jika debitur wanprestasi. Karena itu, sifatnya yang hanya tambahan, apabila ancaman hukumannnya batal, tidak secara otomatis membatalkan perjanjiannya.35

35

(24)

C. Peran dan Fungsi Perjanjian

Peran dari membuat suatu perjanjian seperti juga membuat undang – undang : mengatur hubungan hukum dan melahirkan seperangkat hak dan kewajiban. Perbedaannya, jika undang-undang mengatur seluruh masyarakat, maka perjanjian hanya mengatur pihak-pihak yang terlibat saja. Demikian pula dalam perjanjian peran utamanya adalah mengatur hubungan hukum dari mereka yang mengikatkan diri satu sama lain.

Jika dalam pelaksanaannya hubungan hukum itu menimbulkan sengketa, maka perjanjian menghadirkan diri sebagai alat bukti di pengadilan. Perjanjian membuktikan adanya hubungan hukum diantara para pihak, karena mereka nyata-nyata telah menyetujuinya. Selain untuk menuntut pemenuhan hak dan kewajiban, perjanjian juga merupakan dasar untuk menuntut ganti rugi yang disebabkan pelanggaran. Sengketa-sengketa hukum yang bersumber dari perjanjian umumnya disebabkan karena tidak adanya kesesuaian kepahaman mengenai hak dan kewajiban para pihak seperti yang telah diatur dalam perjanjian.

Dalam perjanjian, para pihak telah menentukan hak dan kewajiban mereka dalam klausul-klausulnya, yaitu aturan tentang bagaimana mereka menjalani hubungan hukum mereka untuk mencapai visi misi bersama, misalnya perjanjian usaha bersama. Perjanjian merupakan alat untuk memperoleh seperangkat hak dan kewajiban perdata, sehingga para pihak mempunyai landasan hukum dalam melaksanakan perbuatan mereka.

(25)

bagaimana suatu hubungan seharusnya dilaksanakan, serta hak dan kewajiban mana saja yang dilanggar. Perjanjian merupakan pedoman bagi hakim dalam meluruskan persoalan dan menjatuhkan hukuman. Dan dalam banyak kasus, perjanjian tertulis merupakan bukti yang paling penting di persidangan.

Dan Fungsi dari suatu perjanjian adalah guna sebagai barang bukti kita sudah mengadakan perjanjian jual beli ehingga kita dapat megembalikan atau melakukan protes terhadap barang yang sudah dibeli. Selain itu surat perjanjian juga berguna untuk menggugat seseorang apabila orang tersebut melakukan suatu tindakan yang menyalahi dengan isi suatu perjanjian.36

D. Syarat Sah Perjanjian

Secara umum perjanjian lair pada saat tercpainya kesepakatan (konsensus) para pihak mengenai hal yang pokok atau unsur esensial dari perjanjian terseut. Sebagai contoh, apabila dalam perjanjian jual beli telah tercapai kata kesepakatan tentang harga dan barang, lahirlah perjanjianm sedangan hal-hal yang tidak diperjanjikan oleh pihak akan diatur oleh undang-undang.

Walaupun dikatakan bahwa perjanjian lahir pada saat terjadinya kesepakatan mengenai hal pokok dalam perjanjian tersebut, namun masih ada hal lain yang harus diperhatikan, yaitu syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi :

36

(26)

“Untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan empat syarat yakni

sepakat mereka yang mengikatkan diri; kecakapan untuk membuat suatu

perikatan; suatu hal tertentu; dan suatu sebab yang halal”.

Keempat syarat di atas biasa juga disingkat dengan sepakat, cakap, hal tertentu, dan sebab yang halal, keempat syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatas akan diuraikan lebih lanjut sebagai berikut.

1. Kesepakatan

Kesepakatan diperlukan dalam mengadakan perjanjian, ini berarti bahwa kedua belah pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak, artinya masing-masing pihak tidak mendapat suatu tekanan yang mengakibatkan adanya cacat dalam mewujudkan kehendaknya.

Menurut Badrulzaman, pengertian sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui oleh kedua belah pihak. Pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte) sedangkan pihak yang menerima tawaran disebut akseptasi (acceptatie).

Mengngingat kesepakatan harus diberikan secara bebas (sukarela), maka Kitab Undang – Undang Hukum Perdata menyebutkan ada 3 (tiga) sebab kesepakatan tidak diberikan secara sukarela yaitu karena adanya paksaan, kekhilfan (dwaling) dan penipuan (bedrog). Hal ini diatur dalam Pasal 1321 yang menyebutkan :

“Tiada sepakat yang sah apabila sepakat ini diberikan karena

(27)

Kekhilafan (dwaling) menyangkut hal-hal yang pokok dari yang dijanjikan itu. Dalam hal ini meliputi mengenai obyeknya, misalnya membeli lukisan asli Afandi. Khilaf yang kedua mengenai subyeknya, misalnya, mengontrak penyanyo Raisa, ternyata yang datang penyanyi lain hanya mirip dengan Raisa. Kekhilafan mengenai orangnya dinamakan error in perona dan mengenai hakikat barangnya dinamakan

error in substantia.

Paksaan dalam hal ini haruslah berupa paksaan rohani (bukan fisik). Misalnya, akan diancam atau ditakut-takuti akan dibuka rahasianya. Lain halnya bila dilaporkan ke Pengadilan, tidaklah termasuk perjanjian itu cacat kesepakatanny, walaupun hal itu tergolong rohani (psikis), sebab Pengadilan merupakan tempat (rumah) mencari keadilan, tidak layak ditakuti. Mengenai paksaan haruslah mengenai paksaan yang bukan absolut. Sebab dalam hal yang demikian itu perjanjian sama sekali tidak terjadi, misalnya, kalau seseorang yang lebih kuat memegang tangan seseorang yang lebih lemah dan membuat ia mencantumkan tanda tangan di bawah sebuah perjanjian.37

Penipuan (bedrog), dinyatakan dalam Pasal 1328 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :

“Merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu persetujuan

apabila tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak

37

(28)

telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut.

Penipuan tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan”.

2. Kecakapan

Orang-orang atau pihak-pihak dalam membuat suatu perjanjian haruslah cakap menurut hukum, hal ini ditegaskan dalam Pasal 1329 Kitab Undan-Undang Hukum Perdata berikut.

“Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan,

jika oleh undang –undang tidak dinyatakan tidak cakap”.

Undang-undang yang dimaksud menyatakan tidak cakap itu adalah Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yakni orang-orang yang belum dewasa; mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu.

Mengenai orang-orang yang belum dewasa, kriterianya ditentukan oleh Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu “belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu

tahun dan sebelumnya belum kawin”. Bila perkawinan mereka putus

(cerai) sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun maka mereka tidak kembali lagi dalam status belum dewasa.

(29)

“Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau

belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah

kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali”.

Pernyataan dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa anak yang belum dewasa itu adalah anak yang berusia belum mencapai 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

Mengenai mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, Pasal 433 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan, bahwa :

“Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu,

sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya. Seseorang dewasa

boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya”.

Dalam keadaan yang disebutkan di atas, pembentuk undang-undang memandang bahwa yang bersangkutan tidak mampu menjalani tanggung jawabnya dan oleh karena itu tidak cakap bertindak untuk mengadakan perjanjian.

(30)

menjadi kehilangan kecakapan, kecuali dimintakan ke pengadilan sebelumnya mana dikabulkan.

Dalam hal ditetapkan oleh undang-undang tidak cakap untuk membuat perjanjian, dapat dijumpai antara lain dalam Pasal 105, 108, dan 110 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa istri tanpa bantuan suami tidak dapat melakukan perbuatan hukum (termasuk membuat perjanjian). Dengan kata lain, ketentuan pasal tersebut status seorang istri kehilangan kecakapan bantuan suami.

Hal tersebut telah ditiadakan melalui ketentuan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia (SEMA RI) Nomor 3 Tahun 1963. MA menyatakan bahwa SEMA RI Nomor 3 Tahun 1963 tidak bermaksud meniadakan undang-undang (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Akan tetapi hal ini ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dalam rangka melakukan pembinaan terhadap hakim-hakim bawahannya, agar tidak merujuk lagi pada ketentuan Pasal 105, 106, dan 110 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.38

3. Hal Tertentu

Syarat ketiga dari suatu perjanjian haruslah memenuhi “hal

tertentu”, maksudnya adalah suatu perjanjian haruslah memiliki obyek

(bepaald onderwerp) tertentu yang sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Obyek perjanjian itu diatur dalam Pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatkan :

38

(31)

“Suatu persetujuan harus mempunyai pokok suatu barang yang

paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat

ditentukan atau dihitung”.

Dalam hal yang disebutkan belakangan itu, maksudnya tidaklah atang itu harus sudah ada, atau sudah ada di tangannya si berutang pada waktu perjanjian itu dibuat. Begitu juga jumlahnya tidak perlu disebutkan, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan. Misalnya, perjanjian membeli hasil panen kopi dari suatu ladang dalam tahun yang akan datang adalah sah karena telah memenuhi syarat hal tertentu (Pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), tetapi sebaliknya membeli mobil tanpa keterangan lain tidaklah memenuhi hal tertentu.39

Obyek tertentu dapat berupa benda, yang sekarang ada dan nanti akan ada, kecuali warisan. Hal ini diterangkan oleh Pasal 1334 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata yang antara lain menyebutkan, bahwa:

“... tetapi tidaklah diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan

yang belum terbuka, ataupun untuk minta diperjanjikan sesuatu hal mengenai warisan itu sekalipun dengan sepakatnya orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok persetujuan itu ...”.

4. Sebab (Causa) yang Halal

Perkataan “sebab” yang dalam bahasa Belanda disebut oorzaak,

dan dalam bahasa Latin disebut causa, merupakan syarat keempat dari suatu perjanjian yang disebutkan dalam Pasal 1320 Kitab

39

(32)

Undang Hukum Perdata sebagai “sebab yang halal”. Menurut Badrulzaman, causa dalam hal ini bukanlah hubungan sebab akibat, sehingga pengertian causa di sini tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan ajaran causaliteit, bukan juga merupakan sebab yang mendorong para pihak untuk mengadakan perjanjian. Karena apa yang menjadi motif dari seseorang untuk mengadakan perjanjian itu tidak menjadi perhatian.

Misalnya apabila, seorang membeli rumah karena mencegah nilai uangnya turun, hal ini tidak menjadi perhatian hukum. Perhatian hukum adalah membeli rumah tersebut, si pembeli ingin memiliki rumah itu dan si penjual ingin memperoleh uang dari penjualan tersebut. Jadi, sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat suatu perjanjian atau dorongan jiwa untuk membuat suatu perjanjian tidak diperhatikan undang-undang. Hukum pada asasnya tidak menghiraukan apa yang berada dalam gagasan seseorang atau apa yang dicita-citakan seseorang, yang menjadi perhatian hukum atau undang-undang tindakan orang-orang dalam masyarakat.

(33)

Adakalanya suatu perjanjian tanpa sebab atau dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang. Sebab terlarang di sini maksudnya adalah sebab yang dilarang oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum (Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Perjanjian yang demikian tidak mempunyai kekuatan (Pasal 1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Misalnya, bila seseorang

membeli pisau untuk membunuh seseorang, unsur “membeli pisau”

memenuhi causa yang halal, namun hal ini menjadi tidak memenuhi

causa yang halal, bila soal membunuh itu dimasukkan dalam perjanjian (dalam konsensu). Si Penjual hanya bersedia menjual pisuanya, jika si pembeli mau memakai untuk membunuh orang, maka dalam hal ini perjanjian menjadi batal demi hukum karena memuat sesuatu sebab yang terlarang40

E. Konsekuensi Perjanjian

Yang Merupakan Konsekuensi hukum dari tidak terpenuhinya salah satu atau lebih dari syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut bervariasi mengikuti syarat mana yang dilanggar. Konsekuensi hukum tersebut adalah sebagai berikut

1. Batal Demi Hukum (Nietig, null and void)

Semisal dalam hal dilanggarnya syarat obyektif dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Syarat Obyektif tersebut adalah: a. Perihal tertentu, dan

b. Kuasa yang legal.

40

(34)

2. Dapat Dibatalkan (Vernietigbaar, Voidable)

Semisal dalam hal tidak terpenuhi seujektif dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Syarat subjektif tersebut adalah: a. Kesepakatan kehendak, dan

b. Kecakapan berbuat.

3. Perjanjian Tidak Dapat Dilaksanakan (Unenforceable)

Perjanjian yang tidak dapat dilaksanakan adalah perjanjian yang tidak begitu saja batal tetapi tidak dapat dilaksanakan, melainkan masih mempunyai status hukum tertentu. Bedanya dengan perjanjian yang batal (demi hukum) adalah bahwa perjanjian yang tidak dapat dilaksanakan masih mungkin dikonversi menjadi perjanjian yang sah. Sedangkan bedanya dengan perjanjian yang dapat dibatalkan (voidable) adalah bahwa dalam perjanjian yang dapat dibatalkan , perjanjian tersebut sudah sah, mengikat dan dapat dilaksanakan sampai dengan dibatalkan perjanjian tersebut, sementara perjanjian yang tidak dapat dilaksanakan belum mempunyai kekuatan hukum sebelum dikonversi menjadi perjanjian yang sah.

Contoh perjanjian yang tidak dapat dilaksanakan adalah perjanjian yang seharusnya dibuat secara tertulis, tetapi dibuat secara lisan, tetapi kemudian perjanjian tersebut ditulis oleh para pihak.

4. Sanksi Administratif

(35)

terhadap suatu perjanjian memerlukan izin atau pelaporan terhadap instansi tertentu, seperti izin / pelaporan kepada Bank Indonesia untuk suatu perjanjian offshore loan.41

F. Wanprestasi di Dalam Perjanjian

1. Pengertian

Pada umumya hak dan kewajiban yang lahir dari perikatan dipenuhi oleh pihak-pihak baik debitur maupun kreditur. Akan tetapi dalam praktik kadang-kadang debitur tidak memenuhi apa yang menjadi

kewajibannya dan inilah yang disebut dengan “wanprestasi”. Perkataan

wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti “prestasi buruk”.

Selain itu, perkataan wanpestasi sering juga dipadankan pada kata lalai atau alpa, ingkar janji, atau melanggar perjanjian, bila saja debitur melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukan.42

2. Bentuk Wanprestasi

a. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat pada waktunya. Dengan perkataan lain , terlambat melakukan prestasi, artinya meskipun prestasi itu dilaksanakan ataua diberikan, tetapi tidak sesuai dengan waktu penyerahan dalam perjanjian. Prestasi yang demikian itu disebut juga kelalaian.

b. Tidak memenuhi prestasi, artinya prestasi itu tidak hanya terlambat, tetapi juga tidak bisa lagi dijalankan. Hal semacam ini disebabkan karena :

41

Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm 34-35.

42

(36)

1) Pemenuhan prestasi tidak mungkin lagi dilaksanakan karena barangnya telah musnah;

2) Prestasi kemudian sudah tidak berguna lagi, karena saat penyerahan mempunyai arti yang sangat penting. Misalnya, pesanan gaun pengantin untuk dipakai pada waktu perkawinan, apabila tidak diserahkan pada waktu sebelum perkawinan, maka penyerahan kemudian tidak mempunyai arti lagi.

c. Memenuhi prestasi tidak sempurna, artinya prestasi diberikan, tetapi, tidak sebagaimana mestinya. Misalnya, prestasi mengenai penyerahan satu truk kacang kedelai berkualitas nomor 1, namun yang diserahkan adalah kacang kedelai yang berkualitas nomor 2.43

Perlu dijelaskan di sini tentang “tidak dapat atau tidak sempurna

memenuhi suatu perjanjian tidak selamanya merupakan suatu

wanprestasi”, kecuali memenuhi dua unsur yaitu adanya peringatan

(aanmaning atau somasi) dan unsur jika prestasi tidak dapat dilaksanakan karena adanya overmacht (keadaan memaksa).

3. Akibat Wanprestasi

Apabila seorang debitur wanprestasi, maka dapat menimbulkan akibat antara lain :

a. Kreditur tetap berhak atas pemenuhan perjanjian, jika hal itu masih dimungkinkan;

43

(37)

b. Kreditur juga mempunyai hak atas ganti kerugian baik bersamaan dengan pemenuhan prestasi maupun sebagai gantinya pemenuhan prestasi;

c. Sesudah adanya wanprestasi, maka overmacht tidak mempunyai kekuatan untuk membebaskan debitur;

d. Pada perjanjian timbal balik, maka wanprestasi dari pihak pertama memberi hak kepada pihak lain untuk minta pembatalan perjanjian oleh Hakim, sehingga penggugat dibebaskan dari kewajibannya. Dalam gugatan pembatalan perjanjian ini dapat juga dimintakan ganti kerugian.44

4. Sanksi Bagi Debitur Yang Wanprestasi

Sanksi yang menderita kerugian karenna debiturnya wanprestasi

dapat memilih berbagai kemungkinan, antara lain :

a. Kreditur dapat minta pelaksanaan perjanjian, walaupun terlambat; b. Kreditur dapat minta ganti rugi, yaitu kerugian karena debitur tidak

berprestasi, berprestasi tapi tidak tepat waktu, atau beprestasi yang tidak semputna;

c. Kreditur dapat meminta pelaksanaan perjanjian disertai ganti kerugian sebagai akibat lambatnya pelaksanaan perjanjian;

d. Dalam perjanjian yang bertimbal balik, kelalaian satu pihak memberi hak kepada pihak lawannya untuk minta kepada Hakim agar perjanjian dibatalkan disertai ganti kerugian. Hak ini diberikan oleh Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menetapkan

44

(38)

tiap perjanjian bilateral selalu dianggap telah dibuat dengan syarat bahwa kelalaian satu pihak akan mengakibatkan pembatalan perjanjian akan tetapi pembatalan mana harus dimintakan kepada Hakim.45

Dalam hal tersebut menurut Subekti, bukanlah kelalaian debitur yang menyebabkan batalnya, tetapi putusan Hakim yang membatalkan perjanjian itu sehingga putusan Hakim itu bersifat constitutif dan

declaratoir. Selanjutnya Subekti menjelaskan bahwa Hakim mempunyai kekuasaan discretioner, artinya ia berwenang untuk menilai wanprestasi

debitur. Apabila dianggapnya terlalu kecil, hakim berwenang untuk menilai wanprestasi debitur. Apabila dianggapnya terlalu kecil, hakim berwenang untuk menolak pembatalan perjanjian, meskipuna ganti rugi yang diminta telah dikabulkan.

Dalam hal di atas para pihak yang terlibat dapat mengadakan ketentuan bahwa pembatalan tidak usah dibatalkan Hakim, sehingga dengan sendirinya perjanjian akan hapus manakala suatu pihak ingkar janji.

5. Unsur – Unsur Ganti Rugi

Mengenai ganti rugi yang dapat dituntut, undang – undang (Pasal 1248 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) menyebutkan unsur-unsurnya berupa :

1. Biaya (koseten) segala pengeluaran yang nyata sudah dikeluarkan, misalnya biaya cetak iklan, sewa gedung, dan lain-lain;

45

(39)

2. Rugi (schadein) ialah kerugian karena kerusakan barang milik kreditu akibat kelalaian debiturnya, misalnya ayam yang dibeli mengandung penyakit menular, sehingga ayam milik pembeli atau kreditur mati karenanya;

3. Halnya keuntungan (intressen) ialah kerugian yang berupa hilangnya keuntungan yang diharapkan. Misalnya, dalam jual beli jika barang itu sudah mendapat tawaran yang lebih tinggi dari modal, kemudian pembeli (debitur) lalai (batal pembeliannya), maka kelebihan dari modal itu yang dituntut oleh penjual atau kreditur.

Dalam hal ini, tidak semua kerugian dapat dimintakan penggantian. Undang – undang mengadakan penetapan pembatasan dengan dapat dikira – kirakan pada waktu janji dibuat dan sungguh – sungguh dapat dianggap sebagai akibat langsung dari kelalaian debitur saja.46

G. Berakhirnya perjanjian

1. Pembayaran

Pembayaran dalam konteks ini harus dipahami secara luas. Artinya lebih mengarah pada pengertian pemenuhan prestasi (performance) dalam suatu perjanjian. Pembayaran, dalam hal ini tidak hanya dalam bentuk penyerahan sejumlah uang semata, akan tetapi juga termasuk pada pelaksanaan prestasi lainnya sesuai dengan bentuk ataupun jenis dari perjanjian yang telah disepakati.

Pasal 1382 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan bahwa pembayaran merupakan suatu tindakan pemenuhan kewajiban

46

(40)

terhadap tiap-tiap perikatan dari orang-orang yang berkepentingan untuk itu. Tidak dibatasi hanya dalam pemenuhan kewajiban debitur dalam perjanjian utang piutang semata, akan tetapi pada seluruh bentuk perikatan ataupun perjanjian yang meletakkan bahwa pihak yang terikat untuk melaksanakan kewajiban sebagai debitur yang berutang.

Pihak yang berhak untuk menerima pembayaran diatur dalam Pasal 1385 Kitab Undang-Undang Perdata, yaitu

a. Kreditur sendiri sebagai pihak yang langsung berkpentingan; b. Kepada seseorang yang telah diberi kuasa oleh kreditur;

c. Kepada orang yang telah ditunjuk hakim untuk berhak menerima pembayaran;

d. Ataupun orang-orang yang ditetapkan oleh undang-undang.47

2. Penawaran Pembayaran Tunai Diikuti dengan Penyimpanan atau

Penitipan

Pelunasan hutang dengan menawarkan pembayaran secara tunai yang diikuti dengan konsinyasi atau penitipan pembayaran tersebut kepada pengadilan dimungkinkan oleh undang-undang terhadap debitur dalam hal kreditur menolak pembayaran yang dilakukan oleh debitur tersebut kepadanya, padahal secara kontraktual sebenarnya debitur tersebut berhak untuk melakukan pembayaran seperti yang ditawarkannya tersebut. Dengan kata lain, atas hak yang dimilikinya untuk melakukan pembayaran tersebut ke pengadilan sebagai dasar dari

47

(41)

perlindungan haknya, untuk tidak dapat dihukum wanprestasi (default) dan segera mengakhiri ataupun menghapuskan perjanjian yang menjadi dasar kewajibannya untuk melakukan pembayaran tersebut. Pembayaran dengan cara menitipkan uang tersebut ke pengadilan secara hukum akan membebaskan si berutang dari kewajibannya dan menjadi dasar dari hapusnya perjanjian yang melahirkan kewajiban dari si berutang tersebut sepanjang dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 1412 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata.

Apabila dalam langkah penawaran tunai ternyata mendapat penolakan dari pihak kreditur, maka debitur dapat melakukan penyimpanan ataupun penitipan uang tersebut ke pengadilan. Dalam Pasal 1406 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ditegaskan bahwa penyimpanan ataupun penitipan pembayaran tunai sebagai dasar dari pelunasan terhadap kreditur tidak perlu harus berada di bawah penguasaan hakim.

(42)

secara hukum dianggap sebagai pelunasan utangnya. Pelunasan hutang melalui cara penitipan tersebut juga menjadi sah apabila pengadilan memutuskan bahwa penawaran tunai yang telah dititipkan tersebut dinyatakan secara sah.48

3. Pembaharuan Hutang (Novasi)

Pembaharuan hutang novasi merupakan peristiwa hukum yang dapat menghapuskan perjanjian yang diperbaharuinya. Artinya, dengan adanya suatu kesepakatan lama akan menjadi hapus dengan sendirinya. Dalam Pasal 1413 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dijelaskan tiga bentuk pembaharuan hutang yang diperbolehkan, sebagai berikut :

a. Apabila debitur dan krediturnya sepakat untuk membuat suatu perjanjian yang baru menggantikan perjanjian yang lama, yang membuat perjanjian lama hapus karenanya atau yang disebut juga dengan novasi objektif;

b. Apabila seorang debitur baru ditunjuk untuk menggantikan debitur lama yang membebaskan debitur lama dari kewajibannya atau yang disebut juga dengan novasi positif.

c. Apabila si kreditur lama digantikan oleh si kreditur baru, dimana sebagai akibatnya debitur dibebaskan dari kewajibannya terhadap kreditur lama, karena telah beralih kepada kreditur baru atau yang disebut juga dengan novasi subjektif aktif.

Seluruh bentuk-bentuk pembaharuan hutang tersebut di atas haruslah dilakukan oleh orang-orang yang berwenang untuk

48

(43)

melakukannya dan pembaharuan hutang tersbut harus dengan tegas dinyatakan tidak dapat dilakukan secara lisan. Begitu juga tentang pembebasan debitur dari kewajibannya yang didasarkan perjanjian yang lama (yang telah diperbaharui) menjadi syarat utama yang harus ecara tegas diperjanjikan dalam pembaharuan hutang baik yang bersifat subjektif maupun objektif tersebut.49

4. Perjumpaan Hutang atau Kompensasi

Kompensasi adalah perjumpaan hutang antara debitur dan kreditur yang sama-sama mempunyai piutang ataupun tagihan antara kedua belah pihak. Kompensasi ini umumnya terjadi dengan sendirinya (Pasal 1426 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) sebagai suatu reaksi antara debitur dan kreditur untuk menyederhanakan pemenuhan prestasi antara kedua belah pihak yang mempunyai hak dan kewabjiban yang sama dalam dua perjanjian hutang piutang, dimana dalam perjanjian, yang satu berkedudukan sebagai debitur, sementara dalam perjanjian yang satu lagi sebagai kreditur.50

5. Percampuran Hutang

Percampuran hutang terjadi apabila kedudukan sebagai pihak debitur dan kreditur berkumpul pada satu orang yang meberi konsekuensi hukum hutang tersebut menjadi hapus.

6. Pembebasan Hutang

Pembebasan hutang dapat terjadi apabila kreditur dengan tegas menyatakan tidak mengkehendaki lagi prestasi dari debitur dan

49

Ibid, 2014, hlm 127. 50

(44)

melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian. Dengan pembebasan ini, perjanjian menjadi lenyap dan hapus. Dengan pengertian tersebut, berarti pembebasan hutang merupakan hak kreditur dalam menghapuskan hutang debitur dengan cara dibebaskan dari kewajiban membayar hutangnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 1438 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pembebasan tidak boleh berdasarkan persangkaan, melainkan harus dibuktikan. Bukti tersebut dapat dipergunakan, misalnya dengan pengembalian surat piutang asli oleh kreditur kepada debitur secara sukarela (Pasal 1439 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).51

7. Musnahnya Barang yang Terutang

Apabila benda yang menjadi objek dari suatu perjanjian musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang, berarti telah terjadi suatu keadaan memaksa (overmacht, force majuer) sehingga undang-undang perlu mengadakan pengaturan tentang akibat-akibat dari perjanjian tersebut. Berdasarkan Pasal 1444 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, untuk perjanjian sepihak dalam overmacht, hapuslah perjanjiannya karena musnahnya barang berada diuar kehendak debitur, misalnya karena bencana alam. Dalam Pasal 1237 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dinyatakan, dalam hal adanya perjanjian untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, kebendaan tersebut semenjak perjanjian dilakukan merupakan tanggungan kreditur. Apabila kreditur lalai menyerahkannya, semenjak kelalaian, keendaan menjadi tanggungan debitur. Adapun

51

(45)

menurut ketentuan Pasal 1438 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, apabila benda tertentu yang menjadi objek perjanjian musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang diluar kekuasaan debitur dan sebelum ia lalai menyerahkannya pada waktu yang telah ditentutkan, perjanjian tersebut menjadi hapus. Akan tetapi, bagi mereka yang memperoleh benda tersebut secara tidak sah, misalnya karena pencurian, musnah atau hilangnya benda tersebut tidak membebaskan debitur untuk mengganti harganya.52

8. Kebatalan atau Pembatalan

Kebatalan atau pembatalan suatu perjanjian dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:

Berdasarkan Pasal 1446 – 1456 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pembatalan dapat terjadi apabila :

a. Dilakukan oleh orang-orang yang tidak cakap dalam perbuatan hukum, misalnya orang gila, anak belum dewasa dan yang berada di bawah pengampuan;

b. Tidak mengindahkan bentuk perjanjian yang disyaratkan oleh undang-undang

c. Adanya cacat kehendak.

Batalnya perjanjian atau hapusnya perjanjian dapat disebabkan batal demi hukum dan batal karena dapat dibatalkan. Disebut batal demi hukum karena pembatalannya terjadi berdasarkan undang-undang. Batal demi hukum berakibat perbuatan hukum yang bersangkutan oleh hukum

52

(46)

dianggap tidak pernah terjadi. Sedangkan batal karena dapat dibatalkan mempunyai akibat setelah ada putusan hakim yang membatalkan perbuatan tersebut. Sebelum ada putusan, perbuatan hukum yang bersangkutan tetap berlaku53

9. Berlakunya Syarat Batal

Syarat adalah ketentuan isi perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak. Syarat yang dipenuhi mengakibatkan perjanjian batal sehingga perjanjian menjadi hapus disebut syarat batal. Syarat batal selalu berlaku surut, yaitu sejak perjanjian dilahirkan. Syarat ini mengakibatkan suatu konsekuensi bahwa kedua belah pihak tidak pernah melakukan perjanjian.

Berbeda halnya dengan syarat batal yang dimaksudkan sebagai ketentuan isi perjanjian, yang jika dipenuhi, perjanjian tersebut menjadi batal dalam arti berakhir atau berhenti atau hapus. Akan tetapi, akibatnya tidak sama dengan syarat batal yang bersifat objektif. Dipenuhinya syarat batal menyebabkan perjanjian menjadi batal dan pemulihan tidak berlaku surut, melainkan hanya sebatas pada sejak dipenuhinya syarat tersebut.54

10. Kadaluarsa

Berdasarkan Pasal 1946 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang dinamakan kadaluarsa atau lewat waktu adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Kadaluarsa untuk memperoleh hak milik atas suatu

53

Ibid, hlm. 17.

54

(47)

barang dinamakan kadaluarsa acquisitive, yang dibahas dalam hukum kebendaan. Sedangkan kadaluarsa untuk dibebaskan dari suatu perjanjian/suatu tuntutan dinamakan kadaluarsa extinnctive. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata masalah kadaluarsa diatur dalam buku IV.55

55

Referensi

Dokumen terkait

[r]

river Buffer zone between farm and water bodies Burning waste Separate waste pits for plastics and organic

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008.. Universitas

kerja bagi masyarakat di sekitarnya. Jasa per- tukangan banyak ditawarkan oleh masyarakat pendatang yang bermukim di Samarinda Ilir. Semua produk unggulan tersebut

Hubungan kemampuan siswa mentransformasi cerita pendek ke dalam film berorientasi pendidikan karakter siswa pada kelas eksperimen, diperoleh koefisien korelasi

Memenuhi Berdasarkan hasil hasi verifikasi terhadap dokumen Bill of Lading dari kegiatan penjualan ekspor Produk Jadi oleh PT Dharma Putra Kalimantan Sejati selama 12 (dua

Sistem kendali ini sudah direalisasikan namun sistem secara umum masih memiliki kelemahan di mana sistem kendali ini tidak cukup cepat untuk merespon perubahan

Hasil penelitian menunjukkan sebagai berikut: 1 Pelaksanaan Bimbingan belajar dilakukan setelah menghadapi UTS, pelaksnaanya di lakukan di luar jam pelajaran setelah pulang sekolah